4 : Fact
Jika tak ada yang melindungimu, aku bersedia menempati posisi itu.
♥️Ethan♥️
Author
"Bawakan kami tiga gelas air dingin! Cepat!"
Nada memerintah barusan bukan berasal dari Paula, melainkan dari teman-temannya yang kini datang untuk menjenguk dirinya ke rumah.
Arabell langsung berlari kecil menuju dapur, mengambilkan apa yang diperintahkan tadi.
Setelah selesai, gadis itu berjalan pelan membawa nampan berisi tiga gelas air dingin di hadapan tamu-tamu Ibunya yang sedang makan risotto buatannya.
Dia sendiri sudah makan terlebih dahulu sebelum kedatangan kedua tamu ini.
Salah satu dari teman Ibunya, Deborah, mengambil kasar gelas yang sudah berada dalam jangkauannya, meneguknya cepat.
"Masakanmu enak juga ya. Kau ternyata tidak sepayah yang kami kira."
Komentar wanita tadi, menaruh gelasnya kembali di meja ruang tamu.
"Seperti ini rasanya enak?! Lidahmu itu sudah kelu! Rasanya biasa saja, masih kalah dengan buatanku."
Ibunya menyambung, melirik sinis pada Arabell yang masih terdiam sambil memeluk nampan tadi.
"Tapi setidaknya ini tak buruk. Risotto buatan anak haram ini bisa lebih baik dari risotto yang aku buat."
Wanita berbadan gendut tadi kembali menanggapi perkataan Ibunya.
"Setelah ini kau cucikan piring kami ya, anak haram. Sekalian, belikan rokok untuk kami begadang malam ini. Apa kau mengerti?!"
Arabell mengangguk paham.
"Lihatlah, dia seakan sudah bisu! Menjawab pertanyaanku pun tidak!"
Kepala Arabell terhuyung ke samping saat tiba-tiba Ibunya menoyornya, "Hei! Di mana mulutmu?! Jawab mereka!"
"Iya, bibi Tessy."
Ujar Arabell akhirnya, mengundang senyuman puas dari kedua orang teman Ibunya yang kini masih menghabiskan makanan mereka dalam keadaan duduk tak beraturan.
Setelah Arabell selesai mencuci piring bekas makan Paula, Deborah, dan Tessy. Gadis itu langsung bergegas ke toko terdekat rumahnya untuk membelikan Paula dan teman-temannya rokok, menggunakan uangnya sendiri.
Bukan hanya Ibunya yang memperlakukannya layaknya manusia tak berguna. Teman-teman Paula pun begitu, mereka memperlakukan Arabell semena-mena seolah gadis itu ada sangkut pautnya dengan hidup mereka.
Meski begitu, sekali lagi. Arabell sudah tak peduli dan tak ingin mengambil pusing.
Semakin ia ratapi hidupnya yang menyedihkan ini, maka semakin terpuruk dirinya.
Jadi dia tak ingin mempermasalahkannya.
Walau kelakuan mereka bahkan seringkali sudah melewati batas.
Arabell hanya selalu mengingat pesan Ayahnya, bahwa ia harus menghormati seseorang yang lebih tua darinya.
Jika di kampus ada yang berani melakukan hal semacam itu pada Arabell, tentu dia tak akan tinggal diam.
Seperti kejadian di mana dirinya masih berstatus sebagai murid high school dulu. Dia pernah membuat anak yang menamparnya merasakan tendangan kakinya tepat di wajah.
Jadi, bisa dikatakan sebenarnya Arabell bukanlah takut, namun dia hanya enggan melawan perlakuan orang dewasa.
Beda artian kalau misalnya orang dewasa itu adalah orang asing yang ingin mencelakainya. Dia pasti akan melawan. Karena dia tipikal gadis yang pemberani.
Setelah memberikan rokoknya pada Paula dan juga teman-temannya, Arabell pamit ke kamar miliknya untuk tidur.
Gadis itu membuka jendela kamarnya, memilih menatap langit hitam yang ditaburi bintang sebelum dirinya beranjak tidur nanti.
Arabell memejamkan matanya saat angin malam membelai lembut anak rambutnya yang tak ikut terikat.
Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya mengeluarkannya bersamaan dengan kelopak matanya yang kembali terbuka.
Gadis itu teringat sesuatu, lantas merogoh sisa uang yang ada di saku celananya, ia menatap sedih pada beberapa lembar uangnya yang masih tersisa.
Jika begini kita akan makan apa besok?
Begitulah pikirnya saat baru menyadari uangnya memang sudah benar-benar menipis.
Menaruh kembali uangnya di saku celana, Arabell terlihat menumpukan dagu dengan kedua tangannya, masih menatap keindahan langit malam sekaligus meratapi nasibnya.
"Apa Ayah ada di atas sana dan melihatku sekarang?"
Dia bertanya pada taburan bintang yang bersinar, berharap bahwa Ayahnya bagian dari salah satunya.
"Mengapa Ayah tak pernah memberitahu alasan mengapa Ayah bisa berselingkuh dengan Ibu kandungku? Aku baik-baik saja, Ayah. Tapi kau tau, aku tidak sungguh baik-baik saja. Apa Ayah izinkan jika aku menyusulmu?"
Desiran angin malam kembali menyapu helaian rambut Arabell, seolah menjawab pertanyaan Arabell tadi.
"Aku tau aku masih bisa bertahan, bahkan untuk waktu yang cukup lama. Kau tau kan, anakmu ini adalah gadis pemberani? Do'akan saja aku bisa melalui hari-hariku dengan baik."
Arabell akan menarik jendela kamarnya, menutupnya, namun sebuah tangan tiba-tiba saja menghentikan pergerakannya dari belakang.
Ia berbalik cepat saat merasakan tangan kekar nan dingin menyentuh kulitnya, "Kau---"
Arabell membekap mulutnya sendiri agar pekikannya tak jadi terlontar.
Ia menatap horror pada Ethan yang kini hanya memandangnya dengan tatapan tak berdosa. Padahal kehadiran Ethan yang tiba-tiba menyebabkan jantung Arabell sudah akan keluar dari tempatnya tadi.
"Kau ini---"
"Apa?"
Ethan bertanya santai, memilih mendudukkan dirinya di tepi ranjang milik Arabell, tak mempedulikan tatapan mematikan tengah mengintimidasinya.
"Kenapa kau tiba-tiba datang?"
Suara Arabell berbisik, namun masih dapat didengar dengan baik oleh telinga Ethan. Sesekali ia melemparkan pandangan ke arah pintu kamarnya yang tertutup, takut-takut Ibunya tiba-tiba masuk.
"Jadi aku tak boleh datang?"
"Bukan begitu."
"Bukan begitu apa? Aku kan sudah bilang waktu itu akan mendatangimu. Lagipula, status kita sudah menjadi sepasang kekasih sekarang."
Arabell menelan ludahnya sendiri. Tak menyangka Ethan masih belum melupakan perjanjian mereka. Dengan cepat, ia setengah berlari untuk mengunci pintu kamarnya, agar kegelisahannya tak terus terjadi.
"Kenapa dikunci? Kau pikir aku menemuimu di sini untuk bercinta?"
Arabell memelototkan matanya tajam. Tak menyangka Ethan bisa punya pikiran sampai di situ.
Alhasil, karena terlalu geram, Arabell langsung menghempaskan tubuhnya duduk di samping Ethan, memasang wajah kusut tak karuan.
"Kenapa diam saja? Jangan bilang kau lupa bahwa kau sekarang adalah kekasihku?"
Ethan memicingkan matanya, menatap Arabell curiga.
Arabell mendengus kesal, baru kali ini dia melihat ada seorang pria yang sungguh cerewet, "Aku ingat tau! Dan lagi, jangan salah paham mengenai pintu itu. Aku menguncinya karena takut Ibuku tiba-tiba masuk!"
Ethan tertawa kecil memperhatikan wajah menggemaskan Arabell saat ini, tanpa sadar tangannya kini sudah menyentuh sebelah pipi Arabell, mendekatkan wajah mereka.
Namun tinggal beberapa senti lagi bibir mereka akan bertemu, Arabell sudah lebih dulu melarikan wajahnya, "Aku tak ingin kau melakukan itu lagi, kau sudah merebut ciuman pertamaku kemarin tanpa permisi."
