Bagian 11 : Panggil Aku Letta
"Pertahanan dan kekuatanmu memegang pedang payah sekali! Busungkan dadamu! Kau tidak memiliki otot, tetapi kekuatan tanganmu bisa menggantikannya. Kenapa kau menangkis seranganku terus? Lawan aku! Jangan ragu! Anggap saja aku ini musuh yang kau kejar saat ini!"
Setelah sehari aku mengajarkan Celdo bersosialisasi, kini giliran Celdo yang menjadi guru dan aku menjadi muridnya. Dia sudah berjanji untuk mengajarkanku cara berpedang. Kami berpedang di ruangan yang sangat luas. Semua bercat dinding putih kecuali bagian atap yang diwarnai cat hitam. Entah ini ruangan apa, Celdo tidak terlalu menjelaskannya. Dia hanya menunjukkan tempat di mana semua pedangnya disimpan, yaitu di ruangan yang seluruh dinding digantungi banyak pedang zaman dahulu. Mungkin ini adalah tempat untuk melatih pedang. Aku tidak mengira pedang lawas ada di dunia ini. Aku pikir senjata di sini akan berbentuk konyol seperti dunia ini.
Aku bisa melihat gerakan Celdo begitu menyulitkan dan susah dibaca, membuatku tak sanggup untuk melawannya. Tapi, aku belum menyerah. Ini baru saja di mulai. Aku harus bisa berpedang. Hanya ini satu-satunya kekuatan terbesarku untuk balas dendam.
Ya, balas dendam.
Aku akan melenyapkan pembunuh itu dengan pedangku sendiri. Tidak akan aku biarkan orang itu lepas dari sasaranku. Siapapun dia, aku akan membunuhnya. Aku bersumpah.
SSTTHH!!
Tiba-tiba saja aku mendapat suatu reaksi besar di tangan kananku. Jantungku berdetak kencang saat pedangku hampir mengenai Celdo. Untung saja dia bisa menghindari seranganku dengan sempurna, jika tidak mungkin aku sudah menewaskan anak ini. Hiii! Seram.
Celdo tersenyum tipis melihat perkembanganku. Lihat, aku ini mudah sekali berkembang pesat, bukan begitu?
"Wow, tadi itu hampir saja. Kau habis kena apa? Oke, karena kau bisa membalas seranganku meskipun baru sekali, waktunya istirahat 15 menit," ucap Celdo sambil menurunkan pedangnya, sedangkan aku yang mendengar itu langsung menghempaskan pantat ke lantai dan melemaskan tangan kananku.
Lelah rasanya pada saat lamanya aku menggenggam erat pedang ini. Pedang tipis dan ringan tapi susah sekali menyeimbangkan dan membentuk posisi yang benar. Celdo sampai berpuluh kali berdecih karena aku selalu melakukan kesalahan. Beberapa kali dia membenarkan posisi memegang dan cara menyerangku.
Belajar berpedang ternyata tidak seperti yang aku bayangkan. Aku pikir pedang itu mudah dipelajari, ternyata sulit sekali. Berusaha aku menyeimbangkan pedang yang aku genggam, kemudian membelokkannya, menghunus, menembak, dan berupa serangan lainnya yang sulit sekali dipraktikkan.
Aku hampir tak percaya. Anak berumur 13 tahun seperti Celdo, bisa bermain pedang bahkan sampai memintanya untuk mengajariku cara berpedang. Ini memang mengurangi harga diriku, tapi apa boleh buat. Aku ingin bisa berpedang dan satu-satunya yang bisa mengajariku adalah Celdo. Dia hebat. Aku sampai ternganga melihat gerakan berpedangnya saat kami sedang bertarung.
"Jee!!! Ambilkan kami berdua minuman! Cepat!!" teriak Celdo memenuhi ruangan ini.
Aku menghela napas dan menggelengkan kepala setelah mendengar pekikannya itu berhasil membuat kedua telingaku berdengung sakit. Dan berselang menit kemudian, dia kembali memekikkan nama pelayannya itu karena orang yang dia panggil tidak muncul juga.
"JEE!!!!!!!" teriakannya semakin keras dan lebih fales dari sebelumnya, membuat kedua telingaku semakin tersiksa.
