Bagian 19 : Pemotong Jiwa

Jam makan malam. Ah, aku lupa di mana ruang makan Akademi ini. Sudah lima menit aku berkeliling. Tidak ada pintu yang bernamakan ruang makan dan koridor ini sudah sangat sepi. Sudah dipastikan, aku tersesat. Bahkan aku tidak ingat lagi di mana jalan kembali ke asrama. Tempat ini terlalu besar dan luas untuk dinamakan sekolah.

"Argh!! Sial, sekarang aku benar-benar tersesat sekarang!" keluhku mengisi kesunyian koridor sekolah ini. "Semua sudah ke ruang makan? Tak ada yang sedang tersesat sepertiku??"

"Miss Manove?" panggil seseorang dari belakangku. Tentu saja aku terkejut dan segera membalikkan badanku cepat.

Huh. Rupanya Peneloppe. Aku pikir siapa.

"Ah, Peneloppe. Kau belum ke ruang makan?" tanyaku basa basi. Bodoh sekali aku ini, ya. Lihat saja muridmu ada di hadapan mata dan tentu saja dia belum ke ruang makan.

"Miss masih baru di sini, kan? Saya baru saja mau ke ruang makan. Pasti Miss lupa jalan menuju ruang makan. Mari ikuti saya," ajak Peneloppe dengan senyumnya. Aku heran kenapa dia tidak mengganti baju sekolahnya dengan baju piama.

Tidak hanya lupa jalan ke ruang makan. Aku juga sudah lupa jalan menuju kamarku sendiri.

Peneloppe menggenggam tangan kiriku dan segera melangkah menelusuri koridor. Mata kirinya merah sama sepertiku. Kenapa dia menutup mata kanannya? Mungkin jika mata kanannya tidak ditutup, akan lebih cantik.

"Peneloppe, kenapa dengan mata kananmu? Apa alasan kau menutupnya?" tanyaku penasaran.

Aku ini wali kelasnya. Wajar kan kalau aku bertanya? Dia muridku. Aku harus tahu keluhan murid-muridku agar bisa saling akrab dan membantu. Ya, walaupun aku hanya sebentar menjadi guru di sini. Aku harus menstabilkan diriku dengan cara membuatku betah dan mengakrabkan diri pada orang-orang Akademi.

"Ah, apa Anda sangat penasaran dengan mata kanan saya?" tanya Peneloppe balik. Ngeri juga aku melihat dia terus tersenyum. Dia berhenti melangkah begitu juga dengan aku. Dia memegang penutup mata kanannya. "Sebenarnya, mata kanan ini juga berwarna merah. Saya adalah penyihir bermata merah, sama seperti Anda. Tapi, saat saya melakukan kesalahan, mata kanan ini menjadi korbannya. Presiden mengambil mata kanan saya."

Mengambil mata kanannya? Maksudnya, mencongkel mata kanannya?! Kejam sekali.

"Bukan dicongkel. Tapi dengan cara mengubah warna lensa mata ini menjadi warna hitam," ucap Peneloppe seolah berhasil membaca pikiranku. "Setengah kekuatan saya dirampas olehnya. Tapi tidak apa. Selama saya masih diizinkan sekolah di Akademi Wonderland, saya tidak akan terlalu sedih dengan hal itu."

Aku menarik napas lega. Tangan kananku segera meraih puncak kepala Peneloppe dan mengelusnya. Melihatnya terus tersenyum, aku tidak merasa ngeri lagi setelah mendengar ceritanya. Dia gadis yang tegar. Aku salut padanya.

"Kau gadis yang kuat. Semoga Presiden cepat-cepat mengembalikan mata kananmu kembali," kataku bermaksud menghibur Peneloppe. Dia tersenyum lebar padaku.

"Terima kasih, Miss. Saya senang Miss menjadi wali kelas kami. Kami semua menyayangi Miss. Oh iya, saya ingin memberikan sesuatu pada Anda. Siang tadi, saya mau berikan ini pada Anda. Tapi karena malu, saya urungkan saja. Untung saya membawa hadiahnya dan koridor tak ada siapa-siapa. Jadi, sekarang saya bisa memberikan ini pada anda," ucap Peneloppe sambil memberikan hadiah padaku.

