Bagian 22 : Entahlah
"Pfff—hihihihihi!!"
"Moun, dari tadi kau cekikik-cekikik sendiri ada apa sih?? Coba cerita padaku!" tanya Brown penasaran melihatku terkekeh sendiri di sampingnya.
Saat kami berdua tidak ada kegiatan mengajar, Brown mengajakku ke ruangannya. Ruang guru ini persis sama sepertiku. Hanya saja catnya berwarna coklat, sedangkan aku putih.
Kami duduk di atas meja. Masing-masing memegang kotak susu yang Brown beli di kantin sekolah. Bisa bayangkan dua orang guru duduk di atas meja dengan santainya? Karena itu, Brown mengunci pintu ruangannya agar jika kepala sekolah yang masuk, takkan melihat sikap santai kami.
"Ah, tak apa kok!" jawabku lalu kembali menyedot kotak susuku. "Apa seharian ini, kita hanya akan bersantai terus? Tidak ada kegiatan lain?"
"Huh! Aku tidak mau menjawab pertanyaanmu. Jawab dulu pertanyaanku baru pertanyaanmu aku jawab." Brown memalingkan wajah layaknya orang yang sedang kesal. "Moun!"
Brown memutuskan untuk memanggilku 'Moun' agar tidak merepotkan. Namaku memang panjang, jadi wajar saja jika nama panggilan harus diperpendek.
"Oke! Oke! Aku akan jawab pertanyaanmu!" ujarku kemudian. Brown menatapku berbinar, sedangkan aku tersenyum simpul. "Nah, jadi pas istirahat itu ...."
👑👑👑
Tanganku memegang sebelah wajahnya sebentar. Aku sedikit merendahkan diriku agar bisa sama tinggi dengannya. Melihat wajahnya tampak memanas, aku langsung melepas peganganku dan menjauh ke arah meja kerjaku. Agar aku tidak tertawa lepas, aku memilih menjauh saja.
"Celdo, kau boleh keluar dari ruanganku sekarang," titahku sambil berpura-pura sibuk membaca sebuah dokumen.
Celdo melongo sebentar, kemudian memberiku pertanyaan. "Hah? Bukankah kau bilang kemarin, setelah istirahat aku akan mendapat pelajaran tamba—"
"Pelajaran tambahannya sudah selesai. Dari awal masuk ke sini, kau sedang menikmati pelajaran tambahan dariku. Kau pasti tak sadar akan hal itu. Pelajaran tambahanku padamu bukan sekadar menjelaskan dari otak dan mulut. Melainkan juga melalui hati. Pikirkan. Kenapa tadi kau menangis? Karena kau merindukan Kakakmu. Itu wajar. Jika sedang sedih, kau tidak perlu menahan kesedihanmu sendiri, sebab akan berakibat stres dan emosional tinggi. Maka, aku mengeluarkan segala emosi yang kau sembunyikan dari banyak orang. Sedih, kecewa, marah, semuanya. Itu saja pelajaran tambahanku hari ini. Besok, aku akan memberikanmu banyak pertanyaan. Jadi, bersiap-siaplah," potongku langsung menjelaskan alasan aku menyuruh Celdo keluar dari ruanganku.
Mata Celdo membelalak sebentar mendengar penjelasanku. Dia menatapku ragu. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, terlihat wajahnya tampak resah.
"Letta." Dia mulai memanggilku. Aku menjatuhkan dokumen di tanganku ke meja dan menghadapnya.
"Ya, Celdo? Apa ada hal lagi yang tidak kau mengerti? Aku bisa jelaskan semua yang tidak kau mengerti untukmu. Ayo, jangan sungkan .." kataku selembut mungkin. "Lebih baik bertanya dari pada tersesat di jalan, bukan?"
Celdo menunduk, kemudian kembali mengangkat wajahnya. Dia menatapku serius sekali seakan ingin memusnahkanku melalui matanya. Apa yang akan dia tanyakan? Aku juga ikut menatapnya serius.
"Tentang kejadian yang menimpa Peneloppe kemarin, kau yang menghentikannya, bukan? Atau aku yang salah lihat?" tanya Celdo.
