The Girl on Station

Keira menengadah, memperhatikan sebuah jam besar yang berada tak jauh darinya. Jam itu memiliki model seperti pada abad 20, warna putihnya sudah mulai kusam sedangkan warna hitamnya tampak sedikit mengkilap. Angka pada jam itu hanya menggunakan angka romawi dan jumlahnya hanya ada empat buah, sisanya hanya berupa titik-titik tebal. Jam di sana menunjukkan pukul 6.15 yang seharusnya ponsel Keira menampilkan notifikasi pesan atau ada panggilan masuk. Tetapi, ketika ia mencoba menyalakan ponselnya tak ada satu pun pesan atau panggilan yang masuk.

Perasaannya mulai tidak enak, entah kenapa ia juga tidak ingin beranjak dari sana. Suara denting lonceng tertangkap oleh telinganya, suara itu kemudian disusul oleh suara lain yang berasal dari speakers yang ditempatkan di mana-mana. Keira kembali menoleh, ia bisa lihat banyak orang berdiri di peron jalur dua. Seorang petugas meniup peluitnya yang membuat beberapa orang menyingkir, beberapa orang terlihat berlarian dengan terburu-buru sembari membawa barang-barang mereka.

Keira tahu kereta menuju Distrik 12 sudah tiba, kereta yang seharusnya mengantarkan ia kembali ke rumahnya. Tetapi, ia tidak membeli tiket untuk kembali, ia masih menunggu seseorang. Bagi Keira, janji harus ditepati dan ia sudah sangat merindukan orang itu. Hampir setahun mereka tidak bertemu, saling mengirim pesan melalui surel mungkin mengobati rindu itu meski tidak memiliki efek yang cukup baik. Pertemuan ini akan ia abadikan dalam buku hariannya, ia juga sangat menantikan momen di mana mereka akan jalan-jalan mengelilingi alun-alun Distrik Pusat dan menikmati kuliner di malam hari.

Kereta putih gading itu kemudian memunculkan suara, menandakan bahwa kereta siap berangkat. Meninggalkan Keira di sana bersama beberapa orang yang akan menuju Distrik lain. Ia kembali memeriksa ponselnya, namun sia-sia karena yang ditunggunya tak kunjung mengirimi pesan. Padahal mereka sudah berjanji saling memberi kabar, namun orang itu masih belum memberinya kabar.

Akhirnya, Keira memasukkan ponselnya ke dalam saku celana denim yang ia pakai. Gadis itu berjalan menuju sebuah toilet yang letaknya tak jauh dari tempat ia duduk. Toilet itu begitu sepi, lampunya agak redup di setiap biliknya, dan pintunya berderit keras saat Keira mendorongnya. Mungkin bangunan stasiun itu terlihat kuno dari luar, akan tetapi terlihat modern di bagian dalamnya. Termasuk toiletnya yang terlihat lebih bagus dibanding bangunan depannya.

Setelah selesai urusannya di toilet, Keira kembali ke deretan bangku kosong yang bisa ia duduki. Perasaannya membuat dia ingin membuka ponselnya, kali ini ia berharap lagi ada pesan masuk dari orang itu. Sayangnya, pesan yang masuk justru berasal dari temannya di Distrik 12. Bukan yang diharapkannya, ia mengembuskan napas kesal. Jam di stasiun juga di ponselnya sama, sudah jam 7.00 waktu setempat. Ia sudah duduk di sana nyaris sejam demi menunggu kabar pasti dari orang itu.

Lagi-lagi, suara speakers terdengar yang membuat orang-orang tersisa berdiri menuju peron jalur 1. Keira mendengkus sebal, tubuhnya merosot di kursi dan ia membuka aplikasi pesan. Kereta yang akan mengantarkan orang-orang menuju Distrik 9 sampai ke Distrik 1 sudah tiba, itu artinya tidak lama lagi kereta berikutnya adalah kereta yang akan mengarah ke Distrik 11 sampai Distrik 19. Kereta yang bisa membawanya pulang jika saja Keira berani melanggar janji itu.

Benar saja dugaan Keira, kereta yang bisa mengantar ia pulang memang tiba sesuai jadwal. Itu artinya ia telah melewatkan dua kereta yang melewati Distrik 12. Ingin sekali Keira mengirimi orang itu pesan bahwa dia membatalkan janji, namun ia berpikir ulang karena takut orang itu sudah nyaris tiba di Distrik Pusat. Ia menghargai usaha orang itu untuk menemuinya di sini, di satu-satunya Distrik terbesar dan paling indah karena penuh dengan bangunan bersejarah.

