Bagian 2 : Merah dan Perak
"Jadi, kau sudah selesai mencari tahu tentang monster aneh yang muncul pada malam itu?"
Langsung pada bagian permasalahan, tanpa mengoreksi semua tumpukan kertas yang dibawa Jessy ke depan mejaku. Jessy yang kedua tangannya sibuk pada banyaknya dokumen yang entah dia dapatkan dari mana, tersenyum dengan khasnya yang menganehkan. Ya, menurutku aneh.
Kami berdua sedang ada di dalam ruang kerjaku. Ya, bisa dibayangkan diusia sepertiku harus bekerja mengurus kerajaan. Istana yang dibangun agak jauh dari tempat tinggal rakyatku, telah kembali seperti sedia kala seakan tidak terjadi apa-apa.
Dalam waktu seminggu, orang-orangku telah selesai membersihkan kekacauan yang menimpa istanaku. Membersihkan warna hitam yang menempel di segala penjuru istana, termasuk bagian luar. Tapi, barang-barang istana tidak semua terselamatkan. Ya, tapi untung saja ada barang yang selamat, karena berkat 20 orang yang telah meninggal itu. Di dalam hati kecilku, aku sangat sedih dengan kepergian mereka. Jika saja aku membentak mereka lebih keras lagi. Ah! Percuma memikirkan hal yang sudah berlalu. Yang penting, semoga mereka bisa beristirahat dengan tenang.
Aku dan semua rakyatku tinggal di kota Snow Lender, tepat di bagian Utara. Negara bersalju yang terbagi menjadi 4 bagian. Snow Lender bagian Utara, Snow Rose bagian Barat, Snow Yerhed bagian Timur, dan Snow Koldie bagian Selatan.
"Seperti yang Anda lihat. Semua yang saya bawa ini adalah hasil dari kerja saya mengumpulkan informasi tentang monster yang selalu datang pada saat hujan salju tersebut. Makhluk yang bisa dibasmi dengan mudah, namun mudah sekali berkembang biak. Nama monster ini adalah Swonlerda."
Aku manggut-manggut mengerti mendengarkan penjelasan Jessy. Kemudian mengerutkan alis. Berpikir menjalankan otakku. "Swonlerda? Bukankah nama itu terdengar tak familier untuk diberikan pada makhluk monster brengsek itu?" tanyaku tak acuh.
"Mereka semua itu makhluk hasil eksperimen dari seorang penyihir amatir," jawab Jessy ringan, membuang semua dokumen di tangan kanannya ke tangan seorang pengawal yang selalu berjaga di samping pintu kerjaku. Kecuali pada satu dokumen di tangan kirinya.
"Eksperimen? Penyihir amatir? Ini terdengar lebih gila dari pada sebelumnya." Aku mendengus. "Tunggu dulu. Kau bilang apa? Penyihir katamu? Penyihir? ADA PENYIHIR DI DUNIA INI?!" lanjutku cepat membelalakkan mata merahku.
"Itulah informasi yang saya dapatkan. Seorang penyihir di sebuah tempat nan jauh dari sini sedang membuat karya 'seni' yang dia pikir akan mengubah dunia kerajaan ini. Tapi, hasil jerihnya itu malah berdampak pada kata 'kiamat'. Swonlerda adalah bagian dari eksperimennya yang gagal. Mungkin saja dia ingin dirinya menjadi terkenal, namun dia malah lebih dibenci." Jessy sengar-sengir tanpa sebab, membuatku kadang merasa ngeri melihatnya.
"Maksudmu, penyihir itu punya suatu dendam yang dalam sehingga dengan keadaan gila dia membuat karya konyol dari imajinasinya?" selidikku, memegang ujung dagu seraya menahan rasa tidak masuk akalku.
Aku baru tahu kalau dunia ini ada penyihir antagonis yang menurutku hanya akan ada di dalam buku dongeng bergambar yang sering kubaca sejak aku masih kecil. Dan juga, makhluk mengerikan yang bernama Swonlerda ini.
"55% bisa dikatakan benar," jawab Jessy terkekeh geli. Aku menatap sangar ke arahnya.
"Aku serius, Jessy."
"Saya juga serius, Ratu."
"Kau tampak sedang bermain-main denganku. Ingat di mana posisiku sekarang. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa dipeluk seenaknya."
"Hihihi, inilah sifat judes yang saya suka dari Ratu Mouneletta."
"JESSY!"
Suara tipikal tawa Jessy telah membuatku bangun dari kursi dan tak sengaja menjatuhkan kursi kerjaku ke belakang. Tanganku mengacak rambut panjang perakku menunggu pelayan pribadiku itu berhenti memekik geli.
