Bagian 18 : Emosi Seorang Guru dan Muridnya

TING .. TONG ..

Suara lonceng raksasa dari luar terdengar jelas mengisi seluruh wilayah sekolah. Itu tandanya pelajaran ditunda dan dilanjutkan dengan jam istirahat selama 30 menit.

Aku tahu di mana lonceng emas itu berasal. Tentu saja di halaman sekolah ini. Lonceng itu terletak di tengah-tengah bangunan istana yang memisahkan antara asrama laki-laki dan perempuan. Jika aku berada di dekat lonceng itu, bisa saja telingaku lepas. Di sini saja suaranya sudah membuatku hampir menutup telinga.

Tanganku meletakkan kapur ke meja dan menutup buku Matematikaku. Kemudian memandang semua muridku yang ternyata masih berkutik pada pena dan buku tulis dengan serius.

Aku pikir setelah mendengarkan lonceng berbunyi, mereka akan langsung beramai-ramai menyimpan buku dan pena asal ke dalam tas atau membiarkannya saja di atas meja dan segera keluar untuk makan siang. Ternyata? Mereka menikmati metode belajarku.

Menjelaskan materi bab 1, memberikan contoh soal, menjelaskan cara menggunakan suatu rumus, dan lain-lain yang berkaitan dengan pelajaranku hari ini. Jika ada yang tidak mengerti, aku akan kembali menjelaskan lebih lamban agar mereka cepat menangkap apa yang aku terangkan.

Suasana kelas tidak tegang seperti saat aku sedang mengabsen beberapa jam yang lalu. Mereka dengan tenang menyimak pelajaran yang aku sampaikan. Tanpa ada yang menggubris ataupun melawan, mereka sudah mengerti tipeku menjadi seorang guru. Dengan kata lain, jika mereka membuat secuil saja masalah padaku, aku seolah tak akan segan-segan untuk mengenyahkan mereka semua. Oke, agak sadis, ya? Singkatnya, kalau mereka cari masalah padaku, sama saja mereka yang cari mati.

Tapi, lihatlah. Mereka semua pintar. Apapun yang aku tulis, mereka semua mencatat di buku catatan Matematika masing-masing. Inilah murid yang patut dicontoh. Tidak ada yang berandal dan menyebalkan.

"Hm, habis istirahat, kalian akan ada pelajaran apa lagi?" tanyaku mengisi hening kelas 6-A ini.

"Pelajaran IPA, Miss!" jawab salah satu murid perempuan berkucir dua yang sedari tadi memang aktif jika aku akan bertanya seperti 'ada yang tidak paham?' Atau 'ada yang ditanyakan?' Dia langsung mengangkat tangan lebih dulu. Seingatku, namanya Peneloppe. Dia menggunakan menutup mata kanan, sama seperti Celdo. Mungkin dia juga bermata ungu, tapi mata kirinya berwarna merah, sama sepertiku.

"Artinya, besok aku akan mengajar kalian lagi pada jam pertemuan ke 4 dan 5," gumamku sambil melihat kertas jadwal yang diberikan oleh petugas tata usaha padaku. "Besok, PR-nya harus dikumpulkan. Jika tidak, kalian pasti sudah tahu, kan?"

"Baik, Miss Manove!" jawab semua murid serentak. Enak juga kalau dipanggil 'Miss' oleh murid-muridku sendiri. Rasanya lebih tersanjung dari pada dipanggil seorang Ratu. Aku jadi hampir lupa untuk apa aku ke sekolah ini.

"Oke, jika sudah selesai menulisnya, kalian boleh keluar dan istirahat. Aku sudah membaca semua peraturan sekolah. Kalian tidak boleh makan di dalam kelas. Jadi, selama istirahat, kalian tidak boleh berada di dalam kelas. Awas kalau ada yang melanggar!" tegurku layaknya seorang guru. Aku memang telah menjadi seorang guru sekarang. Malahan, aku menjadi wali kelas di kelas ini.

Aku sedikit tersentak melihat mereka yang nyaris menutup buku dan menyimpan alat tulis ke dalam tas secara bersamaan. Kemudian berlenggang pergi sesudah mereka mengucapkan terima kasih padaku. Aku membalas senyum pada mereka.

