Bagian 21 : Air Mata Lagi
"Hm .." gumamku sambil melihat nama-nama semua murid kelas 6-A di buku absen. "Kalian diamlah. Aku akan membagi nomor kamar kalian. Satu kamar kali ini tidak berdua, melainkan bertiga. Sambil itu, aku akan mengabsen kalian."
Dari awal, mereka semua sudah diam lebih dulu. Tidak ada yang membuat keributan. Sebagian besar memperhatikanku berdiri membelakangi papan tulis. Sisanya tampak tak acuh. Yang penting tidak menimbulkan berisik.
Aku heran kenapa Celdo tampak tidak menerima kehadiranku hari ini. Di pojok sana, dia duduk dengan menopangkan dagu sambil melihat luar jendela. Mungkin aku akan meminta kepala sekolah melenyapkan jendela kelas dan mengubahnya menjadi dinding polos. Jadi, dia tidak akan bisa lagi memalingkan kepalanya dari gurunya sendiri.
Berkat mengabsen, aku jadi hampir mengingat semua muridku. Mulai dari wajah dan nama. Aku bisa mengingat mereka. Saat aku lupa nama mereka, besoknya aku kembali mengabsen mereka dan ingat lagi. Benar-benar membantu.
"Eh?" Aku merasa janggal setelah melihat nomor absen sampai akhir. Aku yakin, kemarin jumlah muridku ada 48 karena Peneloppe telah keluar dari Akademi. Tapi, ini masih berjumlah 49. Dan nama Peneloppe tidak ada di absen.
Ada satu nama yang tidak pernah aku baca bahkan terlihat di dalam absen sebelumnya. Yoanne Terhex, absen terakhir. Dan aku tak mau ambil pusing.
"Ya .. karena laki-laki tidak boleh satu kamar dengan perempuan, dan jumlah kalian ada 49, Anna akan satu kamar dengan Yana di kamar nomor 312. Kemudian Alex, kau akan sekamar dengan Celdo dan Yoanne. di kamar nomor 444. Sudah jelas semuanya? Apa perlu aku ulang?"
Alex yang duduk di barisan tengah tampak menatap tajam ke arah Celdo yang duduk di belakang. Celdo masih menopang dagunya, namun matanya yang awalnya melihat ke jendela langsung menatap tajam Alex. Petir seakan menghantam belakang mereka. Serta aliran listrik yang berlawanan dari mata mereka sama sekali tak luput. Itulah yang aku lihat sekarang.
Aku menggabungkan mereka berdua dengan sengaja. Mungkin jika mereka akan satu kamar nanti, mereka bisa akur lebih cepat. Itu saja, tak lebih. Oke, abaikan saja mereka.
"Ehm." Aku berdeham sebentar. Kemudian kembali memperhatikan semua murid. "Yang namanya Yoanne Terhex, maju ke depan."
Salah satu murid berdiri dari kursi. Lalu berjalan meninggalkan kursi berdiri di depan kelas. Rupanya dia sekursi dengan Celdo. Wajahnya malu-malu saat dia berjalan ke depan dan berdiri menghadap semua yang tengah duduk memperhatikan. Rambutnya sebahu berwarna putih dan matanya berwarna merah sepertiku.
Hei. Aku pikir dia perempuan. Rupanya laki-laki. Tapi dibuku absen, jenis kelaminnya laki-laki. Dia memakai celana panjang dan dasi memanjang berujung. Sedangkan perempuan tentu saja memakai bawahan rok selutut dan dasi berpita. Mungkin dia blasteran.
"Kau yang namanya Yoanne?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk canggung. "Oke, kau perkenalkan diri pada kami semua. Sebutkan nama dan alasan kau pindah ke Akademi Wonderland."
Kepalanya mengangguk lagi mengiyakan suruhanku. Dia lumayan tinggi, kira-kira sama dengan tinggiku. Tak lebih, hanya saja wajahnya manis seperti perempuan. Semoga dia benar-benar seorang lelaki.
Yoanne memalingkan kepala dariku dan menatap semua teman sekelasnya dengan canggung. Rona merah menghias wajahnya. Dan entah kenapa aku malah ingin tertawa melihat itu. Ah, guru yang keterlaluan.