"Oh iya, Ratu, Anda sangat cocok memakai baju putih lengan balon dan celana pendek sepaha dengan jubah merah kerajaan di pundak Anda. Anda akan seperti seorang raja jika Anda lebih sering memakai mahkota," kata Jessy, terdengar seperti menyindir penampilan baruku ini, dikarenakan semua gaunku habis terbakar.
Hanya baju kaos dan celana biru sepaha ini saja yang pantas aku pakai untuk sementara seraya menunggu pesanan gaun-gaunku yang dipesan oleh petugas baju istana di toko baju paling berkualitas di kota.
"Jangan menyindir. Aku lebih suka baju sederhana seperti ini dari pada baju bermanik-manik gantung sana sini melilit konyol yang akan membuatku seperti boneka pajangan. Gaun hanya akan menghalangi langkah lebarku. Aku ingin bebas," argumenku memasang wajah tidak terima.
"Apa Anda ingin membatalkan pesanan gaun Anda dan menggantinya dengan baju bebas pantas sederhana?" Jessy berjalan mendirikan kursi kerjaku dan mempersilakanku untuk kembali duduk.
"Kau memang mengerti diriku. Tapi sayangnya, aku tidak akan mengubah penampilanku dalam menjadi seorang ratu." Aku tersenyum lebar seraya duduk dan kembali melekatkan kedua sikutku ke meja penuh laporan. "Kita akan bicarakan tentang monster Swonlerda ini nanti. Kau boleh tinggalkan aku. Masih banyak laporan yang harus aku selesaikan," titahku kemudian.
"Baik, Yang Mulia Ratu." Jessy membungkuk hormat ke arahku.
Kemudian gadis mengenakan gaun polos lurus putih simpel itu mengambil langkah keluar dari dalam ruanganku bersama pengawal penjaga pintu. Pintu apapun yang ada di dalam istana, satu atau dua orang harus ada yang bertugas menjaga.
"Argh!! Banyak sekali yang harus aku periksa!!" keluhku hampir saja menghamburkan semua tumpukan kertas yang ada di meja.
👑👑👑
Dua orang yang bertugas memasang baju gaun kerajaanku tengah memakaikanku gaun yang baru saja sampai dari kota. Gaun hitam-ungu lebat bercorak ukiran putih kelopak bunga sakura tampak berkilau oleh glitter yang menempel di sekeliling gaun dan dibiarkan terbuka pada bagian kedua pundak. Model gaun merepotkan yang sangat aku benci. Tapi sialnya, aku tidak bisa menolak gaun ini, karena seorang ratu harus terlihat anggun dan cantik. Sebagai Ratu di kerajaan Romanove, aku akan melakukan yang terbaik untuk kerajaan dan rakyatku.
Tidak hanya istanaku yang diserang oleh monster Swonlerda. Tempat tinggal rakyatku juga mengeluh dan risih karena kehadiran makhluk itu datang melukai banyak orang dan menghancurkan rumah serta kebun mereka. Secepatnya, masalah ini harus diatasi.
"Sudah selesai, Ratu. Anda boleh lihat ke cermin," kata salah satu wanita yang baru saja selesai mengikat tali gaunku di bagian belakang. Pinggangku terasa sesak sekali ditambah kentatnya korset yang mencekik perut. Sangat menyiksa.
Bibirku menyungging senyum pasrah melihat diriku sudah terbalut oleh kain tebal. Panjang gaun ini menjalar sampai menyentuh lantai. Rambutku juga telah terurai rapi dan sedikit basah karena habis mandi.
"Ini sepatu baru Ratu. Izinkan saya memasangkannya untuk Anda," kata wanita yang satunya lagi seraya menodongkan sepasang sepatu hak kaca berwarna putih bening ke arah kedua kakiku yang masih dalam keadaan telanjang tanpa alas.
Aku mengangkat kaki kiriku menerima perkataan wanita itu dan dia pun memasang sepatuku dengan hormat. Setelah itu yang sebelah kanan. Dan lengkaplah diriku. Gadis cantik telah ada di depan cermin, tapi ada satu yang kurang.
"Permisi, Ratu Mouneletta." Suara Jessy beserta sosoknya dengan dua pedang di pinggang masuk ke dalam kamarku.
Aku menoleh dari cermin dengan kasar ke arah Jessy sedang menutup pintu kamarku. Kedua dayangku segera menjauh melangkah mundur. Kedua alis tebalku yang sudah didandani oleh pensil alis mengerut sesuai emosi.