"M-Mi-Miss Manove?" panggil seorang murid perempuan yang kini telah berdiri di hadapanku. Ia memegang satu batang coklat yang masih terbungkus oleh plastik emas.

Dia menatapku ragu dan grogi. Kadang, dia menoleh ke sebelah temannya yang juga ikut berdiri di hadapanku dengan datar. Oh, dua bersaudara Edelexia rupanya. Tentu saja aku ingat mereka berdua karena mereka tampak mencolok dengan rambut merah menyala berujung abu-abu dan mereka ini kembar dampit. Anna dan Alex.

"Tch! Cepatlah, berikan saja!" desak Alex sambil menyikut lengan kanan Anna. Anna mengangguk dan kembali menatapku.

"K-karena Miss Manove baru menjadi wali kelas kami, sa-saya memberikan hadiah sebagai selamat pa-pada Miss!!" kata Anna dengan gagap memberikan coklat yang sedari tadi dia genggam kepadaku dengan sedikit bergetar. Dia gugup sekali.

Dengan senang hati aku menerima coklat itu. "Terima kasih, Anna."

"M-Miss Manove ingat nama saya??" kaget Anna melototkan matanya.

Yaiyalah aku ingat namanya karena dia mendapat absen pertama dan rambut mencoloknya membuatku tak bisa lupa, termasuk kembarannya itu.

"Tentu saja. Kalian semua adalah muridku. Aku akan mengingat nama dan wajah kalian semua secara perlahan. Aku ingin kita semua akrab." Wah, kalimat macam apa ini? Terlalu manis, tapi bagus juga. "Dan kau Alex, aku melihatmu berkelahi dengan Celdo saat aku masuk ke dalam kelas ini. Aku ingin kalian berdua berbaikan dan akrab layaknya saudara."

Aku menoleh ke arah Alex dan mengacak-acak rambutnya. Alex menunduk dan membuang muka padaku.

"Dia yang duluan memulai perkelahian!" tuduh Alex sambil menunjuk ke arah salah satu kursi yang terletak di belakang pojok kanan dekat jendela. Dan kursi itu masih terisi oleh seseorang. Si pemilik kursi.

Sudah aku duga anak remaja seperti mereka masih bisa main tuduh-tuduhan. Ini membuatku sedikit jengkel.

Aku melihat Celdo yang sedang duduk sambil menopang dagu menatap pemandangan luar jendela. Sepertinya dia mendengar kalimat Alex, tapi dia tampak tidak peduli dengan hal itu.

"Jangan menuduh. Aku tidak suka ada muridku yang suka menuduh orang yang mungkin saja tidak bersalah sama sekali. Aku hanya ingin kalian berdua berbaikan. Itu saja. Aku tidak mencari siapa diantara kalian yang salah. Tapi cobalah untuk akrab. Itu akan lebih baik dari pada berkelahi. Kau mengerti, Alex?" nasihatku pada Alex.

"Tapi, Miss ..." gerutu Alex, namun aku segera memotong ucapannya.

"Tidak ada tapi-tapian. Ayo, kau hampiri Celdo dan saling minta maaf sana," potongku dengan tegas.

Alex mendengus gusar setelah kalimatnya aku potong. Sangat jelas dia tidak mau melakukan itu. Tapi, dia tetap berjalan menghampiri Celdo dan segera mengulurkan tangan meminta jabat tangan. Celdo menyadari kedatangan Alex dan menoleh tajam. Aku seakan bisa melihat ada dua aliran listrik yang saling melawan sengit saat mereka saling menatap. Apa mereka akan akrab dengan mudah? Mungkin tidak.

"Aku minta maaf." Tiga kata keluar dari mulut Alex, tapi terdengar memaksa. Aku pikir dia tidak akan bisa mengeluarkan kalimat itu.

Celdo berdiri dari kursi dan menjabat tangan Alex tanpa ekspresi. Tinggi mereka berdua ternyata hampir sama. Alex lebih tinggi dibandingkan dengan Celdo. Mereka berhasil berjabat tangan, tapi atmosfir di sana tampak tidak enak untuk didekati. Anna sampai memegang baju lenganku karena takut.

"Tak apa," balas Celdo, astaga dia datar sekali. Ingin sekali aku menghajar wajahnya. "Aku juga salah. Aku minta maaf."

Setelah itu, mereka melepas jabat tangan dan Alex kembali berjalan menghadapku. "Sudah, kan?"