"Hai. Na-namaku Yoanne Terhex. Alasan aku pindah sekolah di sini karena beasiswa yang aku dapatkan atas prestasiku di sekolah yang dulu. Aku hanya satu tahun belajar di sini, tapi aku akan sebaik mungkin berteman dan belajar bersama dengan kalian di sini. Terima kasih!"
Aku tersenyum dan memegang puncak kepalanya. Yoanne sangat terkejut saat kepalanya dipegang. Tanganku selalu gatal saat melihat laki-laki menampakkan rona merahnya. Seakan itu menjadi sebuah hiburan baru bagiku.
"Beasiswa? Kau murid yang berprestasi rupanya. Tak ada yang bertepuk tangan untuk Yoanne kita?" sambutku dengan meriah, kemudian dibalas dengan tepuk tangan ramai semua murid.
Alex dan Celdo tampak bertepuk tangan dengan kemalasan dan masih saling menatap musuh. Sesekali Anna menyikut Alex untuk bertepuk tangan lebih kencang. Sayangnya Alex tak peduli.
"Yoanne, kau boleh duduk. Kita akan segera memulai pelajaran Matematikanya. Apa ada yang keberatan dengan pembagian kamar? Tidak ada? Tentu saja. Baiklah langsung saja kita mulai pelajaranny—"
"Aku keberatan! Aku tidak mau sekamar dengannya. Tidak mau!!" rengek Alex tiba-tiba beranjak dari kursi, menimbulkan decitan kursi yang terdorong ke belakang sembari menunjuk Celdo.
"Aku juga tidak mau sekamar dengannya! Izz! Amit-amit!" kata Celdo tidak kalah judesnya dengan Alex. Dia juga ikut beranjak dari kursi.
Aku menghela napas berat sambil memegang kepalaku yang mulai berdenyut karena pusing. Anna juga tampak pusing melihat kembarannya mengamuk. Yoanne yang sudah duduk kembali di kursinya, terlihat risih karena dia merasa berada di tengah. Kenapa harus ada murid merepotkan seperti mereka berdua sih?
"Kalian berdua kalau mau berkelahi, di luar saja sana! Di sini orang-orang pintar ingin belajar! Sudahlah! Pokoknya kalian harus sekamar! Kalian harus cepat-cepat akur! Jika aku melihat kalian berargumen seperti ini lagi, aku akan mengurangi nilai sikap kalian! Kalian kena hukuman! Sekarang juga keluar dari kelasku! Hari ini, kalian tidak boleh belajar! Main saja sana di luar!!"
"Tch! Ini gara-gara Celdo brengsek!" ucap Alex pelan namun bisa terdengar sampai ke telingaku sambil membuang muka berlalu meninggalkan kelas.
"Cih. Sialan," ucap Celdo pelan ikut keluar dari kelas. Matanya sempat menatapku penuh kemurkaan. Oke, aku sudah mendapat dua murid pembawa masalah. Celdo dan Alex.
Setelah kejadian itu, semua muridku yang duduk mendadak diam dan memperhatikanku dengan serius. Aku tahu kenapa mereka memasang wajah tegang seperti itu. Tidak perlu heran.
"Baik. Keluarkan buku Matematika kalian. Yana, tolong bagikan buku latihan Matematika kalian. Setelah itu, aku akan memberikan soal yang baru."
👑👑👑
Jam istirahat. Pelajaran Matematika telah berakhir oleh lonceng yang berbunyi nyaring. Aku menutup pelajaran yang disuguhi dengan ucapan terma kasih oleh semua muridku kecuali Celdo dan Alex yang masih berada di luar. Aku membalas mereka dengan senyum dan memberi pesan pada mereka untuk lebih giat belajar.
Keluar dari kelas, mendadak Brown telah ada di hadapanku. Aku terlonjak dan mengelus dada karena sangat terkejut. Hampir saja aku menabrak pintu kelas dari belakang.
"Kau ingin mengantarkan buku itu ke ruang tata usaha?" tanya Brown langsung ke bagian topik tanpa basa-basi. "Setelah itu, kita bisa makan siang bersama?"
"Um, maaf Brown. Setelah aku mengantar buku data kamar dan absen, aku tidak bisa makan bersama denganmu. Ada yang harus aku kerjakan di ruanganku. Tak apa, kan?" jawabku.
"Hm, kau kelihatan sibuk. Baiklah, aku akan mengumpulkan buku biru dan absennya untukmu. Kau ke ruanganmu saja," kata Brown seraya merampas dua buku berbeda warna sampul dan tanpa judul yang aku pegang.