Pertanyaan itu membuatku kembali pada hari kemarin. Di saat aku telah memecahkan kasus siapa pembunuh berantai sekolah di sini dan seharusnya aku telah berada di istana Felice karena urusanku sudah selesai.
Karena murid-murid kelas 6-A ingin aku lama-lama di sini, ya aku jadi tidak tega untuk pergi dari sini. Melihat Anna menangis, juga yang banyaknya mendukung Anna agar aku tidak berhenti menjadi guru mereka. Ahh, mereka itu membuatku terhura dan terharu saja.
"Ya, aku yang menghentikan Peneloppe dengan kekuatanku. Ada apa?" jawabku dan dibalas dengan pertanyaan.
Aku penasaran kenapa dia menanyakan hal itu. Hei, tunggu dulu. Kenapa dia tahu kalau aku yang menghentikan Peneloppe? Apa saat aku sedang bertarung dengan Peneloppe, dia juga ada di sana? Aku yakin semua murid Akademi Wonderland telah ada di ruang makan. Bahkan jauh dari tempat kejadian.
Celdo mengerutkan kening serta alisnya tampak turun. Sedangkan aku menatapnya bingung meminta penjelasan. Kalau dia juga ada di sana, artinya ...
"Kau ada hubungan apa dengan Peter?? Kalian dekat sekali! Waktu itu, dia hampir saja menciummu!" pekik Celdo yang sukses membuat jantungku hampir saja akan copot. Aku jadi teringat kata-katanya pagi ini.
Enyahlah sana! Aku melihat semuanya!
Apa mungkin ini berkaitan dengan kata-katanya itu? Dia ... cemburu padaku? Cemburu?! Hm, tidak mungkin. Tapi bisa saja. Jika benar, aku akan senang. Hei! Ini malah membuatku semakin bingung!
Sudah aku duga dia melihat itu. Memalukan sekali. Argh!! Ingin sekali aku mencekik Peter. Awas saja kalau dia datang lagi ke sini.
"K-kau juga ada di sana? Tapi di mana?? Aku tidak melihatmu ada di sana. Hei! Jika aku boleh katakan ini, aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya! Jangan kau sebut dia lagi. Aku sudah muak dengan lelaki pembohong itu. Dialah yang sudah membuatku ada di dunia mengerikan ini. Kau harus tahu ini. Jika ada laki-laki siapa saja yang ingin melecehkanku, aku tak akan segan untuk menendang bagian 'kejantanannya'. Jadi, kau tidak perlu memandangku orang yang sesat karena nafsu atau apalah itu. Aku akan selalu bersikap mahal pada laki-laki siapa saja yang menginginkanku. Jadi, tolong, jangan bicarakan kejadian kemarin. Lagi pula, dia gagal menciumku karena kekuatanku yang mengamuk oleh emosi. Kau sudah melihat semuanya, kan? Tidak perlu aku jelaskan lagi. Jika kau lihat wajah dan mataku lekat-lekat, kau pasti tahu bahwa aku tidak ingin diperlakukan seperti yang kau bayangkan itu. Jelas sekarang?" cerocosku lumayan panjang.
Dia berusaha menerima setiap kata yang aku ucapkan. Setelah beberapa lama terdiam, dia mengangguk pelan bertanda mengerti. Aku menghela napas lega.
"Maafkan aku sudah menanyakan hal yang tidak penting. Sebagai teman dan juga muridmu, aku berhak untuk khawatir. Tapi setelah kau jelaskan, aku tidak akan bertanya lagi. Aku akan keluar sekarang," kata Celdo membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu untuk keluar dari ruanganku.
"Tunggu dulu, Celdo!"
"Apa lagi sih katanya sudah selesai?"
Aku cepat-cepat berjalan ke arah Celdo yang akan membuka pintu. Tangan kananku menahan pintu yang hampir saja akan terbuka. Aku merangkul Celdo dan mengacak-acak rambut hitam kebiruannya. Dia tidak berusaha melepaskan diri. Sepertinya dia mulai nyaman dengan perlakuanku padanya. Melihat wajahnya merah, aku mencubit sebelah pipinya.
"Ih!! Enak sekali Rosel punya adik semanis dirimu! Aku jadi ingin menculikmu. Celdo mengkhawatirkanku. AAA!!! Senangnya ..." kataku tidak tahan lagi karena dia memang lucu jika berekspresi apa saja. Sudah lama aku tidak bersikap manja padanya.
