Chapter 11

Kereta kuda itu harusnya membawa Leana kembali ke kuil. Namun, Raihan sama sekali tidak menemukan Leana. Dia terpaksa pergi berkuda ke area perburuan dan mencari Clara yang duduk makan siang bersama shabti Silas.

Pemandangan itu jelas membantah rumor yang terjadi tadi pagi. Semua orang beranggapan bahwa Silas hanya bermain-main dengan wanita pelayan itu. Orang-orang mulai merubah opini mereka bahwa Clara lebih cocok di samping Silas.

Kendati demikian, di meja makan lain. Isabel dan para rekannya sedang merembuk siasat untuk menyingkirkan Clara dari dari sisi Silas.

"Dia dan pelayannya memang sama saja. Keduanya sama-sama berani menggoda Kaisar kita," seru salah seorang dari mereka.

Isabel mengangguk setuju. Baginya itu penghinaan. Dia tidak mungkin kalah saing dengan pelayan yang ia beri anggur dan gadis suci dari kuil.

"Setelah makan siang. Aku ingin kalian melaksanakan tugas masing-masing. Aku ingin rencana ini berhasil. Jika tidak, aku akan meminta ayah untuk tidak lagi mendukung bisnis kalian semua."

Tidak ada bantahan. Semua putri bangsawan mengganguk takzim. Sebagai seorang Duchess. Keluarga Isabel memiliki pengaruh kuat dalam perekonomian kenegaraan. Mereka memiliki pengaruh besar atas bisnis dan politik. Dan kuasa mereka, bisa menghancurkan bisnis keluarga lain.

Tatkala makan siang itu bubar. Kelompok wanita ini menghadang Clara yang ingin kembali ke tendanya.

"Ada apa?" tanya Clara dengan malas. "Aku harus istirahat. Tidak bisa melakukan pelayanan."

"Kau harus ikut kami." 

Clara menatap mereka curiga. Lalu menoleh ke belakang pada Nyonya Miria. "Tinggalkan aku. Jika aku tidak kembali dalam dua jam. Laporkan ada orang hilang pada Kaisar Silas. Jelaskan, aku bertemu orang-orang ini sebelum menghilang."

Para putri itu terkesiap dengan cara Clara melindungi diri. Mereka menatap cemas Nyonya Miria yang berpamitan pergi. Sekarang, mereka menjadi ragu membawa Clara bertemu Isabel.

"Ada apa dengan wajah pucat kalian? Semenit yang lalu, kalian semua tampak sangat percaya diri menghadangku."

Tidak ada tanggapan. Clara memutar bola malas. Dia menyuruh mereka membuka jalan. "Ayo, aku masih harus bersama Silas."

Kalimat itu membuat mereka bergerak. Clara di bawah sedikit jauh dari perkemahan. Tempat yang sama dengan malam mereka membuat Leana menjadi mabuk.

"Kau!" seru Isabel tanpa basa basi. "Kau dan pelayanmu sama saja. Sama-sama tidak tahu malu menggoda Silas di depan semua orang."

"Terima kasih. Kau butuh tindakan nekat agar ambisimu tercapai."

Isabel menggertakkan gigi tidak suka. "Aku ingin kau dan aku bersaing secara terbuka. Tentu saja, pelayanmu tidak dihitung."

"Tentu saja. Kudengar, Kaisar membawanya dalam dekapan dada. Itu juga penghinaan bagiku. Untunglah, Raihan akan mengurusnya."

Isabel memerintahkan teman-temannya menjauh dari Clara. Saintess itu melirik mereka dengan curiga. "Apa hanya ini yang kau bicarakan? Buang-buang waktu saja."

"Tidak," balas Isabel dengan seringai. "Aku tidak akan menang melawanmu dengan sihir. Jadi, aku punya sesuatu. Skandal."

Mata Clara terbelalak. "Skandal?"

"Ya, Skandal Nona Saintess. Aku tahu, kau pergi ke mana kemarin. Benar-benar skandal yang besar. Tidak kusangka."

Isabel tersenyum penuh kemenangan. Dia senang melihat kedua tangan Clara yang terkepal. "Apa jadinya, jika orang-orang tahu seorang Saintess mengunjungi seorang pria lajang lain, tetapi dia malah mengincar matahari kekaisaran."

