Bagian 1 : Salju yang Memerah
Malam yang dingin oleh semburan angin salju. Aku berdiri di atas lapisan salju tebal menutup tanah. Gaun ungu muda yang aku kenakan telah terkena cipratan darah merah pekat, seolah menjadi motif kelopak bunga mawar yang mengerikan.
Tubuhku bergetar hebat seraya memeluk diriku sendiri di tengah duka kematian orang-orang di dalam istana yang berdiri kokoh menjulang yang tengah menjalankan proses wujud menjadi hitam luka oleh api.
Di tengah getaranku, para prajurit istana masih setia mendampingiku. Bertarung dengan beberapa monster yang ingin meremukkan segala yang ada di hadapannya. Monster-monster itu memiliki manik mata merah menyala tidak berbola. Mulut mereka seperti tertulis oleh tinta hitam pena yang ternoda akan dosa. Rupa mereka hancur. Hanya saja yang berbeda adalah ukuran mereka sangat tinggi dan perut mereka tergambar ramping, seolah-olah sudah lama tidak makan apa-apa.
Mungkin sudah saatnya hari kematianku datang untuk melepaskan jiwaku dari raga. Percuma saja prajurit-prajurit itu bertarung melawan semua monster itu untuk melindungiku. Mengorbankan nyawa mereka demi keselamatanku.
Pada akhirnya, tidak menunggu lama giliranku untuk mati pun datang. Aku sudah siap. Tidak ada penyesalan dalam hidupku. Jika ada, aku tidak akan tenang saat ini berhadapan dengan monster itu sedang membentangkan kuku tajamnya. Kelima kuku itu tidak lama lagi akan menebas tubuhku.
Ya. Cepatlah. Bunuh saja aku. Jika aku terlahir kembali, aku akan memohon kepada Tuhan untuk menjadi seorang gadis yang kuat. Sosok yang bisa melindungi diri sendiri dan orang lain. Tidak seperti sekarang. Sangat lemah. Benar-benar lemah.
Aku ingin hidup dengan tubuh baru. Tubuh yang tidak kenal gentar dan ketakutan akan darah. Aku benci menjadi wanita. Ini merepotkan. Selalu saja memakai rok dan gaun. Tidak diperbolehkan memakai celana pendek ataupun baju yang berkerah. Dunia seakan tidak memperbolehkanku menyukai hal yang aku sukai. Sangat tidak adil.
Mataku terpejam menunggu darah keluar dari tubuhku. Aku akan tertebas oleh cakaran monster di depanku. Oh, selemah inikah aku? Tidak adakah yang bisa aku lakukan untuk melawan monster ini? Ratusan prajurit berpedang saja tidak sanggup melenyapkan monster berperut ramping ini, apalagi aku. Menggunakan senjata saja aku tidak bisa. Memegang gagang pedang saja aku gemetaran.
Seorang putri yang sudah 10 tahun lamanya menjadi seorang ratu. Mouneletta Romanove, dari bagian Utara daerah Snow Lender. Di situlah kerajaanku berdiri. Ratu Mouneletta. Aku sering dipanggil begitu oleh orang-orang di istana dan rakyatku. Dalam usia muda, aku memimpin kerajaanku sendiri menjadikan diriku sebagai ratu mengendalikan kerajaan.
Kau ingin bertanya di mana raja dan ratu Romanove alias orang tuaku? Mereka sudah meninggal. Karena apa? Mereka dibunuh secara tragis di depan mataku. Orang misterius itu menebas orang tuaku menggunakan pedangnya. Menusuk-nusuk bagian jantung dan perut tanpa ampun. Waktu itu, umurku masih 6 tahun. Aku hanya bisa memandang orang tuaku disiksa pada celah pintu kamar, membuatku bisa melihat dengan jelas pemandangan tidak mengenakkan itu walaupun keadaan yang nyaris gelap. Darah mereka bersimbah menodai lantai keramik putih dan titik-titik darah menempel di tirai jendela dan kasur. Setelah itu, orang misterius itu menghilang tanpa jejak. Dan setelah kejadian itu terjadi begitu cepat, diriku dengan polosnya menatap tanpa ekspresi peti mati orang tuaku sampai kedua insan tanpa nyawa itu masuk ke dalam kegelapan tanah penuh cacing.
Tidak ada orang lain lagi yang bisa menduduki singgasana pemimpin kerajaan Romanove selain diriku sendiri. Menerima kursi merah mewah yang akan sering aku duduki, mahkota ratu, dan tongkat seorang pemimpin kerajaan berada di genggaman tangan kananku.
Kini, seorang ratu telah dihancurkan dengan ribuan joker. Meruntuhkan kerajaan tidak bersalah yang hanya menginginkan perdamaian mutlak. Bidak catur raja dan ratuku jatuh bergelinding ke arah api merah dalam jurang. Membakar tubuh dan jiwaku dengan siksaan yang tidak terampun. Neraka telah menghadang.
