Chapter 3
Leana memilih kabur dan berbaur di antara kerumunan. Dia berusaha mengecoh Pria Yang Terhormat. Ketika dia sudah sangat jauh dari pertemuan itu. Leana mulai mengambil napas sebanyak-banyaknya. Dia tidak habis pikir, baru saja mempercayai seorang penipu. Tetapi itu hanya sesaat. Lengannya dicengkram begitu kuat dari belakang. Lalu tubuhnya dipaksa berbalik.
"Kenapa kau kabur?" Suaranya menuntut.
"Lepaskan! Kalau tidak, aku akan berteriak," ujar Leana dengan tegas. Dia tidak menduga, pria ini berhasil mengejar.
"Berteriaklah dan kau akan tahu akibatnya."
Leana bungkam. Seluruh tubuhnya mendadak merinding. Kalimat itu seperti mimpi buruk yang tidak bisa dibayangkan. Kata-katanya mengandung sesuatu yang Leana yakin sangat berbahaya.
"K- Kau butuh salinan, 'kan? Tunggulah di depan gerbang kuil. Aku akan mengambilnya."
"Tidak. Aku punya cara lain untuk itu. Sekarang ikut aku."
...
Suasana bar itu terlalu ramai dan Leana benci kebisingan. Mereka duduk di sudut bar dengan dua gelas anggur lokal dan sepiring kacang almond. Leana tidak berminat menyantap itu. Dia lebih suka cumi-cumi bakar.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" ujar Leana setelah keheningan yang cukup panjang.
"Kita akan lebih sering bertemu di sini setiap sore. Aku ingin kau menceritakan apa yang kau baca dari buku-buku yang kurekomendasikan."
"Begitu?"
Leana terdiam menatap wajah itu. Rahangnya tegas dan hidungnya cukup mancung. Ada beberapa janggut tipis yang belum dicukur rapi. Pria itu menatapnya penuh hasrat. Seolah-olah, dia akan menerkam Leana jika wanita itu memilih kabur untuk kedua kalinya.
Jadi, Leana mulai menceritakan tentang buku yang ia baca. Pria itu sama sekali tidak menyela. Bahkan, dia tidak pernah mengalihkan tatapannya dari Leana. Dia menyerap semua informasi itu dengan sangat serius.
"Baiklah," ujar Pria Yang Terhormat. "Aku rasa sudah cukup. Besok sore, aku ingin kita bertemu lagi di sini."
"Oh, kurasa tidak," ungkap Leana, "aku tidak bisa diizinkan keluar kuil tanpa alasan yang jelas. Maksudku, bertemu seorang pria di kedai minum. Teman-temanku pasti menggunjing soal itu."
Pria itu menatap Leana seolah-olah memiliki kekuatan mistis. Mata birunya menatap lurus ke dalam mata hijau Leana. Membuat Leana tidak mampu menolak.
"Aku akan menjemputmu besok." Pria itu mendadak berdiri. Mulut Leana ingin terbuka, melontarkan protes. Tetapi tindakan itu tidak terjadi. Pria itu berubah menakutkan.
...
Leana pulang ke kuil lebih awal. Dia mengambil jalan memutar agar tidak bertemu siapa pun. Kuil Oxtride masih dipenuhi pengunjung. Dia bisa melihat semua orang sedang sibuk.
Selama tinggal di kuil. Leana tidak pernah dekat dengan siapa pun. Dibanding yang lain, ia paling termuda. Kedekatannya sebatas menerima pekerjaan tambahan. Leana tidak keberatan soal itu. Dia sudah sering bekerja keras sebelum menjalani kehidupan ini.
Sebelum masuk menuju rumah
peristirahatan. Langkahnya terhenti oleh sesuatu di tengah koridor. Seekor kelinci ungu sedang berdiri menghalangi jalan.
"K- Kau," ujar Leana serak. Di kekaisaran Oxtride. Kelinci ungu adalah hewan sihir yang berbahaya. Mereka beringgas dan suka menyerang siapa pun. Sering kali dijadikan tumbal dalam ritual sihir kegelapan.
Leana tidak paham, mengapa orang paling suci di kekaisaran memelihara hewan seperti ini. Jika dia berada di sini, itu artinya hewan ini telah lepas.
Leana mundur selangkah. Dia tidak punya kemampuan sihir atau apa pun untuk menghadapi makhluk sihir. Kelinci itu menatap lurus Leana. Kemudian maju selangkah setiap Leana berjalan mundur.
"Aku tidak akan menggangumu. Jadi, pergilah dengan tenang."
Kelinci itu tidak peduli. Dia malah menunjukkan gigi tongkosnya dengan menyeramkan. Leana tahu, dia harus berlari. Sialnya, hewan itu mengejar sambil melompat.
Di depan pintu keluar. Dia menabrak dada seseorang hingga keduanya terjatuh dengan posisi Leana menindih dari atas. Seragam putih dengan renda keemasan membuat wajah Leana pucat pasi.
Dia mengangkat wajah untuk melihat wajah Raihan yang memerah akibat menahan emosi.
