Bagian 24 : Mimpi yang Membawaku Ke Dalam Keluarga Baru

"Ugh .. hm?"

Aku membuka kedua mataku dengan perlahan menerima cahaya yang ada. Bahuku terasa pegal karena mungkin posisiku tidak pernah berganti sejak aku tertidur di meja kerjaku. Lenganku juga sedikit pegal. Aku menggerakkan kedua lenganku agar tidak kaku. Setelah terasa nyaman, aku menyisir rambut perakku secara asal dengan jari-jariku.

Sejak kapan aku tertidur di kursi? Ah, mungkin aku lelah saat aku berpedang dengan Alex. Ruanganku terlihat gelap. Dengan cahaya seadanya dari luar jendela, aku berjalan ke arah saklar dan menyalakan lampu. Ruanganku pun menjadi terang. Setelah itu, aku menghampiri jendela. Melihat keadaan luar dan menutup jendela dengan tirai putih yang terpasang.

Ternyata sudah malam. Sudah jam berapa ini? Aku menolehkan kepalaku ke arah jam dinding. Jarum jam menunjukkan tepat jam sebelas malam. Rupanya sudah tengah malam. Yang membuatku bingung, kenapa aku bisa tertidur di ruanganku? Apa ada yang aku lupakan? Sepertinya tidak ada. Hari ini kegiatanku hanya mengajar, mengobrol dengan Brown, dan bermain pedang dengan Alex. Setelah itu, aku kembali ke ruanganku.

Tapi, kenapa rasanya ada yang aku lupakan, ya? Ah, sudahlah. Aku harus segera ke asrama dan tidur di kasur. Bukannya tidur pada posisi duduk dengan kepala di atas meja.

Aku berjalan keluar dari ruanganku dan mengunci pintu. Melewati koridor sekolah yang sepi dan dingin. Ngeri juga kalau berada di koridor sendirian begini. Mana gedung asrama guru masih jauh sekali. Tempat ini terlalu besar hanya untuk sebuah sekolah. Melelahkan sekali. Ingin sekali aku menghancurkan sekolah ini dengan esku. Tapi, apa bisa ya? Aih! Kenapa aku memikirkan hal konyol? Semakin lama aku di Fantasy Land, pikiranku sudah tercemar dengan hal-hal aneh. Dan ini semakin parah saja. Kapan aku bisa pergi dari sini? Ukh.

Hiks! Kenapa Anda cepat sekali? Miss jangan pergi! Saya ingin masih belajar dengan Anda! Apa Anda marah pada kami semua karena kami tidak bisa Matematika? Apa yang membuat Anda berhenti menjadi guru kami?? Hiks!

Aneh. Kenapa aku mau menuruti omongan mereka? Dan kenapa mereka tidak menginginkan aku pergi? Apa mereka menyukai kehadiranku? Apa mereka semua berkata jujur? Apa mereka ... tidak bodoh?

Aku sama sekali tidak ingin memiliki siapa-siapa dalam memoriku. Jika mereka semua mengenalku, aku takut mereka hanya berbohong dan perlahan menjauh dariku. Memakiku. Menyiksa hatiku. Sisi kegelapan itulah yang membuatku tidak bisa memiliki teman sejak kecil.

Ingatanku sejak aku berusia enam tahun terputar kembali dalam memori.

Sekolah, sebuah tempat belajar untuk pintar dan bersosialisasi dengan orang banyak. Aku pintar dalam Matematika, namun mereka malah menyuruhku mengerjakan PR mereka. Setiap pelajaran IPA, mereka melumuriku ramuan aneh di belakang sekolah. Pada saat pelajaran olahraga, aku selalu dipukuli dengan bola basket.

Mereka iri dengan darah bangsawanku. Serta menatapku iri dengan rambut perakku yang sangat berbeda dari yang lain. Dan juga ngeri melihat mata merahku. Mereka pun mengarangkan nama kedua untukku, yaitu monster.

Sedangkan aku menyebut mereka sebagai zombi. Makhluk buruk rupa yang sulit untuk dimatikan. Mereka mirip seperti makhluk mengerikan itu, lebih tepatnya mirip dengan sifat dan sikap mereka terhadapku.

