Bagian 10 : Jangan Pergi!
"Bagaimana? Kau sudah selesai menulis biodatamu?" tanyaku pada Celdo setelah menyeruput teh mawar yang disuguhi oleh Jee untuk kami berdua.
Teh buatannya sangat harum dan tidak norak. Hangatnya juga pas tidak membuat lidahku kepanasan. Celdo juga menikmati teh yang Jee sodorkan. Kemudian kembali menggurat kertas dengan pena bulu angsanya.
Kami berada di halaman istana milik Celdo. Halaman yang tidak jauh dari tumbuhan alam seperti pohon dan rumput yang menghias, apalagi dengan mawar. Sama sekali tidak berjauhan. Aku tidak menyangka anak judes ini suka sekali dengan tumbuhan wangi seperti mawar.
"Belum!" jawab Celdo yang tengah asik menulis, tapi jika aku lihat ekspresinya masih tak acuh dan sangar. "Untuk apa kau menyuruh aku menulis identitasku sendiri?"
Aku menghela napas dan tersenyum hambar pada murid kesayanganku ini. Murid kesayangan? Karena aku hanya punya satu murid dan aku adalah guru satu-satunya.
"Selesai kau menuliskan semuanya, aku akan menyuruhmu membacanya dengan keras seakan kau sedang memperkenalkan dirimu pada seseorang yang ingin kau ajak menjadi temanmu. Sudah paham?" jelasku enteng.
"Cih! Paham," sahut Celdo dengan decihan dan kembali menghadap kertas yang dia gurat.
Aku menghela napas mendengar decihannya itu. Sudah jelas dia mendecih karena tidak berniat belajar. Dasar bocah. Namun, saat mata merahku melihat tulisannya, aku merasa tertegun. Tulisannya bagus sekali. Bahkan lebih bagus dariku.
"Siapa yang mengajarimu menulis?" tanyaku penasaran.
Celdo berhenti menulis dan memutar pupil biru lautnya ke arahku. Tatapannya sama saja, tajam sekali seperti jarum atau lebih tepatnya setajam pedang yang baru diasah.
"Kenapa kau ingin tahu? Mau menghinanya?" tanya Celdo balik, membuatku berdecak kesal.
"Ya tentu saja tidak! Aku hanya kagum melihat tulisanmu itu. Rapi dan nyaman dilihat. Aku jadi sedikit iri karena tulisanku asli jelek sekali," jawabku jengkel.
"O-oh .. Kakak yang mengajariku menulis. Dia mengajariku sejak aku masih kecil. Cara dia mengajar sangat sadis. Dia menyuruhku menulis setiap hari di dalam buku sampai kertasnya habis. Jika ada yang salah dalam tulisanku, dia akan menambah tugasku sepuluh kali lipat. Dia sama sekali tidak cocok dinamakan seorang guru, melainkan bagusnya disebut 'pembunuh'," jelas Celdo yang sukses membuatku bergidik ngeri.
Apa yang dia katakan itu sedikit berlebihan? Dia menyebut kakaknya sendiri seorang pembunuh karena saking ngerinya dia dulu diajarkan oleh kakaknya menulis. Benar-benar anak ini.
Bagaimana aku bisa membayangkan, Celdo yang waktu masih kecil sekali, disiksa dengan cara menulis di dalam buku sampai kertasnya habis dan jika ada yang salah tulis, akan ditambah sepuluh kali lipat?! Penyiksaan terhadap adik yang keji, tapi menghasilkan tulisan yang indah sekali. Jujur, tulisan Celdo benar-benar bagus.
"Hmm, itu bagus. Kakakmu yang mengajarimu. Aku salut dengan kalian berdua. Jujur, tulisanmu bagus sekali!" pujiku terang-terangan.
"D-diam kau! Aku sedang konsentrasi!" balas Celdo memekik sambil tetap menulis, membuatku bingung sampai memiringkan kepala melihat wajahnya tampak merah merona.
Dia itu mudah sekali tersipu. Aku ingin meledakkan tawa, tapi takut Celdo menghunuskan pedangnya ke arahku dan aku tidak membawa pedang, jadi biarlah diriku ini menahan tawa dan terus memperhatikannya menulis.
Aku menyungging senyum melihat Celdo menitikkan pada bagian akhir yang dia tulis. Dia meletakkan bulu angsa itu ke dalam botol kaca yang berisi tinta, kemudian menampakkan seluruh tulisan indah itu di depan wajahku.
"Selesai," kata Celdo datar.
