Bagian 13 : Aku Akan Mati?

Gadis berambut merah muda keunguan itu turun dari jaring laba-laba yang melekat di belakangnya dengan bantuan beberapa helai jaring laba-laba yang mengikat di kedua lengan dan bahu. Sambil menyeringai lebar, dia menunjukkan tangannya ke arahku terikat. Aku bisa melihat mata kirinya berwarna emas dan sebelah matanya terdapat bunga mawar merah muda. Rambut berponi di sekeliling jidat dan gaya dua ikat rambut oleh hiasan mawar pada kedua ikat rambut. Bajunya berwarna putih pucat polos tanpa ada hiasan, hanya mencolok pada bagian ujung lengan, keliling, dan leher membentuk gelombang mekar.

"Wah, tak aku sangka bisa mendapat penyihir bermata merah sepertimu. Kau tampak lezat. Bolehkah aku memakanmu?"

Apa aku tak salah dengar? Dia ingin memakanku? Dia ini kanibal atau makhluk jenis apa sampai tertarik sekali ingin menyicipiku? Senyumannya manis, tapi kalimatnya terdengar sadis.

"Kau ingin memakanku? Bagaimana caranya kau menyantapku? Apa kau akan memasakku menjadi sup?" tanyaku dengan tampang tenang, tapi kalau di dalam diriku, aku merasa khawatir, seolah ada yang akan terjadi padaku.

Aku harus waspada.

"Hm, aku lebih suka makan secara mentah dari pada dimasak. Tapi kalau diolah menjadi sup, mungkin bagus juga," katanya sambil mengangguk-angguk serius, membuat perutku merasa mual mendengar kalimatnya barusan.

"Kau sudah gila?" tanyaku tak tahan melihat seringai itu tampak permanen dan tak kenal lelah untuk menampakkannya. "Dan juga, kau benar-benar ingin memakanku?"

"Aku tidak gila. Tentu saja aku serius ingin memakanmu. Jika ada yang terjebak dalam jaringku, artinya itu adalah santapanku. Seperti yang kau alami sekarang. Kau terjebak dan perutku sudah sangat lapar. Sebelum aku akan memakanmu, aku akan melunakkan dirimu dulu."

Penjelasan itu membuatku tak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia mengaku dirinya tak gila. Kemudian, dia serius ingin memakanku. Dan dia mengatakan kalau perutnya sudah sangat lapar. Aku menelan ludah. Tubuhku tegang dan berkeringat dingin. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Melepaskan diri saja tidak bisa. Bagaimana cara aku dapat bergerak?

Gadis itu berjalan pelan ke arahku. Dia melompat-lompati beberapa jaring laba-laba seperti layaknya sebuah trampolin. Sampainya di hadapanku, betapa terkejutnya dia menampakkan dua taring gigi tajam yang tumbuh di dalam mulutnya dengan seringai yang kini membuatku merasa takut. Apa yang akan dia lakukan dengan taringnya?

KRUK!

"AKHH!! Apa yang kau— Akh! Hentikan itu! Kau melukaiku!!" rintihku tiba-tiba karena dia tengah menggigit bahu kiriku.

Dia merobek baju lengan kiriku dan langsung menggigit bahuku tanpa aku tahu dia akan melakukan itu. Aku bisa merasakan darahku berkurang di titik bahuku. Kedua taring itu menghisap darahku. Menyakitkan sekali. Dia sama sekali tidak peduli dengan rintihanku.

"Hua! Kau lezat sekali! Bahkan lebih lezat dari pada makanan yang pernah aku santap! Kau makanan favoritku! Aku akan melunakkanmu secara perlahan, karena kau adalah makan malam istimewaku. Oke, selanjutnya aku hias kulit halusmu ini ke bagian mana lagi, ya? Ah! Bagaimana dengan pahamu?"

Saat dia melepaskan gigitannya, rasanya sakit dan perih sekali. Bahkan darahku tak bisa berhenti mengalir keluar. Aku tak percaya ini. Dia bukan penyihir, melainkan VAMPIR! DIA VAMPIR!!

"Tch! Sial. Berhenti menghisapku! Aku tidak mau menjadi makana— AGKH!! TIDAK!!"

Dia menjongkokkan diri sampai menghadap kakiku, membuka sedikit baju bagian bawah yang menutupi kedua pahaku, dan segera menanamkan kedua taringnya ke dalam dagingku pada bagian paha kiri yang polos tanpa luka. Ini jauh lebih sakit dari yang tadi. Berusaha aku menahan jeritan dan rasa sakit yang menjalar. Sia-sia saja aku bicara padanya. Dia akan menghisapku sampai darahku habis.

