9 : Comfortable
Hidup manusia itu dibagi menjadi dua, kegelapan dan cahaya. Akulah kegelapan untukmu itu, Ara.
♥️Ethan♥️
Author
Arabell menyuap burger berukuran besar di hadapannya, mengunyahnya dengan semangat.
Dia harus banyak berterima kasih pada Ethan yang sudah membelikannya burger berukuran jumbo sebanyak tiga buah, menggunakan uang pria itu sendiri.
"Kau mau? Daritadi kau menatapku terus sambil tersenyum, aku risih tau!"
Ethan menyunggingkan senyumnya, menggeleng, "Aku tak bisa makan -makanan manusia. Apa kau lupa kalau aku ini seorang iblis?"
"Lalu untuk apa kau membelikanku burger sebanyak ini? Kau pikir aku akan memakannya sendirian?"
Arabell menatap horror dua burger yang masih tersisa. Satu burger saja belum habis dimakannya, bagaimana caranya menghabiskan kedua burger yang tersisa? Ethan benar-benar gila.
Dia tak terbiasa makan dalam porsi besar seperti ini.
Dia sudah sering makan dalam porsi kecil sejak sang ayah meninggalkannya menjadikan ekonominya dan sang ibu merosot.
"Untuk kau makan sendirian, tentu saja. Harus dihabiskan ya. Aku tak mau sampai kau menyisakannya."
Arabell cemberut, diikuti dengan mulutnya yang kini tampak berlepotan akibat burger yang dimakannya. Menimbulkan perasaan gemas tersendiri bagi Ethan.
"Ini banyak, Eth. Aku tak bisa menghabiskannya."
Ethan berdecak, menyingkirkan sisa-sisa burger di ujung bibir Arabell menggunakan jempolnya, "Ini khusus kubelikan untukmu. Kau harus menghabiskannya, tak ada penolakan."
Arabell mendengkus, mengambil cepat burger kedua untuk dimakannya lagi hingga semua burger yang dibelikan Ethan habis dimakannya meski sempat merasa kesusahan.
"Kau menyiksaku."
Protes Arabell, memegangi perutnya yang terasa sesak.
Dia benar-benar menuruti perintah Ethan untuk menghabiskan ketiga burger tadi sendirian.
Setelah sekian lama baru kali ini Arabell merasa makan sampai kekenyangan seperti ini.
Sebelumnya jangankan kekenyangan, untuk kenyang saja rasanya susah. Dia makan seadanya meski dia sendiri belum merasa kenyang.
Makanan yang ia masak selama ini juga harus dibagi untuk ibunya. Maka dari itu Arabell mengalah dan memberi porsi makan Paula lebih banyak ketimbang dirinya.
Arabell merasa sungguh berhutang budi pada Ethan yang bersedia memberikan ibunya rumah lain dan bahkan memberikan uang untuk kebutuhan hidup wanita itu bersama kedua temannya.
Hal itu memicu rasa penasarannya akan dari mana Ethan bisa mendapatkan uang sebanyak itu?
Tak mungkin dengan memakan jiwa manusia dia diberi uang oleh rajanya 'kan?
Apalagi mengingat Ethan tak bisa memakan-makanan manusia.
Tentu tak mungkin sang raja memberikannya uang. Karena itu berarti sama saja tak ada gunanya jika dia mendapat uang pun.
"Aku tau kau kesusahan makan sejak tinggal bersama Ibumu. Benar?"
Arabell menatap Ethan sebentar, kemudian menundukkan pandangannya, terdiam, tak tau harus menjawab apa.
"Sekarang sudah tak ada dia lagi. Jadi kau bisa makan sekenyang mungkin. Kau tak perlu membagi makananmu bersamanya lagi."
Arabell tertegun, baru sekitar dua hari dirinya bertemu dengan Ethan. Namun pria itu sudah tau bagaimana susahnya hidupnya.
"Terima kasih untuk ini semua, Eth.
Aku penasaran, boleh aku bertanya satu hal?"
"Boleh. Apa?"
"Darimana kau mendapatkan uang sebanyak ini?"
Tanya Arabell ragu, takut-takut pertanyaannya ini dapat menyinggung perasaan Ethan.
"Dari raja. Setiap menemukan jiwa yang hilang kami dibayar dengan uang. Uang itu nantinya untuk membeli pakaian kami."