"Ukh! Letta, bisa kau lepaskan aku sekarang? Aku tidak enak jika kau terus memperlakukanku seperti anak-anak. Aku sudah besar!" protes Celdo yang kini sedang aku peluk dari belakang sambil mengelus-elus rambut Celdo layaknya kucing.
"Hehehe, aku suka yang manis-manis ..." kataku tak jelas seperti orang mabuk sambil masih memeluknya erat.
"Aih, Letta! Sudah cepat lepaskan aku!!" rengek Celdo mulai meronta minta dilepaskan, tapi dia tampak tidak sedang meronta. Dia lemah jika ada di dekatku. Ahh, manisnya. Oke, aku bisa jadi gila jika dia terus ada di sini. Akan aku lepaskan.
"Akan aku lepaskan kau. Tapi dengan satu syarat, berusahalah untuk akrab dengan Alex. Jika aku masih melihat kau berkelahi dengannya, kau pasti tahu apa yang akan aku lakukan padamu."
"Memangnya apa yang akan kau lakukan padaku jika aku tidak bisa akrab dengannya?"
Aku menyeringai sadis mendengar pertanyaan polos itu. Celdo memukul-mukul kedua lenganku yang melilit di tubuhnya karena aku sengaja mengeratkan pelukanku. Sepertinya dia mulai kehabisan napas. Rasakan. Salah dia kenapa mukanya imut begitu. Hahaha!
"Aku akan membuatmu 'tersiksa'. Kau mengerti maksudku, bukan? Tentu saja. Baiklah, sudah aku lepaskan kau," jawabku enteng di sebelah telinganya dan melepaskannya dari dekapanku. "Oh iya, kau temani juga Yoanne. Kasihan kalau dia sendirian. Sepertinya dia ingin berteman denganmu. Buatlah dia nyaman di kelas kita. Ngerti?"
Setelah dilepaskan, Celdo langsung melesat keluar dari ruanganku namun masih ada di depanku. Aku tersenyum miris melihatnya cemberut. Kemudian mendadak tersenyum.
"Baik, Miss Manove!" jawab Celdo dengan senyuman yang bisa saja dikatakan ... indah. Bahkan aku sampai terdiam dan tetap terdiam di depan pintu melihatnya berlari melalui koridor dengan senyum, kemudian menghilang oleh jarak yang jauh.
"Mengenal banyak orang itu menyenangkan. Namun menyedihkan jika mereka menghilang dari kehidupanku. Jika aku yang menghilang, apa mereka akan bersedih untukku?"
Aku pun menutup pintu dan kembali duduk di kursi. Tidak lama setelah itu, ada yang mengetuk pintuku lagi.
"Hai, Moun! Tidak ada kegiatan? Mampir ke ruanganku, yuk! Aku traktir minum."
Oh. Rupanya Brown. Aku mengiyakan ajakannya dan meninggalkan ruanganku yang tidak lupa mengunci pintu terlebih dahulu. Lalu berjalan bersama Brown menelusuri koridor.
👑👑👑
Brown menatapku aneh, sedangkan aku tertawa lepas setelah menceritakan segala yang aku lalui di ruanganku. Sepertinya dia tidak sama sekali menikmati ceritaku atau mungkin dia mulai 'jijik' denganku. Apa peduliku? Yang penting aku senang nan gembira.
"Masih untung. Guru yang menggoda murid, bukan murid yang menggoda guru. Biasanya kalau dalam cerita-cerita romantis gitu, ada banyak alur picisan yang lama-lama bikin bosan. Yaa seperti seorang murid yang mencintai gurunya sendiri. Basi. Kalau guru mencintai muridnya sendiri, eh, tunggu. Rasanya sama saja, deh. Ahh!! Bikin pusing mikirinnya!"cerocos Brown memegang kepalanya yang pusing oleh kalimatnya sendiri. "Kalau aku lihat kalian blablabla aku tak akan segan-segan untuk melaporkannya."
Aku menyeringai sembari mengangkat bahu. "Blablabla? Maksudmu apa? Yang jelas dong!" kataku sok polos.
TING .. TONG ..