Aku sama sekali tidak pernah menceritakan hal itu pada orang tuaku yang sedang memimpin kerajaan di istana. Takut kedua orang tuaku akan khawatir, menghukum mereka, atau mengeluarkan mereka dari sekolah. Orang tuaku bisa melakukan apa saja selama terus memimpin kerajaan. Kalau mereka mengetahui tentang masalahku di sekolah, semua orang bisa membenciku.

Sudah cukup aku dibenci oleh satu sekolah. Sudah cukup aku mendapat julukan aneh. Sudah cukup aku tersiksa. Sudah cukup dengan semua yang menghancurkanku.

Pada akhirnya aku terkutuk oleh diriku sendiri. Terkutuk dengan dendamku sendiri. Terikat oleh takdir yang aku buat sendiri. Sampai saat ini, aku tidak akan bisa melupakan tragedi orang tuaku terbunuh. Mengingatnya sedikit saja, kepalaku sudah sangat panas. Emosiku kian meluap-luap. Kapan aku akan mengetahui pembunuh orang tuaku? Jika aku masih terus saja berdiam diri di sini, aku tidak akan pernah bisa menemukan pembunuh itu.

Tidak terasa aku telah sampai di depan kamarku. Kamar bernomor 18. Aku mengetik sandi pintuku sebanyak sepuluh digit dan terbuka secara otomatis setelah menekan sandiku. Masuknya ke dalam kamar, pintu itu kembali tertutup rapat dengan sendirinya.

Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang tidur yang empuk. Sebenarnya, kasur ini tidak terlalu luas. Kasurnya pas untuk satu orang. Lebih luas kasur di istanaku dan istana Flowered yang bisaa muat tiga orang. Tapi tak apalah. Yang penting punya kasur, bisa tidur enak, dan mimpi indah. Selama aku bisa merasakan hal itu, aku akan tetap bersyukur. Walaupun aku lebih menyukai yang lebih luas.

Tanpa mematikan lampu karena aku takut dengan keadaan gelap, aku pun memejamkan mata dan tidur tanpa mengganti baju dengan piama dan menyikat gigi. Lagi pula aku tidak pernah menyikat gigi sebelum tidur. Gigiku akan tetap sama saja, selama aku tidak malas menyikat gigi saat sedang mandi.

👑👑👑

Puluhan lilin biru menyala di sekitarku. Semua lilin itu terletak jauh pada dinding. Walaupun banyak penerang, masih ada banyak celah yang membuat sekitarku terlihat gelap. Ini mengerikan. Di mana aku sekarang?

Tiba-tiba aku sadar bahwa aku sedang terbaring di atas ranjang berseprai putih tanpa ada bantal dan guling yang menghias sekitarku. Aku hanya menggunakan baju daster putih tangan bertali dan panjang baju ini hanya selututku. Sejak kapan aku berada di sini? Kenapa aku memakai baju memalukan seperti ini? Siapa yang telah membawaku ke sini? Pasti ada seseorang selain aku. Aku yakin itu.

Aku mendudukkan diriku dan mencari kehidupan di sekitar sini. Tidak mungkin tak ada orang jika aku dibawa ke sini. Ranjang ini juga lilin-lilin yang menerangiku. Tidak lama kemudian, mataku menangkap satu bayangan seseorang. Bayangan itu kian mendekat dan akhirnya menampakkan wujud yang sebenarnya padaku.

"Siapa kau?" tanyaku pada sosok lelaki berkemeja putih dan celana panjang putih.

Aku tidak bisa mengenali wajahnya karena dia memakai topeng mata hitam. Dia terdiam tidak menjawab pertanyaanku. Matanya hanya menatapku kosong. Melihat warna mata serta tipikal rambutnya, aku jadi teringat seseorang. Tapi, kenapa dia? Apa dia yang membawaku ke sini?

"Moune." Dia menyebut namaku. Aku mengenal suaranya. Tidak salah lagi.

"Peter? Kau kah itu?" tanyaku memastikan dugaanku benar. Namun dia tak merespon pertanyaanku.

Dia kembali terdiam sambil melihatku. Membuatku risih saja. Sebenarnya dia kenapa sih?