"Kok? Tidak apa, aku bisa mengantar ini sendiri. Aku tidak ingin merepotkanmu," tolakku tak nyaman jika Brown yang mengantarkan dua buku itu sendiri.
"Ah, santai saja denganku. Ini tidak merepotkan. Aku pergi dulu, dah!" pamit Brown langsung melesat pergi meninggalkanku.
Ya sudahlah. Jika dia tidak keberatan mengantarkan dua buku itu ke ruang tata usaha, aku hanya akan mengucapkan terima kasih.
Aku berjalan menelusuri koridor dan sampai di ruanganku. Langsung saja aku menghempaskan diriku di kursi hitam empuk yang selalu aku duduki saat tidak mengajar. Kupejamkan mataku sejenak. Dan suara ketukan pintu dari luar membuatku membuka mata.
Tok! Tok! Tok!
"Masuklah," jawabku pada ketukan pintu ruanganku. Melihat orang yang mengetukkan pintu itu masuk, aku langsung menyambutnya dengan senyum. "Aku pikir kau tidak akan datang ke ruanganku."
Celdo Phantrom masuk ke dalam ruanganku dan menutup pintu kembali dengan keras. Lalu menatapku horror. Aku hanya mengangkat kedua alis dan menatapnya santai.
"Aku tidak mau sekamar dengannya!!" kata Celdo langsung ke bagian permasalahan. Masih protes rupanya. Dia sampai memukul mejaku yang sama sekali tak berbuat kesalahan.
"Kau tidak mau sekamar dengan Alex dan Yoanne?" tanyaku memastikan.
"Kalau dengan Yoanne aku tidak keberatan. Tapi, bisakah aku tidak satu kamar dengan Alex? Dia itu .. argh!!"
Aku menatapnya bingung. Hampir saja dia akan mengatakan alasan dia membenci Alex. Membuatku penasaran saja. Sebenarnya, ada apa dengan keluarga Phantrom dan Edelexia? Memangnya, masalah apa sampai mereka bermusuhan? Aku jadi teringat pembicaraanku dengannya kemarin.
"Kalau masalah Alex, dari dulu aku dan dia memang tidak bisa bersatu. Keluarga Phantrom dan Edelexia bermusuhan dari dulu bahkan saat aku masih belum lahir."
"Kenapa bermusuhan? Apa kau tahu masalahnya? Kalau tahu, kau bisa jelaskan itu padaku?"
"Maaf, aku tidak bisa jelaskan alasannya padamu. Itu rahasia yang harus kami jaga agar semua orang termasuk Presiden tidak mengetahui ini. Dan seharusnya, aku tidak memberitahumu kalau keluargaku dengan keluarga Alex tengah bermusuhan. Tapi karena kau adalah guruku, aku tak bisa membantah pertanyaanmu. Untuk alasannya, aku tidak bisa menjawab."
Mereka memang membuatku penasaran. Tapi, aku tidak tertarik untuk masuk ke dalam masalah mereka. Itu masalah mereka, bukan masalahku. Aku pun juga punya masalah. Masalah harus selesaikan sendiri.
"Kau harus sekamar dengannya."
"Kenapa?"
"Agar kalian berdua cepat akrab. Lalu berteman baiklah dengan Yoanne."
"Tch! Aku tidak bisa."
"Tentu saja kau bisa."
"Bagaimana caranya?"
"Makanya aku sengaja membuatmu sekamar dengan Alex agar kau selalu bertemu dengannya seharian dan cepat akrab. Jadi, cara yang paling ampuh adalah membuatmu sekamar dengannya."
"Sudah aku bilang tidak ingin sekamar dengannya!!"
Tanganku mengacak-acak rambut perakku seraya menghela napas berat. Tak aku sangka rupanya memusingkan juga punya murid keras kepala seperti ini. Kepalaku sudah berat dan pusing. Aku seharusnya pergi dan makan siang bersama Brown dari pada harus berurusan dengan murid menyebalkan seperti dia. Apa boleh buat. Aku harus membuatnya menurut padaku.
"Kau lupa dengan pelajaran sosialisasiku saat aku tinggal di istanamu?" tanyaku, kali ini suaraku mengeras karena emosi.
Celdo berdecih dan membuang muka. Ha. Aku tahu itu, dia pasti tidak akan melupakan hari-hari itu sejak aku tinggal di istananya. Wajahnya tampak gelisah.
