Bab 2 Dalam Kabut
"Setiap orang punya keinginan masing-masing, cuma tergantung cara
menyatukan pemikiran supaya nggak menghancurkan persahabatan."
—Kevin Louis Geeraard—
"Aku nggak mau masuk ke dalam kabut itu," ucap Sarah memecah keheningan.
"Aku mau masuk. Kalau kamu nggak mau, turun dari mobil!" ucap Raelyn dengan nada ketus.
"Kamu cari mati, ya, Rae?" tukas Sarah dengan nada kesal. "Kalau di dalem sana ada monster-monster atau yang lainnya, gimana?"
"Bukannya di Batu udah sering turun kabut kayak gini? Kamu bilang sendiri tadi kalau monster itu nggak ada. Kamu mau jilat ludahmu sendiri?" Raelyn melepaskan seatbelt, kemudian berbalik menatap tajam Sarah. "Kalau nggak mau, kamu turun sekarang dari mobil!" Dia mengulang ucapannya tadi.
Dylan dan Kevin sama-sama menghela napas lalu saling berpandang-pandangan lewat spion belakang mobil mendengar perdebatan Raelyn dan Sarah, sementara yang lain memilih diam. Mereka tidak habis pikir karena di saat seperti ini Raelyn dan Sarah masih bisa bertengkar.
Dylan memijat dahinya yang pusing mendengar keributan Raelyn dan Sarah. Dia menghela napas, kemudian memutar tubuh menghadap pada Kevin. Memberi isyarat agar sahabatnya itu memajukan tubuh sehingga mereka bisa bicara melalui celah kanan jok.
"Maju?" tanya Dylan dengan suara pelan.
"Maju," sahut Kevin dengan anggukan. "Kalau mundur juga kita mau ke mana? Nginep hotel sampai pagi nanti? Rae pasti nggak mau soalnya panik mikirin Kay."
Dylan mengangguk, kemudian kembali menghadap ke depan. Menoleh pada Raelyn yang masih belum berhenti juga. Dia menggeleng pelan dan membiarkan. Mengatur kembali posisi duduknya hingga nyaman, kemudian mengatur persneling mobil. Tanpa aba-aba, dia langsung menginjak pedal gas dan mobil pun melaju.
Raelyn hendak membalas ucapan Sarah saat merasakan mobil bergerak. Dia pun langsung diam dan menatap ke depan. Jantungnya berdetak kencang karena terkejut. Meskipun terlihat berani, dia sebenarnya takut. Hanya menyembunyikan perasaan ini agar bisa pulang untuk memeriksa adiknya.
"Wow!" Kevin memecah keheningan dan ketegangan dalam mobil. "Keren banget, nih. Kabutnya lebih tebel dari yang biasa turun, tapi tetep bisa lihat meskipun jarak pandang pendek," ucapnya.
Mendengar itu, Raelyn pun menatap ke sekeliling. Kevin benar, suasana dalam kabut memang amat sangat indah. Tubuhnya perlahan relaks seiring mobil yang melaju masuk makin jauh ke
dalam kabut. Suasana saat itu mirip seperti saat turun kabut tebal ketika hujan, hanya sekarang kabutnya jauh lebih tebal.
Suasana diisi oleh deru mesin saat kedelapan remaja itu diam mengamati suasana sekitar yang dilewati. Mobil melaju dengan kecepatan sedang—tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat—karena pengemudinya sendiri ikut mengamati sekitar.
"Suasananya bikin aku inget film yang pernah booming sekitar tahun 2006, Silent Hill," ucap Asqila memecah keheningan.
"Lha? Katanya takut horor, kok, nonton film kayak gitu?" komentar Sarah.
"Udah, deh! Nggak usah komentar yang bikin keributan!" tukas Raelyn.
Sarah memasang ekspresi kesal sambil menatap Raelyn, tapi tidak membalas. Itu karena Kevin menatap padanya dengan sorot mata tajam. Di antara teman-temannya yang lain, dia paling takut pada Kevin dan Dylan. Kevin memang terkenal ramah dan badboy, sedangkan Dylan terkenal tenang, ramah, dan dewasa. Masalahnya, kedua pemuda itu kalau marah mirip seperti Godzilla.
Setelah sedikit menyentil Sarah, Raelyn kembali fokus memperhatikan sekitar. Perasaan takjubnya sirna digantikan dengan kegelisahan. Keindahan yang ada saat ini begitu menghanyutkan hingga membuatnya cukup lama untuk menyadari adanya sesuatu yang ganjil. Sejauh ini, dia tidak mendapati adanya
rumah yang memperlihatkan tanda-tanda kehidupan.
Oke. Sekarang emang masih pukul dua lewat beberapa menit, terlalu pagi buat bangun dan beraktivitas. Masalahnya, ini tahun baru. Nggak mungkin nggak ada aktivitas sama sekali, batin Raelyn.