"Oh, Nona Duchess." Clara mengatur nada suaranya agar tidak panik. "Aku punya banyak pria lajang yang kutemui. Sentuhanku membawa berkat. Tentu saja, siapa pun akan tertarik. Kau pasti iri, bukan? Aku bisa mendapatkan pria mana pun yang kuinginkan. Sayangnya kau tidak."

Tepat saat itu, tubuh Clara disiram dengan air seember. Dia basah kuyup dalam sekejap. 

"Kau! Beraninya kau!" Clara menunjuk Isabel dengan gusar.

"Kudengar kau alergi dengan air dingin. Bagus, kau akan segera pulang karena demam. Ironi sekali, pemberi berkat suci lemah dengan air dingin."

Clara bersin-bersin. Tubuhnya mulai menggigil di bawah matahari siang. Ini kelemahan yang ia benci dari dirinya. Isabel tersenyum puas. Dia mengajak semua rekan-rekannya untuk pergi meninggalkan Clara.

Di lain tempat, Leana diturunkan di sebuah rumah sederhana di ujung desa. Kusir tidak mengatakan apa pun. Dia hanya menyerahkan sebuah kunci kepada Leana dan beranjak pergi.

Sepanjang hari, Leana menunggu Nyonya Miria. Sayangnya, karena Clara menderita demam. Dia tidak bisa pergi meninggalkan kuil suci sampai urusannya selesai. Kendati demikian, Leana menyibukkan diri membersihkan tempat itu dan memasak makanan dari lemari penyimpanan di bawah lubung.

Saat malan tiba, desa itu tampak sangat sepi. Satu-satunya penerangan hanya cahaya lilin yang diletakkan Leana di kamar dan ruang depan. Dalam kesendirian itu, Leana memikirkan maksud kalimat Nyonya Miria tentang cincin yang diberikannya.

Leana yakin, cincin itu memiliki makna tersirat. Sialnya, cincin itu masih ada di kamar bersama barang-barangnya di kuil. Leana tidak bisa memeriksa cincin tersebut. Kemudian, terdengar ketukan pintu dari luar.

Leana diam saja mendengar ketukan tersebut. Dia tidak berencana membukanya sebelum suara Derek memanggilnya dari luar.

"Ya ampun. Kenapa lama sekali? Aku kedinginan di luar."

Derek memeluk dirinya sendiri. Kemudian mendekati Leana dengan mengendus. "Kau sudah mandi?"

"Kau pikir aku tidak mandi?" marah Leana. "Apa yang kau bawa malam ini? Bagaimana dengan Silas?"

"Bisakah kita membicarakannya nanti?" Derek memilih duduk di sebuah kursi kayu di tengah ruangan. "Hari ini aman. Aku ingin mendengar ceritamu dari buku-buku yang belum dibahas."

Leana mengganguk. Sebelumnya, dia membuatkan susu hangat untuk Derek dan membicarakan buku-buku yang dibacanya. Namun, tidak banyak yang Leana bahas. Sisanya ia lupa. Dia perlu membaca ulang buku tersebut.

"Apa informasi dalam buku itu berguna?" tanya Leana.

"Ya. Aku perlu beberapa gambaran."

"Sayang sekali. Aku dipecat dari kuil. Nyonya Miria memintaku tinggal di sini, selama dia membereskan masalahku."

Alis Derek bertaut. "Raihan memecatmu?"

Leana mengangkat bahu. "Kudengar seperti itu. Aku membuat malu kuil suci. Aku digosipkan menggoda Kaisar Silas. Aku benar-benar malu. Aku tidak sanggup mengangkat wajah di depan mereka."

"Tidak." Derek berbicara pada dirinya sendiri. "Kau harus kembali ke kuil. Aku akan memikirkan caranya."

"Mustahil. Kau tidak mengenal Raihan."

"Oh, aku kenal baik sekali dengannya."

"Tidak, kau tidak mengenal Raihan. Dia menakutkan."

Derek tidak tahan mendengar kalau Raihan menakutkan. Dia tertawa renyah melihat sikap Leana. "Jadi, lebih menakutkan Raihan daripada aku?"

"Emm, kurasa iya."

Secara tiba-tiba, Derek melompat ke sebrang meja. Dia menarik Leana untuk berdiri bersamanya. "Kau yakin?"

"Derek, berhenti menggodaku."