"Ayo kita berdiri. Kau berdiri di hadapanku dan bacakan," balasku ikut datar.
Aku beranjak dari kursi dan menunggu Celdo ikut berdiri membacakan teks yang dia tulis. Tetapi, dia malah berdiam diri sambil memandang tulisannya dan kemudian menatapku datar.
"Apa itu harus?"
"Itu MUTLAK! Cepat berdiri di hadapanku dan bacakan dengan keras!"
Celdo mendesah kuat. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku malasnya itu. Tanganku gatal ingin sekali memukul pantatnya dengan kayu rotan. Tapi, aku tidak seperti Rosel saat dia akan mengajari adiknya ini. Aku adalah guru yang kompeten, mutlak, dan ramah. Tidak ada kekerasan untuk muridku. Murid diajarkan untuk pintar, bukan untuk menjadi kuat dan tidak cengeng.
Lelaki berambut biru malam ini berdiri dari kursi dan berdiri tegak di hadapanku. Dia mengambil napas, lalu mulai membacakan tulisannya.
"Namaku Celdo Phantrom. Panggilanku Celdo. Umurku 13 tahun. Aku tinggal di istana Flowered. Aku menyukai kue dan mawar pelangi. Hobiku bermimpi. Aku bersekolah di Akademi Wonderland. Siapa namamu?" ucap Celdo membacakan tulisannya dan setelah itu membuang pandangan dari kertas.
Aku menggelengkan kepala. Kenapa? Karena kalimat dan ekspresi sama sekali tidak cocok. Jika ingin berkenalan dengan orang lain, dia harus mampu tersenyum dan tulus ingin berteman. Tapi apa ini? Ekspresi arogan Celdo telah merusak kalimat yang dilontarkannya. Dia tidak lulus.
"Kau gagal! Lompat jongkok sepuluh kali sekarang!" perintahku sangar yang sukses membuat Celdo membelalakkan mata.
"Apa? Kau menyuruhku lompat jongkok? Jangan bercanda! Aku tidak mau!" tolak Celdo keras. Aku menyungging senyum berkuasa.
"Eits! Kau sudah lupa dengan kontrak kita? Kemarin aku menjawab teka-tekimu dengan benar. Jadi kau harus menuruti semua yang aku katakan, karena aku adalah gurumu! Kekuasaan ada ditanganku sekarang! Turuti apa yang aku suruh!"
Aku menyeringai sadis, sementara Celdo mengecih kekalahan. Sepertinya dia baru saja mengingat janji yang dia buat sendiri padaku. Dasar bocah tak tahu diri.
"Baik, baik! Aku akan lompat jongkok! Setelah itu, aku akan bacakan dengan benar!" kata Celdo dan segera memosisikan dirinya duduk jongkok, melipat kedua tangan di atas kepala, dan mulai melompat seperti katak.
Sementara aku menghitung Celdo melompat dengan paksa, aku bisa melihat Jee tersenyum pada kami berdua. Oh iya, pagi tadi aku bilang padanya bahwa aku ini adalah calon istrinya. Mungkin dia tertegun melihat dua pasangan ini bersama. Sial! Jangan membuatku jijik. Aku sedang menjalankan misiku! Jangan sampai aku gagal membuat Celdo tertarik berinteraksi dengan orang lain.
"Sepuluh!" seruku selesai dan Celdo terduduk lemas di lantai. Napasnya terengah-engah sampai dia menarik-narik kerah bajunya. Aku masih bisa melihat wajahnya masih merah merona. Hahaha! Lucu sekali.
"Sini kertasnya! Aku akan baca sekali lagi!" kata Celdo sambil merampas kertasnya dari tanganku dengan kasar.
"Kau harus sesuaikan ekspresimu dengan teksmu. Jika wajahmu tetap begini, kau tidak mungkin akan mendapat teman seorang pun, tahu!" kataku sambil mencubit kedua pipinya agar bisa sedikit membuatnya tersenyum.
"Ukh! Aku tidak tahu bagaimana cara menyesuaikannya!" keluh Celdo sembari menyingkirkan kedua tanganku dari wajahnya dan kembali membuang muka dari hadapan kertasnya.
Nah, ini dia, resiko menjadi seorang guru, aku harus membuat muridku mengerti dan itu sangatlah susah. Jika ini bisa membuatnya mendapatkan banyak teman, aku harus tetap menjadi gurunya sampai dia bisa mengekspresikan diri dengan benar. Oke, aku tidak akan menyerah.
