Kiss of Death (2)

There is only one god, and his name is Death.
What do we say to the god of death?

Not today.

- Syrio Forel
______________________________________

Aku tertegun.

Bukan, bukan karena tangisannya. Sebuah kehidupan baru yang diberikan para dewa untuk dunia ini masuk dalam raga mungilnya. Kalian mungkin tidak memperhatikan, tetapi aku melihatnya.

Jelas aku sudah gila karena telingaku menangkap sebuah nyanyian, bak dikumandangkan oleh paduan suara malaikat ketika tangisan keluar dari bibir bayi ini. Mungkin memang ada atau mungkin hanya halusinasiku saja.

Udara menjadi manis, sebuah rasa manis yang lembut dan menenangkan bukan manis memuakkan. Perasaan damai menyelimuti hatiku.

Indah sekali.

Manusia dewasa di ruangan mendesah lega. Tangan-tangan terampil bersarung tangan lateks langsung merenggut si bayi dari jangkauan keluar ruangan sebelum aku pulih dari keterpesonaan.

Tunggu, ingin kuberteriak menghentikan langkah mereka. Aku seharusnya membunuhnya, seharusnya kecelakaan itu membunuhnya.

Tentu saja mereka tak menyadari keberadaan sosok lain di sini. Tak ada yang pernah melihat kami kecuali sedang sekarat.

Segera saja ruangan kosong dan hanya menyisakan diriku dan sesosok wanita yang tertawa gila di pojok ruangan menertawaiku, sama seperti Catrina.

"Diam!" desisku. Wanita gila berambut panjang itu langsung menghilang ketakutan.

Mereka membawa si bayi ke ruangan khusus, membaringkannya dalam kotak kaca bermatras seperti piala. Kotak kaca yang menjaganya agar tetap hidup.

Sudah kuduga tugas seperti ini cocok untuk Marzanna. Aku tidak bisa menciumnya, tidak sekarang.

Dan alasannya lebih dari sekedar kotak kaca itu.

***

Mereka mengolok--Grim, Marzanna, dan Catrina. Bahkan Hades juga ikut terbahak hingga terjungkal dari kursi.

"Oh, diamlah!" bela Persephone, sang nyonya rumah. "Kalian seperti tidak pernah jatuh cinta saja."

Grim, Marzanna, dan Catrina saling bertukar pandang. Kenyataannya tentu saja kami tidak pernah jatuh cinta. Tak ada satu pun dari kami, mahluk kegelapan ini, pernah merasakan emosi positif seperti itu.

Yah, kecuali mungkin Hades jika perasaanya pada sang istri tidak digolongkan dalam bentuk obsesi.

Bagaimanapun juga, aku tetap dihukum. Selama 50 tahun ke depan aku tidak diberikan tugas alias menjadi pengangguran. Hanya berkeliaran tak tentu arah atau bermalas-malasan di ruang tamu Hades bersama pria itu. Namun ia juga tidak bisa diharapkan menjadi teman bila Persephone sedang berada di atas tanah bersama ibunya sampai akhir musim panas nanti.

Tahun berlalu dengan cepat. Aku luntang-lantung hampir setiap hari. Bila sedang di dunia, aku senang memperhatikan para manusia menjalankan kehidupannya sehari-hari. Mengira-ngira apa yang membuat mereka bertahan sekali pun tahu suatu saat nanti mereka juga akan mati.

Namun seringnya aku memperhatikan Eva. Bayi yang nyaris kuambil jiwanya, bayi yang sekarang sudah mulai bertumbuh menjadi seorang anak.

Eva.

Artinya kehidupan. Entah apa maksud ibunya memberi nama seperti itu, tetapi menurutku namanya cocok untuk gadis mungil seperti dia. Gadis kecil yang hampir dicium Kematian.

Aku tak pernah melihat keberadaan ayahnya lagi semenjak malam itu. Sepertinya dia dipenjara. Membusuk di sana hingga salah satu dari kami menjemputnya.

Eva dan ibunya hidup berkecukupan. Sebab keluarga ibu Eva-lah yang sebenarnya memiliki mansion itu. Pria bejat yang menikahinya hanya ingin memiliki harta.

Tak ada yang bisa kulakukan selain memperhatikannya dari jauh. Menikmati kehidupan yang membuatku takjub dan diam-diam bersumpah pada diri sendiri untuk menjaga hal itu tetap mengalir dalam nadinya.

