SH - 30

Jangan lupa Vote & Comment, ya!
Selamat Membaca 🐺

.

.

.

.

Hamparan lapangan luas yang begitu gelap menjadi pemandangan menyejukkan hati kala di dukung oleh angin malam yang dingin berhembus menyapa kulit. Tidak ada atensi di sekitar, tak sebanding dengan luas nya lapangan Golf yang dapat ia lihat dari balkon kamar lantai 4.

Bicara tentang balkon, Gulf sudah menarik kembali jeruji besi pemisah itu sejak beberapa hari yang lalu. Mew tidak mengerti mengapa Gulf berubah pikiran. Mungkin karena ia sudah mulai percaya pada Mew yang tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti bunuh diri? Atau mungkin juga takut Mos marah karena Gulf telah mengurungnya seperti burung dalam sangkar? Mew tidak peduli.

Sekarang ia bisa merasakan angin malam secara bebas. Memejamkan kedua mata, merasakan angin menyentuh kulit wajah dan meniup rambut cokelat miliknya.

"Sepertinya mau hujan" Melihat langit malam sangat gelap, lebih gelap dari yang biasa terlihat, padahal waktu baru menunjukkan pukul setengah 8 malam, yang mana penghuni mansion masih bekerja di sekitar. Ini seharusnya adalah jam tidur bagi Mew tetapi ia sama sekali tidak bisa tidur. Perasaan berdebar melewati batas normal menjadi salah satunya.

Apakah karena Mew terlalu khawatir tentang hari esok?

Entahlah, Mew sendiri tidak tahu.

Mew sendiri tidak tahu bagaimana kisah hidupnya dituliskan setelah melewati hari esok, hari dimana identitas yang selama ini ia sembunyikan dengan rapat mungkin akan tercium oleh Gulf. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuat. Menemukan jalan buntu.

Kedua tangan mengusap wajah. Keringat dingin menyebar dari kening ke telapak tangan.

Mew tidak peduli tentang hidup matinya tapi---ini bukan tentang dirinya seorang.

Mew tidak mau kelak anaknya menanggung apa yang ia pernah rasakan. Tidak dipedulikan. Direndahkan. Dilecehkan baik secara verbal maupun non verbal.

Berpikir tentang itu, Mew menjadi takut.

Dirasa kekhawatirannya semakin berbahaya, Mew memutuskan untuk turun, mengunjungi kebun kecil miliknya. Mungkin jika ia menyibukkan diri, pikirannya akan sedikit lebih baik. Pikir Mew.

Mew menuruni anak tangga mansion sedikit berhati-hati. Ia tidak mau memakai lift karena takut bertemu dengan Gulf.

Ia belum siap menatap mata elang itu dan mendengar dia terus bicara tentang rumah sakit, rumah sakit, dan rumah sakit, membuat ketakutan nya semakin menjadi-jadi.

Sesampainya di kebun, Mew melihat sekitar. Lampu warna warni yang sengaja ia pasang berkelap kelip bagai bintang di langit. Begitu menyenangkan .

Mew duduk di kursi panjang dekat kebun untuk bersantai sejenak. Mew tidak mengerti, ia hanya menuruni anak tangga dari lantai 4 tetapi kondisi tubuhnya sudah lelah dan terengah-engah.

"Tuan, apa yang anda lakukan disini?" Tanya sang maid yang dekat dengan Mew.

"Hanya melihat" Tersenyum.

"Ingin saya buatkan minuman?"

"Tidak perlu, terima kasih. Saya tidak lama disini. Kamu kembali saja"

"Baiklah, Tuan. Saya pamit undur diri" Membungkuk hormat dan pergi.

Perasaan berdebar di hati masih berlanjut, tak sadar membuat Mew menyatukan kedua telapak tangannya dan saling menekan kuku di atas satu sama lain.

Mew benci perasaan ini.

Tidak lama kemudian, gerimis turun menyertai hujan lebat, tetapi tidak membuat Mew gugup.

