Bagian 20 : Sebenarnya Aku Ini Siapa?

Orang lemah tidak selamanya lemah. Jika ada keajaiban, maka aku akan menganggap itu gila karena keajaiban yang aku maksud adalah kekuatan seorang penyihir.

Aku masih tidak mengerti walaupun aku pernah membaca buku fiksi berlatar fantasi yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang suka berimajinasi tentang hal-hal yang mustahil terjadi.

Juga dunia ini. Apa ini benar-benar dunia? Ataukah, hanya mimpi yang terasa tampak nyata? Bahkan, aku terlalu menikmati perjalananku di dunia ini. Bukan menikmati, lebih tepatnya, hal-hal mustahil itu telah mempelajariku satu hal.

Kelemahan bukan untuk dipamerkan. Kelemahan bukan berarti aku lemah. Kelemahan adalah kekuatanku. Kekuatan yang berasal dari kelemahan. Kelemahan itulah yang membuatku bisa bertahan.

Itulah dirimu, Mouneletta Romanove. Kau telah menjadi dirimu yang sesungguhnya. Kau menyukai apel sampai kau memakannya sampai habis. Apa yang akan kau inginkan, kata-kata ataupun semua yang kau lakukan itu adalah benar dan tidak mustahil. Jadi, percayalah pada dirimu sendiri. Maka takdir yang awalnya mengerikan bisa kau balik menjadi sebaliknya! Itulah dirimu.

Diriku yang sesungguhnya telah bangkit.

Aku akan memberi gadis berkucir dua ini pelajaran. Di mana kekuatanku? Aku memerlukan kekuatan. Jika aku dinamakan penyihir di sini, artinya aku juga mempunyai kekuatan, bukan? Sama seperti mereka, namun bukan api. Melainkan kekuatan es merah.

CRACK!!

Beberapa bongkahan es merah keluar dari bawah lantai. Lebih tepatnya dariku. Es kristal berujung tajam yang mungkin jika mengenai ujungnya, akan terluka.

Tentu saja lelaki bermata merah itu menjauh dariku karena es ini hampir saja akan mengenainya. Lihat, aku amatir jika mengendalikan kekuatan. Kalau begini, aku harus fokus. Sasaranku hanyalah Peneloppe. Namun, aku tidak berniat membuatnya mati. Dia masih sekolah, aku tidak ingin kematiannya secepat itu.

Walaupun dalam sisi gelapku, baiknya dia dienyahkan saja.

Ah, akhirnya aku ingat siapa lelaki ini. Sora Delfidius. Dia adalah orang yang memasukkanku ke dalam dunia ini. Dan aku baru tahu kalau dia sebenarnya bukan terlahir sebagai manusia bangsawan Delfidius di duniaku, melainkan berdarah penyihir di Fantasy Land. Dan lagi, Peneloppe itu saudaranya? Mereka tidak mirip sama sekali, tapi rambut mereka sama-sama hitam dan mata mereka merah.

Satu es menggores lengan kiri Peneloppe. Dia meringis dan menjauh dari es tajamku. Sempat dia mengambil gunting hitamnya yang tergeletak di lantai dan tiba-tiba saja guning itu berubah wujud menjadi sebuah gunting raksasa.

Sepertinya cermin Doorfan juga ingin beraksi. Tapi, aku mengurungkan niat benda ini mengubah wujud menjadi pedang. Aku ingin mencoba menggunakan kekuatanku ini. Jika boleh, aku mulai menyukai kekuatanku ini. Karena keren.

Peneloppe membalas seranganku dengan melemparkan bola api yang dia kumpulkan di tangannya. Aku ingat kekuatan teleportasi yang diberikan Celdo. Lantas aku menggunakan kekuatan itu untuk menghindar. Alhasil, aku tidak mengenai serangannya. Sora tampak terkejut melihatku berpindah tempat tanpa bergerak dari tempat asal.

"Oh, kekuatanmu adalah es, ya? Boleh juga. Kalau begitu, kau bisa menghentikan ini?" ucap Peneloppe angkuh. Api mulai mengelilingi benda tajam itu. Kemudian menebas es merah yang melukai lengan kirinya tadi menjadi hancur dan meleleh. Melihat itu, suatu rencana terlintas di dalam kepalaku.

Aku sedikit berjongkok lalu kedua tangan menyentuh lantai. Bertepatan dengan itu, es runcingku kembali tumbuh dengan jumlah yang lebih banyak mengepung Peneloppe di sana.

