SH - 17
Jangan lupa Vote & Comment, ya!
Selamat Membaca 🐰
.
.
.
.
Menjaga sang Ibu yang tidak kunjung membuka mata selama berminggu-minggu di rumah sakit tampaknya membuat Nut merasa kelelahan.
Dari pagi ke malam dan bertemu pagi ke-esokkan hari adalah kegiatan yang Nut lewati baru-baru ini.
Membosankan.
Selain tidak bisa cari kerja untuk menambah pemasukan, ia juga tidak bisa bertemu dengan sang kekasih begitu sering karena perbedaan jarak yang jauh, apalagi ia belum memutuskan apakah ia akan menikahi sang kekasih, membuat ketakutan nya sedikit bertambah. Takut jika sang kekasih dinikahkan diam-diam dengan orang lain di kampungnya.
"Mae, Nut sedih. Kapan Mae bangun?" Menggenggam tangan ibunya.
"Phi Mew juga tidak ada di sini. Nut kesepian sekali" Mencium tangan sang Ibu.
"Mae" Diam sejenak. Ia ingin cerita tapi entah sang Ibu akan mendengarnya atau tidak. Nut pernah dengar jika seseorang yang koma, indra pendengarannya tetap aktif jadi, mengapa tidak ia coba saja?
"Phi Mew memberikan sejumlah uang untuk biaya rumah sakit Mae, tapi Nut dikasih tahu sama pihak rumah sakit kalau biaya Mae selama disini sudah dibiayain oleh orang baik. Dia tidak mau menyebutkan namanya. Apakah---"
"----Nut boleh pakai uang yang Phi Mew berikan untuk biaya nikah Nut sama Fren?" Kembali terdiam.
"Nut belum izin ke Phi Mew karena Phi Mew belum datang lagi sejak hari itu" Melihat wajah sang Ibu.
"Harusnya Nut minta izin ke Phi Mew ya?" Cemberut.
"Tapi Phi Mew tidak tahu kapan datang lagi sementara batas waktu untuk jawaban ku ke Fren sudah dekat" Berpikir sejenak.
"Oh iya, Nut akan coba menghubungi Phi Mew saja" Meraih ponsel dan mencari nomor telefon Golf Mediterania yang sudah ia simpan di dalam kontak. Nada sambungan terdengar beberapa saat sampai seseorang menjawab panggilan.
"Selamat siang dengan kami Golf Mediterania---ada yang bisa kami bantu?"
"Halo? Bisakah saya bicara dengan staff yang bernama Mew Suppasit?"
"Maaf, tidak ada staff kami yang bernama Mew Suppasit"
Deg
Nut shock.
"Baru saja 2 minggu yang lalu aku menelfon dan ada. Kemana dia?"
"Maaf, kami tidak berwewenang untuk mengetahuinya. Tapi dengan jelas kami katakan bahwa tidak ada staff kami yang bernama Mew Suppasit"
*Apakah Phi Mew keluar dari tempat kerjanya?*
"Oh eh--terima kasih"
Tuttt tuttt tuttt
Bingung, malu, dan khawatir bercampur aduk.
"Phi Mew dimana sekarang?"
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶
Mew mulai terganggu ketika sinar matahari yang hampir tenggelam menerawang masuk melalui jendela kamar. Ia mengusap kedua kelopak mata cantiknya terlebih dulu sebelum ia buka secara perlahan.
Hal pertama yang ia lihat adalah langit kamar berwarna putih kelabu dan terdapat lampu mewah di tengah-tengahnya. Menurunkan arah pandangan ke bawah, ia mendapati sejumlah uang bernominal besar dan banyak, tersebar di ranjang hingga lantai, seperti seseorang telah membuangnya secara cuma-cuma.
Mew melihat uang yang tidak akan pernah ia dapatkan jika bekerja secara normal itu dengan tatapan redup. Entah mengapa hatinya menjadi sakit.
Seperti ini kah kehidupannya sekarang? Melayani birahi seorang konglomerat di atas ranjang dengan tubuhnya yang bisa kapan saja dipakai. Ia merasa dirinya tidak berbeda dengan jalang di club malam.
