Bagian 14 : Apel Merah yang Memberikan Rasa Manis dan Perubahan

Kalimat itu. Perkataan itu. Suara itu. Itu dia, dia Jessy. Pada saat aku telah pasrah dengan apa yang akan terjadi, dia mengingatkanku satu hal, yaitu alasan aku hidup di dunia ini. Alasan diriku harus bertahan dan sok berkata bijak yang sulit untuk dibuktikan. Tapi, karena alasan dan sok berkata itulah, aku bisa bertahan. Dan juga, kalimat itu. Kalimat yang membuat jantungku tertekan kencang, seakan mendadak serangan jantung tapi hanya beberapa detik. Aku sadar, suatu kalimat bukan hanya untuk diucapkan dengan mulut, tetapi dengan melakukannya.

Wah, wah, apa Anda sudah melupakan rasa 'dendam' yang Anda simpan sehingga dengan santai mampu menghadap kematian?

Aku tak akan pernah melupakan dendamku. Tidak akan pernah sampai aku bisa menemukan pembunuh orang tuaku. Tangan ini, jiwa ini, apapun yang akan aku hadapi nanti, aku akan tetap hidup. Aku akan bertahan walaupun mahkotaku sudah hancur, walaupun singgasanaku sudah rusak, aku akan tetap bertahan.

AKU TAK AKAN MATI, KARENA AKU ADALAH PEMERAN PENTING DI SINI! TAK ADA YANG BISA MENGHENTIKANKU SELAIN DIRIKU SENDIRI! TIDAK AKAN PERNAH!!

👑👑👑

"Ini ... di mana?" tanyaku pada diriku sendiri karena sangat bingung bahwa aku telah berada di tempat yang berbeda lagi.

Tunggu, bukankah tadi aku berada di tempat jaring laba-laba menjijikkan milik gadis berkucir dua yang bernama Nyong itu? Namanya aneh sekali, dan lebih aneh lagi, sekarang aku malah pindah secara tiba-tiba di suatu tempat yang asing pada saat aku memejamkan mata sebentar dan setelah aku buka mata merahku, alhasil aku telah berada di suatu tempat yang luas tapi terdapat banyak sekali pohon tumbuh namun tak berdaun. Pohon yang begitu besar dan tidak biasa.

Beberapa kali aku mengelus leherku pelan, rasa sakit masih terasa dipergelangan leherku karena cengkeraman Nyong yang terlihat sedang mencekikku. Sakit? Tidak perlu ditanyakan lagi.

"Ah? Apa ini?!" tanyaku lagi seraya melototkan mataku ke arah sebuah buku tebal yang mungkin sedari tadi telah ada digenggamanku. Sebuah buku bersampul coklat tak berjudul. "Buku apa ini? Eh? Bukankah ini buku milik Rosel?"

Kau tidak ingin meminjam bukuku? Tapi dalam peraturanku di Librarytoon, yaitu istana megahku ini, jika ada seseorang yang masuk ke dalam istanaku, kau harus membawa pulang satu atau dua bukuku dan mengembalikannya sesuai peraturan yang aku buat. Kau barusan numpang tidur di sini dan imbalannya, kau harus membawa satu atau dua bukuku!

Ahh, benar ini buku Rosel. Aku meminjam dan membawa buku ini pergi sampai aku berada di sini. Tapi, aku bingung. Saat aku sampai di tempat Celdo, kenapa buku ini bisa menghilang di tanganku? Lalu, kenapa buku ini kembali disaat aku berada dalam keadaan yang sial? Apa tak terasa aneh? Rosel tidak ada menjelaskan tentang buku ini bisa menghilang dan muncul seenaknya. Aku yakin hal itu tak bisa dijelaskan secara logis sama sekali, karena menganehkan bahkan jika ada yang menjelaskan, mungkin aku akan ternganga mendengarkannya.

Aku kembali tersentak namun lebih hebat karena buku coklat ini terbuka lebar di kedua tanganku secara tiba-tiba. Sungguh, bukan aku yang melakukan ini. Belasan halaman membalik dengan sendirinya, membuatku ngeri melihat pemandangan tak biasa ini. Apa di sini ada hantu? Hantu itu tidak ada! Aku tidak percaya itu! Itu hanyalah makhluk sialan yang diciptakan dari dongeng seram oleh penulis gila yang hanya memikirkan imajinasi dan menuangkannya ke dalam sebuah cerita.

