Bagian 16 : Detektif Cilik Bertelinga Kucing

Baru beberapa menit aku dan Kerling berjalan melalui deretan banyak pohon gelap tanpa daun, kami berhenti tepat di depan sebuah istana serba hitam. Hampir semua, kecuali pada bagian bendera merah yang berkibar di puncak istana.

"Ha! Kita sudah sampai, meong .. Selamat datang di istana Catteppo!"

"Hah? Sudah sampai?? HASYIM!!"

Kerling mengusut sebelah telinga dan wajahnya, kemudian kembali melihatku. "Iya. Kan sudah aku bilang. Istananya dekat. Tidak perlu memakan banyak waktu untuk ke sini. Ayo, masuk!"

Aku mengangguk dan segera mengikuti Kerling masuk ke dalam istana yang bernama Catteppo ini. Sampainya di dalam, aku disuguhi oleh tiga kucing belang tiga: hitam, coklat, dan putih. Aku ngeri melihat mereka karena ketiga kucing itu bisa berdiri dengan hanya menggunakan dua kaki belakang, serta mereka memegang perisai dan pedang juga memakai baju prajurit. Mungkin mereka adalah prajurit istana di sini.

"Kerling! Siapa yang kau bawa ini?? Apa dia adalah tamu sang Nona?" tanya kucing yang berdiri di tengah sambil menunjukku dengan ujung pedang kecilnya.

"Dia ingin bertemu dengan Nona, karena itu aku membawanya ke sini. Minggirlah kalian, kami sibuk!" jawab Kerling yang membuatku terkejut karena dia juga bisa berdiri dengan dua kaki belakang.

"Hei, hei, hei, tidak semudah itu kau membiarkannya masuk! Dia orang asing! Dia tidak boleh masuk kecuali jika dia adalah tamu sang Nona!" kata kucing sebelah kanan menghalangi jalanku dan Kerling.

"Bawa gadis ini keluar, Kerling! Atau kau akan kami laporkan pada sang Nona!" kata kucing sebelah kiri ikut bersuara.

"Aku kan sudah bilang. Dia ingin bertemu dengan Nona. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Jadi biarkan dia masuk dan menemui Nona! Apa susahnya, sih? Kalian terlalu waspada! Dia penyihir yang baik!!" balas Kerling tak mau menyerah.

Aku tidak mau bersuara. Biarkan Kerling menyelesaikan masalahnya sendiri. Melelahkan saja jika ikut beradu mulut dengan kelompok kucing seperti mereka. Jika aku berada di duniaku sekarang, mungkin aku sudah menyiramkan air dingin pada mereka agar bubar. Setahuku, kucing tidak suka air dingin dan hanya menyukai air hangat.

Kakiku terus saja mengetuk lantai sambil melipat kedua tangan di depan dada karena tidak ada pekerjaan selain menunggu mereka berempat selesai berargumen. Membosankan sekali. Beberapa kali aku mendengus. Oke, aku sudah tidak tahan lagi dengan mereka. Aku harus melakukan sesuatu.

"Kau harus keluarkan dia, Kerling! Dia orang asing! Tidak tahu apakah dia orang baik ataukah bukan, tetap saja dia tidak boleh masuk ke dalam!"

"Aku tidak mau! Dia adalah temanku! Aku ingin memperkenalkan dia pada Nona karena dia sudah menyelamatkanku!"

"Kami tidak meminta alasanmu! Kami hanya ingin dia keluar dan menjauh dari sini! Kau dengar itu, Kerling??"

"Aku tidak dengar itu! Dia penyihir yang baik! Dia harus bertemu dengan Nona! Kalian tidak mengerti, dia adalah—"

"KALIAN ITU BISA DIAM, TIDAK???!!! HASYIMM!!!"

Keempat kucing itu berhenti berargumen setelah mendengar teriakanku yang mengisi dalam ruang utama istana hitam ini. Aku terengah-engah sebentar karena berteriak tadi dan segera mengatur napasku menjadi normal kembali.

Ketiga kucing kembar itu menatapku takut dan saling bersembunyi. Sedangkan Kerling masih menatapku terkejut.

"Mouneletta, kenapa kau berteriak? Apa yang akan terjadi jika Nona mendengar teriakanmu??" kata Kerling panik padaku dengan rasa khawatir.