Akhirnya Keira menyalakan ponselnya lagi setelah ia selesai menyaksikan kereta pergi dari stasiun, ia kemudian menekan kontak orang itu, mengetik kata demi kata dan menekan panah biru yang ada di samping kanan kotak pesan yang sudah ia tulis. Tidak mau menunggu balasan dari orang itu, ia kemudian menyalakan musik dari aplikasinya. Sebuah eraphone terpasang di telinganya, sambil santai mendengarkan musik Keira pergi ke mini market yang tersedia di dalam peron untuk membeli secangkir cokelat panas. Banyak orang yang bilang cokelat panas bisa mengatasi rasa jengkel, kebetulan sekali ia sedang jengkel karena orang itu belum juga datang.

Setelah membayar cokelat panasnya, Keira kembali ke tempat ia duduk sebelumnya. Di sana ia tak sengaja melihat sesuatu, seseorang dengan jubah hitam dan masker yang menutupinya. Orang yang berpakaian aneh menurut Keira, orang itu juga berdiri di peron 5 di samping kereta yang semua mesinnya mati. Mata merah orang itu menatapnya tanpa berkedip, membuat ia sedikit terkejut. Tetapi, Keira tahu kalau orang ini menampakkan dirinya, berarti ada sesuatu yang harus dituruti Keira.

Gadis itu berdiri, dengan secangkir cokelat panas di tangan kirinya, earphone yang dipasang di telinga kanannya ia lepas. Kepalanya bergerak ke sekeliling memastikan tak ada satu pun orang yang melihatnya berjalan menuju peron 5. Langkahnya terlihat ringan dan santai, angin dingin tiba-tiba saja berembus dan menusuk dirinya yang hanya mengenakan kemeja tipis. Kemudian, saat Keira hendak melewati pagar yang memisahkan peron 3 dan 4, pagar itu bergerak menutup. Es merambat sehingga membekukan setiap inci pagarnya, membuat Keira mendengkus.

"Sekarang apa lagi, Luc?" tanya Keira dengan suara keras.

Luca bergerak menghampiri Keira dengan sangat cepat, hanya dalam waktu kedipan mata Keira. Gadis itu agak mundur saat sosok tinggi bermasker dan mata merah itu berada di hadapannya, pupil matanya melebar kemudian mengecil kembali. "Kau tahu apa yang kuinginkan."

Keira membuka mulutnya sedikit, diikuti kerlingan mata. Gadis itu menyodorkan cokelat panas di tangannya, meski hanya tersisa sedikit. "Ambil ini."

"Ck, kau pikir aku suka cokelat," sinis Luca seraya mengambil cangkir kertas dari tangan kiri Keira. Ia menegak habis cokelat itu dan mengembalikan cangkir kertas itu pada Keira. "Penuhi saja permintaanku atau kita akhiri saja perjanjian itu."

"Baik, baik, nanti tengah malam saja." Keira memutar tubuhnya, berjalan menjauhi pagar dan kembali duduk di deretan bangku. Saat ia kembali menoleh pada pagar tadi, orang bermata merah itu sudah menghilang, pagarnya kembali terbuka dan genangan air berada di bawahnya.

Keira tidak peduli, sekarang ia hanya perlu kembali mendengar musik dan memeriksa apa pesannya di balas. Tetapi, ia harus kecewa lagi mendapati bahwa pesannya tidak dibalas, membuat ia mengumpat dalam hati.

Ia menyimpan ponselnya di dalam saku, menyadarkan tubuhnya hingga kantuk menyerang karena alunan musik.

❇❇❇

Keira terbangun saat ia mendengar seseorang memanggilnya, penglihatannya masih buram dan belum fokus. Gadis itu bergerak perlahan, ia terduduk lesu, rambutnya berantakan dan earphone-nya terlepas dari telinganya, menjuntai di antara kakinya. Setelah penglihatannya fokus kembali, ia teringat apa yang terakhir ia lakukan. Seketika gadis itu panik dan mengeluarkan ponselnya, di saat yang bersamaan orang yang tadi membangunkannya kembali berbicara.

"Stasiun akan tutup, Nona tidak pulang?" tanya petugas dengan baju putih dan celana bahan berwarna navy.

Tetapi, Keira mengabaikan pertanyaan itu. Ia membuka aplikasi pesan, jari-jarinya bergetar saat ia akan menekan kontak yang mengiriminya pesan empat jam yang lalu. Matanya terbelalak saat ia melihat sepintas sebelum akhirnya ia membuka isi pesan tersebut.

Keira, maaf, maaf sekali. Aku tidak bisa menemuimu. Tadi aku terlambat dan keretanya sudah pergi, lalu aku memutuskan untuk menaiki bus. Sayangnya atasanku menelpon dan menyuruhku kembali ke kantor. Mungkin lain kali kita jalan-jalan, aku baru bisa mengabarimu sekarang.