Aku menghela napas. Beginilah jika menjadi seorang guru. Harus banyak bersabar jika menghadapi murid seperti Alex. Aku membayangkan jika Alex memiliki sifat grogi seperti Anna, mungkin akan lebih buruk.

"Baiklah, kalian berdua boleh keluar dan istirahat," suruhku pada dua saudara berambut merah ini. "Dan Alex, jika aku melihat kau berkelahi dengan anak-anak lagi, berdoa saja kepada Tuhan untuk memohon keselamatan."

"Cih. Dia yang mulai, kok! Ayo, Anna!" ucap Alex murka sambil menarik kembarannya keluar dari kelas. Anna hanya bisa pasrah dan mengikuti. Aku berdecak kecil sambil menggelengkan kepala. Murid yang berani juga dia. Dan sepertinya dia tidak berniat untuk berdamai atau berteman sekali pun. Merepotkan saja.

Aku segera menoleh ke arah Celdo yang masih berdiri di dekat kursinya. Aku berharap dia memiliki satu atau dua teman untuk menemaninya. Aku sudah berjanji pada Rosel untuk membuatnya bisa bersosialisasi. Tapi sepertinya, aku gagal.

"Celdo," panggilku menyebutkan namanya dengan logat seorang guru yang kental, sepertinya aku mulai menyukai peranku yang sekarang ini. Aku seperti orang yang benar-benar berkuasa. "Kalau kau sudah selesai mencatatnya, kau boleh istira—"

"Letta!" potongnya cepat memanggil namaku.

Sial, dia menyebut nama itu tanpa menggunakan kata 'Miss' saat aku masih ada di kelas ini. Jika ada yang mendengar, bagaimana??

"Celdo." Aku menatapnya serius dan tajam. "Mulai sekarang, aku adalah gurumu, wali kelasmu. Aku harap kau tidak akan melawan padaku. Kau tidak ada pekerjaan? Kalau begitu bantu aku membawa tumpukan buku tugas Matematika itu dan ikut aku ke ruanganku."

👑👑👑

Celdo meletakkan semua buku tugas Matematika milik semua murid kelas 6-A ke meja kerjaku. Kemudian melihat ke arahku telah duduk di kursi, tepatnya kursi hitam empuk kerjaku dan di depanku ada meja sebagai alas tulisku untuk bekerja.

Aku membuka salah satu dokumen yang Felice berikan padaku. Isinya terdapat informasi mengenai anak-anak dan para remaja yang telah diculik dan dibunuh secara misterius di Akademi ini. Mataku membelalak sebentar karena laporan ini begitu lengkap. Mulai dari biodata korban, tempat kejadian terbunuh, jenis luka yang didapat, serta foto-fotonya. Tentu saja ini akan membantuku. Tapi, aku harus berpikir lebih serius sekarang. Ini kasus penculikan sekaligus pembunuhan. Bukan teka-teki. Tapi tunggu, rasanya sama saja.

Oh iya, kenapa Celdo juga bisa ada di sini? Dia sekolah? Aku pikir dia hanyalah seorang bocah tak tahu diri yang tidak tahu apa itu 'sekolah' atau tidak tahu apa itu 'Matematika'. Hei, kenapa tiba-tiba aku jadi teringat saat aku dan Celdo berada di istananya?

Ah. Aku ingat kalimat yang pernah Celdo lontarkan dari kertas yang dia tulis dengan tulisan indahnya. Aku pernah menyuruhnya menuliskan identitasnya dalam bentuk paragraf. Seingatku, isinya begini:

Namaku Celdo Phantrom. Panggilanku Celdo. Umurku 13 tahun. Aku tinggal di istana Flowered. Aku menyukai kue dan mawar pelangi. Hobiku bermimpi. Aku bersekolah di Akademi Wonderland. Siapa namamu?

Tiba-tiba aku menutup dokumen yang beberapa menit baru aku baca. Entah kenapa otakku tidak ingin membaca apapun sekarang. Dan kini aku melototkan mata merahku pada anak lelaki berusia 13 tahun yang sepertinya masih kurang untuk diberi gelar 'remaja'. Kapan dia akan tumbuh tinggi?

