SoL ~24~ Seberkas kenangan.

~*°________SOL________°*~

Semalaman Jeong Soon menjaga In Hyun sampai dia tertidur di sofa. Bahkan rencana bermain PlayStation semalam bersama dengan adiknya tak bisa dia tepati.

Ji Hoon mengerti akan hal itu dan dia akan menunggu kakaknya siap untuk menemaninya bermain game bersamanya lagi. Dia kini tahu kenapa kakaknya mengistimewakan wanita yang disebut perawat pribadinya itu.

Mendengar gosip sore kemarin dari teman-teman sekelasnya yang mempunyai kakak satu kampus bersama dengan Jeong Soon dan In Hyun, membuatnya tak bisa memaksa. Dia kini tahu kalau In Hyun adalah calon istri kakaknya itu. Ia akan mencari saat yang tepat untuk bertanya masalah itu lebih jauh lagi kepada Jeong Soon.

Pagi-pagi Jeong Soon terbangun, ia bangkit dari sofa lalu langsung mengecek kondisi In Hyun dengan mengecup kening In Hyun lalu menempelkan punggung tangannya di bawah dagu In Hyun. Ia mengembuskan napasnya lega kala merasa panas tubuh In Hyun sudah turun.

Dia memutuskan kembali ke kamarnya untuk mandi pagi dan memberitahukan kepada Sin Wan memintakan izin tak bisa masuk kuliah hari itu dan tak lupa memintakan izin untuk In Hyun juga.

Itu adalah pertama kalinya dia bisa menghubungi Sin Wan lewat ponsel barunya dan tak menyuruh bodyguardnya lagi.

Jeong Soon benar-benar tak tahu kalau gosip terhangat di kampus adalah kedekatannya dengan In Hyun. Bahkan kata-kata kalau mereka akan bertunangan terus menyebar dan juga terus memunculkan ribuan pertanyaan di dalam hati dan juga benak semua orang.

Begitu cepatnya gosip itu menyebar. Sejak Jeong Soon membawa In Hyun pergi dari kampus sampai malamnya dan begitu juga sampai pagi itu. Gosip terus saja menyebar bagaikan sebuah virus yang terbawa angin sehingga kini semua orang tahu tentang pemuda Kim Jae Jung Woon alias Kim Jae Soon kini telah mempunyai pasangan.

Seusai mandi. Dia menggeser sebuah lemari buku sampai terbuka yang ternyata di belakang dinding lemari itu sebuah ruangan lain. Pintu geser itu mengingatkannya ke zamannya di mana semua pintunya masih digeser.

Dia masuk ke ruangan tempat semua pakaian, sepatu, jam, dasi dan perlengkapan yang lainnya milik Jae Woon. Sebuah ruangan yang sudah mirip dengan sebuah toko.

Dia terus berjalan memilih-milih beberapa pakaian zaman itu yang sudah mulai terbiasa dipakainya. Menelusuri beberapa pakaian untuk di rumah. Diambil satu setel pakaian adidas reebok berwarna biru muda.

Setelah itu. Jeong Soon kembali ke kamar In Hyun dan memerintahkan maid untuk membawakan makanan ke sana karena dari kemarin In Hyun hanya meminum ramuan buatannya dan belum masuk makanan sedikitpun.

Ketika sarapan datang. Dia memerintahkan mereka menaruhnya di atas meja pendek tepat di dekat jendela. Lalu setelah semuanya keluar, dia duduk di atas bantalan sama seperti ketika di Joseon.

Kalau bukan demi menemani adiknya Ji Hoon dan juga teman-temannya. Dia takkan makan di meja makan yang panjang dan besar serta duduk dia atas kursi tinggi. Ia lebih nyaman makan di meja pendek dengan sebuah bantalan sebagai tempat duduknya.

Senyuman terus saja menghiasi bibirnya. Teringat kembali saat In Hyun bergumam di bawah sadarnya tentang dirinya. Istrinya itu benar-benar masih mengingat suaminya dan sudah pasti masih mengingat semua kejadian di Joseon.

Andai saja dia bisa menjelaskan semuanya lewat mulutnya sendiri. Sudah pasti In Hyun akan bahagia karena bertemu lagi dengan suaminya itu.

