[Case 3: Dust & Gold]
"Nama, Raiza Arieh. Umur, delapan belas tahun. Alamat ...."
Ucapan Dokter Lazuardi tidak sepenuhnya Eja hiraukan. Meski mereka duduk berhadap-hadapan, suara dokter itu rasanya sulit sekali dia jangkau. Samar. Seolah berasal dari tempat yang jauh.
Hanya bunyi 'nging' yang lagi-lagi terdengar, padahal ruang pemeriksaan kesehatan ramai oleh orang-orang yang menunggu giliran. Kasak-kusuk dari mereka-mereka yang saling berbisik pastilah mendominasi, sayang, indra pendengaran Eja tidak bisa menangkap apa-apa saat ini.
Namun, lewat gerakan bibir, setidaknya Eja tahu dokter itu berusaha bersikap ramah padanya. Sesekali Dokter Lazuardi tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang berbaris rapi. Wajahnya pucat tanpa kerutan, kelihatan masih sangat muda. G. Lazuardi. Titel rumit di belakang namanya Eja abaikan sewaktu papan nama yang melekat pada dada pria itu terbaca olehnya. Selain merupakan seorang dokter yang bekerja di Pusat Rehabilitasi Bersama—tempat Eja mendapat perawatan saat ini—Eja tidak tahu apa-apa tentangnya. Usianya mungkin sepantaran Dimas, atau bisa jadi beberapa tahun lebih tua. Sembari menyisir rambut belah tengahnya dengan jari, dokter itu tersenyum lagi, kali ini jauh lebih lebar dari sebelumnya. Ada sesuatu, iya, ada sesuatu yang tidak bisa Eja lihat dari dokter itu. Senyumnya ... sangat misterius. Mencurigakan. Eja yang tidak terbiasa diperhatikan secara intens pun buru-buru menunduk, melirik ke arah lain, memerhatikan sekitar. Orang-orang balik menatapnya. Berisik. Lalu, semua suara kembali mendenging di telinga.
Eja dibuat kaget oleh tarikan tangan Dokter Lazuardi yang begitu tiba-tiba. Dokter itu memasangkan sebuah alat yang melingkari bagian atas lengannya, lalu meraih kapas alkohol untuk kemudian dioleskannya di lokasi penusukan.
Begitu ujung jarum suntik menembus kulit, Eja meringis jeri. Sesering apapun dia menggunakan alat suntik, ternyata rasanya tetap saja sakit. Untuk sejenak kedua matanya terpejam, menikmati sensasi. Namun, sensasi yang dirasakannya kali ini tidak sampai membawanya terbang. Seperti ada sesuatu yang menggigitinya. Sesuatu dalam dirinya dipaksa keluar. Begitu dia kembali membuka mata, dilihatnya darah yang ditarik dari dalam pembuluh vena telah nyaris memenuhi tabung silinder.
Kalau dipikir-pikir, sudah cukup lama juga tubuh Eja tidak mendapat supply heroin. Apakah jika dicecapnya darah itu, masih akan bisa membuatnya melayang?
Eja menelan ludah gugup. Janjinya pada Agus Sinar tiba-tiba saja terngiang. Dia ingin sembuh. Dia akan melupakan Nala. Dia tidak ingin jadi anak yang mengecewakan lagi.
Sesi pengambilan sampel darah (pada gilirannya) telah selesai dilakukan. Dokter Lazuardi mempersilakan pasien selanjutnya menduduki kursi, Eja pun terpaksa menyingkir.
Seketika Eja bangkit berdiri, orang-orang mulai menatapnya lagi. Dia malu, malu sekali. Dalam hati dia mengeluhkan peraturan yang diberlakukan di pusat rehabilitasi ini. Karena semua pasien adalah laki-laki, mereka dibiarkan telanjang bulat tanpa selehai benang pun saat melakukan pemeriksaan. Tidak ada sekat pada setiap stase, orang-orang jadi bebas saling lirik. Apa yang orang lain pikirkan, apa yang orang lain bicarakan tentangnya, tidak bisa dia kira-kira. Berada dalam situasi seperti ini, sungguh membuatnya tidak nyaman. Trauma yang kerap dia rasakan kembali membayanginya sekarang. Pikiran buruk otomatis berseliweran dalam kepala Eja. Setiap pasang mata yang menjadikannya objek incaran, pastilah menyimpan niatan buruk padanya.