"DIA TIDAK ADA!!" balasku berteriak karena sangat tidak tahannya aku mendengarnya memekik ria, membuat Celdo yang duduk tak terlalu jauh dariku dengan cepat menolehkan kepalanya ke arahku.
"Bagaimana kau tahu dia tidak ada?" tanya Celdo menatapku menyelidik.
"Kemarin, dia mengatakan padaku kalau besok tidak bisa datang bekerja karena ada sesuatu yang harus dia bereskan di luar sana," jelasku mengingat Jee menghampiriku sebelum dia akan pergi dan pulang ke rumahnya karena pekerjaannya berakhir sebelum malam tiba.
"Hah?! Kenapa bilangnya padamu? Seharusnya padaku! Aku majikannya, bukan kau!" pekik Celdo garang seraya menunjukku seolah akulah yang bersalah.
Sial, dia tidak tahu kemarin aku berbohong pada Jee kalau aku ini adalah calon istrinya. Jadi, Jee percaya itu dan kalau dia ingin berpesan sesuatu untuk Celdo seperti meminta izin tidak bekerja karena ada halangan, dia tanpa ragu minta izin dariku.
"Memangnya kenapa kalau dia meminta izin dariku? Aku bisa menyampaikannya padamu," balasku.
"Tidak boleh! Kau bukan majikannya! Kenapa dia minta izin darimu?? Besok kalau dia datang, aku akan menghukumnya!" hardik Celdo, membuatku berdiri dari duduk santaiku dan menatapnya lebar penuh rasa kejut.
"Kalau boleh tahu, hukuman apa yang akan kau berikan padanya nanti?" tanyaku.
"Tentu saja mencambuknya! Apa lagi?" jawab Celdo enteng tapi tidak santai, membuatku lebih terlonjak dari yang tadi.
Dia bercanda atau yang dia katakan itu adalah benar. Jee akan dihukum dengan cambukan? Oleh bocah sialan ini?! Tidak. Aku tidak terima itu. Jee orang yang baik. Dia tidak pantas mendapat hukuman seperti itu. Sangat tidak cocok, apalagi kalau yang menghukumnya adalah seorang bocah seperti Celdo! Aku keberatan.
"Jee tidak melakukan apa-apa! Hukum saja aku!" ucapku tiba-tiba. Aku ini bodoh sekali, ya?
"Hei? Jelas-jelas kau tidak ada hubungannya dengan ini. Dialah yang akan aku hukum. Kau jangan ikut campur," balas Celdo tak acuh. "Cih. Kau juga kehausan, kan? Ada urusan apa sih sampai mendadak tidak bekerja?"
"KEJAM! KAU JAHAT!! TIDAK PUNYA HATI!!" teriakku mengabaikan semua kalimat yang dia ucapkan, sedangkan Celdo membelalakkan kedua mata birunya dan melihatku berlari pergi meninggalkan ruangan.
"Letta!" panggil Celdo berusaha menghentikanku, tapi aku tak menghiraukannya dan tetap berlari dengan perasaan yang amat kesal.
👑👑👑
Anak kecil sok mengatur, durhaka, tidak punya perasaan, semuanya payah! Dari awal aku sudah menduga dia itu adalah anak yang sangat berbeda dari pada anak-anak berumur 13 tahun yang aku bayangkan. Aku benci keangkuhan dan cara dia berkuasa, sangat tidak lucu. Berapa pun aku dibayar untuk menikahinya saja akan langsung aku tolak secara mentah-mentah.
Jee tidak bersalah. Dan seharusnya aku tidak bodoh, karena kemarin aku berbohong pada Jee kalau aku ini adalah calon istrinya. Aku pikir jika berbohong dan sedikit iseng, tidak akan terjadi apa-apa. Aih, Jee! Maafkan aku karena sudah bohong padamu. Ini karena sisi 'iseng' ku sudah melihat wajah dan sifat Celdo yang membuatku gemas dan jengkel. Aku sampai tidak bisa mengendalikan akal sehat.
Tunggu, untuk apa aku berlari pergi dari Celdo? Kenapa aku egois begini? Memalukan sekali, seharusnya aku tebas saja dia tadi! Menjauh darinya atau pun menangis tidak akan mengubah apa-apa. Percuma aku marah atau protes. Tapi, jika aku membayangkan Jee yang baik hati bahkan tidak bersalah sama sekali, mendapat cambukan yang akan menghasilkan rasa sakit dibeberapa anggota badan. Aku harus bertindak. Bagaimana caranya? Tak ada cara untuk mengalihkan pikiran Celdo untuk tidak menghukum Jee.