Dia segera menghancurkan es-esku dengan bantuan gunting jumbonya dengan cara menebas. Sambil melihatnya sedang melenyapkan esku, aku kembali mengulang aksiku, yaitu membuat es yang tumbuh lagi di hadapannya. Seperti itu saja yang kami lakukan.

Berusaha aku menahan tawa.

Sora kelihatannya bosan melihat kami terus menyerang tanpa ada aksi yang bagus untuk dipertontonkan. Ini juga bukan latihan drama ataupun berada dalam film fantasi. Aku hanya ingin ini cepat-cepat selesai, karena perutku sudah sangat lapar.

Beberapa orang yang aku temui di dunia ini, aku disebut sebagai seorang penyihir bermata merah yang terkuat. Namun, aku merasa tidak sama sekali tersanjung dengan hal itu. Rasanya tak cocok jika aku memang seorang penyihir, kenapa aku bisa ada di dunia manusia? Bukannya tinggal di Fantasy Land? Apa yang sebenarnya orang tuaku sembunyikan dariku? Bahkan orang tuaku sama sekali tidak pernah menceritakan hal ini padaku.

Atau mungkin, mereka bukan orang tuaku? Itu tidak mungkin. Ha. Tentu saja tidak. Mereka telah membesarkanku sejak lahir dan tugasku sekarang adalah berbakti kepada orang tua dengan cara mendoakan mereka dan membalas dendam kematian orang tuaku.

"Hahh ..." Peneloppe mulai terengah-engah karena sudah terlalu banyak es yang dia hancurkan. Dia kelelahan. Bagus. Dia lengah.

"CERMIN DOORFAN!" teriakku mengarahkan tangan kiriku ke arah Peneloppe.

Senjata rahasiaku, cermin Doorfan beraksi. Aku membayangkan benda yang sedang menjadi cincin perak di jari manis kiriku ini menjadi sesuatu yang bisa mengikat Peneloppe agar segera dihentikan.

Cermin Doorfan mengubah wujud menjadi sebuah rantai panjang mengikat tubuh Peneloppe. Gunting itu terlepas dari genggaman dan kembali berubah menjadi sebuah gunting pada umumnya.

Aku berjalan ke arahnya terikat dan mengambil gunting kesayangannya itu. Lalu mengarahkan gunting itu ke depan mata ungunya sambil menyeringai kemenangan. Sedangkan dia menatapku penuh dendam.

"Skat Mat!"

👑👑👑

Siapapun bisa menjadi seorang pembunuh. Selama masih ada kata hidup dan mati, pembunuhan pasti tidak akan luput dari kehidupan. Tidak tahu kapan akan mati dan dalam bentuk apa akan mati aku tidak tahu. Yang jelas, hidup takkan berarti tanpa adanya mati. Aneh, ya? Abaikan saja.

Sambil menyeruput segelas coklat hangat yang Sora sodorkan padaku, aku melihat ada banyak petugas polisi berseragam merah lengkap dengan pistol mengurung Akademi Wonderland dari jendela ruang guruku. Kemudian mataku tertuju pada Peneloppe yang telah ditahan dan diberikan beberapa pertanyaan.

Peneloppe adalah pembunuh bayaran dari sekelompok para pembunuh sadis. Dia sudah bertahun-tahun tinggal di sekolah ini untuk melampiaskan hasrat membunuhnya karena tak ada misi pembunuhan. Selain itu, dialah orang yang menculik banyak murid dan membunuh mereka dengan cara yang beraneka ragam.

Beberapa bukti kuat yang menyatakan Peneloppe bersalah. Aku menyerahkan dokumen yang berisi nama-nama korban pembunuhan kepada polisi untuk ditanyakan pada Peneloppe. Kemudian aku mengatakan bahwa dia ingin membunuhku dan Sora. Polisi percaya dan segera menangkap Peneloppe. Kasus ini mudah, tidak sampai satu hari, aku sudah menyelesaikan kasus Felice.

Aku sudah sampaikan ini pada Felice dan dia sangat senang dengan beritaku. Dia menyuruhku ke istananya besok. Mungkin aku akan dikatakan oleh guru labil karena aku akan berhenti menjadi seorang pengajar di sini, karena tugasku menyelesaikan kasus Felice sudah selesai. Apa peduli mereka. Mereka hanya bisa berkata-kata seolah hidup mereka itu sempurna. Lagi pula, ini hidupku, aku yang mengatur sendiri.