"Aku ingat pelajaranmu waktu itu. Aku harus tersenyum," lirih Celdo, kemudian kembali kencang. "Tapi—"
"Berhentilah menggerutu. Kau pikir aku hanya akan memperhatikan satu atau dua murid saja? Aku bukanlah guru yang egois. Semua muridku adalah anak-anakku. Termasuk kau, Celdo. Aku berbuat seperti ini karena ingin memberikan yang terbaik untukmu. Aku sempat bertemu dengan Kakakmu, Rosel. Dia merindukanmu karena lama tidak bertemu denganmu. Dia berharap kau mengirimkan surat untuknya. Tapi, karena sifatmu, kau tidak menghiraukannya. Kau egois, Celdo. Kau pintar dalam pikiran, namun tidak pintar dalam hatimu sendiri. Aku kecewa denganmu," lantunku.
Lho? Kenapa tiba-tiba aku membicarakan Rosel? Apa nyambung dengan masalah yang kami bicarakan sekarang, ya? Sepertinya tidak. Atau mungkin iya. Tapi aku harus memberitahukan kabar apapun tentang Rosel pada adiknya. Itulah isi pikiranku saat ini.
Dia mengepalkan dua tangan sembari menunduk di depan mejaku. Sementara aku masih duduk di kursi sambil bertopang dagu menunggu reaksinya. Mataku bisa melihat kepalan tangannya semakin kuat. Apa lagi yang harus aku katakan padanya jika setelah ini dia tetap kembali protes? Harus aku akui, ini merepotkan.
"Kakak selalu memberiku banyak surat," kata Celdo pelan, namun aku masih bisa mendengarnya walaupun terdengar tipis. Dia masih menunduk.
"Lalu, kenapa kau tidak membalas semua surat kakakmu itu??" tanyaku tak habis pikir. "Sesekali, luangkan waktumu untuk menjawab semua suratnya. Dia itu kakakmu!! Bersyukurlah karena kau masih ditemani oleh satu anggota keluargamu!!!"
Aku benar-benar meluap sekarang. Napasku tersenggal-senggal karena berbicara terlalu keras. Diriku sampai berdiri dari kursi, memukul meja karena emosi yang menjalar.
Sungguh, sebenarnya aku iri dengan Celdo. Dia masih punya satu anggota keluarga, yaitu Rosel. Kakaknya itu selalu memberikan banyak surat untuk menanyakan kabar dan segala macam. Sedangkan aku? Aku hanyalah anak semata wayang orang tuaku. Dan mereka berdua sudah tiada. Tidak ada lagi yang mengkhawatirkanku. Tidak ada lagi yang mengucapkan selamat pagi padaku saat aku bangun dari tidur. Tidak ada lagi yang mengucapkan selamat malam saat aku tidur. Dan tidak ada lagi yang namanya kebahagiaan. Yang ada hanyalah darah. Juga pedang serta pembunuh bajingan itu.
"Kau tidak akan mengerti kenapa aku tidak bisa membalas semua suratnya," jawab Celdo, masih lirih. "Surat itu terlalu banyak. Dan yang paling susah saat aku akan menjawab semua surat itu. Aku tidak tahu apa yang harus aku tulis untuk membalas surat Kakak. Satu kata pun tak bisa aku tulis dengan yakin. Sesekali, aku mencoba menulis, namun akhirnya aku meremas kertas itu dan membuangnya. Jika dipikirkan, semakin sulit untuk mengungkapkan jawabanku. Jadi aku putuskan untuk tidak membalas dan menyimpan semua surat Kakak. Aku tak membuangnya. Malah, semua surat Kakak membuatku terhibur. Tidak ada yang menanyakan kabarku selain Kakak. Dia pasti sedih karena aku tidak menjawab semua suratnya. Aku juga kecewa pada diriku sendiri. Itu benar, aku payah sekali. Kalau misalnya Kakak sedang ada di sini, aku akan minta maaf padanya karena tidak memberi kabar. Terakhir bertemu, mungkin tiga tahun yang lalu sejak Presiden menyuruh kami tinggal secara terpisah. Dan itu pelukan yang terakhir. Kami tidak diizinkan Presiden bertemu karena aku telah beranjak dewasa dan harus bisa hidup seorang diri. Peraturan yang harus dipenuhi oleh seluruh penghuni Fantasy Land dan itu tidak bisa dibantah."