"Selamat siang, Nona!"
Aku tersentak mendengar suara seorang lelaki menyapaku. Tidak, itu tidak mungkin. Jee tidak ada di sini. Tapi, suara itu mirip sekali dengan Jee. Jika itu bukan Jee, lalu siapa? Dan setelah aku lihat siapa yang menyapa, ternyata ... DIA MIRIP SEKALI DENGAN JEE! SAMA PERSIS!!
Rambut coklat, potongan rambut yang sama dengan Jee, rupa wajah, dan bedanya hanya pakaian. Dia memakai kemeja putih dengan rompi coklat tanpa lengan dan celana kasar berwarna biru tua. Di tangan kanan terdapat sarung tangan hitam menutupi semua punggung, telapak, dan kelima jarinya.
"Siapa kau?" tanyaku sambil melangkah mundur satu kali untuk menjaga jarak darinya, jujur aku benci orang asing apalagi kalau sok ramah begitu.
"Ah, apa Jee tidak mengatakannya padamu? Aku juga bekerja di sini. Pekerjaanku mengurus kebun mawar Tuan Celdo. Perkenalkan, namaku Zee Wanpa. Aku adalah saudaranya. Kami lahir beda lima menit. Aku lahir lebih dulu, artinya aku adalah kakak dan dia adalah adik. Oh iya, Nona untuk apa berlari? Nanti anda bisa jat .."
"Bagaimana ini, Zee? Ini salahku! Jee akan dihukum! Aku tidak terima itu! Jee tidak bersalah sama sekali!" potongku sambil mencengkeram dan menarik kerah bajunya, sementara Zee terkejut melihatku.
"Kenapa Anda panik?" tanya Zee balik, membuatku bingung tidak tahu arti melihat ekspresi tenangnya. Mungkin dia tidak keberatan adiknya akan dihukum. Aneh. "Kalau Anda keberatan dengan hal itu, Anda bisa katakan pada Tuan untuk meminta penolakan terhadap hukuman Jee."
"Tetap saja!" balasku. "Tunggu, kau ini adiknya, kan? Seharusnya kau .."
"Ikut keberatan juga?" potong Zee yang sukses membuatku semakin waspada terhadapnya. "Sebagai seorang kakak, aku akan membiarkan apa yang dia lakukan, selama dia mau menganggapku ini adalah kakaknya."
Entah kenapa lama-lama aku merasa jengkel melihat wajah sok tenang itu. Ingin sekali aku tinju saja, atau aku tebas saja lebih bagus juga. Dia mengatakan kalau Jee adalah adiknya. Aku bingung. Seharusnya, setelah mendengar penjelasanku, dia akan ikut panik dan khawatir. Ternyata? Ini mencurigakan.
"AAA!!!" pekikku tak sengaja karena Zee tiba-tiba mencekik leherku dan mengangkat diriku sampai aku tidak memijak lantai. "APA YANG KAU LAKUKAN— AKHH!!"
"Beruntung sekali aku menemukan penyihir sepertimu. Energimu itu lebih cocok jadi milikku saja, penyihir bermata merah!" balasnya dan aku semakin terkejut suara Zee mendadak berubah menjadi berat seakan ada yang mengganjal dalam kerongkongannya. Itu suara monster.
Aku merasakan kalau dia bukan Zee ataupun kakaknya Jee. Dia orang asing yang sengaja menyusup ke dalam istana Flowered. Lama-lama, cekikan ini semakin menyiksa leher dan pernapasanku. Ukuran tangannya perlahar membesar dan berubah wujud, termasuk tubuh beserta wajahnya. Ini menakutkan, menjijikan sekali.
Beberapa detik dia mengubah wujud, betapa terkejutnya aku melihat wujudnya yang sekarang. Bukan lagi manusia ataupun serigala jadi-jadian, melainkan ... MONSTER SWONLERDA! Ini tidak mungkin. Monster Swonlerda ada di sini? Di Fantasy Land? Kenapa? Apa mereka diciptakan di sini? Siapa yang membuat mereka?
