Bagian 12 : Tersenyumlah untuk Semua Orang
Aku membuka mata. Keadaan tampak gelap dan juga jendela tampak redup. Mungkin ini sudah malam. Dan aku tengah terbaring di tempat tidur yang begitu nyaman. Oh, kamar ini. Aku pikir semua itu mimpi. Masuk ke dalam dunia aneh, bertemu orang aneh, menemukan hal-hal aneh, dan memiliki kekuatan aneh. Semua begitu aneh bagiku. Aku masih berada di istana Flowered, tempat tinggal Celdo Phantrom.
"Ukh!" Aku berusaha membangkitkan tubuhku.
Aku berkeinginan menyalakan lampu. Tidak bisa terlalu lama melihat kegelapan, karena ini mengingatkanku pada masa lalu. Tak ada waktu mengingat hal mengerikan itu. Aku harus menyalakan lampu, karena ini semakin mencekam. Saat aku akan turun dari ranjang tidur, betapa terkejutnya aku melihat Celdo bertengger di tepi tempat tidurku dengan wajah polos yang tertidur nyenyak. Hampir saja aku akan berteriak karena kaget. Tak habis pikir bocah ini menungguku sadar sampai selarut ini.
Apa aku bangunkan saja dia? Posisi tidur berlutut dan melipat kedua tangan serta kepala jatuh di atas kedua lengan, apa tak terasa kaku? Oke, jangan dibangunkan. Aku hanya akan meletakkannya saja ke tempat tidur. Setidaknya, dia tidak akan tidur seperti itu sampai pagi tiba. Aku segera mengangkat kepala dan kedua tangannya secara perlahan, sambil membatinkan kata hati-hati, aku berhasil menggendongnya, kemudian aku letakkan dia ke tempat tidur. Alhasil, dia tidak terbangun dari tidurnya. Untunglah dia ringan.
Sekarang apa? Oh iya, nyalakan lampu. Barusan, rasa takutku akan gelap menghilang saat tujuanku memindahkan Celdo ke tempat tidur. Setelah aku ingat keadaanku sekarang terkurung oleh gelap, aku kembali takut.
Di mana tombol lampunya? Sial, kalau gelap begini, bagaimana caranya aku menemukan tombol lampunya? Ini semakin menyeramkan. Bahkan aku takut mengambil langkah— maksudku ragu mengambil langkah maju. Jika aku menabrak sesuatu, bisa saja Celdo mendengarnya dan terbangun. Kemudian, aku akan mendengarkan ocehan Celdo yang super pedasnya karena kejadian siang tadi. Aku tak ingin telingaku rusak.
Tidak ada pilihan lain lagi selain kembali tidur dan menunggu pagi. Aku berani sumpah, kegelapan ini membuatku horror. Aku mulai bergidik ngeri dan memeluk kedua lenganku sendiri. Mataku melirik Celdo yang tengah tertidur manis.
Tidak mungkin aku membangunkan Celdo hanya karena masalah sepele. Apalagi kalau masalahku adalah takut gelap. Pasti dia akan mengataiku macam-macam. Aku hanya ingin memintanya untuk menyalakan lampu. Perasaanku semakin buruk serta kedua kaki dan tanganku sedikit bergetar. Aku sudah tidak tahan lagi dengan keadaan gelap ini.
Aku kembali ke ranjang tidur dan menutup semua diriku dengan selimut. Berusaha aku memejamkan mata untuk terlelap dalam mimpi, namun sia-sia saja. Kalau begini caranya aku bisa gila. Aku harap Jessy ada di sini. Menyuruh gadis pemakai dua pedang itu menyalakan lampu untukku, karena dia adalah pelayan pribadiku. Dia adalah pengikut setia yang akan melindungiku sampai akhir. Tapi sekarang, dia tidak ada bersamaku.
Aku membalikkan badanku ke arah Celdo. Melihatnya tertidur seperti itu, rasanya menganehkan juga. Aku ingin tahu apa reaksinya jika kini dia tidur bersamaku. Haha, aku yakin dia pasti akan mengomel dengan merah merona di wajahnya. Dia pemarah tapi malu-malu.
"Hm?" gumam Celdo tiba-tiba dengan setengah sadar membuka mata birunya dan menoleh ke arahku yang tengah menatapnya kaget. "Letta? Kau sudah sadar?"
DIA BANGUN!!
