SH - 21

Jangan lupa Vote & Comment, ya!
Selamat Membaca 🐣

.

.

.

.

"Aku mohon, Gulf"

"Hm? Kamu mengatakan sesuatu barusan?"

"Hiksss hikss aku mau kembali ke kamar" Mew menahan serangan Gulf sambil berusaha pergi namun Gulf justru mendorong tubuh ringkih itu, menidurkannya dalam posisi telentang di atas sofa sementara dia naik ke atas tubuh dan menekan kedua pergelangan tangan Mew di atas kepala.

"Wow, sudah dimulai. Sudah dimulai!!!" Teriak salah satu tamu, membuat semua orang yang ada di ruangan berkumpul mengelilingi Gulf dan Mew.

"Jangan lakukan itu. Jangan, Gulf. Hiksss. Aku mohon, jangan lakukan padaku seperti ini. Aku sudah memberikan semua yang ku punya padamu. Satu permohonanku saja tidak bisa kau lakukan?" Mew menjerit. Ia sangat ketakutan di tengah tatapan antusias orang-orang, seolah tidak sabar untuk melihatnya diterkam oleh binatang buas seperti Gulf.

"Diam"

Gulf menyergap bibir Mew tanpa peringatan. Di lumatnya bibir itu, di gigit hingga ia dapat merasakan rasa darah yang nikmat kemudian beralih mencari lidah Mew serta memainkan langit mulut sementara Mew, tubuhnya menegang. Mew mau muntah. Seumur hidupnya, tidak pernah ia merasakan perasaan aneh seperti ini. Jika biasanya ia merasakan penis Gulf yang keras dan panjang, kali ini merasakan seperti segumpal daging lunak dan hangat yang di paksa masuk ke dalam mulut. Daging lunak itu bergerak menggeliat dan tidak bisa dikunyah seperti daging sapi atau ayam. Benar-benar sangat aneh bagi Mew.

Dalam pejaman mata, Mew tidak sengaja mengintip ke arah kerumunan dan mendapat reaksi yang aneh. Wajah orang-orang itu terlihat sangat terkejut seperti melihat hantu.

Wanita yang baru pertama kali datang beraksi bingung ketika orang-orang itu saling berbisik satu sama lain.

"Hei, ada apa? Kenapa reaksi kalian seperti itu? Seperti tidak pernah lihat orang ciuman saja"

"Gulf yang kami kenal tidak pernah mencium jalangnya, baik saat sex's atau tidak"

"HAHH??!"

"M-Makanya kami sangat terkejut dengan apa yang kami lihat sekarang. Kami hampir tidak mempercayainya walau terjadi di depan mata kami sendiri"

"Ya, benar. Apakah Gulf menyukai jalang yang itu?"

Para tamu masih bertanya-tanya sementara di sisi lain, Mew sudah kehabisan nafas. Gulf terus mendorong masuk lidah panjangnya, menekan hidung pesek Mew sehingga membuat oksigen tidak bisa sepenuhnya Mew serap. Jantung Mew mulai terasa sakit.

Ia menepuk bahu Gulf berulang kali hingga Gulf melepaskannya. Benang saliva tercipta dan berakhir mengotori sekitar bibir ranum Mew.

Mew segera melirik ke samping untuk menyembunyikan wajah kembali sambil meraup oksigen dan mengusap bibirnya.

Tidak perlu menunggu, Gulf segera menurunkan sedikit kemeja Mew, memperlihatkan bahu yang belum sembuh oleh gigitan dan luka yang ia berikan sebelumnya. Dikecupnya bahu itu dengan lembut dan sensual.

Merasakan permainan lidah hangat milik Gulf pada bahu, Mew menggeleng ribut. Ia kembali nangis namun dalam diam. Ia tidak mau dipergoki tamu saat menangis.

Mew masih berusaha melepaskan tangan yang Gulf tahan tapi sia-sia.

"Hiksss hik lepaskan aku"
"Lepaskan aku--kumohon lepaskan aku hikss. Kasihanilah aku"
"Atau kau bisa bunuh aku saja--hikss. Aku lebih baik mati daripada kau lecehkan di depan banyak orang seperti ini hikssss" Mew larut dalam putus asa. Gulf dapat merasakan tangan Mew dan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Gulf menyadari bahwa Mew sangat ketakutan daripada yang terjadi sebelum-sebelumnya. Gulf menatap wajah Mew. Air mata berlomba mengalir pada sudut mata nya yang lelah dan bengkak. Ia segera bangkit dari posisinya lalu menggendong Mew kembali ala bridal.