"Aku kan kekasihmu? Kurasa itu wajar."
"Tidak bagiku! Lagipun kita hanya menjalin hubungan karena sebuah perjanjian, bukan alasan lain."
"Lalu? Apa kau menyesal telah membuat perjanjian denganku?"
Arabell terdiam. Bingung harus menjawab apa.
"Biar bagaimanapun perjanjian itu sudah tak bisa dibatalkan lagi. Kita telah membuat kontrak. Ingat, aku sudah melunasi biaya perawatan rumah sakit Ibumu."
Arabell mengangguk, membenarkan perkataan Ethan, "Jadi, kau tau darimana alamat rumahku?"
Ethan hampir tertawa mendengar pertanyaan Arabell. Menimbulkan kerutan dalam di dahi gadis itu, "Tidak ada yang lucu."
"Maaf. Aku lupa kau seorang manusia. Setelah melakukan kontrak perjanjian dengan seorang iblis, maka kau akan dalam pengawasanku. Jadi aku bisa mendeteksimu ke manapun kau pergi."
Mulut Arabell setengah terbuka. Jadi ciuman yang Ethan berikan padanya waktu itu bukan hanya sekedar tanda kontrak? Pria itu ternyata jadi bisa mengawasinya di manapun ia berada mulai saat ini.
Benar-benar sulit dipercaya.
"Kau merindukan Ayahmu?"
Arabell memandang Ethan curiga, "Kau juga bisa mengetahui hal yang sedang kurasakan tanpa menyentuh fisikku seperti kemarin?"
Ethan menggeleng cepat, "Tadi aku mendengarnya dari belakang. Aku sudah datang sejak kau membuka jendela."
"Kenapa aku tidak tau?"
"Mana kutau?"
Arabell mendesah risau, bicara dengan Ethan entah mengapa menaikkan tensi darahnya.
"Ya. Aku merindukannya."
"Orang yang sudah mati tak bisa hidup kembali, kecuali dia punya level kejahatan tinggi sepertiku."
Arabell mencerna kata-kata Ethan, sambil mengagumi betapa indahnya warna mata Ethan jika dilihat dalam posisi dekat, "Jadi maksudmu, kalian adalah manusia yang telah mati dan punya kejahatan tinggi hingga akhirnya dibangkitkan kembali menjadi iblis?"
"Gadis pintar."
"Memangnya apa yang sudah kau lakukan sampai kejahatanmu bisa mencapai level tertinggi? Membunuh?"
Arabell semakin penasaran akan pria tampan di hadapannya ini. Sejak kemarin dia memang masih menyimpan beribu pertanyaan di otaknya untuk Ethan. Tapi Ethan meninggalkannya begitu saja setelah memberi kecupan.
"Aku tidak tau, Ara. Masalalu manusiaku dihapus setelah aku jadi iblis."
Arabell tertegun menatapi Ethan, bukan penjelasan dari pria itu yang membuatnya tertegun. Tapi panggilan Ethan untuknya---Ara. Tak pernah sekalipun ia mendengar orang-orang di sekitarnya memanggil namanya di bagian depan. Biasanya orang-orang akan memanggilnya dengan nama lengkap---Arabell---atau tidak---bell---jika tak ingin kepanjangan.
Itulah sebabnya Arabell merasa asing dengan panggilan Ethan untuknya.
"Lalu ke mana kau pergi setelah menemuiku itu? Mencari mangsa?"
"Iya. Dan juga beristirahat."
"Apakah jumlah kalian banyak?"
"Ya. Kami bahkan punya kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Di kerajaan itulah aku beristirahat."
"Raja? Seperti cerita dongeng saja."
Ethan tergelak, "Kalian para manusia hanya taunya dongeng saja."
"Memang itu yang ada di dunia, bukan? Meski begitu aku tak mempercayainya. Misalnya cerita mengenai peri, itu tidak benar. Jika peri itu ada, mana mungkin ada hidup manusia yang kekurangan sepertiku sekarang."
Ethan menatap Arabell lekat, menyadari bahwa mata Arabell ternyata lebih indah dari yang ia lihat di gang sempit kemarin, karena saat itu kondisinya hanya bercahayakan lampu temaram saja.