"Kau, sedang apa kau di sini?" tanyaku pada Sora mengalihkan pandangan dari jendela dan melihat isi gelas yang aku pegang.

"Masih ingat aku?" tanyanya balik. Aku menghela napas.

"Sora, aku bertanya padamu. Untuk apa kau ke Akademi ini?" Aku kembali menyeruput coklat hangatku.

Sora tersenyum sok menawan sambil duduk di atas mejaku. Dia menduduki buku-buku murid kelas 6-A ku. Sialan.

"Cuma iseng," jawabnya enteng. Mataku melotot seram.

"Aku serius," balasku sambil meletakkan gelas yang kupegang ke meja dengan hentakan keras.

"Ah, aku hanya ingin menyerahkan ini padamu. Surat dari Presiden, spesial untukmu," kata Sora beranjak dari meja dan menyerahkan sebuah surat gulungan kepadaku. "Ambil dan bacalah. Tugasku sudah selesai."

Aku mengambil surat itu dengan kasar dan menyimpannya di dalam laci. Kemudian kembali menatapnya dengan malas. "Aku ingin bertanya satu hal padamu."

"Apa itu, Yang Mulia Ratu?" Sora beranjak dari meja dan membungkuk hormat padaku. "Ah, di mana mahkota Anda? Bukankah jika pergi keluar, Anda selalu melekat pada mahkota?"

Keformalannya itu membuatku ingin sekali mencekiknya.

"Apa pedulimu? Kau ini sebenarnya siapa? Aku mendengar kau ini Kakaknya Peneloppe. Jawab. Atau aku akan—"

"Baiklah, baik. Akan aku jawab," potong Sora kembali duduk di meja. Dasar, dia menduduki buku murid-muridku lagi. Aku memukul kepalanya.

"Minggir dari mejaku. Kau menduduki barang-barangku," perintahku.

"Maaf," ujarnya dan beranjak lagi dari meja. Dia melesat ke atas lemari dan duduk di atas sana. Dia ini kenapa sih. "Jadi, kenapa kau ingin tahu masalahku?"

"Karena tampaknya masalahmu sama dengan masalahku," jawabku spontan. Sora menaikkan kedua alisnya. "Dasar murahan."

"Ah, maaf soal aku setuju akan menciummu. Aku bermaksud ingin kau akan emosi dan mengeluarkan kekuatanmu. Ternyata kau sudah mengaktifkan kekuatan seorang penyihirmu. Itu berita bagus."

Aku memutar kedua bola mataku dan kembali melihatnya di atas lemari. Soal mahkota, aku sudah tidak tahu lagi. Lagi pula, itu hanyalah mahkota. Dan itu tidak bisa dibawa mati. Kalau hilang, ya sudah. Selama darah ini adalah darah keluarga bangsawan Romanove, singgasanaku akan tetap kokoh.

"Bagaimana cara kau bisa tinggal di keluarga Delfidius? Pantas saja kau tidak mirip sama sekali dengan Cello, Hellois, dan Reo. Dan juga, jika aku ada hubungan dengan dunia ini, sebenarnya dunia mana yang seharusnya aku tinggali?"

Sora tampak membelalakkan mata dan menatapku serius. Dia menggaruk kepala dan menghela napas.

"Memutar waktu," jawab Sora ambigu.

"Apa maksudmu? Memutar waktu?" ulangku tidak mengerti.

"Ya. Aku menjelajahi waktu pada 10 tahun yang lalu. Waktu itu, keluarga Delfidius menerimaku menjadi bagian dari keluarga bangsawan itu. Banyak hal yang aku dapatkan. Hellois tampak tidak menyukaiku, bahkan dia pernah meracuniku dengan makanan. Reo selalu melekatkan dirinya padaku dan suka mencerocos. Cello tampak senang saja ada aku. Dan, walla! Namaku yang awalnya Peter Ortoria menjadi Sora Delfidius. Ya, nama asliku Peter. Salam kenal!"

Aku menatapnya dengan tatapan aneh. Nama aslinya Peter. Oh.

"Baik, aku mengerti. Jadi, Peter, kau bisa jawab pertanyaanku yang kedua?"

"Hm, sebenarnya orang tuamu itu punya warna mata apa?"

Dia menanyakan lensa mata? Apa ada hubungannya? Mungkin. Sebaiknya dijawab saja dari pada terus meminta penjelasan. Aku sudah lelah.

