7. Fakta

"Menurutmu, apakah identitas kerangka anak kecil yang sedang kita selidiki itu, adalah salah satu dari mereka?" Dimas menunjuk wajah berseri kedua anak manis dalam potongan foto. Wajah mereka tampak mirip, ibarat pinang dibelah dua. Begitu kecil dan riang dengan potongan rambut serupa batok yang persis satu sama lain. Dimas menduga usia mereka berkisar lima atau enam tahun.

"Itu bisa jadi, Dim," jawab Agam meski agak ragu.

Ditatapnya lekat-lekat foto serta potongan kertas yang telah Dimas susun sedemikian rupa di atas meja makan. Bukti baru tersebut langsung Dimas serahkan begitu Agam sampai tadi. Bliz kamera kembali menyilaukan mata saat Agam mengabadikan barang bukti tersebut ke dalam lensanya.

"Bagaimana hasilnya otopsinya? Apa sudah keluar?"

"Masih belum." Agam mendesah, kemudian kembali melanjutkan, "Ini soal jenis kelaminnya ... kau tau sendiri kan, sulit membedakan jenis kelamin pada kerangka anak kecil," jelasnya.

"Kalau dilihat dari struktur giginya (gigi susu), perkiraan korban meninggal pada usia empat sampai enam tahun. Tulang-belulangnya belum mengalami perkembangan yang signifikan. Itu masalahnya. Satu-satunya bukti yang bisa kita jadikan referensi adalah pakaian yang melekat pada kerangka tersebut saat ditemukan. Dokter Zein bilang, kemungkinan jenis kelaminnya memang laki-laki."

"Lalu apa lagi? Itu berarti korban memang salah satu dari anak ini!" Dimas ngotot. Dia merasa Agam terlalu berbelit-belit dalam mengambil kesimpulan.

"Kalau pun memang benar begitu, bagaimana cara kita membandingkan DNA-nya? Seperti katamu, seluruh penghuni lama rumah ini telah tewas dua puluh tahun silam!" balas Agam kemudian. Agam tampak tidak begitu percaya diri menghadapi kasus kali ini.

"Inspektur!"

Suara Aryan memecah perdebatan di antara mereka berdua. Dimas menatap pintu masuk kemudian, sementara Agam kembali sibuk dengan kameranya. Bak seekor anjing liar yang baru saja mendapatkan buruan, Aryan datang pada Dimas dengan senyum lebar yang sulit dia artikan. Briptu itu kemudian membisikkan sesuatu ke telinganya.

Dimas sontak menoleh pada Aryan."Kau yakin?"

Aryan mengangguk tegas sebagai jawaban.

"Kalau begitu, beritahu semua pihak untuk melakukan pengejaran. Kita tidak boleh sampai kehilangan jejak Haris."

"Siap, Inspektur!"

.
.
.
.

"Mobil jenis sedan hitam ... bernomor polisi ...."

"Ganti .... BP 5678 YM ...."

"Sedan hitam .... Toyota ...."

"Pemberitahuan razia gabungan ... daerah Simpang Limau clear ...."

"Masuk ...! Sektor Batu Aji ...."

Suara-suara itu terus berlalu-lalang melaporkan perkembangan pengejaran Haris beserta keluarganya, baik melalui radio rik pada mobil patroli maupun HT milik para polisi yang bertugas mengatur lalu lintas di wilayah Batam Kota dan sekitarnya.

Meski statusnya kini sudah masuk dalam DPO nasional, keberadaan Haris dan keluarganya masih belum diketahui. Belum ada perkembangan yang berarti sejauh ini, di mana kira-kira mereka bersembunyi.

Rupanya Haris tidak pernah membeli rumah tua tersebut. Kenapa dia harus berbohong saat sesi interogasi? Pertanyaan yang lebih penting daripada itu adalah, dari siapa Haris mendapatkan informasi soal rumah tersebut? Lokasinya sangat terpencil dan juga jauh dari perkotaan. Terlebih, tidak ada perantara jual-beli, lalu bagaimana Haris bisa tahu soal rumah itu?

Sejak tadi pertanyaan itulah yang bergumul di dalam kepala Dimas. Posisi Harislah yang paling patut dicurigai. Namun, Dimas ternyata telah salah pada dugaannya. Dia telanjur memasukkan nama Haris dalam daftar DPO nasional. Dan, kini dia harus menyesali segala keputusan yang terlalu cepat diambilnya itu.

"Kamu terlalu gegabah, Dimas!" teriak Kapten Depari di seberang telepon. "Situasinya jadi kacau begini! Bukan kamu yang akan disalahkan oleh para atasan, tapi saya!"