Ingin dia meneriakkan bahwa Takdir telah mempertemukan mereka kembali. Tetapi, entah kenapa dia tak bisa mengatakannya dan dia masih belum mengerti akan semua yang terjadi padanya.

Jeong Soon menuangkan jus apel kesukaannya ke dalam gelas lalu meneguknya dengan perlahan.

Dia menggeser jendela sedikit membiarkan udara pagi masuk ke dalam sana. Rambutnya melambai kala angin masuk melalui jendela tersebut, terus berembus menerpa wajahnya. Akh, meski nuansa dan suasananya sudah berbeda. Tapi kalau ada istrinya di sisinya, semua terasa bagaikan masih di Joseon.

Dia tak menyadari kalau saat itu juga. In Hyun baru membuka kedua matanya. Entah kenapa sakit yang dideritanya kemarin membuatnya benar-benar lemas tak berdaya dan juga kedua matanya terasa berat tak bisa dibukanya.

Saat kedua matanya terbuka. Yang pertama dia liat adalah langit-langit kamarnya yang berbeda. Dia mengerjap-ngerjap sejenak untuk menjernihkan pikirannya, ada di kamar siapa itu? Ketika teringat kalau dia sudah tinggal bersama dengan pemuda bermarga Kim itu, dia mengembuskan napasnya lirih.

Teringat kembali kejadian di kampus. Lalu, siapa yang telah membawanya kembali ke kamar barunya itu?

In Hyun menoleh merasakan embusan angin pagi, datang dari jendela yang terbuka. Sinar matahari pagi tepat menyinari ruangan itu dan juga menyinari wajah Jeong Soon.

Kala mendapati seseorang tengah duduk di pinggir jendela. In Hyun memicingkan matanya untuk memperjelas pandangannya karena sinar matahari pagi sedikit menyilaukan matanya itu.

Kedua mata In Hyun terbelalak. Melihat wajah pemuda itu dari samping. Ciri khas bagaimana dia minum, bahkan wajah itu mengingatkannya pada seseorang. Serta senyum dingin dan tatapan sendu kala menatap kosong ke depan membuat In Hyun hampir tak percaya.

Apakah dia suamiku, Kaisar Jeong Soon?

Benarkah dia adalah suamiku?

In Hyun hendak turun dari ranjang. Namun dia lupa menyingkirkan selimut sehingga tanpa bisa terelakkan lagi, tubuhnya terjatuh ke atas lantai.

"Huaaaa..!

Brukkk..!!

Jeong Soon yang tengah melamun seketika terkejut sontak menoleh ke arah In Hyun yang saat itu sudah merintih di pinggir ranjang. Dia bergegas bangkit dari duduknya sembari menggelengkan kepalanya.

"Aaawwhhh, kenapa aku selalu si-" belum selesai In Hyun mengatakan kata sial. Jeong Soon sudah menggendongnya.

"Hey Tuan. Kena-"

"Sssttthhh," Jeong Soon menghentikan pertanyaan In Hyun. Dia tersenyum sembari membaringkan tubuh In Hyun di atas ranjang, "istirahatlah, kalau hendak sarapan. Semua sudah siap di atas meja."

In Hyun menoleh ke meja pendek di pinggir ranjang. Dia merasa bodoh sendiri, kenapa tadi sempat memikirkan tentang sesuatu yang mustahil.

Jeong Soon menghela napasnya. "Aku akan kembali dulu ke kamarku, jika ada apa-apa hubungi aku lewat-" dia menoleh menatap interkom. Sepertinya tak ada interkom di kamarnya karena interkom hanya terhubung dengan ruang kerjanya saja. Tak ada yang berani mengganggunya ketika di kamarnya.

Dia menoleh ke atas nakas di mana di sana ada ponsel milik In Hyun. Ia menunjuk ponsel tersebut. "Pakailah benda itu untuk mengubungiku lewat benda ini," ujarnya sembari mengeluarkan ponsel-nya dari dalam saku celana adidasnya.

In Hyun malah mengerjapkan matanya. Di dalam hatinya dia merasa heran. Jika tinggal serumah, kenapa harus menghubunginya lewat handphone?