"Ayahku bermata biru sedangkan Ibuku bermata hitam," jawabku. Peter turun dari atas lemari dan memasang ekspresi sok serius. Ya, dia seperti sedang sok keren di hadapanku. Aku tahu itu.

"Artinya, kau bukan anak dari mereka."

DEG!!

Lancang.

👑👑👑

Hampir saja aku tidak bisa tidur karena kata-kata Peter kemarin. Setelah aku menilai semua buku tugas murid-muridku, aku segera ke asrama dan tidur. Akhirnya aku ingat jalan keluar menuju asrama.

Sora—maksudku Peter pergi dari Akademi ini entah kemana. Katanya, dia ke istana Presiden untuk menyampaikan bahwa tugasnya sudah selesai. Tidak perlu memberitahuku juga tidak masalah, dia bukan anakku atau siapapun.

Masalahnya, apa aku bukan darah kerajaan Romanove? Apa aku bukan anggota dari mereka? Lalu, siapa aku sebenarnya? Jika bukan Ibu yang merawatku sejak bayi, siapa yang sudah melahirkanku? Siapa orang tuaku?

Kalau aku bukan bagian dari keluarga Romanove, sebenarnya aku ini siapa? Ha. Ini semakin konyol saja.

Aku ingin tahu kenapa Kerling tidak mau memberitahukan di mana letak istana Presiden itu. Dia tidak memberitahukan alasannya. Dasar kucing, sukanya hanya membuatku bersin, menjilat dan mengeong. Dia telah membuatku membenci kucing.

Pagi ini, aku sudah membereskan barang-barangku. Aku sudah menyiapkan surat pengunduran diri. Juga telah memberitahukan pada semua murid kelas 6-A bahwa aku akan berhenti bekerja menjadi wali kelas mereka.

Soal pelajaran tambahan untuk Celdo, maaf tapi sepertinya aku akan menjadi egois untuk sementara. Aku yang lebih dulu mengusulkannya untuk pelajaran tambahan karena keisenganku yang sudah kelewat batas, aku merasa bersalah sekarang. Tidak tahu cara menggantikan hal ini, dan cara termudah untuk mengelak adalah menghilang.

BRAK!!

Pintu kamarku di dobrak dari luar. Aku langsung siaga jika yang membuka adalah penjahat atau orang mesum. Rupanya yang membuka pintu adalah Anna. Dia masuk ke dalam dan menghambur pelukan padaku sambil menangis.

"Hiks! Kenapa Anda cepat sekali? Miss jangan pergi! Saya ingin masih belajar dengan Anda! Apa Anda marah pada kami semua karena kami tidak bisa Matematika? Apa yang membuat Anda berhenti menjadi guru kami?? Hiks!" lirih Anna sambil memelukku begitu erat.

Aku tertegun dan membalas pelukannya. Tidak aku sangka ada murid yang seperti ini. Belum seminggu, ada murid yang sudah nyaman dengan guru barunya yang baru sehari mengajar.

"Maafkan aku, Anna. Miss tidak bisa lama-lama di sini. Kalian akan mendapatkan wali kelas yang lebih baik dariku. Dan kalian pasti akan senang dengan guru baru kalian," kataku, dan entah kenapa aku bisa merasakan hati Anna yang sedang bersedih.

"TIDAK BOLEH! MISS TIDAK BOLEH PERGI DARI SINI! MISS WALI KELAS KAMI! KELAS 6-A!!" teriak Anna tidak terima dengan kata-kataku barusan.

Aku melepas pelukanku dan mengusap air matanya. Dia menatapku penuh kesedihan yang sangat dalam, seolah dia akan ditinggalkan oleh orang yang dia sayangi.

"Miss tidak akan melupakan kalian semua. Aku janji. Setiap detikku, aku akan selalu mendoakan kalian sukses." Aku mengukir senyum. "Aku akan segera per—"

"MISS MANOVE TIDAK BOLEH PERGI!" Terdengar suara keras yang banyak di depan pintu memotong kalimatku.

"Kalian?" tanyaku tak percaya melihat banyak murid kelas 6-A masuk ke dalam, sisanya menghalangi jalan keluar. "Kenapa kalian juga tidak mengizinkanku pergi?"

"Karena kami tidak ingin punya guru baru! Hanya Miss Manove yang mengerti kami semua!!" jawab seorang murid perempuan berkacamata. "Dan kami menyayangi Miss! Karena itulah, jangan berhenti menjadi guru kami!"