Dikirim oleh Zota. 8.03 pm

Keira mengumpat dalam hati, ia kemudian mendongak menatap petugas stasiun yang sedaritadi mengoceh. "Kapan kereta berikutnya menuju Distrik 12?" potongnya yang membuat petugas itu menoleh ke arlojinya. "Atau tidak ada?" tambah Keira.

"Sepertinya tidak ada, hanya ada kereta menuju Distrik 9 sampai Distrik 5," ucap petugas itu sambil meninggalkan Keira.

Gadis itu pasrah, temannya tidak jadi datang dan ia malah tertidur di peron. Tak ada kereta yang bisa membawanya pulang, bukan hanya kereta tetapi semua angkutan umum sudah tidak beroperasi lagi di tengah malam. Ia berjalan gontai ke arah pintu keluar, berdiri di depan stasiun sambil melihat keadaan yang sudah sangat sepi. Suara jangkrik dan sinar rembulan menemani kala itu.

Ia tidak tahu harus ke mana, kalau ia memutuskan jalan kaki sampai Distrik 12 bisa memakan waktu hingga pagi. Keira juga tidak mau menunggu di depan stasiun, ia nantinya akan dikira gelandangan. Ia bahkan tidak mau menginap di hotel terdekat, uangnya tidak cukup.

Semilir angin dan tercium seperti es membuat Keira terbelalak, gadis itu menelan salivanya susah payah. Ia ingat bahwa ini tengah malam dan Luca pasti menemuinya. Degup jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang, napasnya agak terbata-bata dan kakinya bergetar. Ia tahu siapa yang sedang melangkah di belakangnya.

"Luca," sapa Keira dengan pelan nyaris seperti cicitan.

"Sekarang tengah malam," ucap Luca singkat. Keira tahu maksudnya, orang ini tidak suka banyak bicara. Gadis itu hanya mengangguk tanpa berkata-kata, membuat Luca mendengkus sebal. "Kukira kau suka menepati janji."

"A-apa?" Kaki Keira bergerak pelan, ia mencoba mundur dan menjauh dari Luca.

"Kau tidak pernah mengecewakanku." Luca menyadari gerakan pelan Keira, iris merah itu bergerak dari bawah ke atas seperti memindai tubuh Keira.

"Dia tidak jadi datang, dan aku tertidur di peron saat pesanku dibalas." Gadis itu menatap mata merah Luca, ada perasaan takut saat orang itu menatapnya datar namun tak berkedip. "A-apa ini artinya kau tidak akan memberiku serum lagi?" Keira menggigit bibirnya sendiri setelah ia melontarkan pertanyaan yang jelas-jelas sudah ia ketahui jawabannya.

"Untuk apa kau memerlukan serum itu kalau kau bisa hidup abadi?" kata Luca seraya melepaskan masker yang menutupi wajahnya.

Baru kali ini, Keira melihat wajah asli Luca. Ia tidak pernah melihatnya karena orang itu selalu menolak menunjukkannya. Wajahnya nyaris seperti malaikat, hanya saja kulitnya yang pucat dan mata merah membuat Luca terlihat menyeramkan. "Perjanjian kita berakhir."

"Baiklah," jawab Keira sembari memutar tubuhnya. Ia berjalan menjahi Luca, mulai detik itu ia akan kehilangan impiannya. Tidak mudah mendapatkan serum keabadian selain bekerja sama dengan orang yang sangat sulit untuk diajak bekerja sama.

Setelah Keira menjauh, Luca bergerak cepat dan menangkap gadis itu. "Kau bisa abadi tanpa serum." Orang itu menjilat taringnya, sedangkan Keira menggeliat untuk melepaskan diri. Gadis itu menjerit saat taring itu berhasil tertancap di lehernya, menghisap darahnya. Membuat Keira terkulai lemas dan mulai kehilangan kesadarannya. Lama-lama kulit Keira juga pucat, tak ada lagi suara detak jantung dari dalam tubuhnya, tak ada lagi embusan napas hangat dari hidungnya.

Luca melepaskan taringnya yang kemudian menatap tubuh Keira sembari berdecak, ia jatuhkan begitu saja tubuh gadis itu hingga tergeletak di dekat kakinya. Luca mengeluarkan sebuah arloji dari dalam saku mantelnya. Memandangi arloji dalam diam dan alunan jarum jam terdengar menyenangkan di telinganya. Tiga puluh detik, Luca mendengar sebuah suara yang lebih mirip seperti simfoni baginya, suara detak jantung.

Kelopak mata Keira terbuka, suara napas yang seperti habis tercekik terdengar, disusul dengan sebuah umpatan yang keluar dari mulutnya. "Sialan kau!"

❇❇❇

Cerpen ini terinspirasi dari momen nyata yang saya alami. Saya sudah sampai stasiun, taunya temen gak jadi dateng. Tenang kok, saya gak ketiduran di peron wkwk.

Short story by Ravenic Today

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top