8 : Switch

Tak bisa dipungkiri kalau manusia adalah makhluk yang mudah jatuh cinta.

•Author•

Author

"Ibu, aku pulang."
Arabell membuka pintu kamarnya, membuang tasnya di atas tempat tidur.

Gadis itu merebahkan tubuhnya sejenak ke atas tempat tidur, berusaha meredakan rasa lelah yang menyerangnya seharian ini.
Sebenarnya bukan hanya fisiknya saja yang lelah, tapi juga perasaannya.

Menghadapi sikap Ethan yang menurutnya terlalu berlebihan menjadi beban tersendiri untuknya.

Ia jadi teringat akan kata-kata Kane bahwa pria itu akan menghubunginya malam ini.
Jika Kane menghubunginya tepat di saat Ethan bersamanya, apa yang akan dilakukannya nanti?

Arabell menghembuskan napas kasar, tak mau mempedulikan hal itu.
Semakin ia fokuskan pada hal-hal semacam itu, kepalanya semakin terasa pening.

Mengambil ikat rambut yang ada di atas meja belajarnya, ia bergerak menyimpul rambut coklatnya hingga tak bersisa.
Ia putuskan untuk menghilangkan segala kepeningannya dengan mandi air shower di kamar mandi.

🏠🏠🏠

"Ibu, malam ini kita makan burger saja ya---Ibu?"
Arabell mengernyit heran saat membuka kamar Paula, namun tak ada siapa pun di sana.

Melangkah cepat membuka kamar mandi Paula, Arabell juga tak menemukan batang hidung wanita itu di sana.
Selesai mencari ke kamar, Arabell mulai memeriksa ruang tamu, dapur, hingga ke halaman rumahnya. Namun nihil, Paula tetap tak bisa ditemukan.

Entah menghilang ke mana ibunya itu. Tapi Arabell menebak Paula mungkin saja sedang berada di rumah temannya, Tessy. Itu sebabnya Arabell memutuskan untuk mencarinya ke sana.

"Kau baru sadar rupanya."

Arabell menatap Ethan yang tiba-tiba muncul di depannya dengan tak minat, "Aku harus pergi."

"Kau baru sadar Ibumu sudah hilang sejak tadi?"

Satu alis Arabell terangkat, bingung, "Sebenarnya apa maksudmu?"

"Dia kupindahkan ke tempat lain bersama kedua orang temannya."

Sontak saja kedua mata Arabell membulat, perasaan tak enak seketika menyerang hatinya, "Jangan bilang kau---"

"Aku tak memakannya, tenang saja. Meskipun aku ingin, tapi aku masih memikirkanmu. Kau tau? Aku punya kekuatan lain untuk menghipnotis manusia. Jadi, aku menghipnotis Ibumu tadi."

Flashback On

Ethan mengetuk pintu rumah bercat biru muda di hadapannya.
Hal yang sangat asing untuk ia lakukan, karena pada kenyataannya dia sudah sering masuk ke rumah itu tanpa lewat pintu depan.

Lelaki itu mendengus, menunggu dengan sabar Paula membukakannya pintu.
Sudah sekitar lima belas menit dia berdiri di sana dan mengetuk pintu berulang kali, tapi Paula belum juga ada tanda-tanda akan membukakannya pintu.

Ethan berani bertaruh wanita itu kini sedang tidur makanya tak mendengar suara ketukan darinya.
Alhasil, dia menambah ketukannya menjadi kuat, agar Paula tersadar dan membukakannya pintu.

Ethan tak habis pikir mengenai kehidupan Paula.
Wanita itu tak pernah mengemasi rumah, tak pernah memasak layaknya ibu rumah tangga pada umumnya.
Dia hanya selalu menyuruh Arabell, tanpa pernah memikirkan sedikit pun bahwa gadis itu juga terkadang merasa lelah setelah pulang dari kampus dan saat pulang ia harus mengurus segala sesuatu lagi di rumah.