"Kau tidak lihat aku sudah sadar? Tidak perlu dipertanyakan lagi, kan?" balasku jengkel, karena aku benci pertanyaan omong kosong. Aku sudah bilang itu berapa kali.
"Oh iya benar," sahut Celdo mengucek mata kirinya seraya bangkit dari posisi baring. "Bagaimana keadaanmu?"
Aku sempat berpikir ke arah lain sambil ikut bangkit dan duduk menghadap Celdo. Kenapa dia tidak panik setelah tahu dia sudah ada di atas ranjang tidur? Bukan di bawah lantai lagi? Ini membuatku heran melihat wajah polos dan datar itu. Atau mungkin saat ini dia masih tidak sadar dari dunia mimpi? Membingungkan sekali.
"Keadaanku baik," jawabku.
"Tak ada rasa sakit pada bagian lehermu?"
"Tidak ada. Rasanya biasa saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku baik-baik saja."
"Huh. Syukurlah kau tidak apa-apa. Sebaiknya jangan kau buat aku khawatir padamu lagi. Rasanya menjijikkan sekali jika aku tengah mencemaskanmu. Aku merasa telah keracunan sesuatu."
Benar kan apa yang aku katakan. Kalimat pedas dan membuat sakit hati itu mengalun jelas di mulut Celdo, membuatku hanya bisa sabar dengan cara menghela napas. Namun setelah itu, betapa terkejutnya aku melihat Celdo meringis geli kemudian ... TERTAWA. Aku menatapnya aneh.
"Kau kenapa? Sudah gila?" tanyaku secara tak logis tapi kenyataannya dia sudah seperti orang gila pecinta topi tabung dan dasi kupu-kupu.
"Mungkin? Hahaha!" jawab Celdo disela tawanya sambil menopang jidat dan memegang perut. Oke, dia benar-benar sudah gila. "Aku juga tidak tahu kenapa aku tertawa. Saat melihatmu, aku merasa bahagia."
Aku membelalakkan mata tak percaya seraya menelan kalimat ambigunya itu. Oh tidak, jangan sampai aku salah paham dengan kalimatnya. Tidak sudi aku akan benar-benar menikahi bocah tengik ini. Lagi pula, aku tidak mau menikah dengan laki-laki yang lebih muda dariku, itu aneh. Apa lagi umur kami jauh berbeda.
"Sudah selesai tertawanya?" tanyaku telah bosan melihatnya terus tertawa ria.
Celdo berusaha menetralisir tawanya sambil menyeka titik air mata karena terlalu banyak tertawa. Mengerikan sekali melihatnya tertawa tanpa maksud. Tapi, saat aku mengingat hari di mana aku pertama kali bertemu dengannya di ladang bunga mawar, aku jadi tertegun. Ekspresi garang dan sangar itu seolah tak pernah dia miliki. Aku lebih menyukai ekspresi yang sewajarnya saja. Maksudku, menyenangkan.
"Sepertinya sudah," jawab Celdo pada akhirnya dan tersenyum seribu makna.
Seribu makna? Karena, senyuman itu seolah terasa langka. Aku merasa rugi jika tidak melihat dia tersenyum. Senyumannya tampak cerah dan hangat. Senyuman tulus. Aku juga ikut tersenyum. Bagus! Aku juga ikut menjadi gila.
"Hm, aku ingin tahu. Kenapa kau menutup mata kananmu? Apa terjadi sesuatu dengan matamu itu?" tanyaku penasaran sambil menunjuk ke arah mata kanan Celdo yang tertutup oleh penutup mata hitam. "Jika aku bayangkan kau tidak menggunakan penutup mata, mungkin kau akan jauh lebih tampan."
"Cih. Jangan bayangkan hal-hal aneh!" ucap Celdo sambil memukul bantal dengan kepalan dan meninggalkan jejak pukulan pada bagian tengah. "Kenapa kau ingin tahu? Aku adalah penyihir bermata ungu, namun aku dilahirkan dengan satu mata ungu dan satunya lagi berwarna biru. Mata ini adalah kekuatanku yang jarang sekali aku gunakan. Jika aku tak menutup sebelah mataku, aku akan menjadi tampak aneh."
Aku mengangguk mengerti dan menyungging senyum melihat wajah Celdo tampak merah merona karena aku sudah mengatainya tampan. Dasar anak ini ingin membuatku semakin menggodanya saja. Tapi, tidak sampai aku akan terus membuatnya lucu begini, karena bisa saja dia benar-benar akan menyukaiku. Jika aku tak sengaja membuatnya jatuh hati padaku, entah kenapa aku tak bisa berkomentar tentang itu, karena terlalu mengerikannya, aku hanya bisa menggelengkan kepala.