Suara bel lonceng. Tandanya, istirahat telah usai. Semua murid pasti segera masuk ke dalam kelas masing-masing untuk menerima pelajaran selanjutnya.
"Aku bisa baca ekspresimu. Kau pura-pura polos," ungkap Brown, membuatku tertawa kencang. Brown hanya tertawa kecil. "Sudahlah cepat habiskan minumanmu. Setelah itu, ikutlah denganku," kata Brown sembari beranjak dari meja.
"Hm? Kau mau mengajakku ke mana?" tanyaku, kemudian kembali fokus pada kotak susu yang aku minum. Sesudah kotak ini terasa ringan dan hanya angin yang aku sedot, aku langsung meremas sampah ini dan ikut beranjak. "Apa kau tidak ada kegiatan setelah jam istirahat?"
"Tidak ada. Kau ikut saja. Setelah itu, kau pasti akan tahu sendiri," jawab Brown berjalan lebih dulu ke pintu dan keluar setelah itu aku.
Saat bertemu tempat sampah, aku dan Brown membuang kotak susu kami ke dalam sana. Brown memasukkan sampahnya dengan cara yang biasa, menghampiri dan membuang sampah. Kalau aku? Belum dekat dengan tempat sampah, aku melempar kotak susuku melesat ke dalam sana. Dan ... ya! Masuk!
Kami pun kembali melalui banyak pintu kelas beserta murid-murid yang beraktivitas di luar sini. Ada yang masih ngumpul walaupun bel sudah berbunyi, jalan sendiri, berdua, bertiga, berempat, dan lain-lain menuju kelas. Suasana koridor sekolah dengan banyak murid memang tidak bisa dihilangkan.
"Moun."
"Ya?"
"Kau suka Celdo?"
"Aku suka keimutannya!"
"Bukan itu maksudku!"
"Terus apa?"
Brown tersenyum ringis padaku. Sedangkan aku hanya mengangkat bahu tidak tahu maksud.
"Kau punya perasaan dengan Celdo? Atau kau hanya menyukai laki-laki yang menurutmu terlihat lemah saja?" Brown memperjelas pertanyaannya. Oke, aku mengerti sekarang.
"Wah, apa ini? Kau sedang menginterogasiku? Atau kau sedang menyindirku sekarang? Oke, kau boleh mengatakanku jijik, mesum, brengsek, sialan, atau apalah terserah! Jika kau hanya menanyakan tentang perasaanku, aku akan jawab." Aku berhenti melangkah, begitu juga dengan Brown.
"Apa jawabanmu?" Brown menekanku seraya menatapku serius.
"Sebenarnya, aku benci membicarakan tentang perasaan cinta. Kau tahu, bagiku itu tidak mengasikan. Aku berbuat seperti itu pada Celdo bukan karena yang kau pikirkan sekarang. Aku menyukainya, tapi bukankah perasaan yang dinamakan cinta itu terlalu murah untuk dijadikan sebagai pertanyaan?" kataku, membuat Brown terlihat bingung mendengar kalimatku.
"Kau bilang, pertanyaanku itu ... terlalu murah? Apa maksudmu?"
Aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Sedangkan Brown terdiam bingung melihatku.
"Kalian semua menganggap jarak dekat antara laki-laki dan perempuan itu adalah cinta. Ha. Lucu. Namun, bagiku itu bukanlah cinta. Tapi bagiku, itu adalah sebuah inspirasi. Aku telah terispirasi dengannya. Terinspirasi untuk terus bahagia, bukan hanya terus memikirkan masa lalu dan dendam."
Brown membelalak seakan takjub dengan kalimatku yang kelihatan sedikit berlebihan itu. Mungkin. Tapi menurutku, apa yang aku katakan itu benar adanya. Dia kembali tersenyum padaku. Kali ini senyumannya terlihat beda.
"Sama saja."
"Apa?"
"Kataku sama saja."
"Apa yang sama?"
"Kau bilang, kau terinspirasi dengannya. Sama saja, kau menyukainya."
Aku menghela napas. "Entahlah. Terserah kau saja."
Brown terkekeh melihatku memasang wajah cemberut. Setelah itu, tangan kanannya memegang satu kenop pintu di depan pintu yang sejak tadi kami berdiri di depannya.
"Kita sudah sampai," ungkap Brown yang hampir saja aku akan bertanya.