Perlahan ia bergerak untuk duduk, masih menatap uang itu dalam diam dan setelahnya, ia bangun dari tempat tidur menuju kamar mandi dengan tertatih-tatih.
Mew melihat wajahnya pada sebuah cermin besar berbahan mahogany mewah, di pahat dengan sempurna oleh seorang Seniman ternama di dunia dan di letakkan begitu sombong pada pintu masuk kamar mandi.
Pertama yang dilihat oleh Mew adalah pakaiannya yang masih sama, kemeja kebesaran dan celana boxer ketat. Ia melihat dirinya sudah dalam keadaan bersih dan wangi. Tidak perlu bingung, sudah pasti Gulf yang telah membersihkannya. Kedua, ia melihat rambut. Warna cokelat di rambutnya masih ada namun tidak segelap semprotan pewarna pertama kali tapi masih menutupi warna rambut aslinya, perak.
Mew meraba rambutnya untuk memastikan warna cokelatnya akan bertahan berapa lama dan sial, tidak lama lagi. Warna cokelat mulai beralih ke tangan Mew, sehingga warna perak hampir sedikit lagi terlihat.
Mew bingung dan menjadi khawatir. Bagaimana ia mencari alasan pada Gulf untuk mengambil botol cat rambutnya di gedung karyawan Golf, kamarnya dulu? Semua barang-barang pribadinya juga masih di sana, termasuk nomor telefon Nut yang ia simpan diam-diam.
Ia tidak mau Gulf menemukannya sebagai seorang pria berambut perak atau hidupnya akan benar-benar hancur. Karena hidup seorang yang berambut perak lebih tidak ada harga dirinya di negara ini, lebih parah dari jalang dan sampah masyarakat. Diburu, sudah pasti akan terjadi karena mereka sangat membencinya.
"Aku harus bagaimana? Warna rambutku sudah mulai pudar. Orang itu pasti selalu membersihkan rambutku makanya warna cat jadi tidak bertahan lama" Tidak sadar menjambak rambutnya sendiri.
Berada di dalam kamar mandi lama-lama membuat ia sadar tidak akan mendapat ide apa-apa. Ia pun melangkah keluar untuk melihat-lihat isi kamar sambil memikirkan langkah selanjutnya. Sebelum itu, ia mengambil lembaran uang yang berceceran itu satu per satu, menyusunnya dengan rapi kemudian ia taruh di bawah ranjang untuk sementara waktu karena belum mendapat tempat untuk menaruh uang-uangnya.
Waktu menunjukkan pukul 6 sore, yang mana langit sudah diwarnai oleh senja yang indah. Mew melihat sebuah pintu kaca yang mengarah ke balkon. Ia mencoba memutar knop dan---
.
KLIK
.
Pintu berhasil di buka. Ia melangkah menuju balkon beralaskan marmer mahal dan dingin. Di sentuhnya penyangga balkon yang terbuat dari bahan entah namanya, yang pasti memberi kesan nyaman dan mahal.
Mew melihat di kejauhan, dimana 3 gedung Golf yang ia tahu, terlihat di antara kabut sore. Terlintas kenangan-kenangan baik yang pernah ia dapatkan selama menjadi pelayan Golf Mediterania, membuatnya hampir menangis. Ia merindukan Win, Bank, Elena, dan pekerjaannya dulu. Lalu melihat ke arah bawah dimana orang-orang berpakaian lengkap dengan jas dan walkie talkie di tangan mereka masing-masing, berjalan kesana kemari menjaga tempat tersebut.
Adapun beberapa orang di sebelah utara sedang melihat ke arahnya, namun tak ia hiraukan. Ia menduga mereka adalah suruhan Gulf untuk menjaganya agar tidak kabur.
1 menit
5 menit
10 menit
Mew tidak mengalihkan pandangannya dari lantai bawah yang tingginya mencapai 40 meter. Di tengah itu, ia seperti mendengar bisikkan yang membuat pikirannya semakin kacau.
