Bagian 25 : Marah Seperti Api

"Bukannya aku tidak suka!" balas Celdo terdengar kencang seperti ayam yang baru saja bertelur.

"Lantas?" Aku mengangkat kedua tangan setinggi bahu, pertanda tidak mengerti. Celdo menatapku kesal seperti ingin menyiksaku dengan senjata tajam. Aku bisa melihat matanya mengatakan itu.

"Ck! Lupakan saja. Cepatlah sebutkan saja pertanyaanmu sebelum aku berubah pikiran!" pekik Celdo lagi, kali ini diiringi dengan rona merah dikedua pipinya. Hihi. Apa dia tidak menyadari kalau mukanya sedang merah sekarang? Sepertinya tidak.

Aku tersenyum manis. Sedangkan Celdo menatapku setengah malas setengah serius. Aku bisa membaca itu melalui matanya yang hanya setengah terbuka, jari telunjuk mengetuk meja, dan tangan kiri memegang kepala. Cih. Bisa sedikit tersenyum tidak? Dia bahkan tak tersenyum sama sekali. Huh. Oke, pertanyaan pertama.

"Sejak pertama kali kau bertemu denganku, kenapa kau tidak memutuskan untuk membunuhku saja?"

"Hei. Bukankah sudah aku katakan sebelumnya? Kau itu tamu Presiden. Jika aku membunuhmu, sama saja aku cari mati!"

"Pertanyaan kedua. Apa mawar pelangi itu ada?"

"Tentu saja. Mawar itu terletak di puncak yang sangat jauh. Hanya satu yang tumbuh di Fantasy Land. Namun, tak ada yang mampu meraih mawar itu karena di sana tempat yang mematikan. Dan aku tidak mau ke sana walau dibayar berapapun."

"Pertanyaan ketiga. Sejak kapan kau tidak memiliki teman?"

"Sejak lahir." Celdo menatapku datar.

"Oh. Artinya, kau sama sekali tidak ada pengalaman berpacaran dengan siapa-siapa, benar begitu?" Aku menatapnya penuh keseriusan. Celdo tampak melototkan mata.

"Iya. Memangnya kenapa, hah? Mau menghinaku? Hina saja sebanyak-banyaknya! Aku tidak peduli!" Celdo tampak merasa tersindir dengan pertanyaanku yang keempat. "Lagi pula, aku tidak suka berpacaran. Itu menjijikkan. Kau harus tahu itu."

"Kau yakin? Jika aku mengirim surat cinta padamu, apa pendapatmu?"

"KAU MENGERJAIKU! Itulah yang aku pikirkan jika kau mengirim surat cinta padaku!!"

Jari telunjuk Celdo mengarah tepat di depan batang hidungku. Mukanya tampak lebih merah dari pada sebelumnya. Hm, aku merasa jawabannya tampak tidak seperti yang dia katakan. Aku khawatir kalau dia benar-benar menyukaiku.

"Kau baik-baik saja?"

"Apa maksudmu??"

"Mukamu merah. Kau demam?"

"HAH??! Tidak! Aku tidak demam!"

"Lalu, kenapa mukamu sampai merah? Kau mau bukti? Kau boleh lihat cermin Doorfan jika kau tidak percaya. Aku berani sumpah. Mukamu merah sekali. Katakan saja kau sedang sakit."

"ARGGHH!! SUDAH CUKUP! AKU KELUAR!!"

Dengan ekspresi malu campur kesal, dia beranjak dari kursi dan berlalu.

Aku memandangnya dengan datar. Melihatnya melangkah menuju pintu dan telah memegang kenop pintu.

"Oke. Kau boleh pergi. Artinya, kau tidak bisa menahan rasa kesalmu padaku. Ya, kau tahu, aku mengajar tidak seperti biasanya. Hari ini aku terlalu banyak basa-basi. Dan sepertinya, hanya kau saja yang tidak menyukai sikapku sekarang. Menyebalkan. Itu pendapatmu, bukan? Aku hanya ingin tahu. Seberapa besar kalian semua bisa membenciku. Itu saja."

Celdo nampak tidak bergerak sama sekali. Tangannya yang sudah siap memutar kenop pintu, tertahan oleh kalimatku. Kenapa dia diam?