"Watch out!" Kevin berteriak mengejutkan teman-temannya, terlebih Dylan yang langsung menginjak rem setelah menetralkan persneling.
"Aduh!" pekik Raelyn yang terdorong maju dan menabrak dashboard.
"Maaf, Rae. Aku nggak lihat di depan ada mobil." Dylan pun menoleh dan menarik lengan Raelyn untuk duduk dengan benar kembali. "Kamu juga, sih! Seatbelt-nya kenapa nggak dipasang lagi?" omelnya.
Raelyn memberengut, tapi sama sekali tidak berminat membalas omelan Dylan. Sambil mengusap dada, dia memperhatikan ke depan dan menyadari satu keanehan. Mobil yang nyaris ditabrak Dylan tidak dalam posisi berhenti, tapi terguling menutup setengah badan jalan.
"Kayaknya habis ada kecelakaan, tapi kenapa nggak ada polisi atau ambulans? Mobil di trotoar sampai bener-bener remuk, lho," ucap Raelyn.
"Biar aku cek bentar." Dylan keluar diikuti oleh Kevin.
Perasaan tidak tenang melingkupi Raelyn dan teman-temannya yang memilih di dalam mobil. Mereka diam sambil mengamati sekitar. Hanya bisa melihat bayangan Kevin dan Dylan dalam kabut yang memeriksa mobil di depan dan di trotoar. Deru mesin mobil terdengar keras di keheningan.
Meskipun takut, Raelyn penasaran dengan suasana di luar. Setelah nyeri di dadanya berkurang, dia memutuskan menyusul Dylan dan Kevin. Baru saja membuka pintu dan menjejakkan kaki kiri di aspal, dia menarik kembali tubuhnya masuk ke dalam mobil. Langsung mengunci pintu dan memastikan jendela tertutup rapat.
"Kenapa, Rae?" Adam merasakan keanehan tindak-tanduk Raelyn.
"Kita di dalem aja. Telepon Dylan atau Kevin! Suruh mereka cepet balik!" sahut Raelyn cepat.
Jantung Raelyn bagaikan tengah berpacu. Berdetak sangat cepat dan keras hingga membuat dadanya sedikit nyeri. Dia mengamati sekitar untuk mengenali tempatnya berada saat ini. Kabut membuatnya sedikit bingung. Hingga dia akhirnya berhasil mengenali salah satu papan nama besar di sebuah bangunan.
Di depan Sengkaling. Masih jauh banget, batin Raelyn.
"Rae, aku nggak bisa hubungin Dylan sama Kevin. Nggak ada jaringan sama sekali. Aku udah dua kali coba restart hp-ku, hasilnya sama aja," ucap Adam sambil memajukan tubuh. "Aku susul aja, ya?"
Raelyn langsung menoleh pada Adam. "Nggak usah. Kita tung—" Suara pintu mobil dibuka menghentikan ucapannya.
Secara bersamaan, Kevin dan Dylan masuk dengan sedikit
terburu-buru dan tampak terengah. Dylan langsung mengunci seluruh pintu mobil dan memastikan jendela tertutup rapat. Detik berikutnya, kegelapan menyelimuti karena mesin mobil dimatikan total hingga suasana benar-benar hening dan sunyi.
"Dylan! Gelap! Nyalain lampunya, dong!" protes Sarah.
"Ssh! Quiet!" desis Kevin sambil menatap tajam pada Sarah di kegelapan. "Semuanya diem! Jangan bikin suara sedikit pun!"
Raelyn merasakan tubuhnya langsung menegang mendengar ucapan Kevin. Dia tidak tahu apa yang terjadi saat Kevin dan Dylan di luar tadi. Namun, dia bisa merasakan kalau ada sesuatu yang membuat Dylan dan Kevin tampak ketakutan.
"What the hell is that?" Sarah memajukan tubuh melihat ke depan.
Raelyn mengernyit dan menajamkan penglihatan. Namun, getaran pelan yang terasa membuat konsentrasinya buyar. Getaran itu tidak seperti gempa, tapi lebih mirip langkah kaki makhluk raksasa yang berjalan. Dia menatap lurus ke depan dengan tangan kiri memegang kuat cekungan kecil di pintu mobil.
Raelyn merasakan mulutnya dibekap oleh sebuah tangan saat sudah nyaris bersuara. Dia melirik siluet Dylan yang fokus menatap ke depan. Tangan kanannya terangkat memegang lengan pemuda itu, tapi tidak berusaha melepaskan dari mulutnya—meskipun tidak senang dengan tindakan Dylan.
Tidak seorang pun bersuara dalam mobil. Mereka terdiam
di posisi masing-masing. Memperhatikan bayangan raksasa yang mendekat ke mobil dari arah area Sengkaling. Mereka semua melihat bentuk makhluk itu. Begitu besar dan mengerikan dengan tentakel yang bergerak ke sana kemari.
Ma—makhluk apa itu? batin Raelyn dengan jantung berdetak kencang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top