Kisahku

Siliran angin yang sejuk membuatku betah berdiri di balkon kamar. Memandang langit yang tampak mendung. Membawakan hawa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhku. Dengan balutan jaket yang lumayan tebal, aku hanya merasa sedikit kedinginan.

Pikiranku beralih ke enam tahun yang lalu. Ketika aku masih duduk di bangku SMA. Kisahku dulu tidak seindah sekarang, dan sekarang aku sudah memiliki suami yang menyayangiku. Tidak seperti ibu tiriku, Marsya.

Dan kisahku dimulai ketika Papa memohon untuk menikah lagi setelah satu tahun Mama meninggal.

"Nak, Papa mau menikah," ucap Papa.

Aku yang sedang minum pun langsung menyemburkan air dari mulutku.

"Apa-apaan ini Pa? Aku gak setuju ya Papa menikah lagi, Mama pasti sedih banget di sana," tukasku tidak setuju.

"Papa kesepian sayang, kamu setiap hari sekolah dan pulang sore. Gak ada yang nemenin Papa tidur, gak ada yang nemenin Papa curhat kalau kamu udah tidur, Papa mohon sayang," ucap Papa memohon.

Aku berpikir sejenak, lalu memandang bingkai mama yang masih terletak di dinding ruang keluarga.

Mudah-mudahan ini jalan yang terbaik ya Ma, batinku.

"Oke, aku setuju Papa menikah lagi tapi dengan satu syarat, aku gak mau Mama tiriku itu jahat," tukasku.

"Iya nak, Papa janji, makasih ya sayang. Besok Papa akan bawa Mama tiri kamu ke sini," ucap Papa.

"Iya," balasku.

Setelah seminggu Papa menikah dengan Tante Marsya, semuanya baik-baik saja. Bahkan, dia sangat ramah dan baik padaku. Dan adik tiriku—Feby, baik denganku. Jarak umurku dan Feby hanya terpaut satu tahun.

Semua kejadian menyeramkan itu datang ketika Papa pergi keluar kota untuk mengurus bisnisnya selama seminggu.

Satu hari aku aman. Dan hari berikutnya, aku kaget dengan kedatangan Tante Marsya ke kamarku dengan membawa keranjang cucian.

"Heh anak manja, kamu itu jangan keenakan main di kamar mulu ya. Semenjak Papamu pergi keluar kota, ini cuci semua pakaian saya dan anak saya. Semuanya harus bersih, kalau tidak, kamu tidak saya beri makan untuk nanti malam," titah Tante Marsya.

Tante Marsya pergi tanpa mendengar jawabanku. Apa-apaan ini? pikirku.

Baiklah, untuk hari itu, aku mengalah. Aku lakukan semua perintah yang dia berikan padaku. Namun, lama-kelamaan aku merasa janggal, dia selalu memerintahkanku untuk membersihkan rumah. Mulai dari mengepel, menyapu, bahkan memasak pun aku yang diperintahnya.

Secara tidak sengaja, ketika aku melewati kamar Tante Marsya yang sedang berbicara dengan  Feby, aku mendengarnya dari balik pintu.

"Ma, nanti kalau Papa tahu Mama selalu perintahkan Kakak untuk membersihkan rumah gimana?" tanya Feby.

"Kamu gak perlu mikirin itu sayang. Yang penting kamu fokus sama sekolah dan urusan Kakakmu, biar Mama yang urusin," jawab Tante Marsya.

Dan sejak saat itu aku tahu, bahwa dia tidak pernah ikhlas dengan perhatian lebih Papa padaku.

Dia mengancamku untuk tidak bicara apapun pada papa. Bahkan ancamannya sangat membuatku takut. Dia akan membunuh Papa jika aku tidak menurutinya.

"Baiklah, aku akan melakukan apa mau Tante," ucapku menyerah.

Sejak saat itu, dia selalu menyuruhku yang tidak-tidak. Bahkan dia sengaja menyuruhku ketika aku ingin pergi sekolah agar aku telat. Dengan ancaman yang bukan main-main, aku dengan bodohnya selalu mengikuti perintahnya.

Kisahku mirip seperti kisah Cinderella. Namun bedanya, tidak ada pangeran yang menyelamatkan aku.

Turunnya rintik-rintik hujan, membuatku masuk ke dalam kamar. Melanjutkan kisahku yang terpotong tadi.

Sebelum aku melanjutkan, namaku Rina Rafinska, panggilan kecilku Riri. Umurku dua puluh satu tahun. Memiliki suami yang dua tahun lebih tua dariku.

Namanya Andika Hermansya. Umur dua puluh tiga tahun. Aku akan menceritakan sedikit kisah perkenalanku dengannya.

Saat itu, ketika aku terlambat pergi ke sekolah gara-gara tante Marsya. Aku berlari kecil hingga tidak sengaja kesrempet oleh motor ninja. Siku tanganku luka. Orang yang mengendarai motor tersebut turun dan membantuku.

"Aduh, gue minta maaf ya. gara-gara gue, lo luka gini," ucapnya sambil membersihkan lukaku dengan air minum yang dibawanya.

"Eh iya, gapapa kok. Lagian gue aja yang tadi lari-lari di pinggir jalan gak lihat-lihat motor yang lewat," jawabku.

"Udah beres. Eh iya by the way lo sekolah di SMA Nusa Bangsa juga?" tanyanya.

"Iya, gue udah telat banget," jawabku.

