SC - 14
Bel pulang sekolah berdering. Menebarkan kebahagiaan pada seluruh anak murid yang akhirnya bisa bernafas lega karena lepas dari pusingnya memikirkan soal-soal dari Bapak dan Ibu Guru. Usai disiksa selama setengah hari lebih, mereka kini telah mendapatkan kebebasan mutlak.
Kim Jeongin memasukan buku-buku ke dalam ransel miliknya. Mengecek lebih dulu mapel apa saja yang terdapat pekerjaan rumah kemudian memberikan tanda. Dengan begini, ketika belajar bisa menjadi lebih mudah karena pekerjaan rumah pertama yang harus dia kerjakan sudah diberikan tanda.
Teman sebangku Jeongin-Byun Rawon sudah selesai memasukan buku lebih awal. Menepuk sekali bahu kiri kawannya, "Aku pulang dulu, Jeongin-ah!"
"Hati-hati dijalan."
Kwon Lina-ketua kelas, datang mendekati meja Jeongin. Meletakkan kertas titipan dari Guru Seni ketika tidak sengaja bertemu dengan Lina semasa jam istirahat. "Kim Jeongin, ini surat dari Guru Seni. Tadi Kepala Sekolah menitipkan amanah lewat kaka kelas, katanya beliau memintamu datang sebentar ke ruangannya untuk mendiskusikan tentang lomba matematika bulan depan."
Jeongin mengangguk. Menarik selebaran kertas permintaan izin dari orang tua atau wali murid yang bersangkutan. Ia merahasiakan hal ini dari Kim Tzuyu dan Kim Daehyung karena berpikir akan menjadikannya sebagai kejutan di hari ulang tahun Kim Daehyung. Sayang sekali, Appa-nya meninggal dunia sebelum dia bisa memberikan kejutan ini.
Sekian lama dia berusaha, akhirnya bisa ikut lomba melukis dan matematika-mapel kesukaannya.
"Terima kasih, Lina-ya. Kalau begitu aku mau ke ruangan kepala sekolah dulu. Kau hati-hati, selamat sampai rumah, ya."
Kwon Lina menyatukan kedua tangannya ke belakang tubuh. Mengikuti Kim Jeongin dari belakang. Padahal siswa-siswi lain sudah lama pulang bersama jemputan mereka. Tetapi Kwon Lina terus mengikuti Jeongin sampai ke ruangan kepala sekolah.
Hal tersebut sontak memicu keheranan pada pikiran Jeongin. Untuk apa anak perempuan ini mengikutinya tanpa berniat pulang?
Kwon Lina menundukkan kepala dalam, menyembunyikan kedua pipi berisi merah merona. Kakinya mengetuk lantai beberapa kali, mencoba menyamarkan perasaan gugup. Namun kebisuan Kim Jeongin justru memperkeruh perasaan gugup Lina. Anak perempuan itu mendongak, menatap lurus pada sepasang mata karamel lembut milik anak laki-laki di depan.
"Kim Jeongin."
"Ya?"
"Mau menikah denganku?"
Tidak berhati-hati sedikit saja. Kim Jeongin pasti sudah tersandung kakinya sendiri lalu terjerembab memasuki selokan. Kwon Lina bilang apa tadi? Menikah? Anak sedini mereka membahas persoalan menikah? Bukannya pembahasan ini terlalu dewasa bagi usia kecil mereka?
Lina khawatir melihat keterkejutan terlihat jelas di wajah rupawan Jeongin. Sepasang tangan kecilnya meraih salah satu lengan anak laki-laki tampan yang terkenal baik hati dan lembut serta pintar dalam berbagai hal. Sebenarnya Lina mengutarakan ajakan menikah karena tidak mau dijodohkan dengan anak laki-laki teman Eomma karena keduanya belum saling kenal.
Kwon Lina menolak mentah-mentah perjodohan dari orang tuanya. Anak-anak orang kaya sepertinya sudah terbiasa dengan kalimat perjodohan demi membangun relasi bisnis keluarga supaya semakin berkembang ketika tahun pun semakin bergerak maju dan teknologi terus menemukan pembaharuan.