Dimas mendengus. Dipukulnya dashbor mobil patroli sekuat mungkin. "Bagaimana bisa jadi begini, Kapten? ARRGH!!!"

Di balik kemudi, Aryan hanya bisa mencuri dengar pembicaraan Inspekturnya dengan sang Kapten. Dia tidak tahu jelas isi percakapan yang melibatkan adu urat tersebut, tetapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi saat ini. Apalagi bisa dia rasakan lirikan tajam Dimas yang begitu menusuk dirinya. Aryan sampai harus berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membanjiri wajahnya.

"Ini tidak mungkin, Kapten!" Dimas masih belum mau mengakui kesalahannya.

Informasi yang Dimas dapat dari Aryan dan kepala desa itu langsung dia saring begitu saja tanpa melakukan diskusi terlebih dahulu dengan sang Kapten. Membuat situasi malah jadi semakin kacau balau. Karena itulah Dimas memutuskan kembali ke kantor bersama Aryan. Urusan olah TKP dia serahkan pada Agam sepenuhnya berserta rekan-rekannya di Tim INAFIS.

"Kematian wajar?" desis Dimas sekali lagi.

Kapten Depari mengiyakan di seberang sana.

Dimas mendesah semakin keras. Dia masih tidak bisa percaya dengan ini semua. Info baru dari Kapten Depari telah membuyarkan dugaannya. Kecurigaannya pada Haris pun menguar bak asap yang ditiup angin.

"Dokter Zein bilang, tidak ada tanda-tanda kekerasan pada kerangka yang mengacu pada pembunuhan. Hasil otopsi menunjukkan anak itu meninggal secara wajar."

"Di ruang bawah tanah? Apa menurut Anda ini masud akal, Kapten?" geram Dimas merasa tidak terima. Otaknya berpikir dua kali lebih keras hingga rasanya akan pecah sebentar lagi.

Kematian wajar?

Sial.

Lalu, untuk apa mereka melakukan penyelidikan sampai sejauh ini jika akhirnya akan sia-sia saja? Tidak ada pembunuh yang harus mereka tangkap, bukan?

_____________

Sebuah sedan hitam dengan pelat BP 5678 YM bergerak zig-zag, berusaha melarikan diri dari kejaran tiga mobil patroli polisi di belakangnya. Gas diinjak dalam-dalam oleh sang pengemudi, saat kerumunan polisi berompi hijau terlihat di depan lampu merah. Razia gabungan yang dilakukan di sepanjang pertigaan Jalan Melur tak menyurutkan usahanya untuk kabur. Sang pengemudi nekat menerobos lampu merah, membuat para petugas polisi yang mencoba menghadangnya lari tunggang langgang ke segala arah.

Tampaknya Haris tak berniat memelankan laju sedannya sedikitpun meski Zian sudah menangis di kursi belakang.

Aida yang duduk di sebelah pria berwajah kalut itu berteriak hiteris. "Hentikan mobilnya, Bang!"

Wanita itu berusaha merebut roda stir, membuat Haris kesulitan memegang kendali. Mobil yang mereka kendarai pun oleng dan bergerak tak tentu arah sebelum akhirnya dihantam mobil lain dari arah depan. Kedua kap depan mobil tersebut mengeluarkan asap yang mendesis-desis. Para petugas yang tadinya kocar-kacir langsung mengepung mobil Haris, memaksa sang pemilik beserta istri dan anaknya keluar dari dalam.

"Jangan bergerak! Cepat keluar!"

Sementara itu di tempat lain, Dimas menutup panggilan dari Kaptennya dengan perasaan kesal. Ponselnya dia lempar begitu saja bagai barang tak berarti ke atas dashbor. Aryan bahkan sampai dibuat berjengit di atas jok pengemudi.

Dimas meraih radio rik pada mobil patroli, hendak menarik perintah pengejaran pada Haris dan keluarganya. Namun, tepat sebelum dia menyuarakannya, suara-suara berisik kembali masuk melalui alat komunikasi tersebut.

Seseorang melapor dari titik Pelabuhan Sekupang.

"Mobil bernopol BP 5678 YM terlihat bergerak menuju pelabuhan ...."

Dimas memutar volume pada pengeras suara. Kemudian, mendengarkan dengan saksama setiap informasi yang masuk dari seluruh stasiun HT milik anggota kepolisian yang tengah mengudara saat ini. Setelah yakin dengan informasi yang diberitahukan salah dua petugas polisi di seberang sana, tanpa pikir panjang, Dimas langsung memberi perintah mutlak.

"Seret mereka ke Polresta Barelang!"

_______________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top