"Aku belum mengizinkanmu masuk!" pekikku kasar.
"Ups!" Jessy menepuk jidatnya sendiri. Aku hanya menghela napas melihat kelakuan kekanakkannya. "Tapi Ratu, saya ke sini dengan maksud membawakan Anda ini. Anda melupakan barang yang amat penting."
Jessy berjalan ke arahku. Setelah itu berlutut hormat di depanku seraya kedua tangan menyodorkan mahkota yang diletakkan pada bantal kecil berwarna merah. Senyuman tanpa rasa bersalah itu tampak mekar, membuatku ikut menyungging senyum.
Aku menerima mahkota itu dan memasangnya ke atas kepalaku. Kembali menghadap tiga cermin besar membentuk persegi panjang yang menempel di dinding. Entah kenapa, aku merasa senang melihat diriku sekarang telah lengkap. Penampilan anggun dan cantik seorang ratu, ya, sentuhan akhir yang kurang itu adalah mahkotaku. Setidaknya, penampilan seorang gadis tidak seburuk yang aku kira. Namun, aku masih tidak terima diriku lemah. Aku tetap berkeinginan menjadi kuat. Aku ingin memegang pedang. Menghunuskan pedangku ke arah musuh yang mencoba menghancurkan kerajaan dan rakyatku.
Aku pasti bisa mewujudkan itu.
"Sudah siap, Ratu?"
"Apa kereta kudanya sudah siap?"
"Sudah, Ratu. Tinggal menunggu Ratu selesai berhias."
"Aku sudah siap. Ayo kita pergi."
"Tunggu, Ratu. Anda tidak membawa oleh-oleh untuk menyapa mereka di acara pertemuan antar raja Anda hari ini?"
"Dengar ini, Jessy. Aku ini bukan gadis yang ramah. Jadi, tidak penting sekali aku membawa barang apapun untuk mereka semua. Kita sudah memiliki harta dan makanan masing-masing. Aku tidak ingin menghamburkan atau memamerkan harta kerajaanku. Sudahlah, ayo pergi. Aku sudah terlambat untuk pertemuan menyebalkan ini."
Lagi-lagi, gadis bersurai hitam itu terkekeh mendengar kalimatku. Aneh dan menyebalkan. Itulah pendapatku tentang bagaimana dia mengekspresikan dirinya yang sedang tertawa. Terlihat meringis jahil seolah sedang menghinaku secara halus.
Aku melangkah mengeluarkan suara ketukan sepatu hak kacaku mengisi kesunyian lorong istana. Beberapa orang-orangku yang berdiri di sekelilingku berbaris di pinggir jalanku seraya menundukkan kepala hormat dengan tangan kanan memegang dada bagian kiri. Kemudian sampai di ruang singgasanaku, aku mengibaskan lengan kananku seraya memberi perintah pada orang-orangku yang ada di sana.
"Kalian semua jagalah istana! Jangan biarkan orang asing masuk ke dalam istana kita!" titahku lantang menggema.
"Laksanakan, Yang Mulia Ratu," balas semua orang dan dayangku sambil membungkuk hormat ke arahku.
"Kita?" gumam Jessy, namun terdengar sampai ke indra pendengaranku karena dia berdiri di sampingku.
"Kenapa?" tanyaku menoleh datar ke arah pelayanku sekaligus penasihatku itu. Matanya membelalak terlihat terkejut telah tahu telingaku ini punya pendengaran super yang mungkin bisa juga mendengar semut bicara.
"Ternyata Anda sangat dermawan. Manis sekali." Jessy kembali terkekeh renyah.
Aku mendengus sebal. Segera aku keluar dari ruang singgasana dan melangkah keluar dari istana diikuti Jessy mengekor dari belakang. Kereta kuda istana sudah siap menunggu kehadiranku. Jessy membukakan pintu untukku dan aku pun masuk lebih dulu ke dalam kereta kuda. Kemudian Jessy. Aku dan Jessy duduk berseberangan. Setelah siap, aku segera memberikan perintah.
"Jalan!"
Suara kuda dan berjalannya kereta kuda yang kunaiki dengan Jessy pertanda perintahku dilaksanakan oleh petugas penunggang kereta kudaku. Aku menikmati perjalanan seraya melihat pemandangan banyak pohon cemara tanpa daun. Keadaan luar yang masih bersalju, karena daerah Snow Lender sangat sering dihujani salju tanpa ada hari yang menentu.
