Chapter 2
"Aku pikir, kita tidak akan bertemu lagi." Pria itu berujar dengan senyum yang sangat menggoda. Seolah, dia sudah sangat terbiasa menghadapi wanita.
"Tentu saja," balas Leana tegas. "Aku pelayan di sini. Aku akan selalu bertemu Anda. Emm ...," Nada suara Leana perlahan melembut. "Aku minta maaf soal kemarin."
"Tidak apa. Aku tampan. Kau pasti terpesona. Aku bisa maklum."
Leana menatapnya tidak percaya. Pria ini, entah bagaimana. Terlihat seperti playboy dan Leana tidak tahu. Mengapa seorang playboy bisa menjadi seorang Priest.
"Jika kau pelayan di sini. Bisakah kau membantuku?"
Pria itu mengucapkannya dengan suara dan tatapan mata yang mengunci. Seolah dia yakin, setiap kalimat yang terlontar dari bibirnya. Tidak akan membuat wanita manapun mau menolak.
Leana cukup tidak menyukainya. Namun, dia harus bertindak profesional. "Tentu, Tuan butuh apa?"
"Buku-buku di sini tidak bisa dipinjam keluar dari kuil. Sungguh sayang, harus menghabiskan waktu membaca seharian di sini. Bisakah Anda merangkum beberapa bacaan untukku?"
"Tentu. Jenis bacaan seperti apa?"
Pria itu memberi Leana sebuah gulungan. Begitu gulungan itu dibuka, kertasnya jatuh dan menjalar di lantai.
"Kau bisa melakukannya, Nona?"
"Ya," ujar Leana lemah.
"Ya, aku yakin kau bisa."
Leana sama sekali tidak tertarik melihat senyum menggodanya. Mata biru itu seakan membelai Leana di dalam udara. Tatapan itu mungkin menjengkelkan. Namun, sangat hangat. Leana rasa dia sudah gila, jika berpikir pria itu menarik.
"Bagaimana saya harus mencari Anda? Saya tidak tahu, nama Anda."
Sial. Bertambah lagi pekerjaanku. Aku semakin jauh dari upaya menyelamatkan kaisar.
"Kau ingin memanggilku apa?" Pria itu balik bertanya pada Leana.
"Tentu saja Tuan. Sapaan yang terhormat. Maksudku Tuan yang terhormat."
"Ya, aku suka itu. Aku akan memberi upah untuk setiap rangkuman bacaan. Kita akan bertemu lagi. Jangan khawatir. Aku sendiri yang akan mendatanganimu."
Pria Yang Terhormat itu berlalu pergi meninggalkan Leana yang masih mematung. Dia tidak menuju pintu. Melainkan hilang ke dalam rak buku. Tepat saat punggungnya menghilang, Clara dan Priestes magang masuk dengan suara-suara ceria.
Langkah sang Saintess tiba-tiba terhenti. Dia menatap Leana dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Apa ada anggota tambahan?" ujar Clara dengan lembut. Pertanyaannya terdengar dua arah.
Leana buru-buru membungkuk. "Maaf Nona. Saya tadi bersih-bersih di sini. Saya akan segera pergi."
Dengan kepala masih menuduk. Leana berjalan dengan perasaan bersalah melewati Clara. Namun, entah mengapa. Ia bisa merasakan tatapan kebencian dari rombongan tersebut.
...
Kesibukan Leana semakin sulit di prediksi. Akhir-akhir ini, para senior memberinya banyak pekerjaan. Bahkan, tugasnya sebagai pengajar diambil alih oleh Clara. Hal itu terjadi, setelah mereka mengadakan pertemuan di perpustakaan.
Pria Yang Terhormat, tidak kunjung menampakkan diri. Sesekali, Leana berpura-pura sibuk di perpustakaan. Sayang, ia tidak bertemu dengannya. Perpustakaan menjadi lebih ramai dari biasanya. Karena akan ada festival musim panen. Semua orang di kuil sibuk melatih diri dan memberi yang terbaik.
"Leana," panggil Nyonya Miria saat Leana sibuk menjemur pakaian di halaman belakang kuil. "Malam ini ada upacara pemberkatan di kuil. Kau bisa bebas setelah menjemur. Bersenang-senanglah sampai malam. Lalu, selamat ulang tahun."
Leana terkesiap. Dia bahkan tidak tahu, kapan hari ulang tahunnya. Atau dia memang tidak tahu. Leana menerima sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah dari tangan Nyonya Miria. Di dalamnya, ada sebuah cincin berbatu ruby.
"Emm, Nyonya Miria. Terima kasih atas ucapan ulang tahunnya. Tapi, aku tidak bisa menerima barang semahal ini."