Suara decitan khas pintu terdengar merdu saat Brown mendorong pintu sembari masuk ke dalam. Begitu juga aku mengikutinya dari belakang.
Dan ... wow! Ruangan macam apa ini? Seperti tempat khusus untuk berlatih pedang. Aku ternganga sebentar sembari melihat sekeliling. Ada banyak macam pedang yang tergantung di dinding, orang-orang yang mungkin guru-guru Akademi Wonderland yang sedang tidak ada jam mengajar, dan murid-murid juga sedang memainkan pedang mereka dengan lawan masing-masing. Oke, sudah jelas ini adalah ruangan khusus untuk melatih pedang. Aku takjub dengan sekolah ini.
Aku tersenyum melihat ada Alex dan Anna sedang saling lawan dengan pedang mereka dari jauh. Anna segera melakukan gerakan menusuk, namun sayangnya Alex memutar serangan Anna hingga pedangnya jatuh dari tangan. Anna kembali mengambil pedang dan berdiri.
"Itu murid-muridmu?" tanya Brown padaku. Aku membalasnya dengan mengangguk. "Hampiri mereka."
"Tentu saja," balasku dan segera berjalan ke arah Alex dan Anna diikuti Brown di sampingku.
Anna melihat kedatanganku, langsung melempar pedangnya asal dan memelukku. Brown tampak terkejut dengan reaksi Anna. Aku hampir saja akan mengeluarkan sapaanku pada mereka.
"Hai, Miss Manove! Miss mau latihan pedang juga?" sapa Anna dan melepas pelukannya.
"Hai juga, Anna. Lho? Kalian tidak pergi ke dalam kelas?" sapaku balik.
"Anu, pelajaran jam ke 6 dan 7 kosong karena guru Sejarah sakit. Jadi, kami boleh ke mana saja asal jangan ke asrama," jawab Anna yang dibalas dengan anggukanku.
"Anna! Pedangmu hampir saja akan mengenaiku!" pekik Alex juga ikut menghampiriku. "Lempar asal saja! Kau pikir pedang itu mainan??"
"Huh. Maaf," balas Anna menatap saudaranya dengan malas, kemudian kembali ceria saat kembali menoleh ke arahku dan Brown. "Oh! Bu Brown juga ada di sini?"
Bu? Apa tidak terlalu tua bagi Brown jika dipanggil 'Bu' dalam usia muda? Apa Brown sudah menikah? Aku tidak yakin.
"Hei, kau baru saja dipanggil 'Bu'. Apa kau tidak keberatan dengan hal itu?" bisikku ke telinga Brown tanpa menoleh ke telinganya agar tidak ketahuan oleh Anna dan Alex bahwa aku sedang berbisik.
"Tidak. Lagi pula, aku sudah menikah. Umurku 25 tahun," jawab Brown. Oke, ini membuatku kaget. Tapi sepertinya dia tidak berbohong. "Dan aku sudah punya anak."
Jawaban terakhirnya itu membuatku semakin terkejut saja. Aku berusaha menghilangkan rasa terkejutku dengan senyum. "O-oh."
Entah kenapa sekarang aku jadi sedih pada diriku sendiri. Aku pikir dia seumuran denganku karena dia cantik dan bersinar layaknya seorang Dewi. Dan aku pikir dia belum menikah. Dia bahkan sudah punya anak. Kalau umurku nanti 25 tahun, apa aku masih tetap cantik seperti dia? Semoga saja.
Tiba-tiba saja sebuah pedang melayang padaku. Dengan setengah takut setengah berani, aku menyambut pedang itu dengan tangkapan yang tidak terduga. Tangkapan yang sempurna.
"Miss bisa main pedang, kan?" tanya Alex. Rupanya dia yang melempar pedang ini. Dasar. Dia yang mengomel pada Anna karena lemparan pedang Anna yang hampir mengenainya, malah dia juga ikut lempar pedang. Mereka kompak. "Saya ingin melawan Miss. Bolehkah?"
Aku berjalan menghadapnya, seakan sedang menantangnya. Alex tampak tersenyum sadis padaku, begitu juga aku. Sepertinya ini akan sengit. Hiburan baru lagi.
"Dengan senang hati."
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top