11 : Lust
Memang mustahil iblis dan manusia bisa bersatu. Jika ada, itu secara tak langsung sudah menentang Tuhan yang melarang kita untuk memusuhi iblis, bukan?
♥️Author♥️
Author
Bugh!
Tanpa basa-basi lagi Ethan memberikan tinjuan keras tepat di rahang Kane, dengan sebelah tangannya lagi ia gunakan untuk menarik kerah kemeja yang dikenakan pemuda itu.
Bugh!
Bukan hanya sekali dua kali Ethan melayangkan tinjuannya, namun berkali-kali hingga sudut bibir dan hidung Kane mengeluarkan darah.
Bahkan kini sudah tercipta lingkaran lebam di mata Kane.
Saat Ethan tak bisa berpikir lagi dan mendekatkan langsung wajahnya ke arah perut Kane, sebuah suara menghentikan niatnya.
"Jangan, Eth! Please..."
Mohon Arabell ketika gadis itu menyadari Ethan akan memakan jiwa Kane seperti yang dilakukannya di gang sempit waktu itu.
Ethan mendengkus, menoleh memandangi Arabell dengan mata yang masih berkilat marah. Sebelum benar-benar menjatuhkan tubuh Kane ke lantai, ia kembali memberikan satu tinjuan ke rahang Kane, lalu mendekati tubuh Kane yang kini tak berdaya sambil mengerang kesakitan. Kane bahkan belum sempat memberi perlawanan saat Ethan tiba-tiba menyerangnya tadi. Belum lagi hantaman tinjuan Ethan yang berkali-kali menyebabkannya tak bisa lagi melakukan apa pun.
Wajahnya sudah mati rasa.
Kecepatan iblis yang dimiliki Ethan mempersulitnya untuk membalas.
"Jangan pernah menyentuh gadisku lagi, apa kau mengerti?"
"Si-apa kau?"
Tanya Kane, memicingkan matanya agar penglihatannya yang mengabur bisa jelas memandangi pria yang memukulinya.
Ethan menyeringai, "Aku kekasihnya Arabell. Jangan pernah menyentuh gadisku lagi jika kau ingin nyawamu selamat."
"Ke-ka-sih?"
Kane terkekeh tiba-tiba namun setelahnya meringis saat dirasanya bibirnya perih jika dia menggerakkan sedikit saja.
"Apa yang lucu, bodoh?"
Ethan mulai geram. Ingin sekali dia memijaki kepala Kane yang ada di bawahnya kini.
"Kekasih? Kau mau membohongiku? Argh---Arabell belum punya kekasih. Dia tak pernah membicarakannya padaku. Ja-di, jangan bicara ngelantur."
Ethan menaikkan satu alis, berjongkok kemudian menarik kuat rambut pirang Kane hingga wajah pria itu mendongak, "Brengsek! Berani-beraninya kau bermain-main denganku? Aku mengatakan yang sebenarnya! Dia adalah kekasihku! Jika kau menyentuhnya sekali lagi saja, kupastikan seluruh darahmu akan kuhirup habis. Apa kau mengerti?"
Kane mengernyit, ia baru menyadari satu hal saat pria yang memukulinya ini mendekatkan wajahnya.
"Matamu...menyala? Sebenarnya makhluk apa kau ini? R-rumor itu...apa itu kau?"
Kane menepis tangan Ethan di rambutnya kasar, beringsut menjauhi pria itu.
Entah kenapa tiba-tiba saja dia jadi ketakutan.
Pasalnya, Kane juga mengetahui rumor yang tersebar di kota mereka.
Rumor tentang makhluk yang memakan manusia dengan cara mengerikan. Ada yang bilang kalau makhluk itu mempunyai ciri mata menyala ketika berhadapan dengan mangsanya.
Dia jadi menerka-nerka, benarkah pria yang mengaku sebagai kekasihnya Arabell ini adalah makhluk yang dirumorkan itu?
Rasanya mustahil.
"Ternyata kau juga tau ya."
Ethan berucap santai, perlahan kembali mendekatkan tubuhnya ke tubuh Kane.