Eja panik sewaktu mendapati pakaiannya tidak ada di mana pun. Padahal dia yakin sekali, tadi dia meletakkannya di dekat kursi lipat di sudut ruangan—bersama tumpukan pakaian milik pasien lain. Kembali dibongkarnya tumpukan pakaian tersebut, tetapi tetap tidak ada.
Eja menggigit bibir, gelisah.
Sebuah tangan kemudian mendarat di bahunya. Sedikit terlonjak, dia menoleh cepat, secepat gumpalan pakaian yang tak sempat ditangkapnya jatuh ke lantai.
"Hah. Refleksmu sungguh payah."
Eja menggeram marah, yang lantas dibalas kekehan geli oleh Yas, teman sekamarnya. Cengiran khas di wajah Yas ikut terbit, tipikal orang yang sangat suka menjahili.
Dengan balutan kemeja biru pudar dan celana kain abu-abu, Yas tampak sangat rapi. Hanya rambutnya saja yang tidak disisir dengan benar. Lingkar hitam di matanya, Eja perhatikan, semakin hari semakin melebar saja. Buru-buru Eja memungut pakaiannya—kaus hitam dan celana training—di lantai, kemudian secepat kilat dia kenakan. Tubuh Yas yang tinggi besar sedikit-banyak mampu menamengi dirinya dari mata orang-orang yang penasaran.
"Pemeriksaan biasanya dilakukan sebulan sekali. Aku tidak tahu mengapa intervalnya berubah menjadi seminggu sekali." Yas membuka topik pembicaraan. Keningnya terlipat banyak. Dia sedang serius sekarang.
Seingat Eja, Yas pernah bercerita, kalau dia masuk ke pusat rehabilitasi ini sekitar empat bulan yang lalu. Dibanding Eja yang baru empat hari berada di sini, jelas Yas cukup tahu kegiatan apa saja yang telah dijadwal setiap bulannya. Dari mulai bangun pagi sampai waktu tidur, semua telah diatur sedemikian rupa. Kegiatan yang menurut Eja sangat monoton: makan, berolahraga, mencabuti rumput, menjalani pemeriksaan kesehatan, serta mengikuti berbagai macam konseling yang diberikan. Pusat rehabilitasi memberlakukan jam malam. Biasanya tepat pukul sembilan lampu sudah akan dimatikan.
"Mungkin, mereka berencana memulangkan beberapa pasien yang sudah dinyatakan bersih."
Yas memutar bola mata. Jawaban Eja sepertinya tidak sesuai ekspektasinya. Yas hendak bicara lagi, tetapi gema dari pengeras suara telah lebih dulu menahan kalimatnya di kerongkongan.
Eja terbengong selama beberapa saat. Di telinganya suara-suara itu terdengar seperti radio rusak, sulit untuk dipilah. Beruntung, dia memiliki Yas, yang dengan suka rela mau menerjemahkannya. Eja membaca gerak bibir Yas yang sengaja diperlambat. Dia bilang, pasien yang telah selesai melakukan pemeriksaan, diperbolehkan kembali ke kamar masing-masing.
Yas kemudian merangkulnya di pundak.
Sebelum mereka berbalik menuju pintu keluar, Eja sempat menengok Dokter Lazuardi di kursinya.
Seorang pria berkepala pelontos membisikkan sesuatu ke telinga dokter itu. Tampaknya sesuatu yang sangat menarik, sebab seketika itu pula ekspresi Dokter Lazuardi langsung berubah drastis. Senyumnya mendadak berganti menjadi seringai tajam. Eja baru bergidik ngeri saat menyadari iris mata Dokter Lazuardi terpancang ke arahnya.
_______________
Pusat Rehabilitasi Bersama merupakan balai besar milik swasta yang didirikan sejak tahun 2004. Letaknya cukup jauh dari keramaian pusat kota dan hiruk-pikuk kendaraan. Desain gedungnya menyerupai huruf L, terdiri dari dua buah bangunan bertingkat empat yang dibangun terpisah, kemudian disatukan oleh selasar besar pada bagian sikunya.
