19 : Lonesome

Biasanya, kita baru merasa kehilangan setelah ditinggalkan.

♥️Author♥️

Author

Arabell meringkuk takut di dalam selimut tebalnya saat suara petir kembali menyambar.
Sambil menangis sesegukan, dia terus memanggil nama Ethan melalui bisikan lirihnya akibat udara dingin hujan yang menusuk kulit dan juga ketakutan luar biasa saat petir masih saja berkelabat di langit.

Akibat kesalahannya sendiri, hal ini harus menimpanya.
Andai saja dia tak menerima ajakan Adam untuk ke rumah pria itu. Pasti dia tak akan menggigil ketakutan seorang diri seperti sekarang.
Andai...
Apalah bisa dikata nasi sudah menjadi bubur, semuanya hanya bisa disesali.

Ethan yang nyatanya berjanji akan selalu menemaninya di rumah menggantikan sang Ibu, kini sudah pergi menjauhinya.
Entah pria itu akan kembali atau tidak, tapi dia sangat berharap Ethan mau memaafkannya dan menemaninya kembali.

Entah sejak kapan Arabell merasa benar-benar membutuhkan pria iblis itu di hidupnya.
Yang ia tau, perasaannya selalu sensitif jika ada hal yang menyangkut tentang Ethan.
Meski dia sudah tau wujud asli dari Ethan, entah mengapa dia tak punya rasa takut sama sekali terhadap pria itu.
Perhatiannya, perlindungannya, rasa nyaman yang ditimbulkannya, dan juga sifat protektif yang dimilikinya, semua itu yang berhasil menarik perhatian Arabell.

Wajar saja, dia tak pernah diperlakukan seperti itu oleh lelaki mana pun kecuali sang Ayah sejak ia hidup.
Sekali lagi, Arabell harus menyesali keputusannya untuk berkunjung ke rumah Adam tadi sore.

"Eth, please, aku takut."
Lirihnya lagi, kembali mengeratkan selimut, semakin menyusupkan tubuhnya di dalam kain besar itu.

Dadanya bergemuruh setiap kali mendengar kilatan petir yang menyambar.
Dia tak ingin sendirian, dia takut dan membutuhkan seseorang untuk memeluknya saat ini.
Lebih tepatnya, dia membutuhkan pelukan hangat Ethan.

Padahal Ethan sudah tau bahwa akhir-akhir ini hujan sering melanda kota Brisbane, tapi Ethan tetap nekat meninggalkannya sendirian karena permasalahan yang terjadi di antara mereka.
Memang, Arabell merasa sangat bersalah di sini, tapi dia ingat Ethan pernah bilang jika dia membutuhkan pria itu, maka panggil saja namanya.

Namun sudah terhitung puluhan kali Arabell membisikkan nama Ethan sambil sesegukan, sang kekasih tetap juga tak menunjukkan batang hidungnya.
Tidakkah Ethan tau betapa takutnya ia terhadap petir?
Apalagi ditambah hujan deras seperti sekarang, tinggal sendirian menambah suasana semakin mencekam.

"Eth, kumohon temani aku."
Bisiknya sekali lagi. Selalu berharap si mata perak akan datang.
Meski kemungkinannya nihil, namun dia tau Ethan pasti mendengarkannya sekarang.
Hanya saja jika Ethan tak kunjung datang, itu berarti pria itu masih kecewa padanya sehingga membiarkannya ketakutan sendirian seperti ini.

Namun siapa yang tau, ternyata sejak tadi tepat di samping jendela di luar kamar Arabell, seorang pria berjubah hitam rela tubuhnya diguyur hujan yang deras hanya demi menemani sang kekasih meski dalam jarak tidak dekat.

Ia tak perlu gadis itu tau, bahwa dia sungguh peduli pada kekasihnya itu.
Rasa pedulinya terhadap Arabell mengalahkan rasa kecewa yang ia rasakan.

💧💧💧

Sudah seminggu sejak kejadian Ethan meninggalkan Arabell seorang diri di rumah. Seminggu pula Arabell menjalani hari-harinya tanpa pria berambut hitam tersebut. Membuat hidupnya sepi, dan tak ada kehangatan seperti di saat Ethan selalu ada di dekatnya.

Setiap malam ia sudah mencoba terus-terusan memanggil nama Ethan, menyuruh agar pria itu mau menemuinya lagi. Namun hasilnya sia-sia, Ethan tak pernah lagi berkunjung ke rumahnya.

Satu pertanyaan besar di kepala Arabell yang terus membuat gelisah hatinya semingguan ini.

Apa Ethan selamanya tak akan menemuiku?

Namun Arabell cepat-cepat menepis dugaan bodoh itu.
Mereka sudah melakukan kontrak, dan lagi perjanjiannya mengatakan kalau dia akan menjadi kekasih Ethan untuk selamanya. Tak mungkin kan, Ethan akan meninggalkannya terlebih dahulu dan memutus kontrak begitu saja?