Jeong Soon menyodorkan ponselnya kepada In Hyun.

"Kenapa memberikannya kepadaku?" tanya In Hyun semakin aneh dengan sikap Jeong Soon.

"Kata para sahabat serta Sin Wan. Jika kau tak menyimpan nomor kartuku, maka kau tak bisa menghubungiku. Maka dari itu, simpanlah nomorku di ponselmu." Ucapan datar Jeong Soon bukan seperti seseorang minta nomor telepon. Tetapi sudah seperti perintah seorang Raja kepada dayangnya.

Jeong Soon menjentikkan jarinya melihat In Hyun malah bengong saja dari tadi membuat In Hyun sedikit terkesiap.

"Lalu, jika kau menyuruhku menyimpan nomor handphone-mu. Kenapa kau malah memberikannya kepadaku, tinggal sebutkan saja berapa nomormu itu. Maka aku yang akan-"

"Aku tak tahu nomornya, jadi kau saja yang cari nomorku di dalam sini lalu masukkan ke dalam ponselmu." Jawab Jeong Soon masih menunggu In Hyun menerima ponselnya.

In Hyun menghela napasnya sebal. Dia menerima handphone milik Jeong Soon lalu mengetikkan sesuatu.

Jeong Soon menyilangkan tangannya di dada sambil melirik dengan sudut matanya. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya penasaran. Bukankah dia menyuruh In Hyun menyimpan nomor ponselnya di handphone milik In Hyun. Kenapa In Hyun malah mengetikkan sesuatu di ponselnya itu.

In Hyun memencet nomor yang baru saja dia simpan di kontak telepon Jeong Soon. Tak lama handphone miliknya yang di atas nakas berdering.

Setelah itu In Hyun mematikan panggilannya lalu menyodorkan kembali pada Jeong Soon. "Sudah aku simpan nomorku di kontak handphone-mu. Jadi, kau bisa mencari nomorku di sana."

"Kau begitu mengingat semua nomor ponsel-mu itu?" tanya Jeong Soon aneh. Nomor handphone bukan terdiri dari 5 atau 6 nomor saja. Tetapi banyak dan berbeda.

"Tentu saja." Jawab In Hyun seolah ada nada ejekan di jawabannya itu.

Jeong Soon masih memperlihatkan wajah datarnya. Tetapi bibirnya tersenyum samar melihat ekspresi wajah istrinya itu. Dari zamannya sampai mereka bertemu kembali, wajah kesalnya itu selalu membuat Jeong Soon gemas dan selalu ingin menggodanya terus.

"Kalau kau masih merasa tak enak badan dan mau melanjutkan tidurnya. Lanjutkanlah. Tapi jangan lupa untuk sarapan dahulu." Setelah mengatakan hal itu. Jeong Soon melangkah pergi meninggalkan In Hyun yang masih menatap aneh pada dirinya.

Kala melihat gerak jalan pemuda itu. Jantung In Hyun berdetak kencang. Apakah itu semua memang sebuah kebetulan? Apakah yang dialaminya adalah sebuah mimpi? Tapi, bagaimana itu disebut sebuah kebetulan ataupun mimpi jika dia benar-benar melihat dan baru menyadari bahwa tak ada sebuah kebetulan yang datang secara terus menerus dan secara bergantian?

Ketika Jeong Soon hilang di balik pintu. In Hyun langsung saja turun dari atas ranjang, setengah berlari ke arah meja belajar. Meraih sebuah proposal dan membukanya serta meneliti semua hasil penelitian itu.

Kedua matanya menelusuri tulisan baris demi baris. Banyak keanehan yang dialami pemuda Kim itu. Ia juga membaca proposal sikap awal pemuda bernama Kim Jae Jung Woon itu. Membandingkannya dengan proposal barunya ketika sudah hilang ingatan.

Aku harus meneliti semuanya. Mustahil jika dia datang dari sebuah mimpi dan datang ke zaman ini. Namun, aku harus segera memastikan semuanya. Apakah dia benar-benar pria itu atau bukan? Dan semua hasil penelitian serta apa yang menimpanya bukanlah dari kecelakaan dan mengalami amnesia biasa.