Mungkin sudah satu menit lebih aku menutup mata. Namun, tidak ada respon yang membuatku kesakitan. Karena penasaran, aku membuka mata beriris merah sayuku. Mataku membelalak terkejut melihat monster yang ingin menghabisiku itu, telah terbelah dua di hadapanku dan ambruk ke salju putih. Kemudian berubah menjadi debu glitter yang berkilau ungu.
Mataku sontak mengarahkan penglihatan ke atas. Memandang penasaran siluet seseorang seraya melihat titik sinar matahari di baliknya yang akan terbit membawa pagi. Seseorang yang sedang berdiri gagah di ujung salah satu pohon cemara yang telah mati karena salju. Kedua tangannya tampak memegang pedang. Rambut panjang terikat membentuk buntut kuda telah membuatku tahu siapa orang di balik siluet matahari itu.
"Jessy!" Neraka seolah tertutup setelah tahu dia masih hidup.
Dia melompat turun dari tempatnya berpijak. Merentangkan kedua pedangnya dengan lincah semudah memotong apel, menebas monster-monster mistis itu di sekitarnya. Jika melihatnya dengan waktu yang lambat, seringai dari gadis bersurai hitam itu tampak terlukis jelas. Gaun putih bercetak bunga mawar di sekeliling bagian bawah gaunnya menampakkan kegagahannya dalam berpedang, karena terkibar oleh angin langkah cepatnya dan gaun itu sudah mulai tampak kumal, kotor, dan sedikit robek pada bagian sekeliling ujung.
"Wah, wah, apa Anda sudah melupakan rasa 'dendam' yang Anda simpan sehingga dengan santai mampu menghadap kematian?"
DEG!
Jantungku tertekan kencang. Ia baru saja mengataiku. Lancang sekali.
Jessy Weltobas. Dia merupakan pelayan pribadi sekaligus penasihatku di istana. Gadis pembunuh ini sudah dipercaya akan melindungiku sampai titik penghabisannya. Tahukah kenapa aku dengan mudahnya percaya pada gadis berumur 17 tahun yang nyaris seumuran denganku itu? Ya, karena aku sudah saling kenal dengannya sejak kecil.
Keluarga Weltobas dan keluargaku sudah bersahabat lamanya. Gadis ini datang ke istanaku dengan tampang lucu kecil tanpa dosa menyembulkan kepala dari balik pintu istana. Kulit putih halus sehalus boneka porselen dan warna kristal biru yang menghidupkan iris matanya. Dan setelah menginjak umur remajanya, dia semakin cantik dan kuat. Diutus untuk melindungiku setelah tahu kematian orang tuaku.
Keluarga Weltobas sering dijuluki keluarga 'berpedang', karena semua anggota yang mempunyai nama belakang 'Weltobas' harus bisa menggunakan pedang, sebagai lambang dari keluarga itu.
"Aku tidak akan melupakan dendamku ini! Sampai tubuh ini hancur, aku tidak akan pernah membuang dendamku! Disisa hidupku, akan kubalas dendam kedua orang tuaku bagaimana pun caranya!"
Dia tersenyum kemudian segera membelakangiku, melindungiku dari apapun yang akan membuatku terluka. Rambutnya berkibar oleh hembusan angin badai salju yang semakin kencang oleh berjalannya waktu. Napas kami mulai terlihat dengan bentuk asap putih. Aku mulai kedinginan. Gigiku mulai bergemeletuk kecil karena menggigil.
"Pakai ini, Ratu."
Jessy menyodorkan sebuah tudung berwarna merah tanpa membalikkan badan. Dengan seenak melempar kulit pisang, dia melempar tudung merah itu tepat mengenai wajahku.
Aku memasang wajah manyun padanya dan segera memasang tudung merah pemberiannya. Menutup kepala sampai bagian pinggang. Lebih baik dari pada kedinginan.
"Tetaplah ada di dekat saya."
Aku menuruti ucapannya. Tanganku meraih lengan kirinya dan bertahan menunggu dia menyelesaikan tugasnya saat ini, melenyapkan monster yang ada.
Sekali lagi, aku mengarahkan mataku ke arah bangunan istana yang rupanya sudah selesai membakar diri. Semua terlihat hitam gosong. Namun, istanaku tidak runtuh. Dan pasti, ada banyak prajurit dan dayangku di sana. Aku merasa iba pada mereka, tapi sudah terlambat untuk mengubah takdir. Semua sudah ludes oleh api. Mereka sudah pasti mati terbakar.
"Sudah selesai. Ayo kita pergi dari sini, Ratu."
Jessy menurunkan pedangnya dan menyimpannya di sarung pedang yang diletakkan di pinggang, disusul oleh tiga monster di hadapannya terbelah dan lenyap tersapu angin. Dia terlihat seperti seorang samurai. Tapi, pakaiannya tidak cocok untuk disebut samurai. Dia tersenyum santai padaku.