"Siapa yang sudah melenyapkan monster tadi siang?" tanyaku mengalihkan pembicaraan agar aku tak semakin gila.
"Zee yang melenyapkan makhluk menjijikkan itu. Dia memang unggul sekali dengan kekuatan sengatan listriknya. Dia cocok kalau aku beri dia misi untuk membunuh seseorang, tapi aku tak punya musuh untuk di bunuh. Ah, membosankan!" jawab Celdo mencerocos tak jelas. Abaikan saja itu.
"Sengatan listrik?" ulangku tak mengerti dan mendapat anggukkan dari Celdo. "Apa itu adalah kekuatannya? Sebenarnya, tadi itu aku juga berhasil mengeluarkan sesuatu di kedua tanganku. Apa maksudnya?"
"Ah, biar aku jelaskan untukmu. Setiap penyihir, dilahirkan dengan kekuatan yang tumbuh subur di tengah jantung kita. Kekuatan itu pun beraneka ragam. Ada yang memiliki kekuatan api, listrik, angin, es, dan lain-lain. Masing-masing kekuatan memiliki nama tersendiri yang tergantung dari kepribadian kita. Itulah kekuatan seorang penyihir di Fantasy Land," jelas Celdo.
"Apa kekuatanmu?" tanyaku sambil mencerna penjelasan Celdo yang tampak gila dan tidak masuk akal untukku itu. Walaupun dijelaskan, tetap saja aku tidak mengerti.
"Kekuatanku adalah teleportasi. Kau tahu kemampuan mawar hitam? Aku memuat sedikit kekuatanku ke setiap kelopak mawar hitam yang tumbuh. Karena itu, aku bisa memindahkan diriku tanpa durasi yang akan menghabiskan waktu dengan mawar hitam agar tampak berbeda," jawab Celdo enteng dan senyuman angkuh itu hampir saja membuatku berdecak, menyebalkan sekali.
Aku masih tidak mengerti. Jika kekuatannya adalah teleportasi, kenapa dia bisa menyulap bunga menjadi pedang? Masih ingat saat aku pertama kali berhadapan dengan Celdo? Pada saat bunga mawar putih berada di tangannya dan berubah wujud menjadi sebuah pedang. Apa dia memiliki dua kekuatan? Jika iya, kedua kekuatan itu sangat aneh, walaupun itu keren tetap saja aneh.
"Bagaimana caranya kau menyulap bunga menjadi sebuah pedang? Apa itu tidak ... masuk akal?" pikirku yang salut membuat Celdo menghela napas.
"Hei, kan sudah aku bilang. Kekuatanku adalah teleportasi. Selain memindahkan diriku ke tempat yang aku inginkan, aku juga bisa memindahkan benda satu ke tempat lain dan benda yang sebelumnya berada di sana telah berada di tanganku. Bisa disingkat, bertukar lokasi. Masa kau tidak mengerti?"
Aku mengangguk-angguk mengerti. Sekarang aku paham fungsi kekuatan teleportasi itu. Menganehkan, tapi bisa bermanfaat untuk pindah tempat bagi yang malas gerak. Tapi jika semua manusia memiliki kekuatan seperti itu, bisa saja dunia akan kiamat, termasuk dunia gila ini. Lagi pula, aku tidak mau memiliki kekuatan seperti itu. Aku bukan orang pemalas jika ingin ke suatu tempat yang diinginkan atau benda yang ingin diambil.
Tanpa dipinta dan aku yakin tidak memohon padanya untuk membuka mata kanannya. Celdo sedang melepas tali penutup mata yang mengikat pita di belakang kepala. Kemudian dengan tenang dia menjauhkan penutup mata hitam itu dari mata kanannya. Aku bisa melihat mata kanan itu masih tertutup oleh rapatnya kelopak mata beserta bulu mata lentik itu menghiasi di setiap pinggir kelopak. Sedangkan mata birunya menatap kedua mata merahku dengan serius.