"Aw? Sudah berakhir?"

"Begitu saja?" Terdengar nada tak puas di dalamnya.

Gulf melirik sekilas para tamu undangan dan berkata, "dia sedang sakit. Aku tidak bisa memaksanya atau dia bisa mati malam ini"

Para tamu melihat satu sama lain.

"Silahkan lanjutkan acaranya. Aku akan kembali sebentar lagi" Gulf pergi bersama Mew menuju lift sementara Mew masih nangis di gendongan Gulf.
"Berhenti nangis atau kita kembali saja pada mereka"

Cepat-cepat Mew mengusap air mata dan menahan suaranya.

"Brengsek"

"Apa?" Sesampainya di kamar, Gulf menidurkan Mew di atas ranjang dan menyelimutinya.
"Tidak ada yang ingin kau katakan padaku?"

Mew mendelikkan matanya pada Gulf kemudian berkata dengan suara yang sangat kecil.

"Terima kasih"

"Apa? Aku tidak dengar"

Mew menggerutu. Ia menekan giginya dan kembali berkata, "Terima kasih!"

"Hah??! Apa??! Kau berbisik apa disana?"

"TERIMA KASIH!!!" Setelah sadar telah meneriaki Gulf, Mew cepat-cepat mundur dan bersembunyi di balik selimut.
"Aku minta maaf. Tolong jangan hukum aku. Jangan pukul aku lagi. Aku sungguh menyesal"

Gulf masih menatap gundukan selimut itu tanpa berkata apa-apa lalu ia melangkah menuju saklar lampu utama.

"Tidur" Ucap Gulf sembari mematikan lampu dan keluar.

5 menit diam di posisinya kemudian Mew mengintip, memastikan bahwa Gulf telah pergi.

Ia menurunkan sedikit selimut sambil menatap langit kamar yang gelap. Ia sungguh lega karena tubuhnya tidak jadi dipertontonkan di depan umum dan menduga hal gila apa lagi yang akan terjadi kedepan dan belum ia ketahui.

"Aku harus bertahan 6 bulan lagi dan itu bukan waktu yang mudah" Mengusap lengan tangan secara bergantian. Ia menutup mata memakai satu lengan tangan dan terlihat bulir air mengalir di sudut matanya kembali.

Mew kembali nangis. Entah sudah berapa kali ia menangis hari ini dan berharap esok akan menjadi hari yang baik karena akan bertemu Ibu.

Malam yang tenang, gelap yang sangat sunyi.

Mew sudah tidur lelap pukul 01:00 dini hari. Gulf masuk ke kamar Mew untuk mengambil dompetnya yang tertinggal. Menyalakan lampu dan mulai mencari dompet.

"Ini dia" Meraih beberapa lembar uang dan ia hamburkan di atas tubuh Mew seperti biasa lalu memasukkan dompetnya ke saku celana. Sebelum keluar, ia menyempatkan waktu untuk memperhatikan Mew.
"Hm?" Manik elang Gulf melihat kotoran berwarna cokelat dan mengotori bantal berkain putih, bantal yang Mew tiduri saat ini.
"Sepertinya aku harus beli yang baru" Menarik bantal untuk melihat lebih jelas sejauh apa kotoran itu menempel. Pada saat Gulf ingin mengangkat kepala Mew, tak sengaja ia melihat beberapa helai rambut Mew yang tidak lagi berwarna cokelat.
"Perak?" Memegang rambut itu untuk memastikan dan benar saja, itu adalah rambut asli. Seberapa lama ia coba bersihkan memakai jari, warna perak itu tidak pernah hilang. Berbeda dari warna cokelat di helai rambut lain yang mudah menempel di jari. Kedua mata Gulf seketika terbelalak sempurna dan tangan nya mengepal di udara kemudian dia keluar dari kamar Mew begitu saja.
"Mild"

"Ya, Tuan?"