Tatapanku membeku dan napasku seolah berhenti berfungsi. Ingin tahu hadiah apa yang dia berikan?

Sebuah gunting.

Dari mana dia berpikir sebuah gunting bisa dijadikan isi hadiah untuk gurunya sendiri? Memang itu bisa saja. Tapi, apa itu normal? Gunting tidak langka dan mudah didapat bahkan bukan barang yang indah. Lagi pula gunting sudah ada tersedia di meja kerjaku.

"Ini gunting kesayangan saya. Saya bingung hadiah apa yang ingin saya berikan pada Anda. Jadi, ini untuk Anda!" kata Peneloppe sambil menyerahkan gunting hitamnya padaku. Oke, aku kembali memandangnya ngeri.

"T-ti-dak, Peneloppe. Mungkin gunting ini untukmu saja. Katamu, gunting ini adalah gunting kesayanganmu. Tidak apa-apa. Aku tidak mengharapkan murid-muridku memberikan hadiah karena aku penghuni baru di sini. Kau simpan saja itu untukku. Bisa?" kataku sedikit bergetar, padahal dia cuma seorang murid. Aku percaya padanya.

"Saya rela memberikan ini pada Anda! Tolong terimalah!!" paksanya sambil mendorong gunting itu padaku.

Gunting itu bisa melukaiku. Segesit mungkin aku mnghindari bagian yang tajam dan melawan dorongan tangannya itu. Tenaganya kuat. Ada apa dengannya?

"Hati-hati! Gunting itu bisa melukaimu!" kataku sok perhatian. Sebenarnya, aku tidak peduli jika dia yang terluka. Sepertinya, dia berusaha melukaiku. Kepercayaanku padanya tumbang saat aku mendengar cekikikkan kecil darinya. Oke, gadis ini tidak normal. Aku butuh ahli sakit jiwa.

"Aah! Miss tidak seru. Saya ingin melihat kekuatan Anda. Tapi sepertinya, Anda sangat menyayangi kami semua," ucapnya mengeluh dengan hawa yang berbeda. Entah kenapa, aku merasakan gadis ini berbahaya. "Kalau begini, Anda bisa terbunuh dengan mudah, lho!"

Entah kenapa tubuhku tak bisa bergerak. Aku melihat mata merahnya menyala, seakan tengah mengendalikanku. Ya, dia berhasil mengendalikan tubuhku. Apa yang dia lakukan padaku?

Peneloppe membuka penutup matanya dengan menggunting tali yang mengitari kepala. Tidak seperti yang dikatakan. Mata kanan itu berwarna ungu. Bukan hitam.

Aku segera melangkah mundur dengan sekuat tenaga bermaksud untuk menghindar walaupun itu tidak berhasil karena tubuhku benar-benar telah ada dalam kendalinya. Tubuhku sudah dikendalikan. Aku tak bisa berlari. Tanganku juga tidak bisa bergerak. Kekuatan apa ini?

"Maaf, Miss Manove. Di Fantasy Land, mana ada orang yang memiliki mata hitam. Kecuali warna rambut Presiden. Warna rambutnya hitam. Dia cantik sekali. Aku diberikan tugas olehnya untuk melenyapkanmu dengan gunting kesayanganku ini. Dan jika aku berhasil membunuhmu, hadiahnya adalah sebuah gunting baru! Hahahahaha!!" Peneloppe menjilat ujung guntingnya. Dia mendekatkan gunting itu ke ceruk leherku. "Matilah untuk murid kesayanganmu ini, Miss Mavone!"

ZLEB!

Nyaris saja gunting itu akan menggores leherku. Bukannya aku yang mengenai gunting hitam itu, melainkan ... aku tidak ingat. Siapa dia?

"Keparat!" sumpah Peneloppe dengan bengis melompat jauh dari hadapan seorang lelaki berambut hitam yang melindungiku. "Bukan darah Miss Manove yang menghiasi gunting kesayanganku. Darah kotormu telah menodai guntingku!"

"K-kau ..." tunjukku pada lelaki tinggi berambut hitam dan bermata merah yang membelakangiku. " ... siapa?"