"Mmm! Enak!" serunya selesai dia menghisap dan melepas taringnya dari pahaku. Kemudian dia menjilat darahku yang menetes keluar. "Penyihir bermata merah memang yang terbaik!"

Aku tidak akan menyerah, karena aku tidak akan mati semudah itu. Jika aku bayangkan Celdo melihat pemandangan ini, aku akan merasa malu karena diriku yang lemah ini. Tidak, aku tidak lemah. Aku bukan orang yang lemah. Aku akan melawan. Bukan melawan, aku akan membuatnya tahu jika berhadapan denganku! Aku akan membuatnya berlutut.

"CERMIN DOORFAN!"

Kalung yang aku gunakan mendadak bercahaya karena aku telah meneriaki nama kalung ini. Cermin Doorfan masih menjadi sebuah kalung. Cahaya yang begitu terang, sampai gadis itu menutup mata emasnya untuk sementara sampai cahaya yang cermin Doorfan buat menghilang tanpa sisa.

"Hah? Apa? Di mana dia??" Gadis itu bertanya-tanya dan bingung karena aku menghilang dari hadapannya termasuk dari ikatan jaring laba-laba menjijikkan itu.

"Aku di sini, vampir!" jawabku angkuh, membuatnya membalikkan badan ke belakang dan melihatku tak percaya. Dia melotot padaku.

"Bagaimana kau bisa lepas dari jaringku? Itu ... tidak mungkin! Jaring laba-labaku ini tak pernah terkalahkan oleh penyihir sepertimu!" hardiknya.

Aku menyeringai padanya sembari mengingat kalimat Celdo dalam pikiranku.

Kau harus tetap hidup. Aku mohon padamu. Kau jangan sampai mati. Berjanjilah!

"Aku berjanji," gumamku sambil memejamkan mataku sejenak, mengingat kalimat Celdo yang membuatku kini merasa tertegun. Setelah itu, aku kembali membuka mataku dan melihat gadis itu masih tercengang hebat.

Tanganku melepas kalung yang aku pakai dan menggenggamnya erat di depan mataku, seraya membayangkan sesuatu agar cermin Doorfan dapat berubah sesuai yang aku harapkan. Ya, aku akan mengubah wujud cermin ini menjadi sebuah pedang. Dan tak menunggu lama, cahaya kembali muncul pada cermin ini. Kemudian berubah menjadi sebuah pedang yang tajam kini tergenggam dalam tangan kananku. Pedang hitam yang ringan. Aku pasti bisa melenyapkan gadis penghisap darah itu.

"Jangan-jangan, kau tamunya Presiden? Dan yang kau ubah itu adalah cermin Doorfan! Benarkah itu kau?" kata gadis itu yang sukses membuatku bingung ingin segera menyerangnya saja ataukah tidak.

"Iya, ini cermin Doorfan. Tapi, pada saat aku berpindah lokasi dan bisa terlepas dalam jeratan jaring laba-labamu, aku menggunakan kekuatan teleportasi yang diberikan Celdo padaku. Karena itulah aku bisa lepas dengan mudah," jawabku menjelaskan, sementara dia selesai mendengarkan kalimatku, mulutnya tampak ternganga. Dia kenapa? Aneh.

"A-apa kau bilang? Celdo? Celdo Phantrom yang membagi kekuatannya padamu? Itu tidak mungkin! Dia tidak akan pernah memberikan kekuatannya secuil pun pada penyihir lain! Apalagi memberikannya padamu! Tapi, kekuatan itu sama persis dengan milik Celdo. Kau apakan sampai dia mau membagi kekuatannya padamu?? Jawab!!" katanya sambil menunjuk murka padaku.

Tentu saja kalimatnya membuatku bingung. Kenapa? Dia seperti tak menerima tentang Celdo telah memberikanku sedikit kekuatannya padaku. Kini mata emas itu melebar dan menatapku tajam dan musuh. Seringai itu tak ada lagi di mulut gadis cantik itu. Tapi, mengingat dua taring serta menggigit dan menghisap darahku, itu masih membuatku ngeri padanya.

"Aku tidak melakukan apa-apa," jawabku polos tak tahu diri, bahwa aku selalu jahil alias selalu menggoda Celdo tapi tidak parah yang sukses membuat Celdo salah tingkah. Mungkin itulah aku bisa mendapatkan kekuatan Celdo.