Sepanjang perjalanan menuju lantai empat, Yas nyaris tak berhenti berkicau. Ocehannya membaur bersama puluhan derap langkah kaki pasien lain. Di sebelahnya Eja hanya menanggapi dengan gumaman singkat; 'ya' dan 'tidak'. Mereka melewati banyak sekali ruangan berpintu geser di kanan. Eja tidak tahu ruang apa saja itu, sebab tidak ada keterangan atau penanda pada pintunya.
Kalau dilihat-lihat, sebenarnya tidak ada yang istimewa dari gedung pusat rehabilitasi ini, selain dinding putihnya yang menantulkan cahaya lampu LED menyilaukan. Selasar tampak begitu lengang dengan tatanan perabot seadanya. Hanya ada beberapa bangku tunggu yang diletakkan bersebelahan dengan tanaman hias. Selain itu, seru-seruan anti narkoba dan papan peringatan tampak dipajang di beberapa bagian dinding selasar.
Yas bilang, lift jarang digunakan di sini. Jadi, mereka mesti berjalan cukup jauh untuk mencapai tangga menuju lantai empat.
Sejenak, Eja menoleh ke belakang. Ruang Pemeriksaan Kesehatan otomatis menghilang dari pandangan begitu mereka berbelok arah. Matanya kemudian menyipit, merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja dia lihat. Dari kejauhan Eja seperti melihat sosok Dokter Lazuardi berjalan mengikuti mereka. Buru-buru Eja membuang muka. Namun, ketika dia menoleh lagi, dokter itu tidak ada di sana. Selama jeda waktu yang singkat, Eja kembali menoleh. Dokter Lazuardi—ada! Dia ada di sana! Pada dinding selasar, dokter itu berdiri menyandar, sembari melambaikan tangan.
"Yas," panggil Eja ragu-ragu. "Menurutmu, apakah Dokter Lazuardi .... Sepertinya dia ...."
Yas menoleh pada Eja di sampingnya. "Bicara apa kau ini?" Dia sama sekali tidak mengerti garis besarnya. Sejak kemarin Eja terus membicarakan hal-hal yang tidak jelas.
Eja menggeleng sedetik kemudian. "Tidak jadi. Lupakan saja." Ketidaknyamanan yang dia rasakan ini, mungkin hanya firasatnya saja. Dokter Lazuardi adalah seorang dokter sekaligus konselor. Mengawasi pasien, sudah pasti menjadi bagian dari tugasnya di pusat rehabilitasi ini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Kau terlalu waspada terhadap sekitarmu. Bersikaplah seperti biasa," ujar Yas sembari meraih bahu Eja. Dia bermaksud menenangkan Eja yang kelihatan sangat cemas. Namun, kata-katanya itu justru disalahartikan oleh Eja.
"Biasa?" ulang Eja dengan nada kesal. Kedua iris matanya berkilat, tidak terima. "Biasa yang bagaimana maksudmu?!"
Yas sampai terkejut mendapati reaksi Eja yang terlalu berlebihan. Namun, Yas tak ingin memperpanjang masalah. Dia melengos pergi begitu saja, meninggalkan Eja yang masih diselimuti emosi dengan napas memburu hebat.
Eja bergeming di tempatnya, berusaha menenangkan diri. Sembari menunduk, diusapnya wajah dengan kasar. Lantai keramik yang dia pijak memantulkan wajah penuh ketakukannya yang tercermin di sana. Saat sedang kalut, kadang Eja memang bisa menjadi sangat bebal jika dinasehati.
Namun, Yas tak seharusnya mengatakan itu. Yas sama sekali tidak mengerti posisinya. Tidak ada salahnya menjadi lebih waspada. Eja pernah diperlakukan dengan tidak manusiawi. Jadi, tentu saja, rasa trauma itu membuatnya lebih memilih menarik diri dari orang lain. Di pusat rehabilitasi ini, hanya Yas seorang yang dia izinkan masuk ke dalam lingkarannya. Sementara pasien lain dia anggap sama: asing, tidak perlu dikenal.