In Hyun duduk di kursi dengan helaan napas lirih. Sebenarnya apa yang terjadi padanya, apa dia benar-benar sudah gila? Dari semua penelitian tentang orang yang hilang ingatan. Hanya pemuda Kim itu yang mengalami hal yang aneh.

Apalagi melihat gaya dia minum, duduk, berjalan, dan begitu tegapnya punggung itu. Di Joseon, ia selalu melihat suaminya Jeong Soon jika berdiri membelakanginya atau berjalan sambil menyilangkan kedua tangannya di belakang punggung. Kelakuannya itu kini hampir sama dengan pemuda Kim itu membuat In Hyun semakin penasaran.

Apa salahnya jika aku menyelidikinya. Ini kan salah satu tugasku juga. Tekad In Hyun semakin besar. Jika pemuda itu bukanlah orang yang hadir di dalam bawah sadarnya. Berarti semua yang terjadi padanya memang hanya sebuah mimpi serta kebetulan belaka dan dia akan melupakan semuanya untuk selamanya.

Dia mulai membuat daftar penelitiannya. Menuliskan semua sikap dan sifat sang Kaisar Jeong Soon.

"Ini memang terlihat gila," gumamnya pada diri sendiri. "Tapi, apa salahnya mencoba demi pekerjaanku juga."

Beberapa lama dia menuliskan sifat dan sikap yang dia ingat tentang Jeong Soon. Meski sedikit berantakan karena awal bertemu sikapnya benar-benar dingin dan juga menyebalkan.

Ketika dia tengah menulis. Kini mulai terasa perutnya sangat lapar. Menoleh ke belakang di mana makanan kesukaannya semua ada di atas meja pendek tersebut.

"Bekerja memang kewajiban. Tapi mengisi perut adalah kebutuhan." Ucapnya sembari bangkit dari kursi lalu duduk di bantalan. Dia sarapan tetapi tangan kirinya masih memegang proposal milik Jeong Soon.

"Uhukkk... uhukkk...!!"

In Hyun tiba-tiba tersedak kala baru menyadari nama belakang yang dipakai oleh Jae Woon. Ia langsung mengambil gelas lalu meneguk air putih hingga tandas untuk mendorong makanan yang terasa tersangkut di tenggorokannya. Setelah itu menatap tajam nama yang terpampang di proposal barunya.

"Ja-Jae Soon? A-apakah dia adalah Jeong Soon?"

Mulutnya menganga. "Mu-mustahil." Ia benar-benar tak mengerti semua yang terjadi. Dia harus mengetahui jawaban yang diinginkannya. Jangan sampai dia menjadi gila karena apa yang terjadi di alam bawah sadarnya benar-benar terasa nyata dan semua itu masih segar di dalam ingatannya.

Kenapa dia baru menyadari perubahan nama itu? Awalnya dia mengira kalau Jae Soon adalah panggilan sehari-harinya. Namun, ketika membaca lagi perubahan nama itu adalah setelah dia hilang ingatan.

"Bagaimana bisa, Kim Jae Jung Woon menjadi Kim Jae Soon?"

In Hyun semakin penasaran.

Jae Woon menjadi Jae Soon?

Dia harus lebih teliti lagi dalam penelitiannya meski hal sekecilpun akan berpengaruh akan jawabannya kelak.

Sementara jauh di dalam ruang kerja Jeong Soon. Dia duduk di depan komputernya sambil senyum sendiri sembari menatap ponselnya di mana di sana terpampang nama 'perawat In Hyun'. Di dalam hatinya, andai saja dia bisa memberi nama kontak In Hyun dengan nama 'Istriku', kebahagiaannya pasti akan terasa sempurna.

Tapi itu belum saatnya karena dia pasti akan dianggap sudah gila dan takut kalau-kalau In Hyun akan pergi dari sisinya.

Dia teringat sesuatu. Perkataan Han Cho tentang sebuah video In Hyun. Ia menaruh ponselnya lalu mengeluarkan secarik kertas di dalam laci meja kerja yang diterima dari Han Cho kemarin sore. Mengetik apa yang ditulis di kertas tersebut. Meski masih kaku, tapi dia harus bisa melakukannya tanpa bantuan orang lain lagi karena semua yang terjadi pada In Hyun adalah tanggung jawabnya.