"Hm, kau yakin? Kupikir hubungan kita spesial. Kau menginginkanku dan aku menginginkanmu dalam keintiman sepasang kekasih. Dari pertama kita berjumpa. Kau menyukaiku. Aku ingat tatapanmu pada lengannku?"

Lengan yang membuat iri wanita manapun. Leana ingat kalimat tersebut. Derek benar. Dia naif kalau menyangkalnya. 

"Aku mau tidur," kata Leana agar Derek menjauh.

"Tidur bersama? Ide bagus."

Leana menjerit tertahan saat Derek membopongnya. Di saat itu juga, Leana terkesiap. Lengan kokoh yang menompang berat tubuhnya dan suara detak jantung dibalik tunik Derek. Ditambah, aroma maskulin yang tercium. Itu menyadarkan Leana akan satu hal.

Leana masih memandang Derek saat pria itu meletakkannya hati-hati di atas ranjang. Bahkan, gerakan itu sama persis. Binar mata hijau Leana berubah syok. Jantungnya berdebar keras. Dia sendiri mulai kesulitan bernapas.

"Lea? Kau baik-baik saja?" Derek menangkup pipi Leana. Wajah gadis itu berubah pucat di bawah cahaya bulan.

Leana tidak menjawab. Semakin ia panik, dia semakin sulit bernapas. 

"Demi Dewa! Leana apa yang terjadi padamu?"

Derek panik. Dia berlari keluar dari kamar. Menyambar air dari teko dan meminumnya. Kemudian kembali ke kamar dan meminumkan air tersebut dari mulutnya ke mulut Leana.

Tangan Leana mencenkram kerah tunik Derek sangat kuat. Saat wajah Derek menjauh. Leana menarik napas dalam-dalam. 

"Kau membuatku takut, Lea. Aku takut kau pergi. Aku bahkan tidak bisa jauh darimu."

Derek mengatakan kalimat itu seperti mantra untuk dirinya sendiri. Dia menarik Leana bangun dari atas ranjang dan memeluknya dengan kuat. Dia takut kehilangan Leana. Sebaliknya, Leana semakin takut padanya.

Bibir Derek kembali menempel di bibir Leana dengan kokoh. Dia menghirup wangi tubuh Leana seolah itu adalah sumber vitamin yang ia butuhkan. 

"Leana, aku menginginkanmu. Aku mendambakanmu, aku ingin bercinta denganmu. Aku ingin merasakan tubuhmu. Apa kau juga?"

Leana tidak menjawab. Derek tidak peduli, tubuh Leana gemetar dan Derek membayangkan bagaimana, jika tubuh Leana benar-benar bergetar di bawahnya.

"Derek, kau?" Leana berusaha mestabilkan detak jantungnya. Derek hanya bergumam lirih sambil mengecup punggung tangan Leana.

Leana berdebat dengan benaknya. Dia ingin memastikan bahwa itu benar. Sialnya, mata cokelat Derek membiusnya. Tangan Leana menjelajahi wajah Derek. Tidak yakin, bahwa ini wajah yang sama dengan Silas. Mereka tampak berbeda namun terlihat mirip.

Leana memberanikan diri mengecup bibir Derek. Bertanya-tanya, apakah dia menolak. Sayangnya tidak. Derek mengerang dan bergeming atas tindakan tersebut. Dia mengambil alih ciuman Leana yang tampak malu-malu. Derek kembali menguasai dan melumat bibirnya.

Tubuh Derek menekan tubuh Leana ke atas tempat tidur. Sehingga dia bisa merasakan puncak payudara Leana di dadanya. Tangan Derek secara brutal merobek pakaian Leana. Dia tidak ingin berusaha payah membukanya terlebih dulu. Derek tidak bisa berhenti. Dia menuntut Leana menjamin adik kecilnya yang dipecahkan beberapa hari lalu.

Leana tidak yakin. Dia menyukai Derek atau Silas. Itu membingungkan. Ciuman mereka menjadi lebih intim. Mereka tampak tidak menggunakan busana sama sekali.

"Aku ingin melakukannya, Leana. Katakan padaku apa kau mau atau tidak?"

Leana gugup. Gairah tubuhnya masih menginginkan Derek. Sentuhan Derek di payudara Leana membuatnya melengkungkan punggung dengan erangan sensasi yang begitu seksual. Tubuh Leana menggeliat di bawah tubuh Derek.