"Cih! Apa peduliku? Kalianlah yang berisik lebih dulu! Beradu mulut hanya membuang-buang waktuku saja! Tujuanku hanya ingin pulang dan aku tidak pernah bertujuan ke dunia ini ataupun bertemu dengan kalian semua! Kalian aneh dan ... HASYIM!! Bau kalian itu membuat hidungku gatal! Kalianlah yang harus menjauh dariku!" kataku kemudian berjalan pergi meninggalkan kelompok kucing sinting itu dan rupanya Kerling mengikutiku dari belakang. "Kerling, kau harus jaga jarak dariku karena aku alergi kucing. Kau tunjukkan jalannya di mana pemilik tempat ini berada."

"Ba-baiklah," jawab Kerling dan segera membalapku sampai dia berjalan membelakangiku. "Ikuti aku."

Sementara kucing tiga kembar—ah! Abaikan saja mereka. Kalau mereka menyerang, aku akan gunakan pedangku untuk melenyapkan mereka. Tapi, sepertinya mereka tidak akan mengganggu, karena aku telah membuat mereka ketakutan. Ha. Dasar kucing penakut!

👑👑👑

Aku bergumam singkat melihat dua daun pintu berwarna hitam kebiruan di depanku dan Kerling. Kami berhenti melangkah karena sudah sampai di depan ruang singgasana pemilik istana Catteppo ini. Oke, aku mulai penasaran bagaimana rupa 'Nona' yang dimaksudkan kucing-kucing di sini.

"Huh," keluhku sambil mengelus hidungku yang masih gatal karena bau bulu kucing. "Kerling, sudah aku bilang menjauhlah sedikit dariku. Aku tidak tahan dengan hidungku yang sensitif ini."

"Oke," jawab Kerling dan segera melangkah sedikit menjauh dariku, setelah itu dia segera mengetuk pintu.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi Nona, saya Kerling. Saya bersama dengan seorang gadis. Saya ingin memperkenalkan Anda dengannya karena dia telah menyelamatkan saya dari bahaya. Apa kami boleh masuk?" kata Kerling dengan sopan dan formal setelah mengetuk sebanyak tiga kali.

"Masuklah, Kerling. Kau boleh membawa gadis itu masuk ke dalam ruanganku," jawab seorang gadis cilik beberapa detik kemudian dari dalam ruangan itu.

Seorang anak kecil, ya? Dari suaranya, sudah tampak dia adalah gadis kecil yang masih menginjak usia 8 atau 9 tahun. Aku semakin penasaran.

"Ayo," ajak Kerling. "Meong! Tolong bukakan pintunya, Mouneletta."

Sudah aku duga dia tidak bisa membuka pintu besar ini dengan kaki kucing mungilnya. Aku segera melekatkan kedua tanganku ke dua daun pintu lalu mendorongnya. Pintu ini lumayan berat juga. Aku sampai menggunakan sedikit tenagaku untuk membuka lebar pintu ini. Sementara Kerling sedang menjilati bulu-bulunya, membuat hidungku terpancing untuk kembali bersin, tapi tidak jadi.

Kami pun masuk ke dalam memijak karpet merah yang panjang sampai menuju singgasana yang tak terlalu tinggi, karena aku bisa melihat bagaimana rupa sang pemilik rumah.

Hampir saja aku akan menjerit, karena yang aku lihat sekarang adalah kucing berukuran besar tak biasa berbulu kuning yang tengah tertidur nyenyak. Kucing itu besar sekali, mungkin seukuran dengan harimau. Lalu ada seorang gadis kecil berambut hitam panjang, kedua matanya berwarna jingga, dengan gaun berwarna kuning pastel dan rompi sedada berwarna jingga, serta sepatu jingga bertali putih. Dia mempunyai tahi lalat di bagian ujung bawah mata kanannya. Aku merasa aneh saat melihat telinganya berbentuk telinga kucing yang terletak pada kedua sisi kepala.

Gadis itu sedang menyandarkan dirinya di tubuh kucing besar itu. Dia menyambut kedatanganku dan Kerling dengan senyuman hangat.

"Selamat datang di istanaku, Catteppo! Aku pemilik istana ini. Perkenalkan, namaku Felice Mariya. Kau bisa memanggilku Felice atau Mariya juga boleh. Senang sekali kau bisa berkunjung ke sini!" kata gadis kecil itu dengan suara anak-anak cempreng khasnya. "Oh iya, maafkan atas kucing-kucingku yang sudah merepotkanmu dan juga sudah menyelamatkan Kerling. Kau baik sekali. Siapa namamu?"

Kucing-kucingnya memang merepotkanku juga membuatku jantungan. Mulai dari aku yang sering bersin karena rupanya aku alergi kucing, kemudian kucing bisa berbicara bahasa manusia dan mampu berdiri dengan dua kaki belakang layaknya manusia. Hal-hal baru yang aku lihat itu membuatku hampir shock berat. Untung saja aku masih bisa bertahan.