"Cari tahu semua informasi tentang anak ini"
"Semuanya, tanpa terkecuali"
"Pastikan kau cari sedetail mungkin, bahkan sampai ke Nenek moyangnya sekalipun"
"Aku ingin dengar hasil secepatnya"

Mild bingung dengan tugas yang Gulf berikan tetapi ia coba untuk professional.

"Baik"

¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

"MAEEEEEEEEE HIKSSSSS" Mew memeluk erat-erat sang Ibu. Suasana hatinya sangat bahagia sementara Nut menatap punggung sang Kakak dari belakang dengan tatapan bahagia juga namun tercampur sedikit kecemasan disana.
"KAPAN MAE SADAR?"

"Memangnya dia tidak memberitahumu, Phi?" Tanya Nut sambil melirik ke arah Mild di pintu sementara Mild melirik tidak peduli.

Mew sempat berpikir apa maksud Nut. Apakah Nut sudah memberitahu Mild kalau Ibunya sudah sadar? Tapi, mengapa Mild tidak memberitahu apapun padanya? Kalau saja ini bukan waktu Mew menjenguk sang Ibu, dia tidak akan pernah tahu jika Ibunya sudah sadar dari koma sampai 2 minggu kedepan.

Mild tidak bisa diandalkan, pikir Mew.

"Mew, Mae minta maaf ya kalau Mae selalu buat kamu kesal. Kalau Mae selalu mengandalkanmu, membuatmu harus banting tulang demi Mae dan Adikmu"

Mew menggeleng ribut.

"Jangan bahas itu lagi--hiks. Mew ikhlas menjalaninya, Mae"

Ploy mendekap anak pertamanya dengan erat-erat.

"Dimana mantu pertamaku?"

Deg

Mew shock sampai pelukannya lepas.

"M-Maksud Mae?"

"Kamu belum menikah dengan wanita yang kamu cintai?"

Mew terdiam. Ia menundukkan kepala. Ia sangat berusaha untuk tersenyum.

"M-Mae, Mae tahu sendiri kan kalau Mew----" Melirik ke arah Nut yang penasaran.

"Hahahahaha"
"Mae hanya bercanda" Mengusap kepala Mew.

"Mae!!" Kesal Mew.

"Memangnya Phi kenapa?" Tanya Nut.

"Tidak ada apa-apa, sayang. Kemari" Ploy memanggil Nut untuk mendekat dan segera memeluk kedua anak tersayangnya.
"Kalian cepat sekali dewasa. Mae merasa baru saja menggendong kalian saat masih oek oek kemarin"

"Apa nya yang oek oek, Mae" Protes Nut.

"Hahahaha. Sekarang sudah pinter protes, hm?" Mencubit hidung mancung Nut dan Nut segera mengerucutkan bibirnya.

"Mae, Nut keluar sebentar, ya. Ada yang harus aku bicarakan sama Phi Mew"

"Phi?" Mew menunjuk dirinya sendiri dan Nut mengiyakan.

"Baiklah. Cepat kembali" Nut dan Mew mengangguk kemudian pergi ke pintu, bertemu dengan Mild.

"Mau kemana?"

"Bukan urusanmu" Ucap Nut dan mendapat tatapan tajam dari Mild.

"Nut, tidak boleh seperti itu"

"Habisnya orang ini menyebalkan sekali, Phi. Dia juga tidak memberitahu kabar tentang Mae yang sudah sadar kepada Phi" Ucap Nut dengan perasaan kesal sambil menunjuk-nunjuk wajah Mild.

"Hei, turunkan tanganmu dari wajahku"

Mew menghirup nafas dan menghembuskannya dengan berat.

Ya, Mew benar tentang itu. Mild tidak memberitahunya.

Mew menarik Mild sedikit menjauh dari Nut.

"Kita mau bicara sebentar tentang kondisi Ibuku. Aku akan segera kembali. Aku tidak akan kabur"

Mild menatap tajam kemudian berdeham singkat.

"5 menit"

Mew mengangguk kemudian menarik Nut untuk pergi.

Sesampainya di halaman belakang rumah sakit, Nut menunjukkan hasil tes kondisi sang Ibu kepada Mew. Sontak, Mew sangat terkejut dan terpukul. Lututnya lemas dan segera bersujud di tanah berumput dengan tangan meremat dadanya erat-erat.

Terminal Lucidity






To Be Continue,,,,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top