"Hhh!!" Sial, napasku semakin sesak dan sulit menarik napas. Aku bisa merasakan ada sesuatu keluar dari mulutku. Air liur beserta setetes darah keluar dari sudut bibirku.
Aku tidak ingin mati. Tidak akan mati. Monster Swonlerda adalah petunjuk pertamaku untuk menemukan pembunuh kedua orang tuaku. Ini kesempatanku. Di dunia ini, Fantasy Land, aku akan mencari pembunuh itu di sini, karena dunia ini adalah petunjukku yang paling utama untuk menemukan siapa pembunuh orang tuaku.
Lawan. Lawan makhluk ini, Letta! Keluarkan apa saja yang ada dipikiranmu! Aku adalah penyihir! Kelompok penyihir terkuat di Fantasy Land. Aku harus melawan kematian ini. Tidak akan aku biarkan dia menghisap energiku. AKU TIDAK MAU MENJADI LEMAH!!
Kedua tanganku mulai bereaksi. Aku memegang kuat tangan monster yang tengah mencekik leherku. Kemudian, entah dari mana, sesuatu keluar dari tanganku. Seperti ada kekuatan yang tumbuh di dalam tubuhku. Kekuatan yang baru saja keluar dari persembunyian. Aku benar-benar terkejut karena aku punya kekuatan ...
... ES?! Tapi, kenapa warnanya merah?
TRAKK!!
TRAKK!!
Aku langsung menembakkan es dari kedua telapak tanganku tepat ke mata monster itu. Makhluk itu kesakitan dan berinisiatif memegang kedua matanya yang tertusuk oleh es runcing yang aku buat, sehingga aku terlepas dari cekikannya. Dan sialnya, aku terhempas sakit ke lantai. Rasanya punggung dan tulang pantatku patah.
Apakah ini mimpi? Apa aku sedang berkhayal? Tidak mungkin. Aku sudah tersiksa dicekikan itu dan bisa merasakan sakit, mana mungkin ini adalah khayalan atau mimpi. Aku ... punya kekuatan. Apa itu sihir? Tidak mungkin. Sihir hanya akan ada di dongeng. Mana mungkin aku memiliki sihir! Oke, aku mulai tidak waras ditambah lagi aku telah mengaku diriku ini adalah penyihir. Ini membuatku terasa sinting.
Tadi, aku menggumamkan nama 'Letta', kan? Haha, kenapa terasa lucu, ya? Mungkin nama itu lebih cocok menjadi nama panggilan resmiku dibandingkan dengan 'Moune'.
"Aku harus memanggilmu apa jika aku tak tahu namamu, tolol!"
"Duh! Oke, oke! Namaku Mouneletta Romanove! Puas sekarang??"
"Namaku Celdo Phantrom. Baiklah, Letta, sesuai perjanjian, aku akan menuruti apa yang akan kau lakukan dan katakan padaku. Ini sudah malam. Sebaiknya kita pergi ke istanaku dan istirahat. Aku sudah capek! Ayo, pegang tanganku!"
Aku tersenyum. Ya, bodoh sekali di saat merepotkan seperti ini, aku masih sempat saja tersenyum. Mengingat dua hari yang lalu itu, aku jadi merasa geli. Wajah, tatapan tajam, ekspresi, serta nada bicara yang acuh tak acuh, entah kenapa jika aku ingat itu semua dalam-dalam, hatiku merasa tentram.
Seluruh tubuhku seakan ambruk. Aku tidak bisa bangun. Ingin mengeluarkan kekuatan itu lagi, rasanya mustahil. Aku masih bisa merasakan darah kembali menetes dari mulutku karena cekikan tadi. Penglihatanku perlahan mengabur. Tapi, aku masih berusaha mengangkat tanganku untuk menyerangnya sekali lagi dan membuka mataku agar tak tertutup.
Aku bisa melihat monster itu berjalan mendekat ke arahku yang tengah terbaring lemas. Gawat. Dia akan menginjakku. Sial, bagaimana caranya agar dia tidak mendekat padaku? Aku harus apa? Tubuhku tidak sanggup bergerak, menoleh saja aku tidak bisa.