Celdo masih berdiri menghadap mejaku dengan menatapku tak kalah sengitnya. Oke, kenapa kami saling menatap tajam? Aku bingung, tapi semakin aku melihatnya membuat emosiku terpancing sukses terbawa ke daratan.

Bukan marah. Melainkan aku malah berpikir untuk menggodanya seperti dulu. Aku ingin melihat rona merahnya yang selalu muncul jika sedang malu. Menghibur sekali jika melihatnya memasang wajah gemas seperti itu. Aku suka sekali berbuat iseng pada anak ini. Dan bagiku, itu sangatlah menyenangkan.

Aku menyeringai dan secepat kilat aku hilangkan seringaiku. Oke, ini dia.

"Celdo Phantrom. Namaku Miss Manove sekarang. Kau tidak boleh memanggilku dengan sebutan 'Letta' lagi, karena aku adalah wali kelasmu. Rasanya aku sudah katakan itu sebelumnya," kataku dingin dengan sengaja.

Celdo tampak sedikit tersentak, tapi dia berusaha bersikap tenang di hadapanku dan masih sanggup memasang wajah datarnya. Kuat juga anak ini.

"Aku akan memanggilmu Miss Manove jika di hadapan mereka. Tapi aku ingin memanggilmu Letta saat tidak ada orang selain kita berdua di sini. Aku harap kau paham maksudku," ucapnya padaku.

"Keras kepala," balasku sembari mengacak sedikit rambut perakku pada bagian kanan dekat kening dan mendengus. "Oke. Aku izinkan kau melakukan itu. Tapi, aku tidak mengerti maksudmu."

"Aku pikir kau sudah mati," ucap Celdo cepat memutuskan kontak mata dariku. "Setelah aku, kau akan bertemu dengan Nyong dan aku menduga kau akan bertarung dengannya. Lalu, aku membayangkan hal yang tidak mengenakkan tentang itu. Aku membayangkan kau terbunuh dan dimakan olehnya. Aku berpikir untuk melupakan sekolah dan ikut berkelana denganmu saja. Tapi, Presiden tak mengizinkanku melakukan itu karena jika aku lakukan maka sama saja aku membuatmu semakin terancam. Aku terkejut melihatmu sekarang. Kau masih hidup. Dan itu nyata."

Hm, sepertinya dia kebanyakan menonton sesuatu atau membaca buku fiksi yang telah membuat kalimatnya jadi terdengar dramatis begini. Jelas sekali dia mencemaskanku. Tentu saja aku tidak akan mati semudah itu. Jika ada keajaiban, maka kematian bisa dilawan dengan mudah.

"Apa urusanmu? Kau tidak perlu mencemaskanku sampai repot-repot membayangkanku mati dalam imajinasimu itu. Aku bisa tuntaskan semuanya sendiri. Dan jika aku mati waktu itu, maka sudahlah. Mati ya mati," balasku enteng sambil mengangkat kedua bahuku. "Aku bukan lagi Mouneletta Romanove yang dulu. Sekarang aku berbeda. Aku adalah wali kelasmu. Dan GURU Matematikamu."

Dia memutar bola matanya dan mengangkat bahu seakan menganggap semua kalimatku tadi itu hanyalah angin lalu masa bodoh. Anak ini bisa melawan guru rupanya. Dia lalu melihatku kembali dengan serius.

"Kau tidak senang jika ada orang yang tengah mencemaskanmu?" Celdo melipat kedua tangannya di depan dada. Dia menatapku serius, atau mungkin kecewa.

"Tidak. Tidak senang sama sekali," jawabku sedatar mungkin sambil ikut melipat kedua tangan di depan dada, bermaksud menantangnya. "Aku tidak menyangka bocah sepertimu berniat mencari ilmu dengan pergi ke sekolah. Aku pikir kau itu suka pamer keangkuhan saja," tambahku memanas-manasinya.

"Aku memang orang yang angkuh. Kau mau apa? Ingin mencuci otakku agar aku bisa mengubah kebiasaanku, Miss MaNOVE?" balas Celdo menekankan pada bagian terakhir namaku.

Senyuman mengejek itu membuatku mengepalkan tangan. Aku yang berkeinginan membuatnya kesal, malah dia yang membuatku kesal. Oh, kali ini dia sulit sekali dipermainkan. Apa yang telah dia dapatkan sampai bisa melawanku sejauh ini? Dia mendapatkan pencerahan dari siapa? Ha. Konyol. Aku tidak akan kalah dari bocah ini.

