10 : Tragedy
Kau salah Eth, kau bukan kegelapan. Meski kau berasal dari sana, namun kau berhasil membawa cahaya di hidupku.
♥️Arabell♥️
Author
Iris biru kelabu milik Arabell membulat sempurna ketika melihat Ethan sudah bersandar di samping mobil jeep berwarna biru dongker yang ia sendiri tak tau itu milik siapa.
"Mobil siapa itu? Jangan bilang kau---"
"Ya. Aku membelinya khusus untuk mengantar dan menjemputmu ke kampus. Jadi, dengan begini tak akan ada lagi yang bisa mengajakmu pergi bersama. Karena aku yang akan mengantarmu, kekasihmu sendiri."
Arabell menyilangkan tangan di depan dada, mendengkus mendengar perkataan Ethan barusan, "Ini terlalu berlebihan, Eth. Kau tak perlu menghabiskan semua uangmu hanya untukku. Jarak rumahku dan kampus sangat dekat dari sini, aku bisa berjalan kaki."
Ethan menggeleng, menarik lembut lengan Arabell dan membawa gadis itu untuk duduk di kursi sebelah pengemudi, "Jangan banyak protes. Inilah rencanaku agar Kane tak bisa mengajakmu pergi bersama. Lagipula mobil ini kubeli untukku bukan untukmu. Jadi kau tak boleh menolak ajakan kekasihmu ini. Siap berangkat sekarang?"
"Tch, menyebalkan!"
Ethan terkekeh kecil sebelum akhirnya menutup pintu mobil di sisi Arabell kemudian berjalan mengitari sisi lainnya dan mendudukkan dirinya di kursi pengemudi, "Meskipun masih jam setengah delapan. Kuharap kau tak keberatan untuk pergi sepagi ini? Aku takut si pirang itu akan menjemputmu lebih cepat dari yang dikatakannya. Jadi, kita terpaksa berangkat sekarang untuk menghindarinya."
"Terserah kau saja!"
"Baiklah, ayo kita resmikan mobil baru."
❌❌❌
"Wajahmu tampak masam daritadi. Sebenarnya ada apa? Kau marah padaku?"
"Pikirkan saja sendiri!"
Sahut Arabell tanpa mengalihkan pandangannya dari buku seni yang ia baca.
Ethan menghembuskan napasnya lelah, dia sepertinya harus banyak menyabarkan diri menghadapi sikap Arabell yang sering berubah-ubah.
"Maaf kalau begitu."
Arabell menoleh cepat memandangi Ethan yang kini duduk di sebelahnya---menemaninya membaca buku di dalam perpustakaan yang kebetulan masih sepi. Hanya ada mereka berdua di dalam sini sebagai pengunjung, sedangkan si penjaga perpustakaan terlihat duduk tenang sambil membaca buku di meja miliknya.
"Aku tak marah. Hanya saja, aku takut semua ini akan merepotkanmu. Semenjak kita menjadi sepasang kekasih, kau lebih banyak menghabiskan uangmu untukku. Padahal uang itu juga akan kau gunakan untuk membeli pakaianmu sehari-hari. Aku hanya tak ingin jadi membawa beban di hidupmu, Eth. Kuharap kau mengerti maksudku."
"Aku tidak keberatan. Asal kau tau saja, uangku sudah banyak dan aku membeli pakaian hanya sesekali saja karena pakaianku sendiri juga sudah banyak. Jadi uang-uang yang kudapatkan selama ini sejak menjadi iblis jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit. Aku hanya ingin menghamburkannya untukmu. Lagipula menghamburkan dalam segi positif, bisa membantumu. Jadi, apa salahnya dengan semua itu? Sudahlah, aku lelah kita harus mempermasalahkan ini terus. Sekarang, kita hanya perlu memikirkan bagaimana caranya bisa menghabiskan waktu berdua dengan nyaman."
Satu alis Arabell terangkat, "Maksudmu?"
"Ya...maksudku bagaimana kita bisa menghabiskan waktu berduaan seperti kekasih pada umumnya."
Arabell langsung mengalihkan pandangannya ke buku seni di tangannya ketika mendengar ucapan konyol Ethan barusan.
Yang benar saja seorang iblis dan manusia bisa seperti yang Ethan katakan barusan?
Memikirkannya saja sudah membuat kepala Arabell berdenyut.
"Kenapa kau diam saja? Apa kau tak setuju?"
"Menurutmu?"
Ethan mendengkus, dirinya membolak-balikkan halaman buku yang diambilnya dengan malas, "Kau terlalu mengacuhkan kekasihmu. Jika begini, mana ada manusia yang mau denganmu?"
"Aku juga tak tertarik untuk punya kekasih."
"Lalu aku? Kau anggap apa aku?"
Nada suara Ethan terdengar tak terima. Tak menyangka Arabell bisa mengatakan hal barusan.
"Itu berbeda, Eth. Yang kita bahas di sini adalah manusia. Aku tak tertarik untuk menjalin hubungan dengan siapapun."
"Lalu kau mau menjadi gadis seumur hidupmu? Mengerikan."