Akhirnya sebuah video yang dimaksud Han Cho muncul. Jeong Soon membelalakan matanya melihat video tersebut. Sebuah video yang menyatakan In Hyun gila ketika sadar dari koma-nya.

Air mata Jeong Soon tiba-tiba saja menetes. Dengan bibir gemetaran dia bergumam. "Jadi dia masih mengingat semuanya, bahkan dia mengatakan namaku juga. Memanggil nama suaminya dan bukan hanya di dalam mimpinya saja."

Dia segera menghubungi Sin Wan.

"Hyung, hari ini kau datang ke sini. Dan di dalam komputerku tersimpan sebuah dokumen tentang semua video dan saya ingin kau segera menyelidikinya."

"Baiklah Jae. Aku akan menyelidiki semuanya sekaligus. Aku yakin semua ada sangkut pautnya." Jawab Sin Wan meninggalkan sebuah tempat yang baru saja dia datangi. Dia keluar dari sebuah Gedung teknik informatika, ia tengah menyelidiki tentang semua video yang beredar selama ini.

Knock... knock...

"Masuk," lamunan Jeong Soon buyar seketika. Ia bergegas mengusap air matanya lalu menoleh melihat siapa yang baru saja membuka pintu.

Seperti biasa masuk paman Hoong. "Tuan muda, Nona Yoon Ha datang dan sekarang menunggu Anda di ruang keluarga."

Yoon Ha? Jeong Soon berpikir sejenak. Ketika baru teringat kalau itu adalah kakak perempuannya. "Akh, baiklah. Kalau begitu, saya akan segera ke sana."

Paman Hoong mengangguk mengerti lalu keluar dari ruangan itu menemui Yoon Ha di ruang keluarga.

Jeong Soon mematikan layar komputer-nya kemudian bangkit dari duduknya. Berjalan menuju pintu. Hatinya bertanya-tanya, ada apa gerangan kakak perempuan Jae Woon tiba-tiba saja datang ke sana setelah sekian lama tak menemuinya dan mereka hanya pernah bertemu ketika di rumah sakit saja.

Yoon Ha duduk di sofa dengan santainya sembari menopangkan sebelah kakinya ke atas kakinya yang lain. Dia tengah membuka-buka majalah di atas meja di sebelahnya. Majalah keluarganya dan kebanyakan di majalah itu ada adik kecilnya, Ji Hoon.

Melihat Jeong Soon masuk ke sana. Yoon Ha bangkit langsung saja memeluknya. "Maafkan aku Jae, karena selama ini terlalu sibuk dengan pekerjaanku dan baru sempat menemuimu lagi."

Jeong Soon tampak kaku kala perempuan itu memeluknya. "Tak apa Nunna. Duduklah." Ia perlahan melepaskan pelukan Yoon Ha lalu mempersilakannya untuk duduk.

Yoon Ha kembali duduk di tempat semula diikuti oleh Jeong Soon duduk di sofa satunya.

Sebelum berbicara, Yoon Ha mengembuskan napasnya lirih. "Aku sengaja datang ke sini hanya ingin mengatakan tentang perusahaan Appa,"

"Perusahaan Appa?" Jeong Soon mengernyitkan keningnya heran.

"Ya. Sepertinya kesehatan Appa semakin memburuk Jae Soon. Dan perusahaan Appa sekarang semakin menurun, kalau bisa. Untuk sementara kau bisa mengurusinya kan?" tanyanya dengan nada lirih dan setengah memohon.

"Tapi-"

"Aku tahu," potong Yoon Ha. "Masalah kuliahmu takkan terganggu karena pekerjaan Appa bisa kau urus di rumah tanpa harus pergi ke kantornya, dan itu juga setelah kau pulang kuliah."

"Benarkah?" tanya Jeong Soon terlihat lega mendengarnya.

"Namun, ada satu lagi yang ingin aku tanyakan kepadamu,"

"Apa itu?" Jeong Soon tampak penasaran melihat keseriusan di wajah Yoon Ha.

"Apakah benar kalau sudah mempunyai kekasih?" selidik Yoon Ha menatap tajam pada Jeong Soon.