Arabell beralih cepat memandangi pakaian yang dikenakan Ethan---jubah hitam yang sama setiap dia bertemu dengan pria itu, celana panjang yang juga berwarna senada, dan sepatu berwarna serupa. Semua pakaian itu tampak sama di mata Arabell setiap ia bertemu dengan Ethan.
Menimbulkan satu pertanyaan besar di otaknya, jika Ethan terus mendapatkan uang dari raja hasil pencariannya terhadap jiwa-jiwa manusia yang hilang untuk membeli pakaian. Lalu mengapa tampaknya Ethan tak pernah mengganti pakaiannya?
"Pakaianmu...terlihat sama setiap hari?"
Ethan tersenyum tipis, bergerak perlahan membuka kancing jubahnya satu persatu menampilkan kaos berwarna biru yang ada di dalamnya.
"Jubahnya memang terlihat sama, kami memang sengaja membeli warna yang sama karena aturan dari raja sendiri kalau para iblis hanya boleh mengenakan jubah berwarna hitam. Celana pun begitu. Yang berbeda hanya warna kaos dalam. Kau melihatku sama setiap harinya karena kaos dalamku tertutup jubah. Tapi ketahuilah, aku tidak mengenakan pakaian yang sama terus menerus. Aku memakainya dua kali, lalu menggantinya dengan yang lain."
Jelas Ethan panjang lebar sembari menutup lagi kancing jubahnya.
Arabell yang melihatnya pun hanya bisa mengangguk paham sambil ber-oh ria, "Jadi begitu. Eth, bolehkah aku bertanya yang lain lagi? Sungguh, aku masih tak mengerti mengapa kau memperlakukanku seperti ini. Kurasa hubungan kita sebagai sepasang kekasih hanya sebatas perjanjian, bukan? Lalu kenapa kau begitu peduli padaku?"
Arabell menatap Ethan dengan tatapan menuntut meminta penjelasan.
Ethan bergerak mendudukkan diri di atas ranjang Arabell, di sebelah gadis itu, "Kau itu kekasihku 'kan? Aku hanya berusaha mendalami peran kita. Entahlah, rasanya aku tak bisa tinggal diam melihatmu tersiksa tanpa melakukan apapun. Lagipula, kau satu-satunya manusia yang bisa kuajak bicara seperti ini. Sebelumnya mana pernah aku bertemu manusia yang tak takut padaku sepertimu. Itulah mengapa aku menganggapmu istimewa."
"Jadi hanya itu?" Tanya Arabell memastikan. Entah mengapa dia belum puas akan jawaban Ethan barusan.
Baginya, tindakan Ethan sudah benar-benar seperti seorang kekasih normal layaknya manusia.
Padahal mereka tak saling mencintai.
Ethan mengangguk, "Ya. Apalagi?"
"Entahlah. Jika kau terus bersikap baik padaku seperti ini. Bagaimana aku bisa membalasnya?"
Ethan menyeringai jahil, mendekatkan mulutnya di depan telinga Arabell, berbisik, "Kau bisa menukarnya dengan memberiku ciuman setiap hari."
Arabell sontak beringsut menjauhi Ethan, menutup bibirnya menggunakan kedua tangan, "Jangan sampai."
Ethan terkekeh geli melihat ekspresi lucu yang ditunjukkan Arabell saat ini.
Padahal dia hanya ingin menggoda gadis itu, tapi Arabell tetap saja menganggap itu serius, "Aku hanya bercanda, serius."
Suara deringan ponsel milik Arabell mengalihkan perhatian keduanya. Arabell dengan tergesa mengangkat panggilan tak dikenal yang jarang sekali masuk di ponselnya itu, bahkan bisa dikatakan tak pernah karena dia sendiri tak pernah punya teman ataupun orang yang bisa ia hubungi.
"Halo? Siapa ini?"
"Ini aku. Kau kenal suaraku?"
Arabell terdiam sejenak, melirik Ethan yang kini tampak penasaran pada siapa yang menghubungi kekasihnya itu, "Oh, iya. Ada apa menghubungiku, Kane?"
Ethan mendengkus saat nama Kane disebut oleh Arabell.