Seorang malaikat kematian yang menjaga kehidupan. Sungguh sebuah kontradiksi.

Di usia Eva yang ke delapan belas cukup sulit untuk tidak campur tangan. Ia menjadi mahasiswi baru di kampusnya. Gadis cantik, pintar, dan berbakat. Membuatku cukup bangga padanya.

Beberapa gadis lain mulai cemburu karena Eva begitu mudah disukai dan dicintai, tidak hanya oleh teman-teman barunya tetapi juga para lawan jenis. Beberapa kali mereka memojokkan Eva, menyiksa, dan melontarkan hinaan yang membuatku geram. Eva menangis malam itu di kamarnya, dan pada pagi hari senyum ceria sudah kembali menghiasi wajah seolah tidak terjadi apa-apa.

Siangnya kusenggol mobil gadis-gadis itu saat mereka dalam perjalanan ke pantai untuk berlibur. Hasilnya, mobil malang mereka menabrak pohon cukup keras. Salah satu dari mereka tewas. Grim menambah 16,5 tahun lagi pada masa hukumanku sehingga totalnya 66 tahun 6 bulan tapi aku tidak peduli. Apa pun akan kulakukan agar Evaku tetap bahagia.

Evaku.

Memikirkannya saja sudah membuat diriku lupa kalau aku sedang dihukum. Senyum-senyum sendiri dari kursi taman di seberang kampusnya.

"Hei, aku kenal kau." Sebuah suara terdengar dari arah kiri. Aku menoleh walau tahu tak ada yang bicara padaku.

Eva berdiri di sana dengan senyum manisnya. Ransel hadiah ibunya di ulang tahun ke enam belas digendong di punggung. Dari jarak sedekat ini gadis itu jauh lebih kecil dari kelihatannya. Maksudku dia tumbuh normal, tetapi tetap lebih mungil dibanding teman-temannya.

Tak ada orang di sekitarku selain dia. Jadi siapa yang diajaknya bicara? Kedua alisku bertaut.

Begitu Eva melihat wajahku yang mendongak serta menatapnya bingung, senyumnya terkembang makin lebar. "Ah, ya benar. Kau yang selalu menjagaku sejak kecil. Mata merahmu khas sekali, aku tidak pernah lupa."

Tidak mungkin!

Eva berbicara padaku.

Eva berbicara padaku.

Eva, manusia yang sedang tidak sekarat, melihatku dan berbicara padaku.

"Tidak," tukasku seraya menarik tudung hoodie menutup wajah, "itu bukan aku."

"Ya, itu kau!" Eva berkeras.

"Tidak."

"Ya!"

Jelas sekali dia sudah menjadi gadis yang sulit menerima kebohongan. Kujelaskan padanya dengan suara tinggi berharap dia menyingkir.

"Tidak, entah kau percaya atau tidak aku bukan orang yang kau maksud. Aku bahkan tidak kenal siapa dirimu. Jadi pergi dariku sekarang, Eva!"

Raut terkejut tercetak jelas di wajahnya. Sial. Sekarang malah aku sendiri yang menyakitinya.

Kemudian tawa kemenangan terlontar dari mulut Eva. "Nah," katanya, ada kepuasan dalam suaranya, "Kau bahkan tahu namaku."

Sial. Sial. Sial.

Tanpa membalas aku segera pergi dari tempat itu. Eva mengekor.

"Siapa namamu? Sejak kapan kau melindungiku dan mengapa kau memilihku? Sampai kapan? Apakah kau seorang fairy godfother? Apa semua orang memilikinya?" cerocosnya.

Langkahku berhenti dan kuremas kedua bahunya. "Dengar, Nak," tegasku. "Tak baik bila aku berada terlalu dekat denganmu. Bahkan tidak seharusnya mahluk sepertimu mengetahui keberadaanku. Pergilah!"

Eva menangkup kedua tanganku seraya berucap, "Aku tahu. Mama tak bisa melihatmu meski sudah kuberitahu berulang kali. Setidaknya katakan namamu dan aku akan pergi." Aku menimbang tawarannya.

"Death. Namaku Death," ungkapku, kemudian menghilang pergi kembali ke rumah Hades.

***

Semenjak pertemuan itu aku berhati-hati. Mengawasi dari balik punggungnya lalu langsung menghilang bila Eva menyadari keberadaanku.