"Itu-?" Jeong Soon tampak ragu untuk mengatakannya. Kalau melihat di film-film yang ditontonnya, banyak yang kaya menentang hubungannya dengan orang yang dianggap miskin dan sudah pasti In Hyun juga dipandang seperti itu.

"Apakah dia perawat pribadi yang kini tinggal denganmu di sini?" tanya Yoon Ha lagi.

Jeong Soon menatap balik kedua mata Yoon Ha. Dia mengangguk. "Apakah kalian tidak suka akan hal itu?"

"Hahaha," tiba-tiba saja Yoon Ha tertawa membuat Jeong Soon bertambah aneh. "Akhirnya kau mengakuinya juga, selama ini aku penasaran, orang seperti apa yang kau sukai Jae. Ternyata gadis sederhana seperti itu. Pantas saja sudah beberapa kali kau kabur dari kencan butamu dulu."

"Kencan buta?" Jeong Soon tak mengerti akan kata itu.

"Ya, kencan tentang perjodohanmu dengan para gadis anak dari partner kerja Appa." Ujar Yoon Ha masih terkekeh kala mengingat kejadian ketika Jae Woon berlari ke tempat kerja Yoon Ha hanya karena dikejar terus oleh seorang gadis yang akan dijodohkan dengannya.

Jeong Soon menghela napasnya. "Aku belum mengingat akan hal itu." Ujarnya sembari menunduk.

"Aku tahu," jawab Yoon Ha sembari menurunkan kakinya yang ditopangkan di atas kaki yang lain. "Maka dari itu, aku ingin kau bahagia di kesempatan kedua ini. Karena selama ini, senyum itu telah hilang bersama dengan meninggalnya Eomma."

Yoon Ha menggenggam tangan kanan Jeong Soon yang ada di sandaran kursi dengan kedua tangannya. "Sekarang bangunlah, aku akan membawamu ke suatu tempat,"

"Tempat?" Jeong Soon tak mengerti Yoon Ha akan mengajaknya ke mana.

"Ya, bisnis baruku telah berkembang," jawab Yoon Ha sembari melepaskan genggaman tangannya lalu bangkit berdiri. "Yah, ayolah. Jarang-jarang aku punya waktu membawamu melihat bisnis baruku,"

Jeong Soon masih tak mengerti dengan bisnis yang berkembang.

Melihat Jeong Soon masih diam kebingungan. "Aigoo, aku mengerti sekarang. Kalau kau mau, kau juga boleh mengajak perawat pribadi sekaligus kekasihmu itu." Goda Yoon Ha sambil melangkah pergi. "Aku tunggu di sana, sopir akan membawamu ke tempat yang kusebutkan nanti."

Yoon Ha melambaikan tangannya ke udara tanpa menoleh ke belakang. Dia bersyukur keadaan adiknya itu tak separah yang dibayangkan. Apalagi mendengar perkembangan kesehatannya sudah berubah membaik.

Yang paling di syukuri hilangnya pemikiran konyol adiknya tentang olahraga berbahaya seperti arum jeram, panjat tebing, balapan motor di arena balap pribadinya, bahkan semua kegiatan yang membahayakan nyawanya sering dia lakukan dahulu seolah dia mempunyai nyawa seribu itu sudah jarang atau tidak pernah sama sekali dilakukannya sekarang. Semenjak dia hilang ingatan tentunya.

Jeong Soon tersenyum miring. Tidak salahnya kan mengajak In Hyun keluar, dia penasaran tentang bisnis baru kakaknya yang tadi dibilang sudah berkembang. Setelah itu, dia akan mengajak jalan-jalan In Hyun.

Dikeluarkannya ponsel dalam saku celana adidasnya. Memencet kontak mencari nama 'perawat In Hyun'. Nama yang di simpan di kontak oleh In Hyun sendiri dan dia belum berani merubah nama itu.

Setelah ketemu nama itu. Jeong Soon segera memencet gambar telepon yang artinya menghungi In Hyun (call). Di tempelkan ponsel itu di telinganya. Terdengar bunyi tut-tut, itu berarti panggilan tersambung di seberang sana.