"Kelincinya," ujar Leana sekuat tenaga. Dia menoleh dan terkejut hewan itu berukuran lebih besar dari seharusnya.
"Tutup matamu!"
"Apa—"
Telapak tangan Raihan menarik wajah Leana bersembunyi di dadanya. Lalu terdengar bunyi mendesis diiringi suara ledakan.
"Hewan itu sudah mati. Bisakah kau bangun dari tubuhku?"
Leana mengangkat wajah dengan ragu. Ditatapnya wajah Raihan yang tegas dan maskulin. Rambut pirang dan warna matanya emas. Terlihat kontras dan serasi. Sadar kalau dia memandang wajah tersebut tanpa berkedip. Leana segera bangun dari tubuh Raihan.
"Raihan, apa yang terjadi?" tanya Clara yang muncul sambil berlari. "Kudengar hewan itu lepas?"
Tiba-tiba, mata biru Clara terbelalak melihat Leana yang berdiri menunduk dan Raihan yang bangun dari lantai teras.
"Dia mati. Aku rasa, aku harus mencari yang baru," ujar Raihan sambil mengibas jubah kebesarannya. "Kau bisa pergi."
Leana mengganguk. Dia tahu, perintah itu untuknya. Clara tampak tidak suka melihat keberadaan Leana.
"Aku tidak suka pelayan. Mereka seperti benalu. Berusaha mencari perhatian."
Leana yang bersembunyi dibalik pintu, terperangah mendengar kalimat tersebut keluar dari bibir Saintess. Apa-apaan dia?
"Mengapa kau ke sini? Tugasmu belum selesai," komentar Raihan dengan tatapan menyelidik.
"Bawahanku mengatakannya. Aku tidak bisa tinggal diam membiarkanmu pergi. Para Priest dan Priestess bisa mengurus sisanya. Aku capek sekali. Kapan aku harus pulang? Besok aku akan ke istana dan hewan itu mati sebelum ritual dilakukan."
Leana sadar. Seharusnya dia tidak mendengar ini. Instingnya berkata dia harus tetap diam dan mendengarkan.
"Akan kuusahakan." Raihan hanya membalas singkat dan berjalan pergi. Clara menghentakkan kaki ke belakang dengan kesal.
"Aku harus menjadi permaisuri, Raihan. Itu takdirku."
Leana membekap mulutnya. Lututnya lemas. Dia pasti salah dengar. Sejak kapan Saintess memiliki peran. Di dalam novel, memang diceritakan banyak wanita yang mendambakan Kaisar Silas. Namun, hanya satu wanita yang berhasil. Dia adalah putri Duke Soren. Ducches Isabel Soren.
Leana berpikir keras. Apa dia harus terlibat menghadang Clara atau tidak. Tetapi, seingatnya tanpa bantuannya pun pemenangnya sudah jelas. Leana hanya harus fokus pada pemberontak dan keselamatan kekaisaran. Sisanya, dia akan membiarkannya mengalir apa adanya.
...
Silas berada di ruang kerjanya dengan setumpuk dokumen yang harus dibaca. Beberapa laporan dari gurbernur dan keluhan rakyat biasa menumpuk. Dia memijat pelipisnya, frustasi akan rutinitas ini.
Silas menyukai pertempuran, suara denting pedang dan ringikan kuda yang menjerit di tanah berlumpur. Duduk dibalik meja bukanlah gayanya.
"Dante," panggil Silas. Sekelebat bayangan masuk dari dalam jendela.
"Ya, Baginda." Pemuda itu berlutut dengan satu kaki di depan meja.
"Apa festival di luar berjalan lancar?"
"Ya, Baginda. Orang-orang kita bersiaga di beberapa titik. Sejauh ini, semua aman. Kebanyakan warga mengunjungi kuil untuk mendapatkan berkat."
Silas memangku tangan di atas kertas perkamen. "Bagaimana dengan kabar Ganjaa? Apa orang-orangmu memiliki petunjuk?"
"Baginda. Kelompok ini memiliki tujuh lapisan. Kami masih bertemu orang-orang yang menjadi pesuruhnya. Tampaknya, kelompok inti masih belum menampakkan diri."
Silas termenung, dia mengganguk mengerti. Tiga bulan yang lalu, seharusnya ia sudah tewas. Tidak, Silas berpikir itu kelahiran kembali. Ia menyaksikan sekelompok pemberontak berhasil menguasai istana dan membunuh seluruh kesatria.
Pertahanan istana tidak akan bisa ditebus semudah itu, jika tidak ada campur tangan orang dalam. Detik-detik kematiannya, Silas menyadari bahwa dia dikhianati. Tetapi, siapa orang itu dia tidak tahu. Dante yang sekarat hanya mengatakan sesuatu tentang buku sebelum ia tewas.
Di kehidupan kedua ini. Silas berjanji akan mencegah kematian itu terulang. Dia masih mengingat bagaimana air mata Isabel yang menangisinya di tiang pancung. Karena itu, dia belum bertemu Isabel di kehidupan kedua ini. Silas masih belum siap.
Dia masih bimbang dengan senyum tipis Isabel di akhir kematiannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top