"Pertanyaan pertama. Kegelapan dan cahaya, diantara kedua itu, mana yang pertama diciptakan?" Dia malah memberiku pertanyaan yang tidak masuk akal.

"Apa maksudmu?? Aku tidak mengerti!" balasku mulai kesal.

"Aku katakan sekali lagi. Kegelapan dan cahaya, diantara kedua itu, mana yang pertama diciptakan?" Dia mengulangi pertanyaan layaknya sebuah mesin.

"Haruskah aku menjawab pertanyaanmu itu? Pertanyaanku saja diabaikan!"

"Aku katakan sekali lagi. Kegelapan dan cahaya, diantara kedua itu, mana yang--"

"BAIK!! AKAN AKU JAWAB!! KEGELAPAN! KEGELAPAN YANG PERTAMA DICIPTAKAN!! PUAS SEKARANG????"

Emosiku telah keluar karena hanya omongan monotonnya itu. Sementara Peter sama sekali tidak mengeluarkan ekspresi maupun emosi. Apa harus aku hajar, ya?

"Kenapa kau menjawab kegelapan?" tanya Peter lagi, membuatku menghela napas.

"Karena jika tak ada kegelapan, untuk apa cahaya diciptakan? Jika bukan untuk melenyapkan kegelapan, maka cahaya akan berfungsi untuk apa? Maka sudah jelaslah yang tercipta lebih dulu adalah kegelapan," ucapku menjelaskan.

Peter mengangguk pelan. Dia berjalan menghampiriku dan memegang tangan kananku. Dia membuka telapak tanganku dan menyentuhnya dengan tangan kanannya. Aku bisa merasakan tangannya yang panas. Rasanya panas tapi tidak membuatku merasa terbakar, seakan tanganku juga ikut panas. Seperti terbakar.

Betapa terkejutnya aku karena di depan mataku kini melihat api kecil di tengah telapak tanganku setelah Peter menjauhkan tangan kanannya. Tanganku terbakar?? Tapi, tidak menimbulkan luka. Sepertinya aku bukannya terbakar. Ini kekuatan. Lebih tepatnya, kekuatan api. Aku mengangkat wajahku melihat Peter. Dia membalas menatapku. Dan aku sedikit tersentak dan tertegun.

Tersenyum. Dia tersenyum. Untukku?

"Setengah kekuatan apiku telah ada di dalam tubuhmu sekarang. Kalahkan dia, Mouneletta Romanove."

Aku pernah mendengar kata-kata ini. Tapi, kapan aku pernah mendengarnya? Dia memberikan setengah kekuatannya padaku. Sama saat Celdo memberikan setengah kekuatan teleportasinya padaku. Kenapa mereka repot-repot memberiku kekuatan? Aku tidak mengerti.

"Kenapa kau--"

Cup.

Bibir Peter melayang begitu cepat ke bibirku sampai aku tidak bisa membaca gerakannya, membuat kata-kataku sukses terpotong. Dan anehnya, aku tidak bisa menolak ciumannya.

Dia ... mengambil ciuman pertamaku.

Setelah menciumku cukup lama dan membuatku terus saja membelalakkan mata, dia membuka topeng matanya. Ternyata benar, Peter. Dia tersenyum menawan seolah yang dia lakukan tadi bukan hal yang mesum. Bagaimana cara menanggapi ini? Apa yang harus aku katakan? Menyebutnya mesum? Bejat? Bajingan? Atau memberinya pelajaran dengan cara menghajarnya?

Apa yang telah dia lakukan padaku bukannya membuatku merasa senang. Aku kecewa. Sedih. Tidak membahagiakan. Aku bukanlah perempuan kurang kasih sayang laki-laki yang meminta ciuman. Dan aku tidak percaya jika ada laki-laki yang jatuh cinta padaku, aku tidak akan menghiraukan hal itu, karena perasaan suka seperti itu tidak cocok untuk aku miliki. Aku tidak akan bisa menyukai laki-laki siapapun, karena hatiku sudah terlumuri oleh dendamku sendiri, sehingga tidak bisa membedakan lagi antara senang dan sedih. Bahkan tidak tahu apa aku masih memiliki rasa kemanusiaan untuk bertahan hidup. Aku ... tidak akan mungkin dicintai banyak orang. Aku lebih cocok dibenci. Ya, dibenci.