"J-jangan mendekat! K-kau benar makhluk itu?"
"Diamlah. Lupakan semua ini. Lupakan siapa aku dan lupakan niatmu ingin menyentuh gadisku. Mulai sekarang, jauhi Arabell Stacy."
Mata perak Ethan menatap lekat-lekat iris coklat Kane. Rupanya ia sedang melakukan hipnotis pada pria itu.
Setelah melakukan hal tersebut, Ethan membawa Arabell keluar dari ruangan, meninggalkan Kane yang kini terpaku di tempatnya.
❤❤❤
"Mengapa kau tak memanggil namaku saat kejadian itu berlangsung?"
Seru Ethan marah, membuat Arabell ketakutan.
Sejak tadi gadis itu sudah merasa ketakutan akan sikap Ethan yang menariknya tergesa menuju mobil, seolah kejadian ini juga menjadi salahnya.
Apalagi mata Ethan yang tak berubah warna sedari di gudang tadi, semakin menciutkan nyalinya, maka dari itu ia lebih memilih membungkam mulutnya, takut bahkan untuk mengeluarkan kata sepatah pun.
Ethan menghela napas panjang ketika baru menyadari tangan Arabell gemetar mendengar seruannya barusan.
Tiba-tiba saja rasa bersalah menyergapinya, mengutuk dirinya sendiri telah melakukan hal barusan.
"Maaf. Aku tak bermaksud menakutimu. Bodohnya aku yang lupa bahwa kau belum mengetahui apa pun."
Ethan menggenggam kedua tangan Arabell, mengusapnya lembut.
Arabell melirik Ethan perlahan, mendapati mata pria itu sudah berubah warna menjadi emerald, menyebabkannya dapat sedikit bernapas lega.
"Dengar, Ara. Kau bisa memanggil namaku jika sedang dalam bahaya seperti tadi. Itulah gunanya kontrak yang kita buat, kontrak itu seperti mengikat kita, maka jika kau sedang dalam bahaya dan memanggil namaku, aku bisa mendengarmu meski berada di mana pun, di tempat yang jauh sekali pun, bahkan ke kerajaanku. Jadi mulai sekarang jika terjadi sesuatu yang kau sadari mencurigakan, panggil saja namaku. Aku akan langsung menuju ke tempatmu."
"Seefektif itukah?"
Ethan mengangguk, mengusap kepala Arabell dengan lembut.
"Maaf, Eth."
Arabell berucap sambil menundukkan pandangannya. Entah kenapa, tapi dia seolah harus mengucapkan maaf pada Ethan.
"Sudah sejauh mana dia menyentuhmu?"
"Dia...meremas dadaku, dan menyentuh yang di bawah."
Arabell mengatakannya dengan wajah memerah menahan malu.
Ethan menggeram, "Apa dia menciummu?"
Arabell mengangguk, "Ya, di leher."
"Di bibir?"
"Tidak."
"Bagaimana perasaanmu?"
Arabell memandangi Ethan tak mengerti. Tanpa ditanya pun seharusnya Ethan tau kalau dia tak baik-baik saja.
"Maksudmu?"
"Perasaanmu. Apa yang kau rasakan?"
"Takut, syok, dan yang paling penting, benci."
Ethan dapat melihat pancaran kebencian dari mata Arabell.
Perlahan, dia membawa gadis itu dalam dekapannya, kembali mengelus kepala Arabell dengan sentuhan lembut.
"Aku tak akan membiarkan kau mengalami hal itu lagi karena kau adalah milikku. Turuti perintahku tadi, maka semuanya akan baik-baik saja. Aku bersumpah akan membuat hidupnya menderita."
"Apa yang akan kau lakukan padanya?" Tanya Arabell penasaran, tangannya bergerak ragu untuk membalas pelukan Ethan.
"Itu urusanku. Kau tak perlu tau."
"Apa kau akan memakan jiwanya?"
"Aku ingin melakukannya tadi. Tapi kau mencegahku." Kata Ethan kesal, teringat saat Arabell menghentikan niatnya itu tadi.
Dia masih tak mengerti mengapa Arabell bisa menahannya.