"Namaku Mouneletta Romanove. Terserah kau ingin memanggilku apa. Tapi, aku akan memanggilmu Felice. Oh iya, semua kucing-kucing yang tinggal di sini termasuk kucing yang sedang kau sandari itu adalah milikmu?" kataku memperkenalkan diri sembari bertanya.

"Iya. Mereka semua milikku. Masing-masing mempunyai pekerjaan mereka sendiri. Seperti menyiapkan makanan, mencuci pakaian, sebagai penjaga istana, dan lain-lain. Kerling bekerja sebagai pencari bahan makanan. Dan kucing yang sedang tidur ini, namanya Rissa. Dia bekerja sebagai tempatku beristirahat, karena tubuhnya besar dan empuk. Jadi dia lebih berguna kalau aku jadikan dia sebagai bantalku. Oh iya, Moune, kau ini penyihir bermata merah, kan? Aku adalah penyihir bermata jingga," jawab Felice sambil menggendong Kerling dan mengelus kepalanya.

"Jadi, apa pekerjaanmu?" tanyaku lagi.

Felice menurunkan Kerling dari gendongannya, lalu segera berdiri dan berjalan ke arahku. Dia menuruni beberapa tangga yang memisahkanku darinya, lalu sampailah dia memijak bawah lantai yang masih tertutup oleh karpet merah, aku menengok dirinya ke bawah karena tubuhku lebih tinggi dari pada dirinya. Aku sedikit terkejut dan ngeri karena kadang kedua telinga kucingnya itu bergerak-gerak.

"Aku bekerja sebagai seorang detektif. Kau tahu kan apa itu? Memecahkan misteri yang sulit dituntaskan dan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Itulah pekerjaanku."

Memecahkan misteri? Dia? Apa tak terlalu berat untuknya sebagai seorang detektif? Beribu-ribu kasus yang harus dituntaskan walaupun atau sebagian kasus yang ditutup karena sangat menyulitkan dan sudah lama.

Bagiku, memecahkan misteri itu merepotkan, tetapi menyenangkan. Saat aku sedang mencari siapa dibalik suatu kasus pembunuhan, aku sangat puas saat aku telah menemukan sang pelaku dan melihatnya diborgol. Aku sering melihat pemandangan seperti itu, karena aku dan Jessy sering mengungkapkan misteri untuk mengisi waktu luang. Tapi, aku benci kasus korupsi karena membosankan. Kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan penculikan lebih menarik untuk dibereskan. Aku rindu hari-hari itu. Huh. Kapan aku bisa pulang? Di sini tidak mengasikkan dan membuang-buang waktuku.

"Aku tahu," sahutku. "Saat ini, kau sedang memecahkan kasus apa?"

"Hampir satu tahun aku berusaha menyelesaikan kasus ini. Namun, tak ada hasil yang bagus dari pengamatanku. Karena kasus ini tak bisa aku pecahkan, uangku mulai menipis karena tak ada yang menyewaku untuk dijadikan penyelidik. Padahal, aku adalah satu-satunya detektif di Fantasy Land. Biasanya, aku bisa menyelesaikan kasus dalam satu atau dua hari. Aku hampir saja menyerah. Oh, maafkan aku, Kerling sudah menyuruhmu mencarikan bahan makanan dengan cara mencuri. Aku harap Presiden memaafkanmu," kata Felice dengan ekspresi yang sedih sambil menghampiri Kerling dan menggendongnya.

"Tidak apa, Nona. Apapun untuk Anda, saya akan membawakan apa yang Anda inginkan, karena Anda adalah majikan saya," balas Kerling dengan tulus. "Saya mohon jangan meminta maaf."

"Oh, Kerling, mungkin aku akan berhenti menjadi seorang detektif."

Aku terkejut mendengar keputusan itu. Dia akan berhenti menjadi detektif. Ya, untuk anak-anak seperti dirinya, menurutku dia terlalu dini untuk menjadi seorang detektif ataupun penyelidik. Prihatin juga aku melihat mereka seperti ini. Punya istana sebesar ini, tapi uang menipis. Itu gawat sekali. Jika aku bayangkan uangku menipis, aku akan sangat panik karena telah mempermalukan kerajaan Romanove beserta rakyatku yang juga ikut miskin. Dan kerajaanku akan dibincang banyak tetangga kerajaan sebelah yang dibilang ada salah satu kerajaan yang mempunyai seorang Raja dan Ratu yang suka menggosip dan menyebarkan berita yang mengejutkan ke seluruh dunia. Tentu saja aku tidak ingin itu terjadi.