Lelaki itu menghela napas. Mungkin dia kecewa karena aku telah melupakan namanya. Ini karena sudah terlalu banyak orang yang aku temui, aku jadi lupa beberapa nama orang. Memoriku mungkin sangat sempit. Apalagi untuk mengingat semua nama muridku. Atau mungkin tidak usah. Aku hanya sementara di sini, tak selamanya.

"Oke, kalau kau ingin melindunginya, artinya kau sedang menantang malaikat maut sekarang!" seru Peneloppe kemudian menyerang lelaki itu dengan guntingnya. Mata ungunya menyala terang.

Aku terkejut melihat titik darah mengotori bawah lantai. Darah itu berasal dari tangan lelaki itu. Dari mana dia muncul? Aku pikir dia tak akan menampakkan dirinya lagi setelah dia membawaku ke dunia sinting ini. Ada yang ingin membantuku mengingat siapa nama orang ini?

Gerakan lelaki itu sangat cepat. Dia bisa menghindari serangan bertubi-tubi dari Peneloppe dengan mudah. Hanya memiringkan kepala dan menggeser tubuh. Terasa mudah jika dilihat. Kalau aku sedang diserang seperti itu, mungkin aku sudah sekarat sekarang.

Dia membalas serangan Peneloppe dengan cara menepis tangan kanan yang memegang gunting. Gunting itu sukses terlepas dari tangan dan jatuh pada jarak yang jauh. Gadis berkucir dua itu mengeraskan rahang karena kesal. Tanpa gunting, apa dia bisa menyerang lelaki berkemeja putih dengan celana panjang dan jas hitam ini? Lelaki itu tampak lebih unggul dibandingkan dengan Peneloppe.

Tiba-tiba saja sebuah api menyala di kedua tangannya. Jangan katakan kalau kekuatannya adalah api. Mata ungunya menyala terang. Oke, sudah pasti kekuatannya adalah api.

Yang lebih membuatku tambah terkejut, lelaki itu juga mengeluarkan api di kedua tangannya. Kekuatan mereka sama. Api. Baiklah, apa aku harus menelpon petugas kebakaran sebelum ada yang terjadi pada Akademi ini?

Mereka saling menatap sengit. Mendadak, pertarungan dengan kekuatan yang sama sedang berlangsung di depan mataku. Oh iya, tangan kiri lelaki itu masih menitikkan darah. Tapi, dia bertindak kuat agar musuh tak menilainya sebagai orang yang lemah. Inilah seorang petarung yang tangguh.

Dan aku tengah dilanda rasa kecewa, karena diriku tidak bisa menjadi orang yang kuat seperti petarung yang pernah aku temui. Bahkan untuk melawan anak kecil saja, aku membutuhkan orang lain sebagai pelindung. Seperti keadaanku sekarang. Aku tidak bisa menjadi kuat sama sekali. Aku ... gadis yang lemah.

"Kau merusak segala rencanaku! Aku hampir saja akan membunuhnya!" pekik Peneloppe dengan menatap murka lelaki yang ada di hadapannya. "Jika aku berhasil membunuhnya, aku akan mendapatkan kekuatan baru! Setelah itu giliran kau yang akan aku bunuh!"

"Kau tidak akan bisa mengalahkanku. Kekuatanmu itu masih lemah. Mata ungu itu sebaiknya kau lepaskan saja. Jika kau masih menggunakan kekuatan mengendalikan tubuh orang lain, kau bisa mati," jelas lelaki itu.

Apa yang sedang mereka bicarakan, sih? Aku tidak mengerti.

"Apa pedulimu? Ibu tidak pernah menyayangiku! Ayah selalu mendukungmu! Sedangkan aku??" Peneloppe mengepalkan tangan. "Kau bahkan ke dunia sebelah hanya untuk mencari orang yang dimaksudkan Presiden! Membohongi Ayah dan Ibu dengan cara masuk ke dalam keluarga orang lain dan menjadi anggota keluarga di sana! Keterlaluan! Kau pantas untuk mati!!"

Sepertinya ini masalah keluarga. Tunggu, apa mereka bersaudara? Ini semakin membingungkan saja.