"Kau masih merindukan Ayahmu?"
Arabell menggeleng, "Bukan."
"Lalu apa?" Ethan dapat menangkap sekilas sorot kesedihan dari mata Arabell, namun gadis itu dengan cepat melarikan pandangannya.
"Bukan apa-apa."
Dengan tak sabaran, Ethan bergerak menggenggam tangan Arabell sambil memejamkan matanya, melihat hal apa yang sudah mengusik hati Arabell.
"Sial! Mengapa kau tetap bertahan bersama wanita sepertinya?!"
Ethan membentak, bangkit berdiri menatap Arabell penuh amarah dengan kedua mata sudah berubah warna perak.
Dia baru saja mendapati ingatan bahwa gadis itu sedang sedih atas perlakuan sang Ibu tiri.
Dan dia entah mengapa tak terima jika kekasihnya harus diperlakukan seperti itu.
"Eth, pelankan suaramu."
Arabell ikut berdiri, menaruh jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan Ethan agar menyadari bahwa ada Ibunya di rumah ini.
"Aku tak peduli! Izinkan aku untuk memakannya sekarang. Dia adalah mangsa yang pas bersama kedua teman menjijikkannya itu."
"Mengapa kau terlihat sungguh peduli padaku?"
Ethan memandangi Arabell tak mengerti, "Kau itu kekasihku---"
"Bukan berarti kita benar-benar seseorang yang memiliki ikatan."
Ethan terdiam beberapa saat, "Meski begitu, kau tetaplah kekasihku. Mulai sekarang aku yang akan berada di sisimu. Lagipula dia memang mangsaku, jadi aku harus menghabisinya."
"Jika kau berani melangkah keluar dari pintu ini, maka aku akan membunuh diriku setelahnya."
"Ara---"
"Aku tidak main-main!"
Ethan mengerang frustasi, Arabell membuat persoalan ini menjadi rumit saja. Padahal jika ia bisa menghabisi Paula, maka Arabell tak perlu hidup menderita seperti sekarang. Semua penderitaan Arabell adalah dari wanita itu.
"Mengapa kau masih mempertahankan orang seperti itu? Dia hanya membuat hidupmu semakin menderita!"
"Biarpun begitu, aku tetap mencintainya. Hanya dia yang kupunya saat ini."
Ethan menggeleng, "Kau punya aku. Ingat? Aku adalah kekasihmu sekarang."
"Kekasih iblis. Yang sewaktu-waktu bisa saja menghabisiku."
Ethan terdiam. Menyerah berdebat dengan Arabell. Dia tau tak ada gunanya menentang perintah Arabell, gadis itu tetap bisa menang dengan sifat keras kepalanya. Dia hanya tak habis pikir mengapa gadis manusia yang kini menjadi kekasihnya itu sungguh punya hati yang suci. Meski sudah disakiti berulang kali dan disiksa berulang kali oleh Ibunya, ia sama sekali tak menyimpan dendam pada sang Ibu. Berbeda sekali jika dibandingkan dengan dirinya yang penuh dosa. Bahkan hal itu yang merubahnya jadi makhluk mengerikan ini sekarang.
"Kumohon, jangan bunuh Ibuku."
Arabell berkata lirih kemudian. Membalikkan mata Ethan yang semula berwarna perak kini berwarna yang sebenarnya, emerald.
Berjalan mendekati Arabell, perlahan tapi pasti Ethan langsung membawa Arabell yang kini terisak di dalam dekapannya.
Arabell yang sempat terkejut atas tindakan tiba-tiba Ethan, kini hanya bisa menerima perlakuan Ethan dengan menyembunyikan wajahnya di dada bidang Ethan yang masih tertutupi jubah seperti penampilannya kemarin.
Aku baru tau ternyata ada dekapan hangat selain dekapan Ayah.
Tbc...
Ethan udah muncul tuh.
Rada ngelantur gak sih ceritanya?😂😅
Maklum ya, aku masih baru buat cerita fantasi🙈
Jadi mohon dimaklumi jika kalian bacanya sambil ngerutin dahi🙈
Jangan plagiat.
Jangan siders.
Jangan sampe gak Vomment😚
❤MelQueeeeeen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top