"Sepertinya kau sangat kesusahan dengan satu kasus yang kau hadapi ini. Aku jadi penasaran, lho!" seruku kemudian, membuat Felice menoleh ke arahku yang tengah tersenyum dengan penuh kepercayaan.

"Kau ingin membantuku?" tanya Felice sambil mengusap titik air matanya. Lho? Apa tadi dia menangis?

"Kebetulan, aku suka menyelesaikan sebuah kasus. Singkatnya, menjadi seorang detektif. Di duniaku, aku menghabiskan waktuku menyelesaikan berbagai kasus untuk membantu para kepolisian mencari para bajingan sialan itu. Beratus-ratus kasus aku selesaikan dengan mudah seperti menjentikkan jari. Mungkin, aku bisa mengasah kemampuan detektifku di dunia menyebalkan ini? Aku bersedia menggantikanmu sampai kasusmu yang ini terpecahkan olehku. Kau boleh gunakan aku."

"Wah!!! Terima kasih banyak, Moune!!" sorak Felice melempar Kerling sampai mendarat ke tubuh Rissa—untung tidak terhempas ke lantai—dan memeluk diriku dengan erat. "Tapi, kau tidak keberatan, kan? Ini kasus yang sangat sulit."

"Aku tidak keberatan. Ayo, ceritakan padaku bagaimana jalan kasusnya? Siapa yang akan aku selidiki? Dan juga, siapa yang akan aku incar?" kataku sangat penasaran dan tidak sabar kasus apa yang akan aku bereskan.

"Oke, sebelum itu, aku akan tunjukkan kamarmu. Mulai sekarang, kau akan terus mengunjungiku. Jadi jika kau ingin menginap di sini, kau bisa langsung menuju kamarmu. Aku akan jelaskan kasusnya di kamarmu. Ikutlah denganku," jawab Felice berjalan ke arah pintu dan membuka lebar pintu hitam kebiruan itu.

"Terima kasih," kataku sambil mengikutinya berjalan mengekor dari belakang.

"Terima kasih kembali," balas Felice, membuatku tersenyum oleh suara khas anak-anaknya itu. "Oh iya, bajumu bagus. Mungkin aku akan menyuruh Kerling membuatkanku baju sepertimu. Tapi berwarna putih pastel."

Aku hanya tersenyum miris mendengar pujiannya. Baju ini bagus? Menurutku ini jelek sekali. Tapi, pendapat setiap orang itu berbeda-beda. Dan orang yang menyebut bajuku ini bagus, mungkin ada kesalahan pada mata mereka. Atau mungkin karena dunia aneh ini, semua yang tinggal di sini juga ikut aneh. Termasuk semua hewan. Dan juga bulannya.

"Aku ingin mengganti bajuku dengan sebuah gaun yang panjang," risihku membalas pujiannya yang sebenarnya mengganggu pikiranku.

"Boleh! Aku punya banyak gaun, tapi apa tidak kekecilan untukmu, ya? Semua gaunku adalah ukuranku. Kau tidak akan muat jika memakai bajuku," balas Felice berhenti melangkahkan kaki, lalu berselang detik kemudian dia menaikkan jari telunjuk kanannya ke atas kepala. "Ah, mungkin aku akan memesan baju dari Zaqtav! Dia adalah pendesain baju yang paling indah di seluruh Fantasy Land!"

Zaqtav? Oh, rupanya yang dimaksudkan Felice adalah Talia, si gadis berambut merah muda bermata perak. Aku pernah ke tempatnya. Di sana tampak warna-warni seakan tidak pernah mengalami malam hari. Bagian yang paling aku benci adalah saat aku meminum teh basinya. Baiklah, lupakan. Jangan ingatkan itu lagi.

"Hallo?" kata Felice sambil melekatkan sebuah benda persegi panjang ke daun telinga kanannya. Sejak kapan dia memegang telepon? Telepon berwarna kuning itu memiliki antena berujung kepala kucing. Norak sekali bagiku. "Hai, Zaqtav! Aku mau pesan sebuah gaun! Tidak terlalu mewah. Untuk penyihir remaja. Ukurannya? Aku tidak tahu. Badannya kurus dan langsing. Ah, iya, mungkin ukurannya L. Oke, warnanya hitam dengan tambahan warna merah. Aku ingin bagian bahunya dibiarkan lebar. Harganya berapa? Oke! Dua hari aku tunggu bajunya. Sama-sama!"