"Itu salahmu. Kau telah membunuh banyak orang. Hobimu itu tentu saja tidak didukung oleh Ayah dan Ibu. Pekerjaanmu hanya membunuh dan membunuh. Apa yang kau dapatkan dari Presiden setelah membunuh orang?" Lelaki itu menghilangkan api dari tangan kirinya. "Kalau soal aku masuk ke bagian dari keluarga lain, itu suruhan dari Presiden. Dan aku sudah menyelesaikan tugasku dengan baik. Lagi pula itu hanya sebentar saja."

Peneloppe berdecih lalu tersenyum sadis. Dia melukai wajahnya sendiri dengan menggoreskan sebelah pipinya membentuk 'X' oleh kuku telunjuknya. Aku ngilu melihat itu. Dia sudah menjadi orang yang gila akan darah dan luka. Tampak sekali dia menikmati rasa sakit yang dia buat sendiri.

"Bayarannya setelah membunuh orang? Tentu saja uang dan kekuatan! Selama itu menguntungkan, aku akan selalu membunuh orang yang sangatlah mahal harganya. Seperti nyawa Miss Manove. Harganya sangat tinggi. Dan tentu saja aku menginginkannya mati. Anda mau kan, Miss Manove? Untuk murid tercintamu, Anda pasti akan rela mati untuk muridnya." Peneloppe memalingkan kepalanya ke arahku.

Aku hanya bisa menatapnya tidak percaya. Dia menyuruhku untuk mengakhiri hidup. Memangnya aku mau menuruti kata-katanya? Tatapan itu, kejam juga keji. Gadis pembunuh.

"Moune, kau pergilah ke ruang makan. Aku akan tangani ini sendiri. Jika kau ingin, kau boleh membawa beberapa guru ahli sihir untuk menghentikan Peneloppe. Cepatlah!" suruh lelaki itu tanpa memalinkan kepalanya ke arahku. Api di tangannya kembali menyala.

"Bagaimana caranya aku pergi dari sini? Tubuhku saja tidak bisa bergerak!" balasku kesal sambil berusaha melepaskan diri dari sesuatu yang membuatku tidak bisa bergerak seinci pun.

"Cih! Lepaskan dia!" perintah lelaki itu pada Peneloppe, sementara gadis berkucir itu menyeringai sadis.

"Kau menyuruhku melepaskannya? Oh tidak bisa!" jawab Peneloppe dengan santai. "Yang hanya bisa menghentikan kekuatan mengendalikan tubuh ini hanyalah aku. Kalau kau ingin bersikeras menyelamatkannya, kau harus mencium bibir Miss Manove di hadapanku! Bagaimana? Jika sudah, aku akan melepaskannya."

Hei! Kesepakatan macam apa itu? Dia menyuruh lelaki ini menciumku?! Tidak. Aku yakin lelaki ini tahu dia harus menjawab dan berbuat apa. Dia tidak akan menuruti omongan Peneloppe yang sudah kelewatan gila.

Kepalaku kembali melihat ke arah lelaki itu. Apa yang akan dia jawab?

"Baiklah," jawab lelaki itu dengan tampang yang tidak mempunyai masalah apa-apa. "Aku akan melakukannya."

Oke, aku sudah salah menilai lelaki itu akan menjawab penawaran Peneloppe dengan cara membunuhnya. Dan aku tidak tahu lagi harus berpikir dan mengatakan apa. Ini situasi yang terlalu sulit.

Lelaki itu menghilangkan api dari tangan kanannya. Dia membalikkan badan dan menghampiriku. Sial, apa dia akan benar-benar menciumku? Aku tidak mau ini! Ini pemaksaan! Jangan lakukan itu! Dia pasti juga tidak mau ini! Tidak, jangan mendekat!

Dia mendekatkan wajah dan bibirnya segera mengarah ke bibirku. Kami akan segera berciuman. Sedangkan aku masih berusaha melepaskan diri dari kendali Peneloppe. Aku bisa mendengar Peneloppe menertawakan kami. Ini penghinaan. Dia telah membuatku sangat marah.

Aku akan memberinya pelajaran. Di mana kekuatanku? Aku memerlukan kekuatan. Jika aku dinamakan penyihir di sini, artinya aku juga mempunyai kekuatan, bukan? Sama seperti mereka, namun bukan api. Melainkan kekuatan es merah.

CRACK!!

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top