Arabell melepaskan dirinya dari pelukan Ethan, menatap pria itu lekat, "Aku tau kau marah karena menghentikanmu ingin menghabisi Kane. Tapi ini demi kebaikan kita. Demi kebaikan iblis juga, karena aku dengar dengan jelas bahwa Kane membahas rumor tadi. Ternyata dia juga tau, padahal aku sendiri menganggap rumor itu tak berarti apa-apa sebelum aku mengenalmu."
"Dari mana kau tau rumor itu?"
"Ada seorang Ibu di pasar yang membahas soal itu kemarin. Apa kau dan yang lainnya tak merasa terancam pada rumor itu? Kalian para iblis bisa terancam tak bisa mencari makan lagi di sini."
"Tentu saja tidak. Kau juga tau kalau kami bisa menghipnotis. Jadi, jika mereka mendapati kami sedang memangsa korban, kami akan menghipnotisnya. Mungkin berita itu tersebar karena ada yang lolos."
"Itulah masalahnya."
"Sudahlah, Ara. Jangan membahas itu, kau tak perlu khawatir. Sekarang yang perlu dikhawatirkan adalah kau."
"Aku sudah baik-baik saja."
"Izinkan aku melihat lehermu."
Satu alis Arabell terangkat, bingung.
Untuk apa Ethan ingin melihat lehernya?
"Untuk apa?"
"Menurut saja." Ethan langsung bergerak menyingkirkan rambut Arabell yang tergerai.
Wajahnya mengeras saat mendapati bercak merah menghiasi leher Arabell.
Ternyata Kane bahkan sudah membuat tanda kepemilikan di sana.
Tanpa permisi lagi, Ethan mendekatkan mulutnya di leher Arabell, mencium, mengecup, bahkan mencumbunya dengan lembut.
Hampir saja Arabell akan mengeluarkan desahannya atas tindakan tiba-tiba dari Ethan barusan. Dia baru tau leher adalah titik sensitifnya.
"E-Eth? Apa yang kau lakukan?"
Selang lima menit Ethan melakukan aksinya itu akhirnya pria itu menjauhkan mulutnya juga dari leher Arabell.
Ia mengerutkan dahinya saat melihat wajah Arabell merah padam karenanya, "Kau...baik-baik saja?"
"Sebenarnya apa yang kau lakukan tadi?"
Mata perak Ethan berubah jadi emerald, ia tersenyum geli menatapi lekat wajah Arabell yang masih memerah, "Kau ingin mendesah tadi?"
"A-apa yang kau katakan?"
"Untunglah kau tak mendesah. Jika kau mendesah, aku tak yakin bisa menahan nafsuku. Aku melakukannya untuk menghilangkan tanda yang dibuat si pirang itu. Aku menggantinya dengan tandaku, mengklaim bahwa kau hanyalah milikku."
"Bodoh! Kau melakukannya tiba-tiba, aku hanya terkejut!"
Seru Arabell berbohong, menutup wajah memerahnya dengan kedua tangan.
Sejujurnya Arabell menikmati perlakuan Ethan tadi.
Seolah ada gejolak di dadanya yang menginginkan sentuhan lebih dari Ethan di tubuhnya.
Tapi, mana mungkin dia akan mengakui itu, bukan?
Itu memalukan!
"Kau tau? Aku termasuk iblis yang bisa mengontrol nafsu dengan baik jika dibandingkan dengan iblis lainnya. Jika mereka sedang di posisiku tadi, kau sudah berakhir tanpa pakaian."
"Jangan bicara apa pun lagi! Cepat jalankan mobilnya, aku ingin pulang!"
Ethan terkekeh, mengacak rambut Arabell singkat sebelum akhirnya membetulkan posisi duduknya lagi dan mulai menghidupkan mesin mobil.
"Kita pulang, sayang."
Tbc...
Siapa yang suka adegan terakhir?🙈
Yang masih di bawah umur mending skip aja wkwk.
Jangan plagiat.
Jangan siders.
Jangan sampe gak Vomment😚
❤MelQueeeeeen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top