Mew terus ada di kursi itu, menikmati bagaimana air hujan jatuh di atas kulit dan menyesap ke pori-pori.

Mew jadi ingat terakhir kali ia terkena hujan saat duduk di bangku 11 SMA. Saat itu ia di bully beberapa orang karena selalu menyendiri di kelas. Bahkan sampai sekolah berakhir, orang itu terus membullynya, merasa tidak puas.

Saat itu hujan deras mengguyur kota Nonthaburi, tempat tinggalnya dari kecil. Tubuhnya sudah lusuh oleh tanah dan darah. Ia merangkak dari gang sempit dengan susah payah karena kakinya bengkak setelah dipukuli. Ia berusaha untuk bangkit berkali-kali dan jatuh berkali-kali pula. Pada saat yang sama, sang Ibu datang dengan payung di tangan kanan. Hal pertama yang Mew ingat adalah ekspresi wajahnya yang kaget dan marah.

Sang Ibu kaget karena anaknya mendapat kekerasan dan marah karena ia tidak dapat melindunginya. Sebagai seorang Ibu, hatinya pasti sakit. Tapi, yang Mew lakukan hanya berkata 'aku baik-baik saja' tapi sungguh, yang terjadi sebenarnya adalah 'aku sangat kesakitan' .

"Ayo kita ke rumah sakit. Luka mu harus di obati"
"Lain kali kalau mereka memukulmu lagi, kamu harus balas 10x lipat! Buat mereka juga merasakan hal yang sama. Jangan diam saja. Ya?"

Mew dengan senyum tipis berkata, "khab" 

Dibawah air hujan, air mata Mew tersapu.

Dengan senyum hangat sang Ibu dan perlakuan nya waktu itu, bagaimana bisa dia bukan orang tua kandungnya?

Lalu, siapa dia sebenarnya? 

TAP TAP

Sepasang kaki jenjang berbalut celana hitam panjang berdiri di depan Mew. Mew distraksi.

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Hikss hik Gulf? Hiks"

Dengan payung hitam di tangan kanan, Gulf memayungi dirinya sendiri. Berjalan ke arah Mew semakin dekat.

"Kamu bisa sakit" Gulf membuka jas hitam tebalnya lalu ia pakaikan ke tubuh Mew.
"Ayo masuk" Mengulurkan tangan kepada Mew.

Masih terisak, Mew melihat uluran tangan itu.

"Hikss hikss jika---hikss aku ternyata adalah orang yang tidak seperti kau kira--hikss apakah kau juga akan membuangku? Hikss"

"Apa maksudmu?"

"Aku hiksss ini se--sebenarnya hikkss---" Tiba-tiba lidah Mew kelu. Apakah saat yang tepat ia jujur pada Gulf sekarang?

"?"

"Aku hikss aku orang yang selalu dibuang dari masyarakat. Aku hikss adalah---aku--hikss---"

"Berdiri" Menggenggam lengan tangan Mew dan Mew berdiri saat itu juga.
"Apa yang akan aku lakukan, aku akan pikirkan besok setelah hasil tes keluar. Sekarang lebih baik kau masuk dan istirahat" Saat Gulf hendak menarik tangannya, Mew diam seperti patung.

"Tidak perlu besok. A--aku akan mengaku sekarang.  Aku--aku----mmph?"

Cup

Gulf menutup bibir Mew memakai bibirnya sendiri. Mew tidak bergerak. Ia masih shock.

Biasanya Gulf akan menciumnya saat melakukan seks dengan dorongan menuntut dan kasar tapi kali ini berbeda. Ciuman itu ringan dan singkat.

"Aku tidak akan mengulangi ucapanku"
"Masuk" Tangan kiri Gulf mengusap urai rambut Mew dan ia mendapati sebuah cat cokelat yang telah larut di tangannya. Melihat sedikit ke atas, ia mendapati beberapa helai rambut perak Mew, terlihat secara nyata dan tegas.