"Hah .. kalian ini," kataku menghela napas kemudian menghampiri gadis berkacamata itu dan meraih puncak kepalanya. "Aku tidak akan bertanggung jawab jika kalian menyesal nanti."

"Kami tidak akan menyesal!" balas semuanya, termasuk Anna yang tiba-tiba memelukku dari belakang.

Yah, untuk sementara mungkin sampai mereka naik kelas, aku akan bertahan di Akademi ini. Berarti, sia-sia saja aku mengemasi barang-barang dan membuat surat pengunduran diri.

Aku akan menyelidiki identitasku sendiri dengan caraku sendiri. Juga mencari tahu siapa yang membunuh orang tuaku.

Ini sama sekali belum dimulai.

👑👑👑

Aku berjalan menelusuri koridor. Hari ini aku mengajar Matematika pada jam pertemuan ke 4 dan 5. Tahu maksudku, kan? Ah, sebaiknya aku jelaskan saja.

Dalam sistem pergantian jam kelas, Akademi ini menggunakan jam berpindah yang telah dibagi menjadi tujuh pertemuan. Jam pertemuan ke 1 sampai 3 pelajaran IPS, istirahat, jam pertemuan ke 4 sampai 5 pelajaran Matematika, istirahat kedua, dan 6 sampai 7 pelajaran IPA. Besoknya, mereka akan belajar pelajaran yang berbeda.

Jam 1 sampai 3 itu mulai pukul delapan sampai pukul sepuluh, 4 sampai 5 pukul setengah sebelas sampai pukul setengah dua belas, dan 6 sampai 7 pukul dua belas sampai pukul satu.

Tidak perlu melotot dan menatapku serius seperti itu. Oh iya, memangnya aku sedang bicara dengan siapa?

"Mouneletta!" panggil seseorang, membuatku berhenti berjalan dan segera membalikkan badan menghadap seorang wanita yang kelihatannya masih muda sepertiku. "Kau melupakan ini. Hari ini semua wali kelas akan membagikan murid-murid kita nomor kamar. Ini buku yang akan berisikan nama-nama muridmu yang akan berada di kamar nomor berapa. Kau akan bagikan mereka satu kamar berisi tiga murid. Setelah kau bagi, tulis nama mereka beserta nomor kamarnya. Kau paham maksudku, kan?"

Aku menerima buku biru persegi panjang itu dan sedikit heran melihatnya terengah-engah. Sepertinya dia baru saja berlari dari asrama. Lumayan jauh sih.

"Baiklah. Terima kasih ... emm .."

"Brown Dertik. Panggil saja Brown."

Brown tersenyum hangat padaku, tentu saja aku membalasnya dengan senyum yang sama. Rambutnya panjang coklat. Matanya juga coklat. Dia memakai kemeja putih dan rok hitam panjang sampai mata kaki.

"Brown, kau menjadi wali kelas di kelas apa?" tanyaku basa-basi.

"Kelas 6-C, kelas kita bersebelahan," jawab Brown. "Selesai mengajar, kau berikan saja buku itu pada petugas tata usaha."

"Baiklah." Aku menyatukan buku yang diberikan Brown dengan buku absen dan Matematikaku. Kemudian mengajaknya jalan bersama. "Mari."

Sambil berjalan, kami berbincang banyak hal. Mulai dari Brown membagi kisahnya saat pertama kali mengajar menjadi seorang guru IPA di Akademi Wonderland, kasus pembunuhan yang ternyata kelas 6-C yang selalu menjadi korban, dan lain-lain. Dia banyak bicara dibandingkan aku. Seolah tanda koma maupun titik tidak akan bisa menghentikannya.

Tidak lama kemudian, kami sudah sampai di depan kelas kami masing-masing. Brown mengucapkan selamat mengajar padaku, begitu juga aku.

Sebelum aku akan menggeser pintu kelas, suara Celdo dari samping membuatku terkejut. Nadanya tampak kesal. Mata birunya menatapku marah. Kemudian langsung berlenggang masuk dan sialnya dia menutup kembali pintu kelas saat aku akan masuk. Untung saja aku bisa sabar, kalau tidak mungkin esku sudah menancap ke matanya.

"Enyahlah sana! Aku melihat semuanya!"

Apa yang sebenarnya dia bicarakan?

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top