"Yang harus kau lakukan saat memperkenalkan diri adalah tersenyum secara tulus. Itulah kunci pertama agar kau bisa mendapatkan banyak teman, jika kau ramah kau akan didekati, tapi jika kau terus begini, sampai mati kau akan terus hidup sendiri," jelasku. "Kau harus bisa tersenyum!"
"Tersenyum? Memalukan sekali!" keluh Celdo lagi.
Aku menghela napas mendengar keluhannya. Bingung sekali bagaimana cara aku menghilangkan rasa malunya yang luar biasa itu. Tapi aku tak akan sampai di sini. Aku sudah berjanji pada Rosel untuk menjadikannya anak yang ramah dan didekati banyak orang. Aku harus bisa membuat bayangan itu menjadi nyata. Baiklah! Aku harus membuat rasa malunya sedikit pudar. Tapi, bagaimana caranya?
"Itulah resikonya. Kau harus menahan rasa malumu itu dengan cara memikirkan tujuanmu yaitu berteman dengan orang yang kau ajak. Kau harus bisa melakukannya, Celdo. Aku yakin kau pasti bisa," dukungku sambil meraih puncuk kepala Celdo dan mengelusnya gemas.
Tunggu. Harusnya aku tidak melakukan ini. Mataku melihat Celdo semakin memerahkan mukanya sambil menunduk tak menjawab kalimatku. Sial! Kenapa dia ini mudah sekali tersipu, sih??-_-
Kenapa aku benar-benar menjadi sosok seorang guru sekarang? Eh? Kenapa tinggi Celdo jadi pendek begini? Rasanya kemarin tingginya sama denganku. Tingginya saat ini sampai mengenai daguku saja. Astaga, rupanya dia tidak memakai sepatu hak hitamnya. Dia memakai sepatu tanpa hak sedangkan aku memakai sepatu hak kaca yang masih aku gunakan sebelum aku sudah berada di Fantasy Land ini.
Aku merasa cemas dengan kabar istana dan juga kota. Apakah monster Swonlerda masih mengganggu ataukah sudah tidak muncul lagi? Dan, saat mereka semua tahu tentang hilangnya seorang Ratu, semua pasti panik dan mencariku. Sial, kenapa aku harus terperangkap di dalam dunia sesat ini? Apa tujuan aku berada di sini? Apa aku punya maksud terpendam sampai aku bisa memasuki dunia ini dengan mudah? Dan aku ... penyihir? Tidak. Aku manusia, bukan penyihir. Bukan penyihir!
"K-kau bisa contohkan caranya padaku? Setelah itu, aku akan melakukannya dengan benar. Aku janji," ucap Celdo pelan nyaris tak terdengar, membuatku tersenyum lega karena dia ada niat belajar untuk bisa.
"Baiklah! Kau perhatikan semua yang aku lakukan dan katakan," balasku berapi-api. "Setelah aku memperkenalkan diri, kau balaslah kalimatku dengan memperkenalkan dirimu."
Aku meraih tangan kanan Celdo dan menjabat tangannya. Sementara dia diam menerima jabatanku dan memperhatikanku dengan serius meskipun merah merona itu masih melekat di kedua pipinya. Dia ini sangat pemalu kelas tinggi, ya? Aku tidak mengerti kenapa dia punya kepribadian yang judes mengerikan, tapi jika sedang malu aku jadi lupa bagaimana ekspresi garangnya. Dasar bocah ini groginya parah sekali.
"Namaku Mouneletta Romanove. Panggilanku Moune. Umurku 16 tahun. Aku lahir di kerajaan Romanove pada saat hujan salju tiba. Aku tinggal bersama dengan pengikutku. Orang tuaku telah meninggal sejak umurku 6 tahun. Aku juga tidak bisa berteman dengan orang lain. Aku pernah menarik diriku untuk berteman. Tapi sayangnya, banyak orang memandangku tak bersahabat. Mereka tidak mau mendekat denganku. Karena apa? Pandangan mereka aneh saat melihat kedua mata dan rambutku. Mereka tahu mana yang baik dan buruk. Mereka menyebutku monster. Dan aku hanya anak kecil yang meminta seseorang untuk ditemani. Aku benci memimpin kerajaan, tapi tak ada lagi yang bisa menggantikan selain aku, karena aku adalah penerus yang terakhir. Sejak saat itu, aku berhenti sekolah dan hanya melaksanakan tugas menggantikan orang tuaku, yaitu memimpin kerajaan. Hari itu, malam itu, aku tidak bisa melupakannya satu gambar pun. Aku ..."