'Lompat. Lompat. Tidak se-tinggi itu, kok'
Entah sadar atau tidak, Mew menjawab dengan pandangan kosong, "benar, tidak tinggi" Di matanya, lantai 1 menjadi dekat sehingga tempat ia berdiri saat ini (lantai 4) menjadi tidak tinggi lagi. Kira-kira jaraknya menjadi hanya 2 meter dari lantai 4 ke lantai 1.
'Maka lompatlah. Kau tidak akan mati'
'Kau tidak mau bebas dari kekangan Gulf? Lompat lah. Lompat. Tidak tinggi, kok. Apa yang kau tunggu?'
'Tidak ada kesempatan lagi jika orang itu datang. Lompat. Kau akan baik-baik saja'
Di-iringi bisikkan hati, Mew memulai menaikkan satu kaki ke besi bagian bawah balkon. Menaikkan satu kaki lagi sehingga kedua kakinya sudah ada di besi penyangga bagian bawah balkon. Satu kaki kembali naik ke atas penyangga yang mana ketika Mew menaikkan satu kaki lagi, tidak ada penyangga yang mampu menahan tubuhnya sehingga ia akan benar-benar jatuh bebas ke bawah.
"APA YANG KAU LAKUKAN???!!"
"ACCKHHHHHH"
Merasakan tarikan kuat pada rambut, Mew jatuh dengan tubuh terbanting ke belakang.
Mew merasakan sakit pada seluruh tubuhnya. Belum selesai, ia kembali di tarik secara kasar dari balkon hingga ke kamarnya kembali.
.
BRAK
.
Orang yang menariknya adalah Gulf. Setelah pintu balkon di banting nya karena kesal, ia menghampiri Mew lalu mencengkram dagunya dengan sangat kuat hingga Mew merasakan tulang dagunya retak.
Mew mencoba melindungi diri. Ia berusaha membuka tangan Gulf yang mencengkram dagunya dengan susah payah.
"APA YANG BARUSAN KAU LAKUKAN? MAU MATI??"
"HAHHH???!!"
Mew menggeleng ribut. Ia baru sadar dan merutuki diri mengapa ia melakukan hal bodoh tadi.
"Sa---Saya tidak---"
"TIDAK APANYA?! JELAS-JELAS BARUSAN KAU MAU LOMPAT! KAU KIRA AKU TIDAK MELIHAT KEJADIAN BARUSAN??!"
"DI KASIH SEDIKIT KEBEBASAN KAU MALAH MAU MENGHABISI NYAWAMU SENDIRI? KAU BENAR-BENAR TIDAK BISA DIPERCAYA, JALANG TENGIK" Beralih mencekik leher Mew dengan kuat hingga nafas Mew terputus-putus.
"KAU HARUSNYA SADAR DIRI!!! KAU MASIH PUNYA KONTRAK DENGANKU TAPI INGIN MELARIKAN DIRI DENGAN CARA BUNUH DIRI?"
"KAU MAU MATI?????"
"BAIK, AKAN KUWUJUDKAN! AKAN KUWUJUDKAN!!! MAU MATI, KAN?"
Mew tidak bisa berpikir jernih. Tekanan yang Gulf berikan pada leher membuat semua aliran darah naik ke kepala hingga kepalanya sakit. Udara dari hidung yang Gulf halangi, tidak sampai ke paru-paru Mew sehingga rasanya paru-paru Mew ingin meledak.
Dalam beberapa detik Mew sangat tersiksa. Ia sepertinya akan mati dengan tragis sebelum sempat bertemu dengan Ibunya kembali.
Air mata tidak bisa ia bendung, mengalir begitu deras dari mata, membasahi pipi dan seluruh wajahnya. Ia tidak punya kekuatan untuk menangisi siapapun saat ini.
Kekuatan tubuhnya mulai melemah.
Satu per satu anggota tubuh mulai mati rasa seperti kaki dan tangan.
Apakah ia akan mati dengan cara seperti ini?
Ia tidak tahu.
Kegelapan mulai mendatangi penglihatannya.
Sebenarnya, Mew adalah orang yang sangat takut ruang atau suasana gelap. Tapi entah mengapa, ia menyukai gelap yang mendatanginya sekarang seakan, setelah kegelapan ini berakhir, ia tidak akan menderita lagi.
To Be Continue,,,,,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top