Bab 1 Euforia yang Hancur

"Harapan yang hancur dalam satu malam membawa luka

yang begitu dalam untuk bertahun-tahun ke depan."

—Raelyn Ghia Alexandra—


Gemuruh ledakan kembang api terdengar keras diikuti sorakan dari seluruh manusia yang ada di sebuah taman. Warna-warni kilau kembang api menimpa wajah mereka yang tampak dipenuhi kegembiraan menyambut datangnya tahun yang baru. Di antara lautan manusia di area wisata yang cukup terkenal di Kota Malang, ada delapan remaja yang berkumpul di tepi sungai untuk wisata perahu.

"Happy New Year! Semoga di tahun yang baru ini, Infinity Kingdom makin kompak, susah-seneng bareng-bareng terus, dan bisa sukses bersama!" Satu-satunya gadis berjilbab di antara keempat remaja perempuan yang ada di situ merangkul dua teman perempuannya di kanan dan kiri. "Buat kamu, Raelyn-ku tersayang, cepet ketemu jodoh," imbuhnya dengan nada bercanda.

Gadis bersurai cokelat di kanan memberengut mendengar ucapan itu. "Jangan doain macem-macem, deh, Asqila!" tukasnya.

Perhatian Raelyn teralih saat merasakan ponsel dalam genggamannya bergetar. Dia pun mengangkat benda itu dan tersenyum melihat siapa yang mengirim chat. Dia membuka dan membaca isinya. Seketika itu juga, dahinya pun berkerut dan senyumnya sirna.

[My Lovely Sister: Kak, pulang jam berapa?]

Perasaan heran pun merasuk karena adiknya jarang bertanya kapan akan pulang kalau dirinya di luar. Lebih sering titip untuk dibelikan makanan atau minuman. Dia mengetikkan balasan untuk adiknya—yang menolak diajak dan memilih merayakan tahun baru di rumah dengan menonton drama favorit. Ya, Cailyn—adiknya—bagaikan langit dan bumi dengannya.

[RaeGhiaXa: Jam satuan Kakak pulang, Kay. Kenapa? Mama sama papa udah pulang terus nanyain Kakak?]

[My Lovely Sister: Nggak, Kak. Di sini mati listrik, jadi gelap dan sepi banget. Kay takut, nih, Kak. Cepet pulang, dong!]

[RaeGhiaXa: Iya. Habis ini Kakak pulang. Bentar, ya. Kakak tanya dulu sama Kak Dylan, soalnya dia yang nyetir mobil.]

[My Lovely Sister: Eh, bentar, deh, Kak. Kayaknya mama sama papa udah pulang. Bentar Kay cek dulu.]

Raelyn membiarkan chat itu terbaca, tapi tidakmembalas karena menunggu kabar lebih lanjut dari Cailyn. Dia duduk santaimenikmati minuman dan makanan di meja. Semua itu disediakan oleh pihakpengelola tempat wisata Malang Night Paradise. Dia dan teman-temannya bisamerayakan di sini karena mendapat undangan dari ayah Kevin yang punya koneksi.

Kembang api masih terus menyala dengan indah memberi warna pada langit malam yang gelap. Namun, semua yang ada di situ tidak lagi berdiri. Duduk menempati kursi masing-masing dan

bersantai bersama teman, keluarga, atau sahabat.

Nyaris semua lelaki—dan sebagian perempuan—yang ada di sekeliling merokok atau minum alkohol, tapi tidak ada satu pun dari keempat teman lelaki Raelyn yang melakukan dua itu. Di meja tidak ada rokok dan korek api serta minuman alkohol. Semua gelas yang ada berisi kopi, jus, dan milkshake.

"Ke pantai, yuk, besok!" ajak Asqila setelah menyeruput minuman sedikit. "Maksudku, nanti siang dan kita camp. Ajak Kay, dong, Rae."

"Kalau dia nggak mager, ya," sahut Raelyn santai.