"Yaudah bareng gue aja," tawarnya.

"Gak usah, entar ngerepotin," tolakku halus.

"Gak papa, udah ayo, keburu makin telat," ucapnya.

Dia menarik tanganku hingga aku naik ke motornya. Dan sejak saat itu, aku dan dia menjadi dekat. Dia kakak kelasku di SMA itu.

Aku dan dia  resmi berpacaran setelah sebulan perjumpaanku dengannya. Aku selalu menceritakan masalah apapun tentang diriku padanya. Sampai dia memiliki rencana untuk membongkar kejahatan mama tiriku.

Rencanaku dan dia memang berhasil. Tante Marsya diceraikan oleh papa dan di pernjarakan dua tahun karena sudah menyiksa anak di bawah umur. Tadi, aku hanya menceritakan ketika tante Marsya menyuruhku untuk membersihkan rumah.

Namun tahukah kalian, jika aku membantah apa yang diperintahkannya. Tidak hanya mengancam dia juga sering menampar bahkan memukulku dengan sapu.

Aku dan Dika berencana memasang CCTV di setiap sudut rumah. Hingga Tante Marsya melakukan kekerasan lagi, aku mengambil rekaman itu dan mengirimnya dengan papa.

Papa murka dan meminta maaf padaku telah membuat hidupku menderita.

Setelah dua tahun. Tante Marsya dibebaskan. Aku tidak tahu kabarnya, yang kutahu dia sudah dibebaskan. Selama dua tahun, aku bebas darinya.

Tetapi, ketika malam itu aku sendirian di rumah. Dan papa yang belum pulang kerja. Tante Marsya datang dan berusaha membunuhku. Dua tahun dipenjara belum cukup untuk membuatnya sadar ternyata.

Dia memegang pisau yang tajam di tangan kanannya. Aku ketakutan. Membayangkan jika pisau itu menembus perutku. Aku menjauh darinya. Tetapi dia makin mendekat. Sampai aku harus pasrah karena aku tidak bisa menjauh dari tante Marsya karena punggungku sudah terbentur oleh tembok.

"Kau tidak akan bisa lari dariku. Kau telah membuat hidupku menderita dan kau harus membayar semuanya dengan nyawamu," ucap tante Marsya.

Ketika pisau ditodongkannya ke perutku, aku menutup mata. Namun, aku tidak merasakan sakit apapun. Aku membuka mata dan terkejut ketika papa sudah tergeletak tidak sadarkan diri. Tante Marsya sudah tidak ada dan sampai sekarang aku tidak tahu dia di mana.

Serangan itu membuat papa meninggal. Aku sangat takut saat itu. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Semua saudaraku tinggal sangat jauh dari Jakarta. Aku tidak tahu harus bagaimana saat itu.

Kejadian itu membuatku tidak hadir ke sekolah selama dua minggu. Itu yang membuat Dika datang ke rumahku dan menanyakan kabarku. Saat itu dia sudah kuliah dan aku masih kelas tiga SMA.

Dia khawatir denganku yang tidak bisa dihubungi selama dua minggu. Karena kesibukan kuliahnya juga, dia baru bisa mengunjungiku saat itu.

Dia terkejut ketika melihat kondisiku sangat memprihatinkan. Badan kurus, wajah pucat, serta mata yang sembab. Dia memelukku. Menyalurkan kehangatan di dalamnya.

"Kamu kenapa Ri?" tanyanya.

"Aku gak tahu aku harus gimana sekarang, Papaku udah meninggal, aku takut tinggal di sini sendiri," jawabku sambil menangis.

"Kamu tenang saja oke. Sekarang kamu susun baju kamu terus aku bawa kamu ke rumahku, kamu tinggal di sana aja gapapa," ucapnya.

"Gak enak sama tetangga kamu nantinya Dik," kataku.

"Enggak papa, Mamaku bisa menjelaskan semuanya nanti," jawabnya.

Dan sejak saat itu, kehidupan kelamku berubah menjadi seperti dulu. Aku kembali bersinar walaupun tanpa kehadiran papa di sampingku. Keluarga Dika sangat baik dan ramah padaku.

Dan ketika setahun lagi Dika lulus S1, dia melamarku. Aku menikah dengannya. Walaupun kuliah, dia juga sudah bekerja di perusahaan papanya. Mengambil jurusan bisnis dan sekarang sudah menjadi pemimpin di perusahaan papanya. Dia masih kuliah, melanjutkan S2.

Semua pikiran masa laluku terhenti ketika seseorang memasuki kamarku. Dia Dika, suami yang paling aku cintai sampai kapan pun.

"Assalamualaikum," salamnya.

"Waalaikumsalam, Mas baru pulang," jawabku lalu mencium punggung tangannya.

Dia duduk di tepi ranjang dan aku juga di sampingnya.

"Iya, tadi habis kerja langsung kuliah, jadi cape banget," jawabnya.

"Makasih ya Mas," ucapku lalu memeluknya.

"Kenapa?" tanyanya.

"Udah mau jadi suami yang baik denganku, aku sayang banget sama kamu, Mas," jawabku.

Dia mengelus kepalaku yang ditutupi oleh jilbab.

"Iya, Mas juga sayang banget sama kamu," balasnya.

Lalu dia melepas pelukan kami dan mencium keningku. Aku hanya menutup mata, merasakan betapa bahagianya aku memiliki suami seperti dia.

~END~

Lakasyana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top