Maka dari itulah tujuan kedatangan Ethan saat ini.
Dia ingin menghentikan penderitaan hidup sang kekasih dengan berniat menyingkirkan Paula dari hidup Arabell.
Dia sudah tak tahan harus terus-terusan melihat Arabell diperlakukan semena-mena oleh Paula.
Meskipun Paula adalah ibu tirinya, namun menurutnya Paula tak pantas memperlakukan Arabell seperti itu.

"Iya sebentar, tidak sabaran sekali sih."
Terdengar suara marah-marah dari dalam sana. Suara Paula. Ethan dapat bernapas lega akhirnya wanita itu dapat tersadar dari tidurnya.

"Siapa kau?"
Tanya Paula begitu membuka pintu, menemukan lelaki yang sangat asing untuknya.

Di sinilah Ethan mulai beraksi, mata peraknya sudah aktif sejak tadi, pria itu kemudian menyunggingkan senyum miring pada Paula di hadapannya, "Izinkan aku masuk."

Seolah tersihir akan mata Ethan, Paula menyingkirkan tubuhnya sedikit agar Ethan dapat masuk, "Silahkan masuk."

Tanpa basa-basi lagi Ethan masuk ke dalam rumah itu, mendudukkan dirinya ke ruang tamu diikuti Paula yang juga duduk berhadapan dengannya.

"Aku sudah membelikanmu sebuah rumah. Jaraknya cukup jauh dari sini. Kau tinggallah di sana dengan nyaman bersama kedua orang temanmu, Deborah dan juga Tessy. Mereka yang akan menjagamu di sana nanti. Lupakan tentang Arabell, lupakan kau pernah ingat alamat rumah yang ini. Hidup di sana dengan nyaman bersama kedua penjagamu, Deborah dan Tessy. Gunakan uang yang kuberikan dengan hemat untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Tinggal di sana dengan rukun bersama Deborah dan juga Tessy. Sekarang, kau kemasi barang-barang yang perlu kau bawa saja, kemudian naik taksi yang ada di depan rumahmu saat ini. Deborah dan Tessy sudah menunggu di dalam taksi itu."

Paula mengangguk patuh, mengambil kunci rumah yang disodorkan Ethan di atas meja. Seperti robot, wanita itu segera masuk ke dalam kamarnya, mengemasi baju-bajunya seperti perintah Ethan tadi.
Sedangkan Ethan sendiri kini menyilangkan kakinya, duduk bersandar sambil tersenyum puas memperhatikan pergerakan Paula yang menuruti perintahnya.

Setelah selesai membawa pakaiannya menggunakan koper miliknya, Paula langsung pergi ke depan rumahnya, menaiki taksi yang sejak tadi rupanya sudah terparkir bersama Deborah dan Tessy di dalamnya.

Ethan yang kini berada tepat di depan pintu, menyeringai puas seraya memasukkan kedua tangannya di dalam saku jubah, memandangi taksi yang sengaja dipesannya untuk membawa Paula dan kedua temannya hingga mulai menjauh dan segera menghilang dari pandangannya.

Masalah selesai.

Flashback Off.

"A-apa? Kau gila, hah? Mengapa kau memindahkan Ibuku tanpa seizinku? Sebenarnya apa maumu?"

"Ara, ini demi kebaikanmu. Aku tak sudi jika dia terus tinggal bersamamu. Dia hanya menyusahkanmu selama ini."

Arabell menggeleng tak percaya, masih kesal atas cerita Ethan barusan, "Beritahu aku alamatnya! Aku ingin menemui Ibuku dan membawanya pulang!"

"Tidak akan."

"Kenapa? Kau pikir aku senang seperti ini, heh? Dia itu tetap Ibuku bagaimana pun caranya! Aku tak bisa tinggal sendiri seperti ini!"

Ethan berusaha menahan tangan Arabell yang mulai bergerak memukul-mukul dadanya, mata gadis itu sudah tampak berkaca-kaca sekarang, "Kau tak akan sendiri. Aku akan menemanimu, okay? Aku berjanji akan menghabiskan banyak waktu ke sini. Tolonglah, ini yang terbaik untuk hidupmu, Ara. Aku tak ingin lagi melihatmu tersiksa. Kupastikan Paula akan baik-baik saja di sana, aku akan mengawasinya sering-sering."