Setelah dijelaskan, aku mengerti sekarang. Emosiku sudah turun karena penjelasan itu. Ditambah dengan kedua bahu Celdo sedikit bergetar. Entah kenapa, kini aku yang merasa bersalah. Apa aku terlalu berlebihan membentaknya sampai dia berusaha menahan tangis? Aku tidak bermaksud bersikap kejam padanya. Sepertinya aku memang terlalu berlebihan.
"Ce-Celdo, kau tidak apa-apa, kan?" tanyaku khawatir sambil berjalan menghampirinya. Aku menengok wajahnya yang masih tertunduk dengan merendahkan tubuhku agar bisa sama dengan tingginya. "Ja-jangan masukkan ke dalam hati. Aku hanya ingin kau sadar dan bisa akur dengan Al—"
"Hiks."
Suara dari Celdo itu membuatku terdiam sesaat. Kemudian, aku mendadak berdiri tegak. Aku panik sendiri dan menjerit tidak jelas.
"TIDAK!!!!! CELDO!! AKU TIDAK BERMAKSUD KEJAM!!! TOLONG JANGAN LAPORKAN INI PADA KAKAKMU ATAU KEPALA SEKOLAH!! AKU TIDAK SENGAJA MEMBUATMU TERTEKAN!!"
"BUKAN ITU SEBABNYA DASAR BODOH!!" teriak Celdo membalas sambil mengangkat wajahnya. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kini matanya tampak berkaca-kaca.
"Lantas, apa yang membuatmu sedih?" tanyaku masih bingung seraya memiringkan kepala.
"Aku tidak sedih. Aku pikir, Kakak mulai membenciku karena tidak membalas semua surat-suratnya. Ternyata, dia malah semakin mengirim banyak surat setiap harinya saat aku sedang libur sekolah dan merindukanku. Aku juga merindukannya. Dan Letta, terima kasih sudah memberitahuku. Kapan kau bertemu dengannya? Apa dia baik-baik saja?" jawab Celdo yang diiringi dengan buliran air mata di mata kirinya.
Dia seperti sedang bersedih, namun dia mengatakan kalau dia tidak sedih. Air mata bahagia? Aku tidak yakin. Kecuali jika dia bertemu dengan Rosel sekarang, aku pasti sudah menjawab kalau air matanya itu adalah bahagia. Bukan duka.
"Aku sudah bertemu dengannya dua kali. Dia baik-baik saja, kok. Jangan khawatir," ucapku kembali merendahkan tubuh dan mengusap air matanya. "Ayolah, jangan sampai ruanganku banjir oleh air matamu."
"Hahahaha! Sebanyak apapun aku menangis, tidak akan mungkin banjir, kok! Tenang saja," balas Celdo langsung tertawa mendengar kalimatku.
Aku memang bermaksud menghiburnya dengan sedikit lawakan. Ternyata berhasil. Tapi, aku malah tidak ikut tertawa. Setelah tertawa sebentar, dia kembali menangis. Bahkan semakin parah.
"Celdo, jangan mena—"
"Kau pasti mengerti perasaanku sekarang, bukan?"
Secara otomatis tanpa banyak diam, aku langsung mendorong punggung dan kepalanya ke dalam pelukanku. Meraih tubuhnya untuk sementara. Sekali lagi, dia menangis. Namun dengan alasan yang berbeda. Wajar saja dia menangis karena sudah tiga tahun lamanya terpisah dengan saudara sendiri. Jika aku menjadi dia, mungkin aku juga akan sama sedihnya.
Apalagi jika dia kini tidak mempunyai siapa-siapa lagi, mungkin air matanya telah menjadi warna merah. Dia masih beruntung. Sedangkan aku harus membalaskan kematian orang tuaku. Dan itu tidak bisa ditarik kembali.
Hati Celdo dan Rosel lebih kuat dibandingkan aku. Hatiku hanya ingin mengatakan untuk mencari pembunuh orang tuaku dan membalaskan dendam. Dari awal, jiwaku sudah kotor karena dendam yang membara.
Jika misalnya aku menjadi Celdo. Memisahkanku dengan Rosel oleh Presiden sang pemimpin Fantasy Land, sudah pasti.
Aku akan membunuh orang yang dinamakan Presiden itu.
"Aku mengerti."
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top