"Letta!" Kata Celdo tiba-tiba memutus kalimatku yang belum selesai.
Dia menarik genggaman tanganku membuat diriku tertarik maju selangkah. Kenapa dia memandangku seperti itu? Apa ada yang salah? Dia memandangku ... sedih?!
"Kenapa? Aku belum menyelesaikan perkenalanku!" balasku memekik.
"AKULAH YANG HARUSNYA BERTANYA 'KENAPA'!!" balas Celdo yang beberapa detik salut membuatku ngeri karena nada dan ekspresinya kembali sangar, kemudian aku bingung dengan kalimatnya tadi.
"Lho? Eh?!" Aku terkejut sekaligus hampir salah tingkah karena bocah ini menyentuh sebelah pipiku. Apa yang dia lakukan? Apa yang sedang dia hilangkan dari wajahku? Aku bingung sekali. "Celdo, apa yang kau ..."
"Diam!" potong Celdo lagi. "Jika kau tidak diam, aku tidak bisa mengusap semuanya, dasar cengeng!"
Cengeng? Dia bilang aku cengeng? Memangnya aku ... menangis? Tapi sejak kapan? Bahkan aku tidak merasakan sedang meneteskan air mata. Aku tidak percaya.
"Hiks!" Eh? Kenapa aku jadi terisak begini? Dadaku juga merasa sesak tidak tahu sumber. Apa yang sudah terjadi padaku? Aku merasakan sesuatu yang banyak berjatuhan dari kedua mataku. Menangis. Aku benar-benar menangis. "K-kenapa aku .."
"Sudah terasa? Ada orang saat dia sedang menceritakan sesuatu yang menyedihkan, tak sadar orang itu meneteskan banyak air mata. Karena saking menyedihkannya, air mata yang dia keluarkan tak terasa mengalir. Tapi yang aku tahu padamu sekarang, sepertinya masa lalumu sangatlah gelap. Sampai kau tidak bisa merasakan kesedihanmu lagi. Kau hampir sama denganku. Tapi sepertinya, kau lebih menderita karena masa lalumu itu. Menyakitkan, bukan begitu?"
Aku bisa melihat dengan jelas. Celdo tersenyum tulus padaku. Ya, senyuman yang menurutku indah dan menenangkan. Senyuman itu bukannya membuatku merasa lebih baik, aku malah semakin terisak dalam tangis dan menangis dengan pekikan seperti anak kecil. Secara tak sengaja aku menampik tangan Celdo dariku. Itu refleks karena emosi yang tiba-tiba saja semakin parah.
Lantas aku menjatuhkan diriku dengan terduduk lemah. Aku malu sekali sudah menangis di depan anak ini. Aku tidak kuat dengan cobaan yang Tuhan berikan, sedangkan Celdo? Dia baik-baik saja dan tidak menangis. Aku lemah. Wanita itu lemah dan rapuh. Aku tidak mau ini. Maafkan aku, Celdo. Sebagai gurumu, aku tidak bisa mengarahkanmu ke masa depan yang terang dengan teman-temanmu kelak. Aku benar-benar payah. Guru yang payah. Bodoh!
"Letta jelek sekali saat menangis begini. Melihatmu tertawa saja jeleknya minta ampun, apa lagi saat kau menangis begini?" cerocos Celdo membuatku semakin sedih saja. Dasar bocah durhaka tidak tahu aku ini lagi sedihnya! "Hei, sudahlah. Air matamu terlalu banyak sampai aku lelah mengusapnya untukmu. Ayo kita kembali belajar!"
"Aku tidak bisa," jawabku membuat Celdo tersentak kaget. "Mungkin aku menyerah saja dan memilih mati. Itu akan lebih baik untukku dari pada terus hidup dalam penderitaan. Aku harus ke tempat Rosel dan memberitahukan kalau aku tidak bisa mengajarimu. Kemudian aku akan memintanya untuk membunuhku karena aku sudah mengingkari janjiku. Celdo, aku harap kau mengerti dan menerima keputusanku ini. Maaf aku sudah merepotkanmu. Aku telah menjadi bebanmu. Terima kasih atas segalanya. Dan terima kasih dengan senyuman tulusmu tadi. Itu indah sekali. Semoga senyuman itu bisa menarik perhatiaan orang lain untuk berteman denganmu. Aku harap kau akan menjadi anak yang baik dan selalu menyayangi kakak dan orang tuamu. Oh, bunga mawar hitam yang aku pinta darimu ini, aku akan gunakan untuk pergi ke tempat Rosel. Semoga kau tidak keberatan dengan keputusanku, ah, tentu saja kau tidak keberatan. Kau itu kan orangnya tidak peduli dan sekenanya saja. Jadi, untuk apa aku berharap kau akan menghentikanku? Tidak, kan? Haha, baiklah, sampai jumpa, Celdo!"