"Hei, kau tidak tahu? Aku sudah mencuci otakmu. Kau tidak ingat?" kataku sambil beranjak dari kursi dan berjalan santai menjauh dari meja, membuat Celdo membelalak sebentar. "Secara tidak sadar, kau sudah terikat oleh sesuatu yang membuatmu cemas padaku. Kau mungkin masih polos, hm, apa aku harus mengajarimu tentang cara berpikir dewasa?"

"Berpikir ... dewasa?" ulang Celdo tampak berpikir keras. Bagus! Dia masuk ke dalam perangkapku. Aku harap tak ada orang lain yang melihat.

"Ya. Kau sudah berumur 13 tahun. Mungkin, kau perlu sedikit pelajaran tambahan dariku setiap setelah pelajaran Matematika selesai. Tapi aku tidak yakin apa kau akan fokus dengan pelajaran tambahanku itu ataukah tidak," jelasku memasang ekspresi sok prihatin yang kini aku telah berdiri menghadapnya.

Aih .. dia pendek, tingginya sampai ke bagian daguku saja. Untunglah dia dikaruniai wajah yang tampan, tapi masih agak kekanak-kanakan. Jika dia memakai sepatu haknya itu, pasti wajahnya bisa menghadapku tanpa menurunkan wajahku.

"Pelajaran tambahan? Apa itu akan masuk ke daftar nilai semester? Dan, pelajaran tambahan apa yang akan kau ajarkan jika aku bersedia?" tanya Celdo yang sekarang semakin serius menanggapi kalimatku.

"Kan sudah aku bilang. Aku akan mengajarimu cara berpikir dewasa agar kau tidak bertanya-tanya tentang hal yang sekarang membuatmu bingung dan juga melanjutkan pelajaranku tentang cara bersosialisasi dengan baik. Kau bersedia? Hanya untukmu, lho! Pelajaran tambahannya di sini, di ruanganku," jawabku yang sedikit demi sedikit mulai menggodanya.

Sepertinya dia sama sekali tidak bisa menangkap maksudku yang sebenarnya. Lihat saja. Dia sedang menghidupkan otak terdalamnya untuk berpikir keras. Matanya melihat ke arah lain dan tangan kanan menopang dagu dengan raut muka serius. Tidak lama, dia kembali menoleh padaku.

"Aku bersedia," utusnya. "Setelah pelajaran Matematika? Artinya, aku tidak bisa mendapat jam istirahat?"

"Kau bisa istirahat," jawabku cepat sambil meraih puncak kepala dan mengusut rambutnya. "Dengan cara makan siang denganku di sini. Kau mau?"

Berusaha aku menahan tawa karena kalimatku sendiri dan melihat Celdo telah berhasil membuatnya tersipu. Aku suka anak ini. Mungkin aku bisa memperalatnya sedikit untuk membantu menyelesaikan kasus milik Felice? Oke, tapi aku harus membuatnya melekat padaku lebih dulu.

"Kalau itu yang diucapkan Miss, saya tidak keberatan!" utus Celdo lagi yang membuatku terkejut karena mendadak dia bicara secara formal dengan menyebutku Miss.

"Pelajaran tambahannya akan dimulai besok. Oh iya, aku ingin tahu kenapa kau bisa berkelahi dengan Alex? Bukankah aku sudah menyuruhmu mencari satu atau dua teman? Bukannya menambah musuh?" Kalau kata-kataku yang ini, aku sedang serius sekarang.

"Saat kau datang ke istanaku dan pergi, waktu itu aku masih liburan sekolah karena sudah naik pangkat kelas. Kami diwajibkan libur selama seminggu. Semua sekolah melakukan itu. Hari ini kami kembali masuk sekolah dengan masuk kelas yang baru dan orang-orang baru di dalammya. Jadi, otomatis aku belum punya teman," jelas Celdo, aku pikir dia akan bicara formal lagi. "Kalau masalah Alex, dari dulu aku dan dia memang tidak bisa bersatu. Keluarga Phantrom dan Edelexia bermusuhan dari dulu bahkan saat aku masih belum lahir."