"Letta, kau adalah penyihir bermata merah. Kelompok penyihir terkuat di Fantasy Land. Kau pasti bisa mengalahkan semua penyihir yang ingin membunuhmu atau saat ini mereka tengah mengincarmu dari jauh. Cepat atau lambat, kau akan menghadapi banyak ancaman, karena Fantasy Land terdapat banyak bahaya yang tidak bisa dipandang sepele. Dengan kekuatanmu dan cermin Doorfan yang melindungimu, kau pasti bisa melangkah maju sampai kau akan menginjak ke lantai atas, tepatnya di tempat Presiden menetap. Kau dipanggil ke sini oleh Presiden yang pasti karena alasan tertentu. Tapi, aku pernah mendengar gosip di sekolahku. Presiden pernah membawa manusia ke Fantasy Land, kemudian membunuhnya tanpa sebab. Sebaiknya, kau hati-hati jika kau sudah bertemu dengannya."
Tepat dikata-kata terakhir Celdo, seluruh buku kudukku berdiri karena merinding. Aku tidak menyangka orang yang disebut sebagai 'Presiden' itu bisa membunuh orang tanpa sebab. Jangan-jangan, dia psikopat? Tapi, kenapa mengincar manusia? Bukankah jika ingin melampiaskan hasrat membunuh, di dunia ini juga terdapat banyak makhluk yang bisa dibunuh. Kenapa jauh-jauh mencari korban di dunia yang lain? Aneh.
Mulutku menyungging senyum sambil melipat kedua tangan di depan dada. Tidak akan aku biarkan siapapun yang membunuhku, karena akulah yang akan membunuh orang-orang yang mengincarku. Walaupun baru-baru ini aku berlatih pedang, aku pasti bisa menggunakan benda tajam itu membunuh— maksudku, melindungi diri dari bahaya yang nanti akan mengancam.
"Jangan khawatir. Aku bisa mengatasi hal itu sendiri dengan mudah!" kataku penuh percaya diri, sementara Celdo yang mendengar itu tersenyum mengejek.
"Heh! Apa kau bilang? Mengatasi sendirian? Kau pun masih tidak sanggup melawan monster tadi siang. Monster itu sangat lemah. Semua bisa mengalahkannya dengan hitungan detik. Bahkan anak-anak saja bisa melakukan hal semudah itu. Kau pun harus masih banyak belajar mengerti sihir dan pedang! Fantasy Land tidak aman untuk orang amatir sepertimu. Untuk meringankan itu, aku akan berikan sedikit kekuatanku padamu," kata Celdo kemudian membuka mata kanannya yang berwarna ungu terang.
Pada saat aku melihat mata itu, aku bisa merasakan hal yang berbeda. Entah itu apa, sepasang mataku pun tak mampu untuk berkedip. Meskipun aku mulai merasa sakit karena terangnya mata ungu itu, aku masih bisa bertahan. Transfer kekuatan? Bisa saja.
"Celdo, a-aku .. agkh!" rintihku karena ini sama sekali tak nyaman. Mata ungu itu seolah menusuk kedua mataku dengan senjata tajam. "Sakit .. sakit sekali!"
Tubuhku tak sanggup lagi untuk bangun, seakan ikut tersiksa. Saat aku akan menjatuhkan tubuhku, Celdo langsung menangkapku dan berada dalam rengkuhannya. Aku bisa melihat cermin Doorfan yang masih membentuk kalung di leherku, bercahaya tepat Celdo menutup kembali mata kanannya. Dan rasa sakit seperti nyeri ini perlahan berkurang dan hilang.
"Kenapa aku mau membagi kekuatanku padamu? Karena ini pertama kalinya aku bisa percaya pada seseorang. Kau adalah penyihir pilihan Presiden yang berikutnya. Jika kau mati, aku tak akan pernah memaafkanmu karena sudah membagi kekuatanku padamu. Kau tidak ada waktu lama lagi untuk berada di sini. Cermin Doorfan akan segera membawamu ke penyihir lain untuk kau lawan. Artinya, aku sudah kalah darimu. Kau mengalahkanku dengan caramu yang entah tidak bisa aku hindari. Biasanya jika ada penyihir datang padaku, aku akan langsung membunuhnya. Kali ini, aku tak bisa melakukan itu karena kau penyihir yang sedikit berbeda. Aku penasaran, bagaimana cara kau mengelabuiku sampai sekarang aku tak sudi untuk membunuhmu? Sihir macam apa yang kau pakai? Aku berpikir jika membunuhmu, rasanya aku akan rugi. Tapi apa alasanku tak mampu melenyapkanmu? Betapa bingungnya aku saat ini. Kalau aku sudah tahu apa alasannya, secepatnya atau nanti, kita pasti akan bertemu lagi. Aku akan mendukungmu dari jauh dan melindungimu dari kekuatanku yang ada dalam tubuhmu. Sampai bertemu di tempat lain, Lett .."