Halaman berhenti membalik. Perlahan, mataku menengok ke arah buku sambil berharap tak akan terjadi hal yang seram atau yang akan menakutiku, dan akhirnya aku menarik napas lega karena halaman itu tidak membuatku ngeri, melainkan terdapat satu kata yang tak bisa aku mengerti. Aku tak yakin apa itu adalah sebuah bahasa yang tak pernah aku temui ataukah sebuah nama?

Victoriye

Satu patah kata itu terukir jelas disatu lembar putih tanpa hiasan itu. Tampak mencolok karena tulisan itu berwarna emas bersinar terang. Tapi tak lama kemudian, sinar itu meredup dan lenyap. Tulisan itu menjadi berwarna hitam seperti warna tinta pada umumnya.

"Hai. Kau kah yang telah memanggil namaku?"

Kepalaku sigap menoleh ke arah sumber suara tepatnya berada di atas sebuah pohon. Seorang gadis berambut panjang berwarna jingga, bermata jingga, menggunakan gaun serba hitam namun terdapat sedikit warna jingga pada bagian badan yang mengukir garis-garis, lalu di ujung kedua lengan gaun yang membentuk liku-liku, bagian pinggang, batu kalung bertali hitam, terdapat bando berhias mahkota hitam bertengger di atas kepala, dan kedua tangannya tertutup oleh sarung tangan hitam. Dia tidak menggunakan alas kaki. Namun, dia cantik meskipun paduannya hanya hitam dan jingga. Senyuman hangat menghias wajahnya yang manis. Entah kenapa, aku merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan tentangnya, karena mungkin dia tidak akan melakukan hal mengerikan apa-apa padaku.

Aku telah memanggil namanya? Sejak kapan? Bahkan mengenalnya saja aku belum pernah, apalagi ini baru pertama kali aku bertemu dengannya. Ada apa sih sebenarnya? Membingungkan sekali.

"Apa?" Aku menatapnya bingung, sedangkan dia tersenyum manis padaku. Senyuman yang mengundang misteri seakan memancingku untuk menggali identitasnya. "Memangnya siapa namamu? Dan kenapa aku ada di sini?"

"Namaku Victoriye Quardiya. Orang-orang yang mengenalku biasa memanggilku Victoriye. Aku adalah penyihir bermata jingga. Kekuatanku adalah mengabulkan segala sesuatu dengan memakan apel-apel yang aku tanam sendiri," kata gadis itu sembari turun dari pohon dengan melayang pelan sampai kedua kaki menyentuh tanah. "Namamu?"

Seperti hantu saja, dia benar-benar melayang atau terbang, sih? Tapi, apa bedanya, ya?

"Namaku Mouneletta Romanove," jawabku cepat. "Katakan sekarang. Untuk apa aku berada di tempat sunyi dan menakutkan ini?"

Aku menatapnya kesal melihatnya tertawa kecil setelah mendengar pertanyaanku. Apa pertanyaanku itu lucu? Menurutku tidak. Tapi, kenapa dia tertawa? Bahkan dengan menutup mulut seperti itu, rasanya mengganggu sekali.

"Hei, aku pikir kau yang tahu kenapa kita berada di sini," balasnya, dan aku melihatnya dengan tatapan bingung sekaligus aneh mendengar jawaban itu. "Kaulah yang memanggilku ke sini. Aku hanya merespon panggilan dari seseorang dan sampailah aku di sini. Dan rupanya aku melihatmu. Sudah pasti kaulah yang memanggilku."

Mataku kembali melihat ke arah buku yang aku pegang sekarang karena namanya terasa tak familier. Aku membaca nama gadis itu ada di halaman yang sedari tadi terbuka lebar. Victoriye. Kata dalam halaman ini adalah namanya. Rupanya buku ini yang melakukannya. Aku memanggil Victoriye ke sini? Lalu, untuk apa aku memanggil gadis ini? Aku menghela napas.

"Oke, oke. Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyaku tak mau ambil pusing dan berpikir panjang, itu membuatku semakin lelah saja.

"Pertama-tama, lihat dulu dirimu. Kau tampak berantakan dengan percikan darah dan bajumu yang kusut tak beraturan. Kau tidak bisa bertampang begini jika wajahmu cantik seperti itu. Rambutmu juga berantakan," jawabnya seraya berjalan mengelilingiku.

Mendengar kalimatnya, aku langsung melihat diriku yang memang berantakan seperti baru saja diterpa angin topan. Tapi tunggu. Kenapa aku tak merasakan sakit? Aku baru sadar perutku tak mengeluarkan darah lagi, apalagi rasa sakit karena tusukan dan gigitan itu sudah tak menyerang. Apa yang sudah terjadi? Aku sembuh? Tidak mungkin dalam waktu singkat, aku bisa kembali pulih.