Arabell mendengkus, gadis itu langsung memukulkan buku tebalnya ke lengan Ethan, membuat pria itu mengaduh pelan, "Bukan begitu juga. Aku mau langsung menikah jika ada pria yang mencintaiku. Tak mau menjalin hubungan sebagai seorang kekasih. Lagipula, apa gunanya menjadi kekasih kalau ketika ada masalah ujung-ujungnya putus? Membuang waktu saja."
Ethan mengernyitkan dahi tak terima, pemikiran Arabell sungguh berbeda dengannya. Menurutnya jika menjalin hubungan sebagai kekasih dulu dengan begitu kita bisa mengenal sifat dan tingkah laku pasangan kita baru kemudian jika sudah merasa cocok, berlanjut ke jenjang pernikahan.
Tapi melihat dari negara mereka saat ini, memang jarang pasangan melakukan pernikahan. Biasanya mereka hanya menjalin hubungan sebagai kekasih, setelah itu punya anak lalu terserah mereka mau lanjut atau malah berpisah.
Setidaknya itulah yang Ethan tau.
Negara barat memang bebas jika dibandingkan dengan negara lainnya.
"Oke, jika kau berpikiran seperti itu. Bagaimana kalau kita menikah?"
Mata Arabell melotot cepat ke arah Ethan yang kini sedang menaikturunkan kedua alisnya sambil memasang senyum jahil, "Kau gila? Iblis ditambah manusia. Akan jadi apa anak kita nanti?"
"Sssttt, jangan bicara keras-keras. Nanti penjaga perpustakaannya memikirkan yang tidak-tidak atas pembicaraan kita ini. Jika iblis ditambah manusia, hmmm... Aku juga penasaran akan jadi apa anak kita nanti."
"Jangan pernah penasaran pada hal tak masuk akal seperti itu. Kau membuatku tak bisa berkonsentrasi membaca daritadi. Sebaiknya kau pulang saja, sebentar lagi aku akan masuk ke kelas. Kau tak berniat menungguku sampai pulang 'kan?"
Ethan mengangguk, bangkit dari kursinya dan menghampiri kursi Arabell, "Jaga dirimu baik-baik, sayang. Aku tinggal dulu ya."
Ujarnya lembut dan memberi kecupan di puncak kepala Arabell untuk kemudian menghilang dalam bentuk asap berwarna hitam.
Buku yang dipegang Arabell tadi jatuh begitu saja ke lantai, tubuhnya terpaku seketika saat mendengar Ethan menyebutnya dengan panggilan sayang.
Arabell menutup wajahnya yang merona dengan kedua tangan, "Menyebalkan! Apa alasannya memanggilku begitu? Dasar Ethan, menyebalkan!"
"Arabell?"
Arabell menoleh cepat ke arah sumber suara, mendapati Kane sudah berdiri tak jauh darinya, "Kane?"
"Mengapa kau pergi dulu tadi? Bukankah sudah kubilang kalau aku akan menjemputmu? Aku sudah ke rumahmu tadi, namun tak menemukan siapapun. Akhirnya aku ke sini."
Kane terdengar sedikit marah. Tanpa permisi, pria itu mendudukkan dirinya di kursi yang diduduki Ethan sebelumnya.
"Maaf. Aku lupa akan ada ujian pagi ini, makanya aku pergi lebih awal untuk belajar sebentar di sini."
Arabell menjawab tanpa berani menatap mata Kane.
Tiba-tiba saja rasa bersalah menyergapi hatinya. Selain karena merasa bersalah mendengar Kane sudah menjemputnya namun juga merasa bersalah atas kebohongannya barusan. Dia sama sekali tak ada ujian pagi ini.
Kane menghela napas, "Baiklah. Sebagai gantinya, kau harus menemaniku dulu sekarang ke sebuah tempat."
Kane langsung menarik lengan Arabell kuat, membawa gadis itu keluar meski Arabell sempat menolak.
Mereka berdua kini berhenti di sebuah ruangan kosong berisi peralatan-peralatan tak terpakai yang Arabell sendiri bahkan baru tau kalau ada ruangan semacam ini di kampusnya.
Bisa dikatakan, ruangan ini sebagai gudang. Dan Arabell bingung, mengapa Kane membawanya ke gudang.
"Masuklah dulu. Ada barang yang akan kuambil di sini untuk diberikan pada guru pembimbingku."
Tanpa merasa curiga sedikit pun, Arabell menurut saja dengan masuk terlebih dahulu di dalam ruangan yang hanya bermodalkan cahaya dari satu jendela yang terbuka.
Arabell menoleh cepat saat mendengar Kane menutup pintu di belakangnya, dari situlah gadis itu mulai curiga akan gerak-gerik pria yang baru dikenalinya ini.
"Mengapa ditutup?"
"Supaya tak ada yang mendengar kita. Ruangan ini kedap suara, by the way."
Arabell memundurkan langkahnya perlahan, mengimbangi kaki Kane yang kini maju mendekatinya, "K-kau bilang kau ingin mengambil barang di sini? Ambillah."