Pukulan-pukulan Arabell pada Ethan perlahan terhenti, gadis itu terdiam dengan air mata yang sudah turun melewati pipinya.

"Bagaimana jika Bibi Deborah dan Bibi Tessy mengenalku? Mereka pasti juga akan membawa Ibu kembali ke sini."

Ethan bergerak membingkai wajah Arabell, menghapus jejak air mata Arabell menggunakan jari jempolnya, "Kau pikir aku sebodoh itu membiarkan mereka mengingat segala tentangmu? Aku juga menghipnotis mereka, menyuruh mereka menjaga Ibumu dan melupakan tempat tinggal mereka yang sebenarnya serta rumah ini. Aku menyuruh mereka agar betah tinggal di sana dan hidup rukun bersama Ibumu. Aku juga menyuruh mereka untuk menganggap rumah itu sebagai milik mereka. Status single mereka memberikan keuntungan tersendiri, karena dengan begitu aku tak harus mengurus hal yang lainnya lagi."

Pandangan Arabell mendongak, tertegun atas tindakan yang diambil Ethan untuk dirinya.
Pria itu sampai harus membelikan rumah dan juga memesan taksi untuk melancarkan rencananya ini. Dan alasan dari itu semua adalah agar dirinya tak merasa tersiksa lagi.

"Eth, maaf."

Ethan tersenyum lembut, menyampirkan rambut Arabell di telinga gadis tersebut, "Sudahlah. Yang pasti aku sudah tenang sekarang. Hidupmu sudah tak ada yang mengganggu lagi."

Arabell membalas senyuman Ethan, entah mengapa perasaannya menghangat setiap mengingat Ethan sungguh mempedulikannya lebih dari siapapun.

"Kuharap kau tak keberatan jika aku juga akan menemanimu tidur nantinya."

Kedua pipi Arabell bersemu, dan hal itu disadari oleh Ethan, membuat pria itu tanpa sadar mengulum senyumnya, "T-tapi kita tak akan tidur satu ranjang 'kan?"

"Kau pikir aku akan tidur di mana? Tempat tidurmu muat untuk dua orang kan. Aku tak mau tidur di kamar Ibumu, nanti aku tak bisa menjagamu jika aku tidur di sana."

"Tapi kita tak bisa tidur berdua."

"Mengapa?"

Arabell melarikan pandangannya, sibuk mencari jawaban yang pas. Tentu saja ia tak ingin tidur berdua di ranjang yang sama bersama Ethan.

Mengingat jenis kelamin mereka berbeda, tentu Arabell khawatir akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan nantinya.

"Jangan berpikiran buruk. Aku hanya tidur di sebelahmu, menjagamu. Bukan bercinta denganmu. Itu yang kau takutkan 'kan?"

Arabell mengangguk ragu, membuat Ethan harus memutar bola mata malas.

"Harus berapa kali aku bilang kalau aku bukan tipe iblis yang seperti itu? Meskipun nafsu kami memang bergejolak setiap mendekati manusia---mau itu nafsu ingin memakan jiwa---maupun nafsu seks. Tapi aku bisa menahannya, aku janji."

Arabell menatap iris zamrud Ethan lekat-lekat, berusaha mencari kebohongan di sana. Namun nihil, Arabell sama sekali tak menemukannya.
Tanpa sadar, Arabell langsung memeluk Ethan erat, berusaha menahan perasaan hangat yang semakin menjalar menguasai hatinya.

Baru kali ini Arabell merasa dipedulikan oleh orang lain selain Ayahnya.
Meskipun hal itu didapatnya dari seorang iblis, dia tak peduli.
Nyatanya seorang iblis bisa bersikap lebih baik dibanding manusia.

"Aku percaya, Eth."

Tbc...

Akhirnya Ethan nyingkirin si Paula juga dari hidupnya Arabell.
Adakah yang merasa senang?


Jangan plagiat.
Jangan siders.
Jangan sampe gak Vomment😚

❤MelQueeeeeen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top