"Hei, bajumu compang-camping. Apa kau baru diserang dengan tusukan pedang? Tidak ada luka di perutmu. Ah, rupanya ini yang menyembuhkanmu!" kata Victoriye sambil memegang batu kalung merah yang aku gunakan.

Tunggu, bukankah kalung ini adalah cermin Doorfan? Aku yakin benda ini telah menjadi pedang dan aku jatuhkan tanpa sengaja karena serangan mendadak Nyong. Tidak salah lagi. Rupanya cermin ini kembali menjadi kalung dan melekat di leherku. Cermin ini tak bisa dipisahkan dariku. Tapi, aku masih bingung, cermin ini bisa menyembuhkan lukaku? Talia tidak memberitahukan hal itu dalam suratnya. Benda ajaib yang mengerikan, tapi syukurlah aku tidak jadi mati.

"Bagaimana bisa?" Aku juga ikut menatap kalungku, sedangkan Victoriye tersenyum padaku.

"Anggap saja cermin Doorfan adalah jantung keduamu. Kau bisa menjauhkan benda ini, namun benda ini tak bisa dipisahkan olehmu. Di manapun kau akan meninggalkan benda ini, tidak lama pasti dia akan kembali padamu dengan wujud yang cocok untukmu kenakan. Seperti kalung. Ya, kau cocok pakai batu kalung merah, karena matamu berwarna merah. Karena kesetiaan, benda ini memiliki kekuatan mengubah dan menyembuh untukmu membantu melewati rintangan Fantasy Land. Kau beruntung, tapi semoga kau akan selalu beruntung, karena Presiden akan membuat sesuatu yang lebih dari yang kau hadapi."

Aku terdiam mendengar penjelasan itu. Cukup mengerti, tapi kembali bingung setelah mendengar dari kata 'beruntung' sampai pada bagian titik. Terdengar ambigu karena tidak mengerti sama sekali.

"Kau punya baju ganti untukku?" tanyaku mengalihkan pembicaraan setelah tahu tubuhku kedinginan karena angin dingin berlalu menerpa kulitku yang sedikit tak tertutup kain karena sobek pada bagian perut dan bahu kiri.

"Tidak," jawabnya singkat, membuatku kembali menatap datar padanya. Untuk apa coba dia mengintrospeksi penampilanku tadi? Membuang waktu saja. "Tapi, apelku bisa membantumu!"

Pupilku melebar melihat tangan kirinya tiba-tiba saja ada sebuah apel merah terletak di telapak tangannya. Dia menyodorkan apel merah itu padaku. Apel itu menggiurkan, ingin sekali aku memakannya, tapi aku takut apel itu akan berdampak buruk padaku. Kecuali jika dia mengambil apelnya dengan cara yang lebih masuk akal seperti memetiknya dari pohon, aku tak akan ragu untuk menyantap apel itu. Keraguan kini sedang menyerangku.

"Ini, makanlah!"

"Apa itu?"

"Apel."

"Iya aku tahu kok itu adalah apel! Tapi, apel apa yang kau berikan padaku? Apa itu beracun? Apa yang aku dapatkan setelah memakan apel itu?"

"Hihihi, aku sudah menduga kau akan bertanya. Baiklah, akan aku jelaskan sedikit padamu agar kau tak salah menamakan apelku ini sebagai racun ataupun bahan peledak. Ehm! Apel adalah buah manis yang banyak sekali tumbuh subur di istanaku. Tapi, semua apelku bukanlah buah biasa. Masing-masing pohon apel yang aku kelompokkan memiliki kandungan yang beraneka ragam. Ada apel yang jika dimakan, akan menjadi pintar Matematika, tapi harganya mahal. Lalu, ada apel cinta yang jika orang yang kita sukai memakan apelnya, maka korbanmu akan jatuh cinta padamu. Harganya juga mahal. Tapi, apel ini khusus untukmu yang sedang mengalami kesulitan. Jika kau memakan apel yang ada di tanganku ini, maka kau akan berubah menjadi dirimu yang sesungguhnya. Harganya gratis karena hari ini aku sedang senang sekarang, karena apel-apelku tumbuh banyak dan subur semua. Dan juga, banyak yang memesan apel-apelku. Aku sukses besar!!"