Setidaknya itulah yang Arabell harapkan.
Kalau dia boleh jujur, dia sangat merindukan pria itu.
Merindukan pelukannya, tatapan matanya, usapan tangan Ethan di wajahnya, dan juga belaian tangan kekar itu di rambutnya. Dia jadi sangat merindukan hal-hal mengenai Ethan. Entah sejak kapan itu terjadi, namun Arabell merasa Ethan sudah berhasil menelusup masuk di dalam relung hatinya.

Dan itu baru ia sadari kala pria itu pergi.
Arabell menerka-nerka benarkah semua perasaannya untuk Ethan ini adalah cinta?
Jika iya, Arabell sangat ingin mengungkapkannya langsung pada Ethan.
Terdengar gila memang, jatuh cinta pada iblis.
Tapi perasaan yang membuncah di dadanya, tak bisa ia tampik begitu saja.

Dia sudah mencintai Ethan.
Ia tau itu.
Dan sekarang, dia sangat ingin bertemu Ethan dan mengatakan apa yang dirasakannya.

Namun untuk saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain terus memanggil nama sang pujaan hati.
Perasaannya yang meledak, seakan ingin keluar dari tempatnya ketika dia menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Ethan.

Dan hal itu berefek besar pada kehidupannya.
Selama Ethan tak mengunjunginya seminggu ini, Arabell jadi menjaga jarak pada Adam, menimbulkan kebingungan tersendiri dari pria murah senyum tersebut.
Meski Adam juga menyukainya, namun Arabell tak peduli. Pada awalnya dia memang tak punya perasaan apa pun terhadap Adam lantaran hatinya sudah berhasil direbut oleh si mata perak.

Saat Adam menyadari dia menjauhi pria itu dan bahkan Adam sempat menanyakan alasannya, Arabell memberikan berbagai macam alasan tak masuk akal seperti, ingin fokus belajar atau alasan serupa yang mengutamakan soal belajar.

Padahal nyatanya, hatinya sedang berbunga-bunga oleh seorang pria yang baru ia ketahui berhasil mencuri hatinya.

"Eth, kau di mana sekarang?"

"Kau sedang berburu jiwa ya?"

"Apa kau...tak merindukanku?"
Arabell langsung menutup wajahnya yang memerah menggunakan kedua tangan. Masih malu menunjukkan bahwa ia menyukai kekasihnya itu.

"Please, Eth, kembalilah. Kembali untukku. Awas saja jika kau mengatakan kalau perjanjian kita dibatalkan! Aku tak akan terima itu! Apa kau tak tau betapa tersiksanya aku menunggumu selama seminggu ini? Oh ayolah, aku tau kau marah, tapi aku berjanji akan memperbaiki kesalahanku. Jangan menghilang seperti ini. Kau tega sekali membiarkanku ketakutan saat hujan datang ditambah guntur yang menyambar. Kau sudah berjanji akan selalu di sisiku. Tapi apa sekarang? Kau bohong. Aku benci padamu! Dasar bodoh, mana mungkin aku bisa membencimu kalau perasaan ini terus tumbuh untukmu? Perasaan konyol dan gila. Tapi aku sungguh nyaman akan perasaan ini. Dan apa kau tau sudah berapa banyak perasaan ini tumbuh? Sebanyak ini..."
Arabell membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, menggambarkan perasaannya untuk Ethan.

"Sebenarnya kau mendengarkanku tidak, sih? Aku penasaran sampai kapan kau akan terus marah padaku seperti ini. Bagaimana jika aku dalam keadaan bahaya? Apa kau akan terus menghilang meski aku memanggil namamu? Sepertinya hal itu boleh dicoba untuk memancingmu keluar. Bukankah begitu? Tapi bagaimana jika aku mati? Aku tak ingin mati terlebih dahulu tanpa mengungkapkan apa yang kurasakan. Oh ayolah, Eth. Temui aku sekarang, perasaan ini rasanya akan meledak jika kau belum juga datang."
Arabell mengerucutkan bibirnya, melipat kedua tangannya di jendela kamar sambil menumpukan dagunya di sana, merasa lelah telah bicara panjang lebar untuk orang yang bahkan tidak tau tepatnya berada di mana.

"Kau tega, Eth. Jahat!"

"Hei, Ethan tidak jahat."

"Manusia lebih jahat dari kami."

Arabell sontak mengangkat kepalanya, menemukan dua sosok yang asing baginya sedang berdiri di hadapannya.
Meski tak kenal siapa kedua pria itu, tapi Arabell tau, mereka bukan manusia. Mereka sama seperti Ethan.

"Siapa kalian?"

Tbc...

Kira-kira siapa ya yang datang?
Ada yang bisa jawab?
Kalo ada, kuy penuhi komentar😚

Btw, thanks for 2,5k viewers😚

Jangan plagiat.
Jangan siders.
Jangan sampe gak Vomment😚

❤MelQueeeeeen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top