55. Menelisik
"Selalu ada makna di balik ritme hujan. Ia mampu membawamu merindu pada sesuatu. Pada seseorang, kenangan, dan duka masa lalu," demikianlah Elizar berujar ketika suatu hari Samsuri mengajaknya bercinta di hari berhujan.
Kenangan itu menyeruak secara tiba-tiba. Dan hari ini Samsuri sedang mencoba mempercayai kalimat itu. Dia menatap titik-titik air yang jatuh di balik kaca jendela kamarnya, duduk termangu, padahal tidak seharusnya dia bermuram durja hari itu.
Perjalanan yang harus dia tempuh masih panjang. Akan tetapi, setelah semua hal buruk yang datang dan membenani pikirannya dengan bertubi-tubi, Samsuri merasa rindu pada hari-hari tenang sebelum ini. Saat-saat di mana dia tidak perlu mencemaskan hal-hal yang akan terjadi pada hidupnya di masa depan.
Dulu, dia tidak perlu takut akan kehilangan. Dia sangat menikmati apa yang dia miliki, dia mampu merengkuh segalanya dalam dekapan tanpa rasa khawatir, seolah-olah hari esok tak akan pernah datang mengusik kebahagiannya.
Dia menginginkan kebebasan itu. Akan tetapi, hal-hal yang dia ingat kemarin, hari ini, bahkan mungkin esok dan seterusnya adalah Dimas dan juga tentang rasa bersalahnya. Bayang-bayang itu enggan meninggalkan ruang terdalam di hatinya. Membuat semua hal terasa begitu salah baginya.
Samsuri berpikir apakah ini merupakan suatu ganjaran untuk dia dan Dimas—karena sudah saling terhubung satu sama lain? Sebentuk pemikiran itu sangat mengganggunya, hingga membuat Samsuri bertanya-tanya akan seperti apa hidupnya jika sejak awal dia tidak pernah mengenal Dimas?
Sayangnya, ketika membayangkan hal itu, Samsuri merasa kehilangan sebagian dari dirinya. Pendar matanya memandang jauh pada kekosongan dan dia sungguh tidak siap untuk menghadapi situasi itu. Dunia di mana dia sama sekali tidak mengenal Dimas terasa begitu mengerikan. Samsuri tidak ingin lagi terlarut dalam anda-andai. Dia mencoba berbesar hati menerima apa yang telah terjadi dan berupaya mencari jalan keluar.
Berdiri tegak menghadap papan linimasa, Samsuri kembali mengulik dan merunut segalanya.
Tewasnya Lydia dalam insiden bunuh diri serta kasus penculikan yang menimpa Dimas tempo hari tak ayal sempat membuat Samsuri bertanya-tanya apakah keduanya saling berkaitan. Lydia mungkin saja dibunuh dan si pelaku menyulap tempat kejadian perkara seapik mungkin hingga membuatnya terlihat seperti bunuh diri. Namun, apakah ada indikasi yang mengarah pada dugaan itu? Belakangan Samsuri baru mengetahui, bahwa berdasarkan hasil uji forensik, jejak luka jerat dileher Lydia menggambarkan pola gantung yang biasa ditemukan pada korban gantung diri, hal tersebut juga didukung dengan livor mortis yang terlihat di area telapak kakinya. Selain itu, kondisi TKP cukup bersih, tidak menunjukkan adanya tanda-tanda seseorang masuk secara paksa ke dalam rumah tersebut. Riwayat penyakit mental yang Lydia derita bisa menjadi pemicu tindakan ekstrem yang dia lakukan. Sehingga penyidik menyimpulkan insiden itu murni bunuh diri dan kasusnya segera ditutup di kemudian hari.
Agus Sinar menerima keputusan itu dengan lapang dada. Pemakaman Lydia berlangsung sendu. Hanya sedikit orang yang hadir hari itu. Samsuri menyaksikan bagaimana Agus Sinar mengucapkan salam perpisahan setelah melantunkan doa-doa untuk Lydia. Lalu begitu saja mereka berpisah, menjauh dari gundukan tanah makam Lydia yang masih begitu segar.
Keinginan untuk memutar kembali waktu adalah hal yang mustahil. Dia tahu itu sangat mustahil terjadi. Harapan-harapan manis itu pada akhirnya dia kesampingkan. Dan saat ini, alur pikirannya sedang berkelana, sementara kedua matanya bergerilya meraup informasi penyelidikan di papan lini masa.
Tulisan-tulisan itu menghubungkannya pada satu pertanyaan: bagaimana Dimas bisa menjadi korban penculikan? Apa motif Danu melakukan itu?
"'Tidak ada motif,' itulah yang dikatakan Danu dalam sesi interogasinya," Samsuri bergumam. Lantas berbalik untuk memeriksa lembar dokumen di atas meja. Dia berpikir penyataan Danu yang tertera dalam transkrip wawancara sungguh konyol. Terlebih ekspresi wajah Danu kala itu, ketika Samsuri menghadapinya di meja interogasi. "Dia berbohong. Pria itu menyembunyikan sesuatu. Tapi apa? Apa yang sedang berusaha dia tutupi?"
Samsuri menutup kedua matanya rapat-rapat, lalu menghela napas perlahan untuk membuat pikirannya lebih rileks. Kemudian kalimat itu merasukinya. Teriakan Danu dan kata-kata yang dia ucapkan setelahnya.
"Bagaimana jika orang yang memberiku perintah, adalah orang yang sudah mati. Apa kalian semua akan percaya pada kata-kataku, huh?"
Kesadaran Samsuri mendadak tergugah oleh kalimat itu. Dia terus saja terngiang-ngiang. Begitu jelas dia mendengarnya seolah Danu hidup di dalam kepalanya.
"Orang yang sudah mati."
Samsuri menulis sederet kalimat itu di atas papan lini masa, lalu ditariknya garis melintang menuju nama Agus Sinar. Usai mendalaminya selama beberapa saat, ujung spidol dalam genggaman tangannya kemudian bergerak membentuk pola lingkaran. Kedua petunjuk itu pada akhirnya membawa Samsuri pada satu nama.
"Haszni Yusuf." Samsuri berkata dalam suara rendah dan dalam. "Dia orang yang sudah mati." Sejauh yang dia ingat, belakangan ini Agus Sinar sedang berurusan dengan kasus penggelapan Dana Haszni Yusuf. "Apakah Dimas diculik karena itu, karena mereka ingin memberi Agus Sinar peringatan?"
Samsuri memilin spidolnya dalam gerakan lambat. Dia telah sampai pada muara. Akan tetapi, dia belum sepenuhnya yakin tentang itu. Kebenaran akan praduganya itu seolah masih mengambang jauh.
"Haszni Yusuf—dokter forensik yang meninggal dalam sebuah kecelakaan—menjadi dalang di balik kasus penculikan Dimas, apakah itu mungkin?"
Pertanyaan itu terjawab oleh alarm di ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Samsuri melirik sekejap, kemudian menutuskan untuk segera beranjak dari sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top