Di kamar In Hyun. Dia baru saja selesai sarapan. Sontak terkesiap mendengar handphone-nya berdering membuat jantungnya hampir saja melompat keluar. Dilihatnya nama 'Ju Ppomnaeneun' artinya 'Tuan Sombong' memanggilnya.

Sebelum menggeser hijau untuk menerima panggilan itu. In Hyun menghela napasnya, dia sudah bilang jika ada urusan atau ada perintah, tak usah menelepon lewat ponselnya. Langsung saja menyuruh pelayan datang ke kamarnya.

Namun, ternyata Tuan itu memang sombong sampai berbicara dengannya saja harus lewat telepon. Dia tidak tahu kalau di seberang sana tampak kesal menunggu terlalu lama jawaban panggilannya.

Baru saja diangkatnya dan hendak mengucapkan hallo. Jeong Soon sudah bertanya di seberang sana.

"Yah, nona Hyun, kenapa lama sekali kau mengangkat panggilanku?" protes Jeong Soon sudah seperti satu tahun tak bertemu dan juga seperti jarak mereka dari kutub Utara dan kutub Selatan.

In Hyun hanya menghela napasnya. Sepertinya dia harus banyak mengusap dadanya. "Memangnya ada apa Tuan muda meneleponku?"

"Kau cepat ganti bajumu dengan pakaian untuk keluar, aku beri kau waktu lima menit. Kalau lebih dari itu, aku akan datang ke kamarmu dan menggantikan bajumu."

In Hyun menganga mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Jeong Soon tanpa sadar. "Yah, Tuan. Bagaimana bisa kau-"

"Aku tunggu kau di luar setelah lima menit." Jawab Jeong Soon sembari memutuskan panggilannya.

"Eehh?" In Hyun benar-benar heran, yang barusan itu apakah permintaan atau perintah. Sepertinya sudah seperti perintah baginya. Dan di rumah itu, memang semua adalah perintah untuknya.

"Sulit kupercaya kalau dia adalah Kaisar Jeong Soon, mungkin aku memang sudah gila." Gerutu In Hyun dengan sangat enggan beranjak dari bantalan menuju ke lemarinya untuk berganti pakaiannya.

Ternyata Jeong Soon juga sudah bersiap-siap di ruangan pakaiannya. Dengan setelan rapi memakai jas berwarna abu-abu gelap dengan celana senada dan juga ikat pinggang serta jam tangan sudah melekat di tangan kanannya. Rambut sudah disisir rapi beserta menyemprotkan parfum kesukaan Jae Woon. Ia pun sudah siap.

In Hyun memakai atasan berbahan tisue berlengan pendek dengan celana pendek berbahan katun halus dan tak terlalu ketat berwarna hitam. Dia meraih proposal penelitian milik Jeong Soon serta tas selempang kecil berwarna hitam.

Dia mencari di mana ponsel-nya. Tiba-tiba ponsel-nya yang tergeletak di dekat bantalan berdering kembali.

In Hyun buru-buru meraihnya lalu melihat siapa yang memanggil. Dikiranya itu kakaknya, ternyata si 'Tuan Sombong' yang memanggil.

Seperti biasa, belum sempat dia mengucapkan hallo.

"Apa kau sudah siap?" tanya Jeong Soon.

"Sudah, sekarang aku akan keluar." Jawab In Hyun sebal sambil berjalan ke arah pintu.

"Aku sudah menunggumu di-"

Baru saja In Hyun membuka pintu dan keluar dari kamarnya. Seketika ia terkesiap melihat ke samping pintu seseorang sudah berdiri di sana sambil sandaran ke dinding.

"Di depan kamar." Lanjut Jeong Soon sembari memutuskan panggilannya.

                        ※*♥♡🎎♡♥*※

*°°°______TBC______°°°*







Akhir'y selesai juga.. Jika ada typo harap di maafkan.. Dan seperti biasa kritik dan saran'y.. 😁😁😁

Cerita masih mode datar.. Misteri belum bermunculan.. Sabarrr.. Ide'y memang lg naik turun kaya lagu rap 😁😂

Enjoy N Gomawoyo..

Up* 17~12~2018

By* Rhanesya_grapes 🍇







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top