Kane terbahak keras, membuat kecurigaan Arabell padanya semakin menjadi.
Tidak salah lagi, ada yang tak beres dengan kelakuan Kane.
"Kau pikir apa yang akan kulakukan denganmu berdua di sini dan menutup pintunya agar tak ada yang mendengar?" Kane menghentikan ucapannya sejenak untuk terkekeh kecil, "Seharusnya kau tau siapa aku, Arabell Stacy. Aku seorang playboy di kampus ini. Dan tak sengaja Tuhan mempertemukanku denganmu, mempertemukanku dengan gadis menarik sepertimu. Kau sangat cantik, Arabell, apa kau pernah menyadari itu?"
Tangan Kane bergerak tanpa permisi memegangi dagu Arabell, menatap gadis itu dengan tatapan lapar.
Arabell menyentak kasar tangan Kane di dagunya, "Brengsek! Jangan pikir aku takut padamu, Kane! Jangan pernah menyentuhku sedikit pun!"
"Oh sayang sekali, tujuanku membawamu ke sini memang ingin menyicipi tubuhmu, sayang."
Kane bergerak cepat mencumbu leher jenjang milik Arabell, sebelah tangannya mencengkram rambut panjang gadis itu agar dirinya leluasa menikmati leher milik Arabell.
"Menjauh dariku, brengsek!" Arabell menolak tubuh Kane kuat-kuat hingga ciuman pemuda itu di lehernya terlepas. Arabell berlari berusaha melewati tubuh Kane yang kini menghalanginya tepat di depan pintu.
Dengan air mata yang sudah meluncur di pipi, gadis itu berteriak keras memanggil siapa pun berharap ada yang mendengar teriakannya itu. Sedangkan kedua tangannya tak berhenti memukuli tubuh Kane yang masih menghalanginya.
"Kau tak bisa lari, sayang. Menurut saja, maka semuanya akan cepat usai."
Dengan satu gerakan cepat, Kane langsung mengangkat tubuh Arabell dan membaringkannya di lantai, diikuti tubuhnya yang kini menindih tubuh gadis itu. Mulai menelusupkan tangannya di balik sweater dan baju yang dikenakan Arabell, meremas pelan payudara gadis itu dibalik branya.
"Nikmati ini, sayang. Kau bisa menolak sekarang, tapi setelah aku memasukimu kupastikan kau akan mendesah memanggil namaku."
Kane tertawa di akhir kalimatnya, tak mempedulikan berontakan keras yang ditunjukkan tubuh Arabell ketika tangannya memutar benda kenyal nan padat itu.
"Brengsek! Kau benar-benar brengsek!"
Arabell terus meronta meski kedua tangannya sudah tak bisa bergerak lantaran ditahan kuat oleh sebelah tangan Kane.
Dia menangis sejadi-jadinya sembari memohon di dalam hati berharap akan ada orang yang menolongnya di sini.
Setelah puas meremas kedua payudara milik Arabell secara bergantian, tangan Kane kini bergerak semakin ke bawah ke arah selangkangan Arabell. Kane menyeringai puas sebelum akhirnya memasukkan tangannya di bawah rok yang dikenakan Arabell, memutar jari telunjuknya tepat di kewanitaan Arabell yang masih terbungkus cd.
"Please, stop..."
Ucap Arabell akhirnya, menyerah melakukan pemberontakan yang sepertinya sia-sia.
Yang bisa dilakukannya sekarang adalah memohon pada pria di atasnya itu, berharap Kane mengasihani dirinya.
Namun Kane tetaplah Kane, dia belum puas jika belum bisa menyelesaikan tujuan utamanya.
Seperti yang pria itu akui pada Arabell tadi, bahwa dia adalah seorang playboy di kampusnya. Jadi Arabell rasa, tak ada gunanya memohon pada orang seperti itu.
"Maaf, Arabell. Ini akan berakhir dengan nikmat sayang, percayalah padaku."
BRAK!
Pintu ruangan itu terbuka dengan keras dan kasar.
Mengalihkan perhatian Arabell dan tentunya juga Kane.
Kane berdecak, bangun dari atas tubuh Arabell memandangi seorang pria yang berdiri di depan pintu saat ini. Sedangkan Arabell yang baru menyadari jika pria yang masuk barusan adalah Ethan langsung tersenyum lega sambil bangkit dan membetulkan pakaiannya yang sedikit berantakan.
"Siapa kau? Ada perlu apa ke sini?"
Ethan memasang seringaian mengerikannya, matanya yang sejak tadi sudah berubah warna menjadi perak kini tampak berkilat, menandakan dia ingin langsung menghabisi nyawa pria di hadapannya ini.
"Berani-beraninya kau menyentuh gadisku!"
Tbc...
Oalah siapa yang benci dengan Kane setelah membaca part ini?
Tenang...kan Babang Ethan udah datang😚
Kira-kira Ethan bakalan makan jiwanya Kane gak ya?🤔
Kalo penasaran, tunggu nextpartnya😚
Jangan plagiat.
Jangan siders.
Jangan sampe gak Vomment😚
❤MelQueeeeeen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top