Derek masih berlama-lama menjelajah setiap inci tubuh Leana. Membiarkan tanda-tanda kepemilikan di sana-sini. Usapan lembut lidah dan belaian tangan Derek membuat Leana hilang fokus.

Akhirnya, Derek menyatukan tubuh mereka. Leana mengerang dan menjerit dalam setiap hentakkan Derek.

"Jangan tutup matamu, Lea. Lihat aku."

Leana membuka kelopak matanya. Wajah Derek memerah semu dan berkeringat. Dia tampak sangat menggoda dipandang dari bawah.

Tanpa mengalihkan pandangan. Leana membiarkan pria itu memerangkap kedua lengannya dan mengangkatnya ke atas kepala Leana. Derek masih menghetak. Memaksa Leana mendesah sambil terus menatapnya. 

Derek tidak mengizinkan Leana mengalihkan pandangannya. Dia ingin, Leana mengingat jelas malam panas mereka. Tempo gerakan Derek semakin meningkat. Menciptakan irama yang tidak tertahankan. Keduanya mencapai puncak kenikmatan dengan perasaan berdebar.

Bahkan, saat Leana ingin terpejam. Derek tidak mengizinkannya. Derek ingin Leana menatapnya dan begitu pula sebaliknya. Derek ingin merekam wajah Leana yang mendesah nikmat di bawahnya.

Malam sudah larut saat mereka menyelesaikan pertarungan di atas ranjang. Derek tidak menghitung berapa kali mereka mencapai puncak kenikmatan dan rasanya, Derek tidak ingin berhenti.

Dan tidak bisa egois. Leana terlalu kelelahan di bawahnya. Wanita itu tertidur dengan wajah sembab. Kemudian terbangun, tatkala merasakan berat tubuh Derek menjauh dari kasur.

"Apa aku membuatmu terbangun?" tanya Derek hati-hati.

"Kau mau pergi?"

"Jika kau ingin aku tetap tinggal. Aku bisa melakukannya untukmu."

Leana bangun dari atas ranjang. Terduduk dengan selembar selimut yang menutupi tubuhnya.

"Derek. Aku mencintaimu."

Derek mengerjab heran. "Ya, aku juga."

"Apa kau bisa melakukan sesuatu untukku?"

"Tentu."

"Aku tidak mau ketemu Kaisar Silas lagi. Tidak lagi. Bisakah kau menjamin itu?"

Emosi di wajah Derek berubah. Dia kembali menarik diri mendekati Leana. "Apa maksudmu? Bukankah kau ingin menyelamatkan Kaisar?"

"Aku hanya ingin menyelamatkanmu sekarang."

"Aku baik-baik saja, Leana. Kau tidak perlu mencemaskan itu." Derek merasa ada yang aneh dengan sikap Leana. Ambisi dan tekadnya seolah sirna.

"Apa yang terjadi?" tanyanya lebih lembut.

"Aku hanya ingin dirimu, Derek. Jadi, aku tidak mau melihat Silas lagi."

"Apa karena kejadian tadi pagi?"

Leana mengganguk.

"Jangan khawatir. Itu tidak akan terjadi lagi. Aku janji."

"Mengapa kau sangat yakin?" Pancing Leana. "Aku akan memberitahumu cara menyelamatkan Kaisar. Tapi sebagai gantinya, jangan buat aku bertemu dengannya lagi. Bisakah kau membawaku ke luar negara?"

"Tidak!" Amarah Derek terpancing. "Aku tidak akan membiarkan itu. Kau bisa tinggal di desa manapun di Oxtride dan aku jamin. Silas tidak akan bertemu denganmu lagi. Kita akan menikah kalau kau mau. Kumohon, Leana. Jangan minta aku untuk jauh darimu."

Leana tersenyum getir. Jika Derek dan Silas adalah orang yang sama. Leana akan memilih Derek. Dia merasa bodoh, karena berhasil dipermainkan oleh Silas. Besar kemungkinan, dialah yang memicu kudeta di kekaisaran. 

"Leana. Kau dengar aku?" Derek mengangkat dagu Leana agar wanita itu menatapnya. "Kau dan aku akan menyelamatkan Silas."

"Bagaimana, jika kau dan aku mengabaikannya?" tanya Leana balik. "Mari lupakan orang yang sama sekali tidak mengenal kita, Derek. Apa kau bisa melakukannya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top