Lina tidak mau anaknya kelak harus melihat dia bertengkar seperti Appa dan Eomma yang juga menikah atas landasan perjodohan melalui orang tua masing-masing tanpa adanya cinta. Perawatnya sering berkata bahwa dia harus menikahi laki-laki yang dia sukai. Memang terlalu dini bagi mereka yang notabenenya masih anak-anak.
Belum pantas mengenal apa itu cinta.
Hanya saja Lina selalu merasa nyaman dan senang ketika melihat Jeongin, baik itu ketika anak laki-laki tersebut tersenyum, berbincang ramah bersama anak kelas lain, membantu teman mengerjakan soal yang sukar dimengerti. Kim Jeongin adalah anak baik yang selalu sopan kepada anak perempuan, sebisa mungkin menjaga batas wajar kecuali dengan Soya.
Jujur Kwon Lina sempat cemburu karena Soya bisa bebas menyentuh Jeongin tanpa ditolak. Dulu Lina pernah mencoba untuk memeluk Jeongin dengan alasan sedih nilai ujiannya menurun, tetapi Jeongin langsung menghindar dan membuat alasan masuk akal.
"Kim Jeongin-"
"Kwon Lina. Kita masih kecil, tidak sepantasnya membahas masalah tentang pernikahan. Hubungan pasangan suami-istri hanya boleh dibahas oleh orang dewasa."
"T-tapi .... Lina menyukai Jeongin."
"Lina menyukaiku karena aku baik, benar?"
Sepasang mata bundar Kwon Lina melebar. Terkejut pikirannya bisa ditebak. "Dari mana Jeongin tahu?"
"Sebenarnya aku sering mendapatkan surat cinta dari kakak kelas, kebanyakan dari mereka menyukai aku karena aku baik. Tapi Lina harus mengetahui satu hal, seseorang manusia yang terlihat baik belum tentu manusia baik sungguhan baik dari dalan maupun dari luar. Sifat manusia terlalu membingungkan untuk ditebak sebab manusia pandai memanipulasi sifatnya sendiri di depan orang lain."
Kalimat Kim Jeongin terlalu berputar-putar. Kwon Lina kurang paham. Jadi memilih bertanya untuk mendapatkan kebenaran, "Aku tidak paham."
Membuang nafas lelah. Kim Jeongin membelai puncak kepala Kwon Lina secara teratur selama beberapa detik. Kemudian berkata memberikan nasihat lemah lembut, "Lebih baik Lina pulang ke rumah dan beristirahat. Ketika Lina sudah beranjak dewasa, Lina akan mengerti."
Mengerucutkan bibirnya kesal. Kwon Lina mengeluarkan 'Hmph.'
"Mentang-mentang Jeongin sangat pandai, kau menganggap aku sebagai anak kecil."
Keributan dua anak kecil itu terhenti usai Kepala Sekolah keluar dari ruangan setelah selesai melakukan rapat bersama wakil kepala sekolah. Beliau segera menuntun Jeongin memasuki ruangan dan membahas mengenai latihan khusus dari sekolah untuk Jeongin sebagai persiapan mengikuti lomba melukis dan matematika bulan depan.
Diskusi memakan waktu setengah jam. Kim Jeongin keluar dari ruangan kemudian berjalan menuju resepsionis, meminta dihubungkan dengan telefon kediaman Kim. Lalu menunggu jemputan di depan gerbang sekolahan.
Sinar terik matahari tidak terasa menyengat karena bulan ini masih memasuki bulan musim dingin. Jeongin mengeratkan jaket bulu pada tubuhnya. Duduk tenang menunggu jemputan datang yang mana paling lama mungkin tiga puluh menit, jika tidak macet mungkin sekitar lima belas menit jemputan sudah datang.
Seorang pria asing tiba-tiba datang dan mengambil tempat duduk tepat di dekat Jeongin. Mengulurkan minuman berupa es kopi dalam wadah berbentuk cup. "Anak kecil, ini untukmu."