Ini membuat Asqila tersenyum karena memahami ucapan Raelyn, kemudian menanggapi ucapan Keenan. Di situ, yang belum punya pacar hanya Raelyn, sementara yang tidak punya pasangan adalah Kevin—pacarnya tidak masuk ke dalam lingkungan pertemanan mereka. Dylan dengan Anna sejak kelas satu, Adam dengan Sarah sejak kelas dua, dan pasangan terbaru adalah Keenan dan Asqila. Mereka menyebut diri sebagai Infinity Kingdom, berasal dari bentuk angka delapan—jumlah mereka—yang dibaringkan menjadi infinity.

Raelyn tidak memedulikan kesibukan teman-temannya. Memilih mengajak Anna bergosip soal teman-teman sekolah karena Dylan main game. Ini akan menjadi tahun baru terakhirnya di SMA dan bersama teman-temannya. Begitu lulus tahun ini, dia berminat langsung melanjutkan kuliah di jurusan yang diincarnya.

Raelyn terkesiap kaget saat merasakan tubuhnya seperti

dibelai oleh angin basah. Bulu romanya meremang dengan jantung yang berdetak kencang. Tanpa dia sadari, wajahnya memucat. Dia diam terpaku menggenggam ponsel.

"Kamu kenapa, Rae?" Dylan menatap teliti pada Raelyn.

"Kenapa emangnya?" Raelyn sedikit terkejut mendengar pertanyaan Dylan.

"Kamu tadi kayak kaget dan wajahmu jadi agak pucat." Dylan meneliti wajah Raelyn.

"Ah, nggak apa-apa, kok. Cuma kaget soalnya ada rumput nyentuh kakiku," sahut Raelyn berbohong.

"Makanya. Tadi, 'kan, aku udah bilang buat pake kaos kaki soalnya kita di rumput," omel Anna.

"Iya, iya. Aku, 'kan, lupa." Raelyn memberengut diomeli Anna.

"Kenapa lo? Kek kayak habis lihat hantu." Anna menatap Keenan dan bicara dengan bahasa lo-gue—karena Keenan memang pindahan dari Jakarta dan dialeknya masih sangat khas.

"Ini, nih. Grup kelas rame banget. Cuma isi obrolannya aneh. Coba kalian cek," sahut Keenan sambil terus menatap layar ponsel.

Raelyn yang sudah memegang ponsel langsung membuka WhatsApp. Dia menyenyapkan grup kelas sehingga tidak akan tahu ada chat kalau tidak dibuka. Dahinya berkerut melihat angka 2355 dan terus bertambah. Angka itu menyentuh angka chat kelas selama tiga hari. Dia pun membuka dan membaca semua isi chat

obrolan teman-temannya. Membiarkan Anna ikut mengintip.

Dylan meraih ponselnya sendiri; Asqila mengintip ke ponsel Keenan; Adam meraih ponsel Kevin—karena miliknya masih di-charger—tanpa memedulikan kekesalan sahabatnya itu. Hanya Sarah yang tampak tidak peduli dan cuek serta memilih menikmati minuman. Untuk beberapa saat, mereka diam karena sibuk membaca kehebohan di grup kelas.

"Apaan, sih? Monster apaan coba?" Anna bersuara dengan dahi berkerut, tapi tidak ada yang menanggapi karena semua masih fokus membaca.

Raelyn merasakan jantungnya kembali berdetak kencang dengan tangan gemetar. Dia langsung keluar dari room chat kelas dan masuk ke room chat adiknya. Mengirim chat, kemudian kembali ke grup kelas. Dia terus melakukan itu karena tidak mendapatkan balasan. Pada akhirnya, dia pun melakukan spam chat dan telepon.

[RaeGhiaXa: Kay, kamu ngapain? Habis ini Kakak pulang. kamu mau dibawain apa? Di sini banyak camilan.]

[RaeGhiaXa: Cailyn? Bales, dong!]

[RaeGhiaXa: Jangan bikin Kakak khawatir, dong, Kay!]