"Kau salah," ucap Peter, membuatku terkejut dan kembali menatapnya. Dia berdiri dan meraih puncak kepalaku. "Kau tidak sadar? Di sini, kau dicintai. Kau dibutuhkan. Kau diingat. Kau dirindukan. Kau disayangi oleh kami semua. Lihatlah di sana."

Peter menunjukkan jarinya ke suatu titik. Awalnya sekitarku masih gelap yang diterangi oleh lilin, mendadak berganti menjadi putih dan tampak bercahaya tanpa bantuan alat penerang.

Aku terkejut sekaligus tak percaya. Kedua mataku kini melihat semua orang yang pernah aku temui di Fantasy Land. Mereka berdiri dan tersenyum hangat padaku. Mulai dari Talia, Rosel, Felice, Jee, Zee, Kerling, Rissa, Victoriye, Brown, Anna, Alex, Yoanne dan Celdo. Bahkan ada Peneloppe dan Nyong juga ikut tersenyum hangat. Seolah, mereka semua menyambutku dengan perasaan tulus yang tidak bisa aku jabarkan dengan kata-kata. Mereka ... benar-benar tersenyum padaku?

Tes.

Air mata jatuh membasahi daerah mata dan wajahku. Aku berdiri dan terus memandang mereka semua. Tangan kananku terangkat seolah ingin meraih mereka semua. Tidak terasa, semua yang lalui membuatku telah mengenal banyak orang yang mengasikkan. Aneh namun menyenangkan. Apa mereka juga merasakan hal yang sama sepertiku? Apa mereka menerima kehadiranku?

"Ah, kau sangat cantik seperti seorang Putri dalam kerajaan! Sebagai seorang tamuku, kau boleh masuk ke dalam istana Caramelku!"

Zaqtav atau aku lebih suka memanggilnya Talia. Gadis merah muda yang menyuguhiku teh basi.

"Ah, nama yang indah sekali. Mouneletta. Boleh aku memanggilmu Nele?"

Rosel yang tidak pernah bisa menghentikan cara dia memanggilku dengan nama 'Nele'.

"Bodoh! Kau bodoh! Kalau kau pergi, aku akan kembali sendirian! Siapa yang akan menjadi temanku nanti jika kau pergi?? Kau teman pertamaku! Jangan pergi! Aku mohon, jangan pergi .. jangan tinggalkan aku sendirian, hiks."

Celdo. Awalnya dia tidak menerima kehadiranku bahkan ingin membunuhku. Namun semakin lama aku mendekat padanya dan memutuskan untuk menjauh, dia malah tidak ingin aku pergi. Bocah aneh, tapi sebenarnya dia anak yang baik.

"Maaf. Aku adalah pelayannya Tuan Celdo, namaku Jee Wanpa. Kau bisa memanggilku Jee. Aku disuruh Tuan membawakan seikat bunga mawar hitam ke kamar ini."

Jee, pelayan istana Celdo yang dengan senang hati membantu menyisir rambutku sambil mengisi kesunyian dengan obrolan agar tidak membuatku merasa bosan.

"Pertama-tama, lihat dulu dirimu. Kau tampak berantakan dengan percikan darah dan bajumu yang kusut tak beraturan. Kau tidak bisa bertampang begini jika wajahmu cantik seperti itu. Rambutmu juga berantakan."

Victoriye yang dengan senang hati memberikanku sebuah apel merah yang membuat perutku langsung kenyang.

"Aku memang bisa bicara. Kenapa kau terlihat kaget begitu? Semua hewan di Fantasy Land bisa berbicara dan berkomunikasi dengan penyihir secara baik. Apa kau baru tahu itu?"

Kerling yang jika aku dekati, hidungku akan terus bersin tanpa henti. Tapi, dia telah membuatku tahu alergi apa yang aku idap.

"Perpegangan eratlah, Nona. Aku akan menyeberangi sungai yang ada di sana. Sungai itu terdapat banyak sekali ikan hiu yang berkembang biak. Jangan sampai kita gagal melalui sungai itu."