Singkat. Pertemuan yang begitu singkat sampai aku sangat sesak mengatakan kalimatku sendiri. Aku bisa merasakan air mataku masih berjatuhan. Aku mengambil bunga mawar hitam yang sengaja aku simpan dalam tas selempangku. Tunggu, tas selempang? Sejak kapan aku punya tas? Ah, tidak penting. Mungkin cermin Doorfan merubah wujudnya lagi.
Saat aku telah menghirup satu tangkai mawar hitam, aku semakin terisak melihat Celdo berusaha menggapaiku. Ya, dia tidak terima dengan kepergianku. Sudah setengah badan diriku lenyap oleh kelopak mawar hitam yang akan membawaku ke tempat Rosel, dia berhasil menggapai setengah dariku. Aku masih terduduk, sehingga dia mampu menggapai puncak kepalaku.
Dia memelukku erat, begitu erat sampai kekuatan mawar hitam itu tak berhasil membawaku pergi. Setengah bagianku yang hilang kembali membentuk semula. Dia memeluk badan dan kepalaku, membuat diriku tenggelam dalam rengkuhannya yang begitu kecil. Tubuh anak remaja 13 tahun. Terlihat masih belia dan masih dalam pertumbuhan menjadi dewasa. Aku jadi tidak sabar menunggunya dewasa. Apa dia akan tetap pendek seperti ini atau malah akan menjadi tinggi dan gagah?
Aku terkejut hebat mendengar Celdo terisak dan merenggut bajuku di bagian belakangku. Kenapa dia menangisiku? Apa dia tidak menerima kepergianku? Tapi apa alasannya? Aku pikir Celdo akan tetap acuh tak acuh dan membiarkanku pergi sehingga dia bisa bersyukur tidak akan belajar cara mendapat teman dengan baik. Lalu, kenapa dia menghalangiku? Aku tidak mengerti.
"Bodoh! Kau bodoh! Kalau kau pergi, aku akan kembali sendirian! Siapa yang akan menjadi temanku nanti jika kau pergi?? Kau teman pertamaku! Jangan pergi! Aku mohon, jangan pergi .. jangan tinggalkan aku sendirian, hiks!"
Aku tidak percaya ini. Celdo memohon padaku. MEMOHON?! Ini seperti bukan Celdo Phantrom saja! Sifatnya jadi sensitif dan cengeng. Dan dia masih memeluk kepalaku tidak henti sampai aku akan menjawab kalimatnya. Ini ... mengejutkan. Benar-benar mengejutkan.
Aku tersenyum.
"Baik, baik. Aku tidak jadi pergi untuk mati. Aku akan tetap di sini sampai aku selesai mengajarimu dan lulus," kataku pada akhirnya setelah aku mendengar tangisannya sedikit reda.
Tunggu. Bukankah aku tadi yang menangis? Sejak kapan aku berhenti menangis dan depresiku hilang seketika. Aneh sekali.
"Benarkah?" tanya Celdo memastikan aku tidak berdusta.
"Iya," jawabku meyakinkannya.
"Kau tidak bohong padaku, bukan?" Celdo melepas pelukannya dan menatapku tajam.
"Untuk apa aku berbohong padamu dasar bocah manja!" balasku sambil menjitak kepala Celdo karena jengkel sekaligus gemas.
"Cih!" Celdo mendecih sambil membetulkan dasinya yang miring. Kemudian segera mengusap air matanya yang masih menempel di kedua pipi dengan lengan baju. Tapi, aku menjeda aksinya itu.
"Eits! Jangan diusap pakai baju, nanti kotor dasar anak-anak zaman sekarang," cerocosku mengambil kesempatan. Menjauhkan lengan kanan yang tadi akan mengusap air matanya dan tanganku bereaksi menghapus semua air matanya. "Kau sudah mengusap air mataku. Sekarang, aku akan membalas perbuatanmu itu."
Aku tersenyum geli melihat ekspresi sangar itu tersipu malu dengan merah merona di kedua pipinya. Dia membiarkanku mengusap air matanya dan menatapku canggung. Hahaha, jangan sampai dia suka padaku.
"Wanita mesum!"
"APA KAU BILANG?!"
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top