"Ratu, kenapa bagian Utara selalu terkena badai salju?" tanya Jessy tiba-tiba memecahkan lamunan.
"Kenapa? Hm, benar juga. Kenapa, ya? Bukankah salju hanya akan datang pada bulan Desember?" Aku ikut heran setelah mendengar pertanyaan Jessy. "Dan ini bulan Februari."
"Ah, Ratu seperti tidak tahu saja. Dunia dilahirkan misteri. Dan manusia hanya bertugas mengungkapkan misteri itu sendiri, jika ingin." Jessy menyeringai.
"Kau yang tanya duluan padaku!" sanggahku memukul kursi yang kududuki. Jessy menampakkan senyum tanpa rasa bersalahnya.
"Cuaca ini tidak normal. Apa kita bisa masukkan ini ke dalam bagian permasalahan kita?"
"Mungkin tidak perlu. Yah, tidak ada pekerjaan lain lagi selain mengungkapkan banyak misteri. Ratumu ini sangat menyukai hal-hal aneh seperti ini." Kini giliranku yang menyeringai. "Oh iya, Jessy, kau belum memberitahuku di mana pertemuan antar raja akan diadakan."
Keseharianku sebagai seorang ratu tidak hanya duduk diam dan menonton di singgasana melontarkan perintah untuk orang-orangku. Aku menghabiskan waktuku dengan mengungkapkan berbagai kasus bersama Jessy. Tapi, kami tidak berperan sebagai detektif. Kami hanya ingin menyelesaikan segala misteri yang menurutku akan menarik jika semakin masuk ke dalamnya. Ya, bisa dikatakan, hanya dilakukan secara 'iseng' atau sekedar 'hiburan' untuk menghilangkan rasa bosan. Tidak lupa, kami juga masih menyelidiki siapa yang sudah membunuh orang tuaku. Sampai sekarang, pembunuh itu masih belum ditemukan.
"Ah, maafkan saya yang selalu lupa ini, Ratu," katanya seraya menundukkan kepala. Ya, Jessy memang selalu saja suka pikun akhir-akhir ini. "Bagian Barat daerah Snow Rose."
"Snow Rose? Ah! Kenapa harus di sana??" kataku geram sendiri. "Apa kita akan berhenti di istana kerajaan Delfidius?" tanyaku memastikan dugaanku benar.
"Benar, Yang Mulia Ratu." Jawaban itu membuatku mengecih dan membuang pandangan ke arah jendela kereta kuda.
Tahukah kenapa aku sangat kesal mendengar kerajaan Delfidius yang terletak di bagian Utara daerah Snow Rose itu? Karena di kerajaan itu ada empat Pangeran berdarah Delfidius yang masing-masing memegang karakter yang beraneka ragam. Mereka selalu menggangguku jika melihatku datang ke istana mereka. Aku sampai bingung kenapa mereka bertingkah konyol seperti anak-anak yang tengah memperebutkan satu boneka. Dan aku adalah bonekanya. Sangat ironis.
Tapi, dari keempat Pangeran Delfidius, salah satu diantara mereka memiliki sifat yang sangat pendiam. Dia tidak pernah berminat menggangguku. Aku ingin bicara dengannya, tapi dia selalu saja menghindariku. Mungkin dia ngeri melihat rambut perakku atau mata merahku. Ataukah mungkin ada alasan lain?
"Apa Anda membenci kerajaan Delfidius? Anda bisa menyatakan perang pada mereka," ucap Jessy telak membuatku semakin kesal, kembali menolehkan kepala ke arahnya.
"Aku tidak membenci kerajaan siapa-siapa!" sanggahku cepat menangkap kalimat Jessy yang terlalu blak-blakkan.
"Jadi, apa yang membuat Anda mengeluh?"
"Aku tidak membenci siapa-siapa. Tapi, mereka bertiga selalu saja menggangguku. Aku tidak ingin mereka melihatku, apalagi dengan gaun dan mahkota ini. Mereka pasti akan semakin bertingkah."
"Mereka bertiga? Ah! Pangeran Delfidius? Sejujurnya, mereka itu baik—"
"Dan mesum." Aku memotong kalimat Jessy semudah mengedipkan mata. Dan sejujurnya, aku tidak terima Jessy menyebut mereka itu baik.
"Mesum?"
"Ya, mesum."
"Mengapa Anda menyebut mereka mesum? Semua manusia memang dilahirkan mesum dan bejat!" Jessy berkata sekenanya tanpa merasa ada yang salah. Ucapan Jessy memang benar, tapi tidak pas dikatakan dalam pembicaraan ini.