Meski begitu ada saat dimana aku lengah dan gadis itu mendekatiku serta memaksaku menjadi teman dekatnya. Berceloteh riang mengenai hari-harinya, apa yang ia suka, apa yang ia tak suka, ibunya, teman-temannya, dan masih banyak lagi. Aku hanya diam di sampingnya hingga dia tak memperhatikan lalu kabur walau aku tak menyangkal bahwa aku senang ia begitu.

Sejauh ini dia aman dan bahagia. Syukurlah.

Aku mengawasinya dalam setiap fase kehidupan. Jatuh cinta, putus cinta, menikah, kelahiran putri pertamanya.... Kembali aku takjub saat sebuah kehidupan menciptakan kehidupan yang lain. Suaminya pria baik yang mencintai keluarganya dan aku tak bisa meminta lebih dari itu untuk kebaikan Eva.


Selain itu aku juga hadir saat Marzanna mengecup putra kedua Eva yang sakit cacar pada usia tiga tahun. Ia punya anak-anak lagi setelah itu tetapi masih kulihat duka meliputi matanya.

Grim datang memberi penghormatan pada jiwa suami Eva empat puluh tahun kemudian lalu membawanya pergi meninggalkan Eva dan anak-anaknya merangkul tubuh kaku itu. Tampaknya atasanku hanya menjemput orang-orang terhormat. Aku senang suami Eva berada di antara daftar pendek itu.

Hingga suatu hari Grim mendatangiku yang sedang mengawasi kota dari bubungan gedung pemerintah. Udara mulai mendingin memasuki musim salju seperti favoritku.

"Kau sudah dapat kembali bertugas," ungkapnya.

"Hmmm," responku malas, hampir lupa jika kemarin adalah hari terakhir masa hukuman 66,5 tahunku.

Ada kesan dalam suaranya yang membuatku curiga. "Siapa?"

"Seorang wanita tua di Francis Hospital kamar 203 Gedung Elizabeth, sore ini," ucap Grim enggan.

"Oke." Dan aku kembali sendiri.

Sorenya aku sudah berada di gedung rumah sakit yang menjadi tempat calon korbanku. Kepalaku masih berdebat dengan cara apa aku harus mengambil nyawa wanita tua itu. Jelas bukan kekerasan, mungkin aku akan menggandeng tangannya seperti yang dilakukan Catrina.

Kamar 203.

Dari jendela panjang bisa kulihat keluarganya berkerumun saling menguatkan. Ada anak-anak kecil yang kutebak merupakan cucu wanita itu.

Kubaca papan nama pasien.
Nama : Mrs. Eva Anthonia George
Usia : 66 tahun
Dokter: dr. Aleczander Demitrez

Seketika hatiku mencelos dan kusadari apa maksud nada suara Grim siang tadi.

Kumasuki ruangan itu tanpa satu orang pun menyadari. Kecuali satu orang yang menggapai-gapaikan tangan yang tertusuk jarum infus di tangan keriputnya ke arahku.

"Death--Kematian," panggilnya lirih dari bawah selang oksigennya. "Kau datang untuk menjemputku?"

Kepalaku mengangguk pelan.

"Mom, kami mohon jangan bicara seperti itu. Kau akan sembuh, percayalah," rengek putri tertua Eva yang duduk di tepi ranjang.

Eva tampaknya sudah tidak memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Fokus matanya berada padaku jadi aku mendekat ke arah sisi lain ranjang yang tidak ditempati putri Eva.

Sebutir air mata mengalir dari ujung matanya. Bibirnya sedikit tertarik membentuk senyum.

"Halo, Eva," sapaku, menggenggam tangan kisutnya yang mirip dengan kulit wanita itu saat pertama kali aku melihatnya 66 tahun 6 bulan yang lalu.

"Death...." lirihnya, berusaha tertawa.

Aku menampilkan senyum terbaikku seraya mendekatkan diri ke wajahnya. Kemudian melakukan hal yang seharusnya kulakukan sejak awal.

Sebuah kecupan dari Kematian.

Dengan lembut kusentuhkan bibirku pada bibirnya serta berbisik.

"Aku mencintaimu."

Eva tersenyum dalam kecupanku lalu menutup mata dalam damai.
______________________________________

Ditulis oleh Gwenevieve di rumah Hades, sesuai seperti yang diceritakan oleh Death.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top