Rissa, kucing sebesar macan yang mengantarkanku dari istana Catteppo ke Akademi Wonderland.

"K-karena Miss Manove baru menjadi wali kelas kami, sa-saya memberikan hadiah sebagai selamat pa-pada Miss!!"

Anna memberikanku coklat batang sebagai hadiah atas kedatanganku menjadi wali kelas 6-A. Gadis yang lembut dan murah hati.

"Miss berhentilah memegang kepala saya. Rasanya aneh sekali."

Alex, saudara Anna yang tidak kalah menyebalkannya dengan Celdo. Ahh, mereka sama saja. Seperti dua kucing yang sedang berkelahi. Namun, aku bisa menilai bahwa Alex sebenarnya anak yang baik.

"Kalau aku lihat kalian blablabla aku tak akan segan-segan untuk melaporkannya."

Brown, gadis coklat yang sampai sekarang membuatku masih tidak mau percaya bahwa dia telah menikah dan mempunyai anak. Dia gadis yang cantik, aku pikir dia seumuran denganku.

Tanpa sadar, semuanya telah mengisi memoriku. Aku ingat semua hal yang aku lalui bersama mereka. Semuanya tidak aku lupakan. Satu uluran tangan menuju ke arahku. Tangan Peter. Dia juga berdiri bersama mereka semua.

Aku mengarahkan tanganku ke uluran tangan Peter. Tanganku menggenggam erat tangannya. Entah apa yang membuatku menerima uluran itu. Namun yang pasti, aku merasa nyaman dengan mereka semua. Mereka seperti bagian dari keluargaku layaknya Ayah dan Ibu.

"Selamat datang di Fantasy Land, Mouneletta Romanove."

👑👑👑

DUG ! !

Aku menghempaskan buku Matematika, empat puluh sembilan lembar soal Matematika yang tersimpan rapi dalam map coklat, dan buku absen yang selalu aku bawa setiap aku akan masuk ke dalam kelas tepat di atas mejaku.

Semua muridku tampak terkejut dan memandangku dengan tegang. Mungkin mereka pikir aku marah pada mereka. Sebenarnya tidak. Aku hanya terlalu bersemangat sampai menghempaskan barang-barang yang aku bawa. Pagi ini terlalu cerah, sampai keringatku menetes duluan sebelum siang tiba.

"BERSIAP-SIAPLAH DENGAN PENA DAN OTAK KALIAN MASING-MASING! UJIAN MENDADAK! AKU AKAN MEMBAGIKAN SOALNYA SEKARANG! KERJAKAN SAMPAI JAM PELAJARAN SELESAI!"

"HAAAAAAHHHH???????!!!!!!!!!!"

Mereka melongo sekaligus terkejut dengan kata-kataku. Aku tidak ingin tahu apa perasaan mereka saat ada ujian mendadak. Tidak pernah mengulang bahkan tidak ada persiapan, mereka mendapat ujian mendadak dariku. Hahaha, sekali-kali aku ingin melihat ekspresi gelisah mereka saat mengerjakan soal.

"Yaa katanya, guru Sejarah kalian masih sakit. Jadi, aku yang akan mengisi jam pelajaran kalian. Oh iya, hari ini aku malas sekali mengabsen kalian. Jadi, sekretaris saja yang akan mengabsen kalian sebelum istirahat. Siapa yang menjadi sekretaris di kelas ini?"

"Miss, dari awal kita masuk sekolah, kita sama sekali belum mendiskusikan tentang struktur organisasi kelas. Jadi, sekretaris kelas belum dilantik. Apa lagi ketua kelasnya."

Seorang murid perempuan lantang membalas kalimatku. Aku berpikir sebentar mengingat hari sejak aku pertama kali masuk ke sini. Sepertinya dia benar. Aku sama sekali belum mendiskusikan tentang organisasi kelas.

"Hmm, kau benar. Kita belum mendiskusikan hal itu. Kalau begitu, kita akan mendiskusikannya sekarang!" seruku lagi.

"Sekarang? Lho? Katanya kita mau ujian?" kata seorang murid lagi. Kali ini laki-laki.