"Kau ingin tahu bagaimana pendapatku saat kau tampak menyebalkan hari ini?" balas Celdo tanpa memalingkan badannya. Aku hanya bisa melihat bagian belakangnya saja.

WUSH!!

Angin tiba-tiba menghembus kencang meniup rambut panjangku. Sejak kapan ruanganku bisa menciptakan angin? Aku tidak pernah membuka kaca jendela karena malas. Dari mana angin ini? Namun, angin ini lenyap seketika bersamaan menghilangnya sosok Celdo di depan pintu.

Hei. Di mana Celdo?? Kok tiba-tiba menghilang?

"Kau ingin tahu seberapa besar aku membencimu?"

Suara Celdo yang begitu dekat di telinga kananku, sukses membuatku sangat terkejut.

Aku menoleh cepat ke arah sumber suara dan rupanya memang Celdo yang ada di sampingku. Mulutku ingin mengatakan sesuatu, namun dia dengan cepat menutup mulutku dengan seluruh telapak tangannya. Dia tersenyum. Senyum yang penuh dengan arti. Aku tidak yakin dengan hal itu. Namun yang pasti, ada maksud kenapa dia membungkam mulutku.

"Seperti seorang penjahat yang ingin membunuh korbannya. Namun, pemjahat itu hanya mampu membungkam mulut korbannya saja. Kau tahu, itu aneh sekali. Kenapa bisa begitu, ya?" Celdo memasang wajah sok berpikir. "Untuk menghilangkan bukti kejahatan, penjahat yang pintar seharusnya mampu menghilangkan jejak dengan cara membunuh korbannya. Tapi, penjahat itu malah tidak membunuh sang korban. Polisi akan mudah mencari penjahatnya walau berlari sejauh apapun. Jadi, kau pasti sudah tahu kan jawabanku?"

Aku mulai risih karena mulutku terus saja dibungkam olehnya. Mataku bahkan tidak bisa mengalihkan pandangan dari mata birunya. Otakku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dia maksudkan.

Dia membuka bungkamannya dengan perlahan. Kali ini, dia memudarkan senyumannya. Ekspresinya tampak menatapku sedih. Dan bagiku, dia sedang menghinaku sekarang.

"Letta."

Dia melangkah satu langkah lebih dekat. Aku mengangkat wajahku melihatnya berdiri di depan mataku. Kepalaku menengadah karena aku masih duduk di kursi, sedangkan Celdo berdiri menghadapku seolah dia lebih tinggi dariku. Konyol.

"Celdo," ikutku menyebut namanya. Menatapnya serius, meminta penjelasan. "Aku ... tidak mengerti maksudmu."

Celdo tampak melebarkan matanya, walau hanya sedikit. "Oh. Aku pikir kau mengerti. Sebenarnya, aku juga tidak paham dengan apa yang aku bicarakan."

Aku menatapnya aneh. Tidak tahu harus mengatakan apa setelah apa yang dia ucapkan padaku. Dia tidak mengerti dengan semua yang dia katakan. Dia pikir aku ini peramal yang bisa memahami semua kalimat yang mengandung ambigu? Aku guru Matematika bukan Bahasa!

"Kurang hajar."

Hanya dua kata itu yang bisa aku sebutkan untuk membalas perkataannya.

"Letta."

Sekali lagi dia menyebut namaku dengan nada yang berbeda. Terdengar ... pria?! Perasaanku jadi aneh karena wajahnya kian mendekat ke depan wajahku.

"Ke-kenapa?" tanyaku semakin jengah. Ini membuatku gelisah. Dan entah kenapa, aku jadi merasa déjà vu.

"Letta."

"Kenapa kau terus-terusan memanggil namaku? Aku sudah ada di sini! Di depanmu!!"

Aku sudah tidak tahan lagi. Cara dia memanggil namaku, begitu berbeda. Suaranya teedengar seperti sedang mencoba menggodaku. Tapi aku yakin, dia tidak akan melakukan hal yang 'mengerikan'. Tak akan.

Celdo terkekeh mendengar keluhanku. Dia pikir aku lucu?? Sial.

"Maaf. Aku suka namamu. Jadi, tak apa kalau aku sebut terus, kan? Seperti sebuah nama berharga yang jika disebutkan terus, akan mendapat keberuntungan," ucap Celdo sekenanya.