"Aku tidak terima kau mendapatkan Celdo! DIA MILIKKU!!" teriaknya padaku dengan berapi-api, sementara aku melihatnya dengan rasa yang amat terkejut. "Aku jadi tidak berselera makan karena kau sudah menghipnotis Celdo kesayanganku! Akan kubunuh kau!! Aku cincang tubuhmu itu sampai menjadi potongan dadu!"

Dia melangkah maju ke arahku dengan rasa kemarahan yang membara dalam hatinya. Aku bisa melihat giginya merapat kesal dan menatapku marah tanpa henti. Rupanya dia menyukai Celdo, dan mungkin Celdo terus mengabaikan bahkan menolaknya. Dan dia sedang merasakan iri padaku. Oke, sepertinya dia serius ingin membunuhku.

Hei! Aku tidak menyukai anak itu! Dia itu gila dan judes akut! Dan dia itu pemalu sekali! Walaupun menggemaskan jika melihat wajahnya merah merona seakan memancingku untuk menjahilinya lebih banyak lagi. Tanganku yang memegang pedang mulai mengatur posisi siaga. Aku mengingat sedikit beberapa teknik yang Celdo ajarkan, itu pun bagiku gerakannya tak sesempurna Celdo. Aku masih amatir dalam berpedang. Maka, aku akan menggunakan teknik sederhana saja, yaitu menebas dan menghindar.

Tiba-tiba, langkahnya semakin cepat ke arahku. Aku semakin waspada. Tak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Apa dia akan menggigitku dan menghisapku lagi ataukah ingin mencincangku menjadi potongan dadu seperti yang dia ucapkan tadi? Aku tak tahu.

ZLAB!

Tidak sampai aku melihatnya mendadak menyerangku tanpa bisa aku lihat dengan jelas. Seolah detik itu tak ada hitungan dari waktu. Bahkan, aku tidak tahu apakah tadi itu adalah semacam kekuatan yang bisa menghilangkan waktu ataukah gerakan tangannya yang terlalu cepat bahkan secepat kilat?

Aku sampai masih tidak percaya. Sampai aku tidak ingin menjabarkan dengan apa yang sudah aku dapatkan. Lebih menyakitkan dari pada dihisap oleh vampir seperti dia. Darah kembali menetes, namun lebih deras dari yang sebelumnya. Serangan ini, membuatku tak bisa berkata apa-apa selain muntah darah.

Tangan kanannya menusuk perutku sampai tembus ke belakang. Tak bisa aku bayangkan, sakit ini seolah akan menarik jiwaku ke atas langit. Sangat menyakitkan, darah keluar deras mengisi lantai marmer putih yang aku pijak. Sisanya keluar dari mulutku yang kini kotor karena darah. Napasku mulai sesak dan sulit untuk berdiri. Tangan kananku refleks menjatuhkan pedang.

Gadis itu melepas tangan kanannya dari perutku dengan kasar, betapa sakitnya sampai aku langsung terduduk merasakan sakit yang amat dalam. Aku memegang perutku yang terluka sangat dalam sampai menembus ke belakang sambil melihatnya kini menyeringai sadis. Mataku mulai mengabur dan kesadaranku perlahan berkurang. Aku bisa mendengar sebuah kalimat yang salut membuatku kesal tak terhitung.

"Bagaimana rasanya? Sakit, kan? Seperti hatiku yang kini merasakan sakit hati yang sangat dalam karena KAU sudah membuat Celdo tertarik padamu! Gadis sialan!! Aku akan membuatmu menyesal! Oh iya, namaku Nyong Dertik. Kau bisa memanggilku Nyong. Siapa namamu? Ah, mana mungkin kau akan memberitahu namamu, karena kau sudah sekarat sampai tak sanggup bicara sepatah kata pun! Kasihan!"

Aku berdecih parau mendengar kalimatnya. Kedua tanganku mengepal hebat. Berusaha aku melawan sakit dan bangkit untuk berdiri menghadapnya. Namun sayang, luka ini membuatku tak sanggup melakukan apapun selain mengepalkan tangan. Cermin Doorfan juga berubah menjadi sebuah cermin pada umumnya.

KRUK!

Kaki kanannnya sukses mendarat dan menginjak tepat ke sebelah wajahku sambil menjilati titik-titik darah yang ada di tangannya. Itu adalah darahku. Menjijikan sekali jika dilihat. Sambil aku berusaha melawan, dia dengan santai memijakku dengan senyum yang teramat sadis. Mata emasnya menyala beberapa detik dan kembali semula. Kemudian dia membuka mata kanan yang tertutup oleh bunga mawar yang mungkin sebagai hiasan wajahnya. Aneh memang.