Pria itu tiba-tiba saja beranjak, lebih memilih duduk di jendela kamar Arabell, menatap langit malam namun tetap memasang telinga mendengarkan percakapan Arabell pada Kane.
"Kau lupa? Kan aku bilang akan menghubungimu tadi."
Arabell gelagapan, mengutuk dirinya sendiri yang tidak fokus saat ini. Dia ingin sekali cepat-cepat mengakhiri panggilannya bersama Kane ketika melihat Ethan beranjak menjauhinya tadi. Hatinya diselimuti rasa bersalah pada pria itu.
Dia tau Ethan tak suka saat dirinya dekat dengan Kane.
"A-ah iya. Maaf. Kalau begitu, kau ingin membicarakan apa?"
Kane terdengar terkekeh di ujung sana, "Kau ini tidak bisa basa-basi ya. Aku ingin menjemputmu untuk pergi ke kampus sama-sama besok pagi. Apa kau mau?"
Arabell terdiam, matanya memandangi punggung Ethan yang masih menatap ke luar jendelanya saat ini. Dia ingin sekali mengatakan kalau dirinya tak ingin dijemput oleh Kane lantaran tak mau berdebat lagi dengan Ethan.
Tapi di lain sisi, dia merasa tak enak jika tak menerima tawaran Kane. Dia takut mengecewakan pemuda itu.
"Maaf. Tapi aku bisa pergi sendiri, kok. Tak perlu repot-repot, oke?"
"Kau selalu saja mengatakan kalau itu merepotkanku. Hei, ini sama sekali tak merepotkanku. Aku malah merasa senang jika kau mau pergi bersamaku besok. Please, Arabell, aku ingin punya teman saat pergi ke kampus besok."
"Memangnya...kau tak punya orang lain untuk diajak? Kekasihmu misalnya?"
Arabell dapat mendengar Kane tergelak di ujung sana, "Aku tak punya kekasih. Ayolah, kau harus mau, oke? Besok akan kujemput jam delapan pagi di rumahmu."
"Tidak, Kane! A-aku bukannya tak mau. Aku tak bisa, oke? Mengertilah. Aku hanya suka berjalan kaki jika pergi ke kampus. Tolong mengertilah."
"Kenapa kau terus menolakku? Sebenarnya apa yang kau takutkan?"
Arabell terus-terusan merutuk Kane di dalam hatinya. Mengapa pria itu selalu saja memaksanya? Kane tak sadar kalau tindakannya itu sungguh membuat Arabell risih.
"E-hm...tidak ada."
"Nah, kalau begitu kau mau kan aku menjemputmu besok? Sudah, aku tak menerima penolakan lagi. Selamat malam, Arabell. Sampai jumpa besok."
Arabell berdecak kesal saat Kane memutus panggilan mereka secara sepihak.
Gadis itu membanting ponselnya di atas tempat tidur, mengusap wajahnya kasar.
Dia belum sempat mengatakan penolakan, tapi Kane sudah mematikannya.
"Kalian akan pergi berdua besok?"
Arabell tersentak, dia bingung harus menjawab apa pada Ethan yang wajahnya sudah kusut menatapnya kini.
Mau tak mau Arabell pun mengangguk lemah, memandang Ethan dengan pandangan bersalah.
"Eth, aku---"
"Apa kau tak bisa menolaknya?"
Nada suara Ethan terdengar dingin. Bahkan suara barusan seperti bukan suara Ethan. Baru kali ini pria itu bicara demikian pada Arabell. Semarah itukah?
"Aku sudah menolaknya, tapi dia mematikan panggilan begitu saja---"
"Jadi, kau mau pergi bersamanya besok? Jika mau tak masalah."
Arabell mengernyit, bangkit dari duduknya menghampiri Ethan, "Tentu saja aku tak mau. Itu sebabnya aku menolaknya tadi. Jika dia menjemputku pun besok aku tak akan pergi dengannya."
"Bagaimana caramu menolaknya?"
Arabell kehabisan kata-kata, pertanyaan Ethan sungguh menyulitkannya, "A-aku---"
"Benar 'kan. Kau tak ada pilihan lain."
"Eth---"
"Aku harus pergi, kurasa ada tugas malam ini."
Tentu Ethan sedang berbohong, ia berbalik akan segera melarikan diri dari situ kalau saja pelukan Arabell dari belakang tak mengejutkannya.