"Kau pikir namaku itu jimat bagimu? Sudahlah. Menjauh dariku. Katanya kau mau keluar dari ruanganku karena kesal dengan semua pertanyaanku. Nah, kau boleh keluar sekarang," ucapku seperti mengusirnya dari rumah. "Hari ini kau juga menyebalkan. Tidak lucu kayak biasanya. Hih. Buat jijik."

"Kau cantik dengan mata merahmu, Letta."

DEG!!

Tidak pernah terpikir bagiku bahwa ada satu orang yang menyebutku cantik dengan kedua mata yang kumiliki. Aku pikir, sebuah pujian tulus hanyalah mimpi dalam bunga tidur dan khayalan saja. Tidak hanya kedua itu, aku juga menganggap pujian itu adalah sebuah kemustahilan bagiku untuk mendapatkannya dari hati orang lain.

Dulu, aku menganggap mata merah ini mengerikan. Aku pernah frustasi sendiri karena memiliki mata merah. Tidak hanya itu, aku sampai tidak ingin keluar dari istana untuk pergi ke sekolah hanya karena warna mata ini. Hanya aku yang memiliki warna mata merah di duniaku. Berbeda dengan Fantasy Land. Peter dan Peneloppe memiliki mata merah yang sama sepertiku.

"Sudah cukup, Celdo. Aku ingin sendiri. Kau menjauhlah dari wajahku dan keluarlah," suruhku lagi, menganggap pujian itu hanyalah angin lalu. "Celdo! Kau tidak dengar?"

"Aku juga ingin tahu. Tentang seberapa kau membenciku?" Wajahnya semakin dekat, sampai ujung hidungnya hampir akan mengenai hidungku. Bodohnya, aku malah salah tingkah. Aku takut jika wajahku merah hanya karena seorang bocah seperti dia. "Letta."

"Celdo, kau sudah keterlaluan. Cepatlah menjauh sebelum aku akan mendorongmu sampai jatuh tewas," ancamku terdengar mengerikan, namun tetap saja dia tidak menjauh dariku. Mau dia apa sih!

"Aku juga ingin mencobanya," ucap Celdo tak jelas.

"Apa yang ingin kau coba? Menyingkir sekarang!" Ini yang keempat kali aku menyuruhnya menjauh. Buat kesal saja. "H-hei! Celdo! Apa kau sedang tidak sadar sekarang?? Celdo!"

Anehnya, aku malah diam. Aku penasaran apa yang ingin dia lakukan padaku. Mau mencoba apa aku tidak tahu apa yang dia bicarakan. Yang jelas, aku bisa menghirup napasnya yang begitu dekat. Tunggu. Kenapa sedekat ini? Memangnya apa yang ingin dia lakukan? Bukan itu, kan? Hah? Tidak mungkin. Tidak mungkin dia ingin .. akh! Jangan membuatku menyebutkannya. Astaga kenapa tanganku tidak berkeinginan mendorongnya?? Menjauhlah, Celdo! Aku tidak ingin kau melakukan itu! TIDAK!!!

TING .. TONG ..

Suara lonceng yang berbunyi nyaring pertanda istirahat berakhir, membuat kami berdua tersentak. Celdo. Dia hampir saja menciumku. NYARIS SAJA! Apa yang dia pikirkan sampai dia ingin menciumku?? Dia boleh saja sayang pada gurunya sendiri, tapi tidak boleh berlebihan begitu juga, kan? Barusan dia baru kena apa sih di kepalanya?? Mengejutkanku saja. Ah mungkin habis menabrak tiang.

"A-aku .. aku .." Celdo tampak tak bisa berkata apa-apa setelah apa yang hampir dia lakukan tadi. Dia melangkah mundur dan menunduk bersalah menutup wajahnya yang memerah.

"Apa tadi yang kau pikirkan? Hah? Jawab. Kau harus jelaskan ini," ucapku meminta penjelasan yang logis.

Aku menatapnya tajam menunggu jawaban. Dan yang menjawab hanyalah keheningan ruangan ini. Dia tidak menanggapi pertanyaanku. Wah, hebat.

"Kalau kau tidak menjawab, aku akan tunggu sampai malam pun, aku akan tetap di sini, melihatmu berdiri dengan tundukan bersalahmu itu," kataku lebih serius dari yang tadi.

Beberapa menit setelah terdiam kembali, Celdo pun akhirnya bersuara. Kalian pikir aku sedang bercanda? Tentu saja tidak. Aku sedang serius.