Kepalaku mengangguk-angguk tanda mengerti. Apel yang tidak biasa karena memiliki kandungan yang jika dimakan akan berdampak sesuatu. Menarik. Bahkan ada apel pintar dan cinta? Menggelikan sekali, aku jadi penasaran dengan jenis-jenis apel apa saja yang dia tanam sehingga dia bisa sesenang ini karena bisnis apelnya sukses besar.

"Apel ini jika aku makan, aku akan menjadi diriku yang sesungguhnya? Maksudmu bagaimana?" tanyaku sambil menerima apel itu darinya.

Victoriye menyeringai dan menepuk pundak kananku. Aku bisa melihat mata jingganya dengan jelas serta rambut panjang berwarna jingga itu tampak sangat cocok untuknya. Dia cantik sekali.

"Kau ingin tahu jawabannya? Mudah saja. Kau makan saja apelnya sekarang, dan lihat apa yang akan terjadi setelah memakan semua apelnya. Aku yakin, kau akan menyukai ini!" jawab Victoriye yang sukses membuatku jengkel.

Baiklah, dia telah membuatku penasaran. Lagi pula, perutku terasa sudah lapar melihat apel menggiurkan ini. Apel merah mengilap dan buahnya yang besar. Sepertinya apel ini manis. Aku suka sekali apel. Apa yang kau tunggu, Letta? Cepatlah makan apelnya!

KRACK!

Satu gigitan apel, mengunyah apel yang aku gigit, kemudian setelah terasa lunak dan tak bisa lagi dikunyah, aku meneguknya. Rasanya manis dan segar. Enak sekali. Aku yang ketagihan dengan rasa apel ini kembali melakukan hal yang sama, menggigit, mengunyah, dan menelan. Seraya mengetahui rasa khas apel, air liurku tak terasa hambar lagi karena manisnya rasa apel.

Tidak terasa, apel yang tadi ada di tanganku lenyap kecuali pada bagian tengah yang sengaja tak aku konsumsi karena terdapat biji dan batang apel. Aku membuang bekas apel itu dan tak sengaja aku bersendawa kecil. Untung tidak keras. Perutku kenyang hanya makan satu apel? Aku merasa ketagihan, tapi satu saja cukup.

"Nah, bagaimana rasanya? Enak, kan?" tanya Victoriye.

"Enak! Apelmu enak sekali! Kalau ada lagi, berikan apelmu lagi padaku sebanyak-banyaknya secara percuma, ya!" jawabku sambil nyengir, sedangkan Victoriye yang melihat kelakuanku tertawa geli. "Aku sudah memakan apelnya. Setelah itu, apa yang akan terjadi?"

Victoriye tersenyum manis, sedangkan aku menatapnya tanya meminta penjelasan. Aku melihanya berjalan mundur dan melompat atau mungkin 'terbang' ke atas pohon dan duduk di dahan besar. Lagi-lagi aku bergidik ngeri melihatnya beraksi seperti itu.

"Itulah dirimu, Mouneletta Romanove. Kau telah menjadi dirimu yang sesungguhnya. Kau menyukai apel sampai kau memakannya sampai habis. Apa yang akan kau inginkan, kata-kata ataupun semua yang kau lakukan itu adalah benar dan tidak mustahil. Jadi, percayalah pada dirimu sendiri. Maka takdir yang awalnya mengerikan bisa kau balik menjadi sebaliknya! Itulah dirimu."

Tiba-tiba saja sebuah cahaya mengelilingi diriku. Cermin Doorfan akan membawaku lagi. Tapi, aku masih tak mengerti dengan kalimat Victoriye. Diriku yang sesungguhnya? Bahkan aku tidak tahu bagaimana diriku yang sesungguhnya. Memikirkan hal itu, rasanya membuang-buang waktu saja.

"Victoriye, aku tidak menger-"

"Sebentar lagi kau akan mengerti. Jika kau bersungguh-sungguh dengan segala yang kau ucapkan, maka kau akan tahu bagaimana dirimu yang sesungguhnya. Baiklah, sampai jumpa lagi, Mouneletta!"

"Hei! Tunggu dulu!"

Kedua mataku melihat Victoriye melambai-lambaikan tangan perpisahan padaku. Tidak sempat untuk berterima kasih karena apelnya telah membuat perutku kenyang. Dan juga, aku merasakan hal yang berbeda. Aku memeluk buku yang aku pegang sambil merasakan telapak tanganku terasa panas seakan ada yang akan terjadi.

Setelah ini, aku akan sampai di mana lagi?

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top