"Bagaimana dengan orang lain yang ada di istana?" tanyaku.
"Ah, tenang, Ratu. Sebagian besar mereka selamat dari kebakaran istana. Mereka telah ada di tenda pengungsian. Bisa dihitung, ada 20 orang yang meninggal akibat kebakaran itu," jawab Jessy.
Aku menunduk kecewa. Sebanyak itukah jumlah orang yang meninggal? Ini salahku. Mereka sangat bersikeras ingin menyelamatkan barang-barang yang ada di dalam istana. Seharusnya aku memaksa mereka lebih keras lagi untuk tidak masuk ke dalam. Aku idiot. Bodoh. Ratu tidak berguna!
"Bagaimana ini bisa terjadi?!" Aku mengacak rambut perakku seperti orang gila.
"Kebakaran tidak diketahui penyebabnya. Tidak ada tanda api di dalam istana." Jessy menundukkan sedikit kepalanya karena dia tahu jawabannya itu membuatku kecewa. "Ayo, Ratu. Kita ke lokasi pengungsian untuk menghangatkan badan," ajaknya lagi untuk yang kedua kali.
Aku mengangguk menerima uluran tangannya. Berjalan tenang melewati banyak mayat prajuritku yang berakhir mengenaskan. Menggenggam erat tangan lembutnya yang selesai memegang gagang pedangnya itu. Tangannya yang selembut kain sutra, apakah tangan selembut kapasku juga bisa menjadi sepertinya? Menjadikanku lebih kuat, agar aku bisa melindungi kerajaanku dan mengangkat pedangku menunjuk langit. Penuh bangga memainkan pedangku ke arah para monster salju bersama prajuritku dan Jessy.
"Ratu, saya ingin menanyakan sesuatu."
Suara sopan khas Jessy kembali terdengar di indra pendengaranku. Iris mataku menangkap mata biru mudanya.
"Ya, silahkan."
"Apa Ratu sudah menemukan pasangan yang cocok? Anda tidak ingin berlama-lama menjadi lajang dalam memimpin kerajaan sendiri, kan?"
Lantas sikut kananku menancap tanpa pikir panjang ke lengan kiri Jessy. Terdengar rintihan kecil di mulutnya yang baru saja telah mengingatkanku pada hari waktu aku sedang iseng melihat-lihat banyak foto Pangeran dari berbagai kerajaan. Dan jujur saja, waktu itu aku bukannya bermaksud mencari foto yang menarik untuk aku ajak menikah. Ini masalah berbeda dari pada memikirkan masa depan.
"Kau tidak suka aku lajang?" tanyaku menatap sengit.
"Kalau boleh, saya akan jawab iya," jawab Jessy, berhasil membuatku menghela napas.
"Umurku hampir menginjak 17 tahun. Mungkin masih terlalu awal untuk memikirkan siapa yang akan menjadi pasanganku. Saat aku akan memilih pasangan, dia harus benar-benar mencintai rakyatnya, termasuk istrinya sendiri. Jika aku mendapat pasangan yang akan memperburuk keadaan, aku akan menyuruhmu membunuh semua Pangeran yang ingin berkunjung ke istanaku."
Jessy tampak terkekeh geli mendengar pernyataanku.
"Mungkin, sulit untuk membuka hati Anda yang beku sedingin es oleh banyak lelaki. Ya, baguslah, karena saat Anda jatuh cinta nanti, Anda akan tetap selalu setia padanya."
"Sudahlah, Jessy. Hentikan kalimat dramamu. Kau tahu kan, aku tidak suka membahas soal 'cinta' yang kau bicarakan barusan?"
Jessy mengulum senyum pertanda dia mengerti ucapanku yang sedikit ketus itu. Kemudian wajahnya mengarah kembali ke depan disusul kembali suara lembutnya.
"Kita sampai, Ratu. Ah, mereka akan segera mendatangi Anda. Semoga Anda tidak akan lelah menjawab semua pertanyaan mereka," kata Jessy tetap pada senyuman menyebalkannya.
"Ya, karena aku adalah pemeran penting di sini," balasku dengan seringai lebar dan berlalu meninggalkan Jessy menghampiri orang-orang istanaku untuk menanyakan keadaan mereka seraya merasakan kehangatan matahari yang mulai membakar dingin.
👑
"SILVER QUEEN"
Penulis: Lette99
Terbit: 27 Juli 2016
DILARANG MENJIPLAK/COPY-PASTE SEBAGIAN ATAU SELURUH ISI CERITA INI DALAM BENTUK APAPUN TANPA IZIN OLEH PENULIS
👑
Cerita It is Beautiful genre Fantasy hanya ada di akun MelindaAdelia. Baca juga, ya! ^3^
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top