"Kau membuatku merinding, Jessy. Apa kau sudah pikirkan baik-baik sebelum mengatakan kalimatmu barusan?" Aku menatapnya jijik. Jessy hanya terkekeh.
"Jujur saja, mereka semua tampan dan manis. Apa tidak ada satu pun dari mereka yang menarik perhatian Anda?"
"Kau bercanda? Jangan membuat Ratumu ini semakin kesal! Tidakkah kau melihat ekspresiku enggan sekali membicarakan empat insan bersaudara itu?"
"Bukankah Anda yang memulai pembicaraan ini?"
"KAULAH YANG PERTAMA MEMULAI!"
Tentu saja, bukannya dia langsung meminta maaf dan memasang wajah bersalah minta belas kasihan. Dia terkekeh lagi seraya memegang dagu tanpa merasa berdosa sudah berani dengan ratunya sendiri. Ya, aku sudah terbiasa menerima sifat dan sikap Jessy terhadapku. Dia seolah mengabaikan jabatanku sebagai seorang ratu dan menganggapku sama derajatnya. Tapi untung saja dia mau memanggilku dengan julukan bangsawanku.
"Saya minta maaf atas kelancangan saya terhadap Ratu," ucap Jessy kemudian. Namun rasa kesalku masih menggelora melihatnya berusaha keras menetralisir tawanya dengan konyol.
"Bersyukurlah pada Tuhan, karena beruntung telah mempunyai seorang ratu yang penyabar sepertiku." Aku menutup setengah mata beriris merahku seraya melipat kedua tangan di dada dan menyilangkan kaki.
"Anda juga harus beruntung mempunyai pelayan kerajaan Romanove seperti saya. Sampai titik darah penghabisan pun, saya akan tetap berada di samping Anda sebagai perisai." Lagi-lagi Jessy berintonasi ria.
"Balasan yang bagus sebagai seorang penasihatku juga," ucapku semanis mungkin.
"Ah, Ratu, biasa saja." Jessy tiba-tiba tersipu. Kupikir dia tidak bisa malu. "Boleh saya tahu, kenapa Anda dilahirkan dengan rambut berwarna perak? Saya merasa warna perak sangat tidak biasa. Dan juga mata merah Anda. Seingat saya, mata mendiang orang tua Anda berwarna biru. Bagaimana bisa Anda mendapat mata merah?"
"Kau ini banyak tanya."
Aku mengibaskan rambut perakku. Ya, sebenarnya aku juga heran. Warna perak sangat jarang terlihat pada rambut. Bahkan mungkin tidak akan ada yang memiliki rambut berwarna perak, kecuali jika ingin mengecatnya dengan pewarna rambut. Biasanya hitam dan coklat adalah warna rambut yang sering muncul. Namun, aku malah memiliki warna yang tidak familier. Apa ini bisa dikatakan normal?
Warna perak di rambutku ini asli. Kalau soal warna mataku, aku juga tak tahu dari orang mana aku mendapatkan mata merah ini. Mungkin dari Nenek atau Kakek yang sudah lama meninggal? Entahlah.
"Aku mendapatkan rambut perak ini dari Ayah. Sedangkan mata merah ini aku dapatkan ... hm, dari Tuhan?" Aku menjawab seadanya.
"Ah, Tuhan memang Maha Adil," ucap Jessy meringis seraya mengalihkan kontak mata dariku. Aku tidak yakin apa dia baru saja memuji Tuhan setelah aku melihat ekspresi enggannya yang begitu abstrak.
"Kau iri dengan kecantikanku ini?" Aku menyeringai ke arahnya.
"Sedikit," jawabnya, berhasil membuatku jengkel. "Kecantikan Anda bahkan bisa menarik hati banyak Pangeran. Termasuk empat Pangeran Delfidius. Ah, jika saya jadi Anda, saya akan menggoda semua Pangeran yang menginginkan saya. Kemudian—"
"Kau bisa simpan khayalanmu itu. Aku ingin tidur. Jika sudah sampai, bangunkan aku," potongku tidak tahan mendengarnya mencerocos sana-sini. Mengobrol dengannya membuatku bosan dan mengantuk.
Aku mengubah posisi dudukku dengan membaringkan tubuh. Merebahkan diri di atas kursi panjang empuk kereta kuda. Ini lumayan nyaman. Aku bisa tidur nyenyak di sepanjang perjalanan. Setelah aku memejamkan mata, sebuah kalimat dari Jessy terdengar lembut sebelum aku terlelap.
"Selamat tidur, Ratu perak."
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top