Selesai dia menelpon, kami kembali melangkah dan berhenti di depan sebuah pintu. Felice membuka pintu itu dan menarik tanganku untuk segera masuk.

"Aku telah memesankanmu gaun. Harganya tidak terjangkau. Jadi tenang saja, kau tidak perlu menggantinya karena kau akan membantuku menyelesaikan kasusku!" girang Felice sambil melesatkan diri ke tepi ranjang tidur dan duduk di sana. "Duduklah, aku akan menjelaskan kasusnya padamu."

Aku menurutinya dengan duduk di sampingnya. Kamar ini sederhana, berbeda dengan kamar di istana Flowered. Di sini tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Barang-barang di sini juga seperlunya. Felice ternyata memiliki masalah keuangan. Aku harus membantunya.

"Jelaskanlah sekarang. Aku sudah siap untuk mendengarkan."

"Oke. Ini kasus penculikan. Atau mungkin kasus pembunuhan. Bisa juga keduanya. Aku juga masih tidak mengerti. Berawal dari sebuah sekolah yang dikenal bersih, ceria, berprestasi, dan bertaraf internasional. Penyihir pemula ataupun telah ahli yang ingin bersekolah di sana harus berumur dari 8 sampai 15 tahun. Tampak mereka semua masih anak-anak dan remaja. Mereka hanya ingin menjadi pintar. Tapi, apa salah mereka? Sudah puluhan murid menghilang tanpa jejak untuk diikuti dan ada juga yang mati dengan cara yang beraneka ragam. Misteri sekali. Siapa di balik semua ini? Siapapun itu, dia harus diberi hukuman mati!"

Sepertinya ini kasus yang rumit. Pembunuhan dan penculikan yang menjadi satu. Orang tersebut mungkin sudah gila. Sasarannya adalah anak-anak dan remaja sekolah. Dihilangkan atau dibunuh itu menurutku sama saja. Hilang, artinya menghilang tanpa ada yang tahu menghilang ke mana. Bunuh, artinya terbunuh dan hilang dari dunia ini. Dua-duanya sama saja.

Semakin rumitnya kasus itu, maka semakin menyenangkan jika aku terus mengikuti sampai akhir. Aku akan terima kasus ini. Rasa penasaranku memuncak. Hanya mencari siapa di balik semua itu? Mudah saja. Dengan cara menikmati pekerjaanku sebagai detektif yang kompeten.

"Aku terima kasusnya," ucapku mantap. "Jadi, aku akan mengunjungi sebuah sekolah?"

"Ya, tepat sekali! Nama sekolah itu adalah Akademi Wonderland. Waktu aku sedang menjalankan misi di sana, aku mendaftarkan diriku menjadi murid baru. Umurku 9 tahun. Kalau kau?"

"Umurku 16 tahun. Aku tidak bisa menjadi murid di sana. Berarti aku akan mendaftarkan diriku menjadi seorang guru?"

Felice bertepuk tangan untukku. Aku hanya tersenyum sekaligus tidak sabar ingin menuju ke sana.

"Benar! Kau akan mendaftarkan dirimu menjadi seorang guru di Akademi Wonderland. Oke, untuk barang-barang yang akan kau bawa nanti, yaitu beberapa dokumen, buku pelajaran, dan sekoper pakaian. Ah! Berarti, aku harus pesan baju lagi untukmu, dong!"

"Sekoper pakaian? Apa aku akan tinggal di sana?" tanyaku bingung setelah mendengar kata 'sekoper pakaian' seakan aku akan pindah begitu jauh.

"Iya. Semua murid juga tinggal di sekolah, karena Akademi Wonderland itu ada gedung asramanya. Ada tiga gedung asrama. Yang satu untuk murid perempuan, dua untuk murid laki-laki, dan tiga untuk para guru. Tapi karena sekolah sedang diliburkan karena akan hadir semester ajaran baru, semua libur dan pulang ke istana masing-masing. Tiga hari lagi, hari liburnya akan segera berakhir dan kembali menuju aktivitas seperti biasa," jawab Felice. "Ah, astaga! Kau kan tamuku. Aku lupa menyuguhimu air minum dan makanan! Tunggu sebentar, ya!"

Buru-buru Felice beranjak dari duduknya dan membanting pintu seperti orang yang lagi dikejar serigala. Aku hanya tertawa kecil melihatnya.

Kasus pembunuhan, huh? Di sekolah? Sepertinya akan menarik. Mungkin tujuanku yang awalnya ingin pulang, mungkin akan aku tunda dulu. Aku harus temukan pelakunya. Ini masalah keadilan. Namun sebenarnya, aku membenci keadilan.

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top