Dalam keterdiamannya, Gulf memastikan sekali lagi sementara Mew sepenuhnya belum mengetahui. Gulf usap helai rambut perak itu dan warna perak itu tidak hilang, seolah memang warna itu telah menyatu dengan kulit kepala sejak lama sekaligus warna aslinya.

"Kupikir aku baru saja menangkap seseorang disini"

Deg

Mew reflek mendongak dan mendapati Gulf menunjukkan cat rambut di tangan kepadanya.

Mew shock sampai kedua bola matanya hampir keluar.

"Itu----aku bisa jelasin---"

"Aku menemukanmu. Rupanya selama ini kamu bersembunyi di antara kami?"
"Apa yang pantas ku sebut dirimu? Hama negara? Penghianat negara? Keturunan terakhir rambut perak?"

Mew tertangkap basah. Ia ketakutan sehingga tidak terasa telah melukai bibir bawah.

"Benar" Mengepalkan kedua tangan.

"?"

"Aku adalah rambut perak itu" Tidak terlihat tetesan air mata karena sudah menyatu dengan rintik hujan.
"Awalnya aku takut. Sangat takut. Aku sangat kesulitan untuk menyembunyikan identitas ku selama ini. Berkali - kali aku hampir ketahuan. Hidupku sama sekali tidak tenang. Aku selalu menutupi statusku dengan cat, yang mana cat itu hampir membunuhku. Aku terkena alergi terhadap cat tapi aku harus memakainya setiap hari. Aku sama sekali tidak punya pilihan dan bagiku itu sama. Mati karena cat atau mati di tangan kalian--hikss hikss" Gulf mendengarkan dalam diam dengan raut tanpa ekspresi. Wajahnya begitu datar sampai Mew tidak dapat menangkap ekspresi yang tersirat. Apakah Gulf sudah tahu jati dirinya sejak lama? Begitu tenang.
Perlahan-lahan Mew menaikkan wajah untuk menatap kedua manik Gulf, "siapa yang tahu jika identitas asliku akan ketahuan olehmu--hikss. Sekarang, kamu sudah mengetahuinya, itu tidak penting lagi bagiku. Aku hanya peduli satu hal" Kedua tangan mulai meraba perut. Di usapnya dengan sangat lembut secara melingkar.
"Di dalam sini, ada kehidupan lain yang sedang tumbuh"

"Apa?"

"Kamu pernah bertanya mengapa aku takut untuk cek kondisi tubuhku ke rumah sakit, itu karena aku takut. Aku takut kamu mengetahuinya dan berencana untuk menggugurkannya" Mew menggelengkan kepala.
"Aku tidak mau. Kukatakan, aku tidak mau menggugurkan nya. Bahkan jika aku mati, aku tetap ingin melindunginya" Terisak. Kedua tangan ia tempat kan di depan perut, memberi gesture seorang Ibu yang ikhlas mati demi melindungi anak mereka.

"Merepotkan"

"?"

Gulf bergerak maju lalu membawa Mew ke dalam pelukannya. Ia tidak peduli baju Mew yang basah, membasahi pakaian mahalnya tersebut.

"Seharusnya kamu jujur dari awal, jadi aku tidak akan repot memaksamu pergi"
"Ayo masuk dan bersihkan tubuhmu"

"Tapi aku---"

"Kita akan bicarakan hal ini nanti. Kau masih berhutang penjelasan padaku"

Mew menganggukkan kepala dengan pasrah.

Baru 2 langkah mereka jalan, Mew tiba-tiba berkata, "jika aku tidak sesuai harapanmu, aku mohon, jangan buang aku"
"Bunuh aku"

Gulf reflek berhenti, di ikuti Mew.

Mew merasakan pergelangan tangan Gulf melonggar padanya dan ia pun berbalik, menatap nya dengan raut yang sulit di artikan.

Mata elang itu sedikit merendah, menatap manik cokelat madu milik Mew.

Waktu seakan berhenti, mereka menatap dalam waktu lama di bawah rintikan hujan yang tak kunjung mereda.


To Be Continue,,,



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top