"Selain Alex, aku juga membenci Peter. Dia musuhku setelah Alex. Dia itu sok baik, sok dekat, sok apalah semua yang dia lakukan padaku membuatku muak. Lalu, aku semakin membencinya melihat dia menciummu sampai pingsan. Aku tahu dia bermaksud memberikan setengah kekuatannya padamu. Tapi, kenapa harus dengan ciuman? Apa tidak ada cara lain? Aku yakin ada banyak cara untuk membagi kekuatan. Pasti dia punya tujuan lain selain membagi kekuatan. Aku marah sekali, Letta. Dia benar-benar bajingan. Soal tadi, aku benar-benar minta maaf karena tidak bisa menjaga emosi dengan baik. Aku hampir saja akan ikut menjadi bajingan seperti dia. Tolong maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi. Kau bisa hukum aku sebanyak apapun. Tapi, jangan sampai dia menyentuhmu lagi. Tangan ini sudah sangat panas. Aku ingin sekali melenyapkannya," jelas Celdo dengan mengepalkan kedua tangan seraya masih menunduk.

"Itu ... benar-benar terjadi? Eh? Apa? Hah??!" Aku bingung sendiri setelah mendengar penjelasan Celdo. "Apa-apa yang sudah Peter lakukan padaku kemarin?"

Celdo mengangkat wajah dan menatapku bingung melihat reaksiku.

"Kau tidak ingat? Aku hampir saja akan masuk ke dalam ruanganmu karena Anna bilang kalau kau sedang tidak baik. Dan rupanya ada Peter bersamamu," jawab Celdo.

Itu artinya, dia sungguh menciumku. Kemudian, setengah kekuatan apinya telah ada bersamaku. Apa ini? Kenapa aku harus menghadapi hal seperti ini? Apa aku terlalu menggodakan sampai dia mau menciumku? Tidak mungkin. Lagi pula aku tidak pernah sekali pun menggodanya. Dan Celdo, kenapa malah dia yang marah? Seharusnya aku yang marah. Ini urusanku. Bukan urusannya.

"Celdo, kenapa kau yang marah pada Peter?" tanyaku penasaran. "Seharusnya aku saja yang marah dan bukan kau."

"Tentu saja aku marah! Karena kau .. kau .." jawab Celdo terdengar gantung.

Dia membuang kontak matanya dariku. Aku berdiri beranjak dari kursi dan meraih kedua pundaknya, bermaksud agar dia tidak bisa mengalihkan pandangan.

"Karena aku apa? Celdo, jangan bilang kalau kau .." entah kenapa, aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku juga. Menggantung. "Jangan tak acuhkan aku melalui matamu. Tatap aku, Celdo."

"Le-lepaskan aku." Dia menyuruhku melepaskan peganganku. Kakinya melangkah mundur. Berusaha kabur, ya? Tidak akan aku biarkan.

"Wah, sepertinya kalian berdua sedang membicarakan hal yang menarik. Membicarakan apa?"

Suara yang sudah tidak begitu asing lagi terdengar jelas di arah pintu.

"Cih." Aku melihat Peter sedang menyandarkan diri di pintu dengan wajah menyebalkannya. "Mau apa kau ke sini, tuan mesum?"

"Oh?" sahut Peter terdengar memainkan nadanya. "Aku pikir kau tidak ingat kejadian kemarin? Maaf karena sudah mengambil ciuman pertamamu. Sepertinya kau sama sekali tidak menerima hal itu. Dan mungkin alasannya karena anak itu?" cerocos Peter dengan muka tidak bersalahnya.

Kalimatnya itu sukses membuatku marah sekali. Ya, walaupun dia hanya bertujuan membagi kekuatannya, dia sama sekali tidak meminta persetujuan dariku.

Tiba-tiba sebuah pedang sudah ada di tangan Celdo. Aku bisa melihat matanya berapi-api saat melihat Peter. Dia juga tampak mengeraskan rahangnya. Mungkin dia jauh lebih marah dibandingkan aku. Aku masih tidak mengerti kenapa Celdo semarah itu.

"Celdo, apa yang ingin kau lakukan dengan pedang itu?" tanyaku.

Bodoh memang untuk apa aku bertanya, sudah pasti dia mengeluarkan pedang untuk menyerang Peter.