"Ahjussi, kau ingin membuat aku flu? Sinar matahari sedang panas dan suhu udara cukup rendah. Jika aku meminum minuman dingin, besok aku bisa terkena flu mengingat kekebalan tubuh anak kecil lebih rentan dari pada orang dewasa."
Sudut bibir pria asing tadi tertarik ke atas, menarik kembali cup berisi es kopi. "Dari cara bicaramu. Kau seperti bukan anak berusia kisaran sepuluh sampai dua belas tahun."
"Eomma bilang tidak baik berbicara terlalu sering bersama orang asing," sahut Jeongin, keluar dari topik awal.
Menegak air kopi, pria berjaket putih tersebut kembali membalas perkataan dari bocah di sampingnya, "Lalu kenapa kau menjawab kata-kataku? Bukannya langsung berlari masuk ke dalam sekolah? Siapa tahu aku adalah penculik."
"Penculik bodoh dari daerah mana yang berani melakukan aksi di siang bolong ketika suasana di lingkungan sekitar gedung masih sangat ramai. Bahkan tidak memakai topeng untuk menutupi identitas wajah. Ahjussi bukan penculik. Aku tebak Ahjussi adalah pengangguran santai."
Tertawa terbahak-bahak. Park Dongwoon sampai mengeluarkan air mata saking lucu dan menyenangkan bisa bertukar beberapa patah kata dengan anak seperti Kim Jeongin. "Tebakan mulutmu sangat akurat. Aku hanya pengangguran santai."
Kim Jeongin mendongak, menatap intens wajah rupawan Park Dongwoon, "Aku tidak bilang Ahjussi adalah pengangguran santai, aku sekedar menebak saja. Ahjussi ingin tahu apa tebakan di kepalaku mengenai profesimu?"
"Katakan, bocah."
"Wajahmu terawat bersih, aroma tubuhmu mengeluarkan wangi parfum mahal, rambut hitam tampak mengkilat dan tersisir sangat rapi. Pakaian bersih serta berkualitas tinggi. Tata cara duduk elegan dan sopan, pandai menyembunyikan karakter asli dibalik keramahan. Aku tebak Ahjussi adalah pria berstatus tinggi-
"-Tidak ada pengangguran santai memakai pakaian mahal dan memiliki tampilan seperti seorang Tuan Muda dari keluarga konglomerat. Kecuali Ahjussi adalah Tuan Muda dari keluarga kaya yang sedang menyamar sebagai pengangguran santai untuk mendekatiku. Tidak ada kebetulan tanpa adanya alasan dibaliknya dalam kehidupan. Hukum sebab-akibat selalu berlaku. Jadi katakan apa mau-mu sebelum aku memanggil satpam."
Park Dongwoon mengacungkan dua jempol ke depan, menatap memuja pada bocah laki-laki berusia sepuluh tahun menurut informasi dari anak buahnya. Jeongin ini benar-benar emas. Pemikirannya dan analisis begitu cepat dan kecepatan tanggap terhadap segala jenis petunjuk.
"Karena aku sudah ketahuan. Aku tidak mau melakukan akting lebih lama lagi." Tandas pria Park, kemudian melanjutkan, "Aku ingin kau bergabung denganku. Menjadi mata dan penasihat untukku. Tertarik?"
"Itu saja?"
"Benar. Bagaimana menurutmu? Aku bisa memberikan banyak uang dan perempuan cantik kalau kau mau bergabung denganku. Aku juga berjanji akan mencarikan guru pemandu terbaik untuk mengasah bakat istimewamu."
"Tidak minat. Aku tidak ingin tampak menonjol. Aku hanya ingin menjadi putra Ibuku."
"Ah, satu hal lagi. Ibumu sangat menarik. Ayahmu sudah meninggal dunia, 'kan? Apa pendapatmu tentang aku jika menjadi Ayah barumu suatu saat nanti?"
"Aku merasa ..... jijik."
Sial, anak ini selain berotak cerdas ternyata juga bermulut racun. Belum pernah ada seseorang berani menolak dia secara terang-terangan! Pria tampan kaya raya memiliki segalanya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top