Leana yang berniat mengembalikan benda itu. Ditolak halus oleh Nyonya Miria.
"Ambilah anakku sayang. Kau pantas menerimanya dan aku ingin kau memakainya mulai sekarang. Aku cukup tahu diri dengan mengambil hari liburmu selama ini. Kuharap, itu membantu."
Leana terperanjat. Nyonya Miria memeluknya dengan sangat hangat. Menimbulkan perasaan nostalgia. Air mata Leana keluar tanpa sebab. Dia mendadak teringat kehidupan lamanya. Keluarga, teman-temannya dan hiburan yang ia habiskan seorang diri.
Dia menangis memikirkan semua itu. Hidup sendiri di negeri antah berantah. Dekapan Nyonya Miria bagaikan dekapan seorang ibu pada anaknya. Dan itu membuat tangis Leana semakin pecah.
...
Leana tidak peduli dengan berkat yang akan diberikan Clara pada orang-orang. Sejak sore, kuil penuh dengan para pengunjung. Semua Priest dan Priestess sibuk dengan pekerjaan ilahi.
Leana yang tiap hari bekerja di kuil. Justru memandang dewa Saas. Seperti memandang penulis yang siap dengan ketikan tangannya. Dia tidak percaya dewa. Karena semua itu hanya settingan dari kerangka outline.
Sebelum acara puncak. Leana ingin berjalan-jalan di kota. Dia ingin mencicipi aneka jajanan yang tersedia. Sepanjang jalan, banyak sekali gerai-gerai makanan, oleh-oleh, kerajinan tangan dan perhiasan. Beberapa anak-anak lari dengan gula-gula kapas aneka warna.
Pandangan Leana tertuju pada cumi bakar dengan saos mentega. Sebelum ia mengucapkan pesanannya. Seseorang membekap mulutnya dan menariknya ke belakang.
"Tidak sayang, kau tidak boleh makan. Ingat? Berat badanmu bisa bertambah."
Leana kenal suara itu. Dia mendongak ke samping untung melihat wajah Pria Yang Terhormat. Matanya yang sedalam samudra tersenyum jahil dan menyeret Leana sambil terus berkomentar ini itu.
"Jadi," ujar Pria Yang Terhormat saat membawa Leana ke sebuah celah bangunan sempit. "Bagaimana dengan ringkasannya?"
"Demi Dewa. Aku tidak membawa benda itu untuk bersenang-senang. Aku menunggumu di kuil setiap hari," kata Leana sambil mengeluarkan seluruh amarahnya.
Pertama, dia kesal karena pria itu muncul mendadak. Kedua, dia tidak berpikir akan ditagih dengan cara diculik seperti— diseret barangkali.
"Sayang sekali, apa kau bisa ke kuil untuk mengambilnya?"
"Tidak, ini hari tersibuk di kuil. Jika salah seniorku melihatku santai. Mereka pasti akan menyuruhku ini dan itu. Tunggu, bukankah Anda seharusnya memberi berkat dewa?" tanya Leana yang seolah tersadar.
"Aku? Untuk apa?"
"Karena kau seorang Priest, bukan? Maksudku Priest magang. Apa kau kabur dari Raihan?"
Senyum tengil di wajah pria itu mendadak lenyap. "Bukan, dan aku bukan bawahan Raihan."
"Kalau begitu, apa yang kau lakukan di perpustakaan? Jika kau bukan Priest—"
Bibir Leana terkunci oleh jari telunjuk Pria Yang Terhormat. Dia buru-buru menepis tangan tersebut.
"Kau penyusup? Jangan bilang, kau dari serikat dagang? Kau pasti ingin menjual salinan dari buku-buku kuil?"
Mendengar tuduhan itu, Pria Yang Terhormat tertawa lebar. Dia benar-benar tidak menduga, Leana akan menuduhnya seperti itu.
"Bukan."
"Lalu apa? Siapa kau sebenarnya?"
"Pria yang terhormat."
"Jangan berbohong."
"Kau yang memberiku nama."
"Tapi itu bukan namamu bukan?"
"Bukan."
"Jadi siapa namamu?"
"Apa perlunya kau mengetahui namaku?"
"Oh, bagus. Aku ingin mendaftarkannya pada akta pernikahan."
Tawa dari Pria Yang Terhormat lagi-lagi keluar. Dia benar-benar gemas dengan sikap Leana. Mendadak, tawa itu lenyap. Sebelumnya, dia tidak pernah selepas ini bersama orang asing.
"Baiklah. Bagaimana jika kita mendaftarkannya bersama Nona?"
Leana tidak menjawab. Dia menatap lurus wajah pria itu. Kemudian menginjak kakinya dan berlari kabur.
"Oh, gadis manis. Kau tidak akan bisa lari."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top