Dia sudah tau dia tak punya tugas malam ini dari sang raja, mungkin juga untuk malam-malam berikutnya.
Hal semacam itu sering terjadi jika tak ditemukan catatan jiwa manusia yang menghilang.
"Kau pembohong! Kau bilang akan menemaniku di sini! Sekarang apa? Kau bahkan sudah akan meninggalkanku sendirian di rumah."
Arabell terisak di punggung Ethan, entah mengapa setiap berdekatan dengan pria itu membuatnya menjadi lebih sensitif.
Padahal biasanya jika dimarahi atau diperlakukan kasar oleh Paula pun, air matanya sulit jatuh. Tapi jika dengan Ethan, rasanya berbeda. Dia merasa lebih emosional.
"Aku ada tugas, Ara."
Arabell melepaskan lingkaran tangannya pada Ethan, mengambil langkah mundur dengan perlahan, "Baik, silahkan pergi. Pergi saja tinggalkan aku!"
Ujarnya sambil menangis, bergerak mendudukkan diri di lantai dan menyembunyikan wajahnya di balik kedua lutut.
Ethan berbalik cepat melihat Arabell, entah mengapa dia jadi mengurungkan niatnya untuk pergi.
Alhasil, pria itu berjongkok di hadapan Arabell, mengusap kepala gadis itu dengan lembut. Membuat Arabell yang tadinya menangis kini terdiam memandangi Ethan bersama kedua netra yang masih menampilkan jejak-jejak air mata.
"Maaf."
Hanya itu yang mampu Ethan ucapkan. Namun mampu membuat hati Arabell menghangat. Tanpa basa-basi lagi, entah mendapat dorongan dari mana, Arabell mendekatkan wajah Ethan ke wajahnya, menyambar bibir pria tersebut, memberinya kecupan yang cukup lama.
Tentu saja hal itu sungguh mengejutkan Ethan.
Dia yang tadinya berjongkok, kini jadi terduduk dengan kedua lutut sebagai tumpuan, matanya tanpa diperintah langsung berubah warna menjadi perak, tindakan Arabell ini menaikkan nafsunya seketika.
"Terima kasih, dan maaf."
Ujar Arabell setelah melepaskan ciumannya di bibir Ethan, memeluk pria itu dengan erat.
Dia sendiri bingung atas tindakan tiba-tibanya pada Ethan untuk menciumi bibir pria itu.
Entahlah, dia merasa seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang memerintahkannya untuk melakukan hal itu.
"Ara."
"Hm?"
"Kumohon jangan lakukan itu lagi secara mendadak."
Arabell melepas pelukannya, menatap Ethan tak mengerti, "Mengapa? Astaga, matamu berubah."
"Itu sebabnya. Ciumanmu tadi sudah membangkitkan nafsuku."
Balas Ethan sambil menggeram, berusaha mati-matian meredam hasratnya yang sedang bergejolak.
Mata Arabell membulat, ia reflek menutup mulutnya sendiri dengan pipi bersemu merah, "Ma-maaf."
"Berjanjilah tak akan melakukan itu lagi secara tiba-tiba. Aku tak ingin menyentuhmu. Kurasa kau pun begitu."
Arabell mengangguk cepat, melarikan wajahnya yang sudah memerah agar tak bisa dipandangi Ethan, "Ya. Aku berjanji, maaf."
"Baiklah, kurasa sudah mereda. Jadi, apa rencanamu besok untuk menghindari pergi bersama Kane?"
"Aku akan menyuruhnya pergi terlebih dahulu dan beralasan masih punya pekerjaan mengemasi rumah. Bagaimana menurutmu?"
Ethan tampak berpikir, "Kurasa itu cukup buruk. Aku punya rencana yang lebih baik."
Ethan menampilkan seringaiannya, membayangkan apa yang akan dilakukannya besok agar sang kekasih tak bisa pergi berdua ke kampus bersama Kane.
Arabell memandangi Ethan penasaran, "Apa itu?"
"Lihat saja nanti."
Tbc...
Kira-kira Ethan bakalan ngelakuin apa ya?
Penasaran? Tunggu di nextpart👼
Jangan plagiat.
Jangan siders.
Jangan sampe gak Vomment😚
❤MelQueeeeeen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top