"Tunggu." Aku memotong kalimatnya sambil berusaha membangkitkan tubuhku. "Ada yang ingin aku katakan padamu."
Celdo mengikat kembali penutup matanya dan kembali menatapku tanya. "Apa itu?"
Seluruh tubuhku mulai bercahaya karena kekuatan cermin Doorfan. Benda aneh yang akan membawaku pergi entah kemana. Sebelum aku akan berpisah dengannya, aku juga harus mengatakan sesuatu. Kalau nanti aku tak bisa lagi bertemu dengannya tanpa mengucapkan sesuatu, aku akan merasa payah.
Tanganku mengelus rambut biru malam halus itu lalu mendarat ke pipi kirinya. Mendadak aku mendekatkan jidatku ke jidatnya sambil memberikan senyumanku. Sementara Celdo menatapku canggung serta wajahnya merah padam. Mungkin aku tahu kenapa dia tidak bisa membunuhku. Tapi biarkan dia mencari tahu sendiri. Aku akan menunggu reaksi yang lebih lucu dari ini, hahaha! Oke, jangan gila sekarang. Aku serius.
"Jangan lupa untuk tersenyum jika kau ingin mempunyai banyak teman. Saat aku nanti akan bertemu lagi denganmu, kau harus sudah memiliki banyak teman dan perkenalkan mereka padaku. Kalau kau tidak bisa mendapatkan teman seorang pun, lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu nanti. Tersenyumlah untuk semua orang. Oh iya, terima kasih sudah ingin mengajariku berpedang dan membagi kekuatanmu .."
"Kau tidak perlu berterima kasih, karena itu juga bagian dari keinginanku padamu. Kau harus tetap hidup. Aku mohon padamu. Kau jangan sampai mati. Berjanjilah."
Aku tersenyum miring. Dia terlalu mengkhawatirkanku. Tanganku tiba-tiba menjitak kepalanya dengan gemas, membuatnya beraduh kecil dan mencibir.
"Aku akan baik-baik saja. Percayalah, selama ada yang mengharapkan keselamatanku, tak ada yang mampu melukaiku."
Celdo menjauhkan tangan dan jidatku. Aku pikir dia menolak perbuatanku, tapi melihatnya tersenyum dan memelukku begitu erat, sehingga aku bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari pada jantungku. Setelah aku mendengar kata-kata terakhirnya, aku pun pergi menghilang oleh cahaya cermin Doorfan.
"Terima kasih, Letta. Aku akan merindukanmu."
👑👑👑
PLUNG!
Tidak begitu lama bahkan tak ada durasi untuk menjabarkan berapa singkatnya aku jatuh di suatu tempat yang begitu asing. Asing dan ... menjijikkan. Kenapa? Karena aku tengah terduduk di JARING LABA-LABA!! Hiii!!!
Aku bangkit dari dudukku dan melihat sekitar. Semua tampak aneh. Seperti berada di suatu ruangan, tapi luas sekali seakan tak ada ujung untuk mengakhiri. Dan aku masih merasa jijik karena di sekitarku terdapat banyak jaring laba-laba. Apa di sini ada laba-laba raksasa? Aku tidak mau melihat mereka! Bahkan membayangkannya saja sudah membuatku geli.
ZLEB!
Apa ini? Tubuhku tiba-tiba saja diikat begitu saja oleh utasan jaring laba-laba. Menjijikkan sekali. Siapa yang mengikatku?? Bahkan aku belum melihat siapa pemilik tempat serba merah muda pucat ini. Aku berusaha melepaskan diri, namun sia-sia saja. Jaring laba-laba ini begitu kuat dan elastis. Semakin membuatku jijik saja.
Tiba-tiba suara cempreng seorang gadis mengisi kesunyian tempat ini, membuatku menoleh ke atas sebelah kanan. Tak jauh dari tempatku terikat, gadis itu tengah melekat oleh jaring laba-laba. Aku menduga tempat jorok ini adalah miliknya. Dia menyeringai padaku. Entah kenapa, aku mendapat firasat yang cukup membuatku sedikit khawatir. Ini firasat buruk. Tidak salah lagi.
"Wah, tak aku sangka bisa mendapat penyihir bermata merah sepertimu. Kau tampak lezat. Bolehkah aku memakanmu?"
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top