"Ini hanya sebentar. Lagi pula, kita punya waktu seharian untuk ujian. Guru IPA kalian sedang ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan di luar sana. Jadi, jam pelajaran terakhir aku yang akan isi. Ada yang keberatan?" jawabku.

"Tidak ada, Miss!!" balas Anna cepat.

Semua tampak menoleh ke arah Anna dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Mereka heran dengan sikapku hari ini. Biasanya, aku akan langsung mengabsen tanpa basa-basi dan memberikan pelajaran.

"Baiklah. Yoanne, kau jadi ketua kelas saja, ya?" tunjukku tanpa berpikir panjang sambil menunjuk Yoanne yang duduk diam di belakang bersama Celdo.

"Hah? S-s-s-saya? Ta-tapi, Miss--" kata Yoanne sangat gugup karena dia dilihat oleh semuanya.

"Sudah aku tulis namamu. Kau jadi ketua kelas. Kemudian wakilnya siapa, ya? Ah, bagaimana denganmu?"

"Sa-saya?"

"Iya, sudah aku tulis namamu. Terus Celdo, kau yang akan jadi sekretaris kelas. Kau tidak keberatan, bukan?"

"Hahh??? Kenapa saya yang menjadi sekretaris? Saya tidak cocok dengan jabatan itu!" Celdo berdiri dari kursinya dan berusaha memprotes keputusanku.

"Itu karena salahmu punya tulisan yang sangat bagus. Aku sudah tulis namamu. Kau akan mengurus absen setiap hari dan menulis materi pelajaran setiap pelajaran Bahasa. Selanjutnya, siapa yang akan jadi bendahara, ya??"

"Arrgh!!" geram Celdo tampak tidak menerima keputusanku sama sekali. Alex yang melihat itu sedang menahan tawa. Yoanne menghela napas. Aku pura-pura mengotak-atik catatanku sambil memperhatikan semuanya.

Sebenarnya, aku tidak mencatat nama mereka, lho. Aku hanya ingin melihat seberapa banyak mereka kesal padaku. Itu saja tidak lebih.

Saat jam istirahat tiba, sudah dipastikan Celdo datang ke ruanganku dan melanjutkan aksi protesnya. Sementara aku pura-pura sibuk dengan banyak buku yang sengaja aku letakkan di atas meja.

"Aku tidak mau jadi sekretaris!!" Seperti dugaanku, dia memukul meja sambil memekik di depanku.

"Berhentilah mengeluh. Aku tidak menerima protesmu itu. Kalau kau sudah datang, duduklah. Aku akan beri kau pertanyaan sekarang." Tanpa memperdulikan kalimatnya barusan, aku menopang dagu dengan kedua tanganku.

"Pertanyaan?"

"Ya. Pertanyaan."

"Apa maksudmu?"

"Kau tidak ingat? Kemarin, aku menyuruhmu bersiap karena hari ini aku akan memberikanmu banyak pertanyaan. Cih. Kau mulai pikun, ya?" decihku, membuat Celdo tampak tersentak.

"Oke! Aku akan duduk! Cepat! Katakan pertanyaanmu!"

Celdo menarik kursi yang ada di depan mejaku dan duduk dengan kasar. Aku menggeser semua buku di depanku ke pinggir meja agar aku bisa melihatnya.

"Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya satu hal," kata Celdo, membuatku menaikkan kedua alis. "Ada apa denganmu?"

"Ada apa denganku?" ulangku pura-pura bingung dengan pertanyaannya.

"Ya. Ada apa denganmu? Hari ini kau terlihat ... menyebalkan. Kau baik-baik saja? Kau tiba-tiba memberikan kami lima ratus soal Matematika. Lalu, kau membagikan organisasi kelas tanpa berunding, dan kau akan memberikanku pertanyaan."

Aku tersenyum.

"Aku baik-baik saja. Memangnya kenapa? Kau tidak suka?"

Celdo kembali tersentak dan membuang muka.

"Bukannya aku tidak suka!"

"Lantas?"

"Ck! Lupakan saja. Cepatlah sebutkan saja pertanyaanmu sebelum aku berubah pikiran!"

Hihi. Mukanya merah. Oke, pertanyaan pertama.

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top