"Kau tidak tahu bagaimana rasanya tersesat di tengah keramaian."
Persis seperti adegan di film-film, Yas kemudian berhenti melangkah. Membiarkan orang-orang yang mengekori mereka berlalu begitu saja.
"Seseorang pernah memukul telingaku dengan kuat," kata Eja lagi. "Kukira semuanya akan baik-baik saja, tapi belakangan aku baru sadar, aku jadi kesulitan mendengar."
Rasanya seperti berada di ruang hampa. Semua suara mendadak terbisukan. Begitu sunyi, seakan dunia berhenti berbicara padanya. Meski dalam jarak tertentu telinganya masih dapat menangkap gelombang bunyi, tetap saja Eja merasa was-was.
Dulu, saat semuanya masih baik-baik saja, denting piano yang sering Nala mainkan untuknya, dapat Eja dengar dengan jelas. Namun, semuanya berubah seiring waktu. River flows in you yang biasanya mengalun indah, mendadak berubah menjadi denging menyakitkan. Eja sampai ketakutan setengah mati dibuatnya.
"Kau pasti ... tidak mengatakannya pada keluargamu."
Eja menanggapi dengan tawa kering. Tebakan Yas tepat sasaran. Jika saja Eja memberitahu mereka lebih cepat, mungkin Eja tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Baron akan mendapat ganjarannya. Dan, Eja tidak perlu berakhir di pusat rehabilitasi. "Aku hanya ..." merasa tidak dicintai.
Yas menunggu. Namun, ketimbang melanjutkan kata-katanya, Eja memilih memalingkan muka.
No Sex
No Violence
No Stealing
No Vandalism
Semua larangan tersebut dia baca dalam sekali lihat pada tulisan berpigura di dinding selasar. Semilir angin yang datang lewat retakan jendela menarik wajahnya kemudian. Eja menatap lurus pada pemandangan yang terbingkai di baliknya. Sinar matahari menembus masuk. Silau. Rupanya, bagian belakang gedung pusat rehabilitasi dikelilingi banyak sekali pohon hijau yang menjulang tinggi. Dalam jarak sekian meter di depan, ada sebuah menara yang menyembul di antara pucuk pepohonan, tidak begitu jelas, tapi bentuk atapnya mirip mercusuar.
Yas ikut memerhatikan. Merasa begitu penasaran, dari dalam saku celana, Yas mengeluarkan sebuah teropong klasik berwarna cokelat tua. Teropong tersebut dia edar. Jari-jarinya lalu bergerak memutar lingkar pada teropong, menentukan jarak pandang yang tepat.
Dagu Eja nyaris terhantam kusen dibuatnya, ketika tiba-tiba saja Yas membawanya merunduk.
Yas meneguk ludah. Panik. Jakunnya naik turun, kentara sekali. Wajahnya tampak pias, seolah baru saja melihat hantu. Belum sempat Eja menanyakan, teropong dalam genggaman Yas kemudian diangsurkannya pada Eja.
Masih sambil merunduk, moncong teropong tersebut Eja arahkan beberapa centi di atas kusen. Menara terlihat lebih jelas dengan dindingnya yang retak di beberapa bagian. Layaknya bagunan mercusuar, terdapat lampu besar yang dipasang di bawah atap. Area di sekitarnya terbuka, dibatasi oleh sekat-sekat dari kayu. Eja mengedip. Sekali. Dua kali. Sosok seorang pria. Tua. Dengan rambut nyaris memutih seluruhnya—berhasil dia sorot. Pemandangan kapak yang diayun oleh pria tua itu, membuatnya nyaris lupa bernapas. Eja hendak menelisik lebih dekat, tetapi Yas buru-buru merebut teropongnya.
Eja urung memprotes saat ekspresi ngeri di wajah Yas terbaca olehnya. Ketika Yas mendongak, kedua iris mata Eja seperti dipaksa ikut bergerak naik.
Yas terkesiap, Eja juga demikian.
Tahu-tahu Dokter Lazuardi sudah berdiri menjulang di hadapan mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top