Rasa panik dan gelisah pun merasuk ke dalam hati Raelyn saat adiknya tidak kunjung membalas. Bahkan lima kali menelepon pun tidak ada jawaban. Meskipun sedang sibuk dengan aktivitas lain, Cailyn tidak pernah meninggalkan ponsel. Dia menatap Anna yang membalas dengan ekspresi khawatir.

"Pulang, yuk! Udah mau jam satu," ajak Raelyn sambil mengalihkan pandangan pada Dylan.

"Ayo." Dylan mengiakan tanpa protes dan tanya.

"Yaelah! Acaranya, 'kan, kelar satu jam lagi. Nanggung tahu!" ucap Sarah menolak.

"Kamu nggak khawatir sama keluargamu di rumah? Isi grup kelas hebohnya kayak gitu soal monster, lho!" Asqila bertanya dengan nada heran melihat sikap tenang Sarah.

"Halah! Itu juga palingan mereka lagi nge-prank guru di grup. Inget sendiri, 'kan? Sebelum liburan mereka mau main prank di grup kelas pas tahun baru. Monster mana ada zaman sekarang? Logis, dong!" sahut Sarah dengan nada acuh tak acuh.

"Kita pulang sekarang!" Dylan menyela Raelyn yang hendak menanggapi ucapan Sarah. "Kamu ikut pulang apa nggak? Kalau nggak, kami tinggal." Dia menatap Sarah yang akhirnya mau tidak mau mengiakan dengan ekspresi kesal.

Rombongan itu pun beranjak dari situ. Melewati lautan manusia yang tampak cuek saja. Sampai di area parkir, mereka langsung menuju ke mobil Dylan. Masuk dengan posisi Dylan menjadi sopir dan Raelyn duduk di sampingnya, kemudian di bangku tengah ada Kevin, Sarah, dan Adam. Asqila, Anna, dan Keenan di paling belakang.

Sampai di pertengahan kota, hujan tiba-tiba saja mengguyur

dengan deras. Mereka pun kebingungan karena di tempat sebelumnya benar-benar kering. Dylan terus melajukan mobil menerobos dan menyalakan wiper. Mereka sedikit takut dan tegang karena mobil seperti dihujani batu akibat derasnya hujan.

Dylan menyetir sambil memicingkan kedua mata. Wiper seperti tidak berguna karena air yang terus mengalir menghalangi pandangan. Meskipun begitu, ini tidak membuatnya memelankan laju mobil. Dia menghela napas lega saat intensitas hujan berkurang begitu melewati Terminal Landungsari.

"Stop! Dylan, berhenti!" jerit Raelyn dengan keras.

Dylan terkejut mendengar jeritan Raelyn. Dengan gerakan cepat, dia menginjak kopling lalu menetralkan persneling. Terakhir, dia menginjak rem. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil tanpa masalah karena sudah terlatih berhenti mendadak. Dia menghela napas lega lalu bergerak memeriksa Raelyn—yang pertama, kemudian teman-temannya yang lain.

"Rae, kenapa teriak kayak gitu tadi, sih?" omel Dylan.

"Dylan, lihat ke depan!" Kevin yang menyahut.

Dylan pun kembali menghadap depan dan terdiam seperti teman-temannya. Saat ini, mereka berhenti di tengah jalan tepat di sebelah pompa bensin milik sebuah universitas besar. Di depan mereka seharusnya ada gapura perbatasan Malang Kota—tempat mereka datang—dan Malang Kabupaten—jalur yang harus mereka lewati untuk menuju ke kota asal mereka—Kota Batu.

Alih-alih melihat jalan dan rumah-rumah yang biasa mereka

lewati, mereka justru dihadapkan pada tembok putih. Sangat pekat hingga tidak terlihat apa yang ada di baliknya. Karena kegelapan malam, kabut putih itu tidak terlihat—alasan Dylan tidak melambatkan laju mobil. Hal aneh yang terjadi adalah di tempat mereka berada benar-benar bersih.

"What the ... hell?" Kevin yang pertama bersuara. "Benda putih apa itu?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top