Aku mengerutkan alis mendengar penjelasan itu. Mulai dari dia yang belum mencari teman baru karena kelas baru, ya aku mengerti itu. Tapi, harusnya sejak aku belum datang ke kelas, dia bisa memanfaatkan waktu itu untuk mencari seorang teman atau hanya untuk sekadar mencari teman sebangku, apa susahnya? Dia pintar mencari alasan.

Kemudian, aku baru tahu kalau keluarga Phantrom memiliki musuh dari keluarga si Kembar Anna dan Alex, yaitu keluarga Edelexia. Apa alasan mereka bermusuhan? Bukankah lebih baik selesaikan saja masalah yang membuat mereka berkelahi dan berdamai? Memang sulit bahkan mustahil untuk berdamai. Tapi, untuk menutupi peperangan, kata 'perdamaian' akan lebih aman dari pada terus berperang. Lebih baik menambah keuntungan dari pada kerugian. Itulah pendapatku selama aku menjadi seorang Ratu dalam kerajaanku jika aku mendapat musuh. Aku lebih suka menyelesaikan masalah secara singkat dibandingkan dengan cara mempertaruhkan ratusan orang dan berperang. Aku benci pertumpahan darah.

"Kenapa bermusuhan? Apa kau tahu masalahnya? Kalau tahu, kau bisa jelaskan itu padaku?" interogasiku semakin ketat sambil menyandarkan punggungku ke depan meja.

"Maaf, aku tidak bisa jelaskan alasannya padamu. Itu rahasia yang harus kami jaga agar semua orang termasuk Presiden tidak mengetahui ini. Dan seharusnya, aku tidak memberitahumu kalau keluargaku dengan kekuarga Alex tengah bermusuhan. Tapi karena kau adalah guruku, aku tak bisa membantah pertanyaanmu," jawab Celdo seraya menunduk kecewa. "Untuk alasannya, aku tidak bisa menjawab. Tolong maafkan aku."

Aku kembali mendekat padanya dan menyuruhnya mengangkat kepala untuk membalas tatapanku dengan cara mengangkat dagunya. Oh iya, jangan lupa untuk tersenyum.

"Aku mengerti. Tapi, karena kau dan Alex berada di kelas yang sama, aku inginnya kalian berdua bisa berteman dengan baik. Masalah keluarga tidak bisa di bawa-bawa ke sekolah. Sekolah untuk mencari ilmu, bukan untuk bermusuhan. Aku tidak bisa membantu kalian menuntaskan semua masalah muridku. Namun, aku bisa mengarahkan muridku menuju jalan yang benar. Kalian sudah beranjak remaja. Harusnya kalian bersikaplah dewasa. Sebagai wali kelasmu, aku mengatakan ini padamu. Kau bisa lakukan itu untukku, Mister Phantrom?"

Aku sedikit menunduk agar bisa menangkap wajahnya. Sedangkan Celdo berusaha membalas tatapanku namun terlihat ragu. Ekspresinya tampak jelas ingin berpaling dariku, tapi karena aku telah membungkam dagunya, dia tidak bisa bergerak ke mana pun sekarang. Wajahnya sudah merah merona dan aku tidak bisa mengakhiri aksiku ini. Aku berhasil mengikatnya. Dia tidak akan bisa lepas dariku.

"A-akan aku usahakan itu."

"Baguslah."

Setelah itu, aku mengecup tengah dahi Celdo dan menggiringnya menuju ke arah pintu seraya menahan tawa melihat kepalanya sedang terkukus.

"Kau boleh keluar. Jam istirahat tinggal 20 menit lagi. Cepatlah makan sebentar lagi kalian akan ada pelajaran IPA, kan? Aku mendengar kalau guru IPA kalian itu mengerikan."

"Iya. Sa-saya permisi."

"Ingat. Berusaha berbaikan dengan Alex."

"Baik."

Dan setelah dia keluar dari ruanganku dan aku kembali menutup pintu, kakiku melangkah ke arah kursi dan duduk. Menyeret tumpukan buku Matematika milik semua murid kelas 6-A ke depanku untuk mengoreksi hasil tugas pertama mereka yang aku berikan. Tangan kananku mengambil pena yang ada dalam saku jas, kemudian segera mulai mengoreksi. Setelah ini, aku akan menyelidiki kasus itu.

"Pffff—HAHAHAHAHA!!!!"

Lihat. Aku adalah guru kompeten yang berbeda dari yang lain, bukan?

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top