"Aku ingin membunuhnya. Tidak boleh?" jawab Celdo yang kini menatapku penuh keseriusan, seolah bermaksud agar aku setuju dengan keinginannya.

"Hei, Celdo Phantrom, aku ke sini bukan untuk bertarung denganmu. Aku hanya ingin menyelesaikan tugasku yang diberikan oleh Presiden," ucap Peter dengan santai. "Moune, kau sudah membaca surat dari Presiden?"

"Surat?" ulangku seraya mengingat sesuatu. "Oh. Surat yang kau berikan itu? Aku belum membacanya. Memangnya kenapa? Apa surat itu penting?"

"Tidak. Tentu saja surat itu penting! Seharusnya dari kemarin kau sudah membacanya! Kau membuatku bolak-balik dari istana Presiden hanya untuk menanyakan ini. Kau tahu, itu merepotkan sekali. Kalau bisa, aku ingin berhenti saja menjadi bagian dari prajuritnya. Aku lebih suka menjaga gerbang perbatasan saja. Kau bacalah surat itu sekarang sebelum kau lupa," ucap Peter mencerocos lagi.

SRING!!

TUK!

Pedang putih yang tadinya hanya diam di genggaman Celdo, tiba-tiba melesat nyaris tepat ke wajah Peter. Hanya dengan sekali memiringkan kepala, Peter menghindari pedang itu dengan enteng dan pedang itu pun menancap tepat ke pintu.

Barusan, Celdo melempar pedangnya secara mulus ke arah Peter. Dia benar-benar berniat sekali membunuh Peter.

"Hei. Kau seharusnya jangan menghindar. Aku jadi melubangi pintunya," ucap Celdo terdengar mencekam. Auranya mendadak tidak enak. Sepertinya dia tidak main-main. Peter menatap datar ke arah Celdo.

"Sudah aku bilang padamu. Aku tidak ingin bertarung denganmu. Setelah aku melihat Moune membaca surat Presiden, aku akan segera kembali ke tempatku," balas Peter, tapi kenapa tangan kanannya mengeluarkan api? Jangan sampai ruanganku menjadi area pertarungan mereka.

"Celdo, sudahlah. Kau tidak perlu bertarung dengannya segala. Kau tidak dengar dengan perkataannya? Setelah aku membaca surat ini, dia akan segera pergi dari sini. Hilangkan pedangmu segera," suruhku setelah aku mengambil surat gulung berwarna merah dari dalam laci mejaku dan meraih tangan kanannya dengan maksud menurunkan emosinya.

Celdo terdiam sebentar melihat tanganku memegang tangannya. Kemudian kembali menoleh murka ke arah Peter yang masih saja betah bersandar di pintu sambil menyeringai.

Sejujurnya, aku juga ingin sekali membunuh Peter.

"Bacalah sekarang surat itu," kata Celdo setelah terdiam sebentar. Tangan kanannya membalas tanganku dengan genggaman yang erat. Dia masih memandang Peter dengan kebencian. "Kalau dia berani mendekat ke sini, aku pastikan pedangku tidak akan meleset lagi."

"Kau tidak dengar? Hilangkan pedangmu sekarang," titahku lagi sambil membuka surat gulung merah dengan satu tangan. Aku ahli membuka surat gulung dengan satu tangan. Ini sudah biasa karena di istanaku dulu, aku selalu berkutat pada surat gulung seperti ini.

"Tidak. Selama dia masih ada di sini, aku tidak akan mengalihkan pandanganku darinya. Jika dia melangkah satu langkah pun ke sini, aku akan memenggal kepalanya. Tidak akan aku biarkan dia menyentuhmu lagi."

Aku tertegun sebentar mendengar Celdo berkata begitu padaku. Dia tidak melepaskan tanganku. Tangan kiriku mulai berkeringat. Aku harap dia tidak menyadari tanganku yang mulai dingin.

Tidak lama aku membaca surat itu, bahkan tidak memakan waktu satu menit, aku sudah selesai membaca isinya.

Peter dan Celdo terkejut melihatku membakar habis surat itu dalam sekejap dengan kekuatan api yang langsung bisa aku kendalikan oleh emosi. Ujung rambutku berubah menjadi merah api layaknya api yang berkobar.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

'AKU ADALAH ORANG YANG MEMBUNUH ORANG TUAMU.'

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top