Aku lupa lagi. Di mana cermin itu? Saat ini, benda itu telah berubah menjadi apa? Cermin Doorfan bisa mengubah wujud yang bermacam-macam setiap waktu. Tapi, aku sering mengabaikan benda aneh itu. Oh iya, jika aku memanggil benda itu, apa cermin Doorfan akan ke sini? Ini gila, tapi tidak ada salahnya aku mencoba.
Karena cermin Doorfan seolah telah menjadi sesuatu yang dekat. Cermin yang mampu aku lihat dan orang-orang biasa tidak bisa melihat cermin itu, seakan hanya aku yang bisa merasakan keberadaan cermin itu. Seperti perisai, cermin itu bisa melindungiku dari apapun yang mengancamku. Aku akan membayangkan itu.
"CERMIN DOORFAN!"
Setelah aku memekik nama benda kaca itu, tak menduga ternyata cermin Doorfan sudah ada bersamaku sejak tadi, karena cermin itu tengah menjadi sebuah batu kalung. Kalung merah ini bercahaya, salut membuatku silau termasuk monster sialan yang hampir saja akan menginjakku.
Yang benar saja. Cermin ini benar-benar berubah menjadi perisai. Sebuah perisai merah membentuk 180° disekelilingku. Monster itu tidak bisa menyentuhku. Dia berusaha menggapaiku, namun sia-sia saja. Perisai ini jauh lebih kuat dari pada kukunya yang tajam itu. Rasakan!
Talia benar. Aku bisa mengendalikan cermin ini dengan hanya memberikan secercah imajinasi yang ada dikepalaku dan menginginkan hal itu terwujud. Aku bisa menggunakan cermin ini untuk bertarung. Oke, senjataku adalah Cermin Doorfan.
"LETTA!"
Aku bisa mendengar suara Celdo menyahut namaku. Tidak peduli seberapa sakitnya aku menolehkan kepalaku ke arah sumber suara, aku tersenyum tipis melihat Celdo berlari dan menghampiriku. Dan tepat saat cermin Doorfan membiarkan Celdo meraihku, perisai itu kembali menutup, terlindung dari serangan sia-sia monster itu.
"Kau gila ingin melenyapkannya sendiri? Bahkan kau masih kalah berduel pedang denganku! Lihat ini! Lehermu biru dan ada darah di mulutmu! Seharusnya kau panggil aku! Jangan bicara! Kau harus pulih atau aku nanti kena marah Kakak karena tidak menjagamu dengan baik!"
Dia tidak membolehkanku bicara. Dasar bocah sok atur, bahkan dia tidak peduli yang paling tua di sini siapa. Aku, kan? Bukan dia. Dia tidak berhak memerintahku. Lagi pula yang gila itu adalah dunia ini, bukan aku!
Tanpa tahu, tubuhku terangkat sampai aku tak menyentuh lantai lagi. Rupanya aku tengah digendong oleh Celdo. Aku telah berada dalam dua lengannya. Tidak percaya bocah ini ternyata bisa menggendongku. Tubuhku lebih dewasa dibandingkan Celdo. Seharusnya, dia tidak bisa menggendongku yang mungkin berat badanku lebih berat dibandingkan dia— entahlah.
"Zee! Bereskan sampah itu! Jika kau gagal, aku akan membunuhmu!" perintah Celdo pada seseorang yang ternyata orang itu telah menghadap monster Swonlerda.
Zee? Mungkin yang dia panggil itu adalah Zee yang asli. Aku bisa melihat dengan samar seorang lelaki yang sama dengan sosok Jee tengah tersenyum santai sambil memandang lawannya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan keadaanku yang memalukan ini. Biarkan saja aku berada di gendongan Celdo. Mataku berat sekali dan akhirnya terpejam. Tapi, indra pendengaranku masih bisa berfungsi.
"Ini mudah. Bagi saya, monster ini hanya sebuah debu yang mengotori istana Flowered. Dalam hitungan detik, saya akan menyusul Anda, Tuan."
Suara apa itu? Seperti sebuah sengatan listrik. Suara decitan listrik itu muncul semakin keras bertepatan dengan monster itu mengaum keras dan bersamaan lagi suara itu berhenti. Setelah itu, aku tidak sadar lagi. Tubuhku terasa remuk sekali. Rasanya melelahkan. Aku ingin istirahat.
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top