Di balik bunga mawar merah muda itu, aku tersentak melihat mata kanannya berwarna ungu, sama persis seperti warna mata kanan Celdo. Dia penyihir bermata ungu. Tapi, kenapa dia punya taring? Apa dia ini adalah seorang vampir ataukah penyihir?

"Kau berpikir aku ini adalah vampir, kan? Ya, aku adalah vampir, tapi aku juga seorang penyihir. Karena Ibuku adalah vampir dan Ayahku adalah penyihir. Makanya aku dilahirkan dengan dua julukan. Seorang penyihir dan vampir. Kau masih ingat namaku? Nyong Dertik. Panggilanku Nyong. Kau sudah melihat kehebatanku menghentikanmu, kan? Lihat! Banyak sekali darah yang keluar dari tubuhmu! Aku akan menyantap semua darahmu sampai tak ada yang tersisa! Nyahahaha!!"

Aku mengerti sekarang. Setengah penyihir dan setengah vampir. Dia mempunyai dua darah yang diturunkan dari Ayah dan Ibunya. Menyulitkan sekali jika darah ini terus mengalir keluar. Luka ini juga tak membaik. Penglihatanku semakin mengabur. Aku tak ingin ini. Aku tidak ingin kalah dari orang sialan ini. Tapi, kenapa aku merasa sangat sakit? Kedua tanganku tak mampu lagi mengepal atau bergerak seinci pun. Tubuhku pun sudah lemas karena kehilangan banyak darah.

"Aku ingin tahu bagaimana ekspresi Celdo melihatmu mengenaskan seperti ini! Nyahahaha! Pasti mengasikkan!! Baiklah, siap untuk tusukan terakhirmu? Agar kau lebih cepat mati dan tak bisa merasakan sakit lagi. Dan aku akan menusukmu tepat di bagian jantungmu berada! Oh iya, sekalian aku akan mengambil kekuatanmu dan kekuatan yang Celdo berikan padamu! Nyahaha!! Aku akan kenyang sekali!"

Bagaimana cara melawan kematian? Kau bisa mencontohkannya sekarang? Tidak, kan? Semua kiasan itu MUSTAHIL! Bahkan kau tidak mampu menghindari kematian!

Deg!

Celdo benar. Semua yang aku katakan itu adalah mustahil. Melawan kematian? Pff! Lucu sekali. Kenapa aku membuat kiasan seperti itu? Memalukan sekali, bahkan aku tak mampu mencontohkannya. Aku benar-benar payah.

Begitu entengnya dia mencengkeram leherku dengan tangan kirinya sampai bisa mengangkatku berdiri. Sungguh, kedua tanganku tak mampu untuk bergerak lagi. Rasanya mati rasa. Aku hanya bisa menatapnya murka. Jika aku mampu melawannya sampai babak belur, aku tak akan pernah memaafkan perbuatan lancang ini.

Aku sudah berjanji. Janji haruslah ditepati. Tapi, kenapa aku malah terjatuh? Kenapa aku merasa sakit? Kenapa diriku sangat lemah? Dan kenapa ... aku menangis? Apa yang aku tangisi? Memangnya, ada hal sedih yang perlu aku tangiskan? Tidak ada, kan? Tak ada bawang merah di sekitarku atau apapun yang akan memancingku untuk menangis. Lalu, bagaimana caranya air mata ini keluar dengan sendirinya? Dan yang lebih membuatku bertanya-tanya.

Apa aku akan benar-benar mati? Apa aku telah ditakdirkan mati dalam keadaan seperti ini? Jika itu benar, sungguh begitu sialnya diriku. Bahkan berakhir di tangan gadis tengik ini? Aku tidak terima, tidak SUDI.

Nyong kembali menegangkan tangan kanannya dan kelima jari itu tampak membentuk lancip seolah tangannya itu adalah pisau runcing yang siap menusuk apapun. Seringai sadis mengukir jelas, tampak dia telah siap menyiksaku lagi. Sedangkan aku? Tak bisa berbuat apa-apa.

"Aku tusuk kau sekarang, ya! Selamat menuju neraka! Bay ...!"

Aku sudah kalah telak. Maafkan aku, Celdo. Aku tak bisa memenuhi janji yang kau berikan padaku. Aku benar-benar minta maaf. Selamat tinggal.

Wah, wah, apa Anda sudah melupakan rasa 'dendam' yang Anda simpan sehingga dengan santai mampu menghadap kematian?

DEG!

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top