46. Tensitas
Pemandangan di sekitar vila itu terlihat asri, tetapi nyaris tak ada rumah yang dibangun di dekat kawasan tersebut. Di dalam bangunan petaknya yang bermaterial papan kayu, Aryan dan Evan berkeliling, menilik satu per satu ruangan. Hampir seluruh perabot yang mereka jumpai tertutup oleh kain. Debu mengotori lantai, membekas di telapak kaki mereka yang berjalan tanpa alas kaki.
Vila ini sudah lama tidak ditinggali. Ketika menyibak gorden dan memandang berkeliling, Aryan mendapati rerumputan tumbuh begitu tinggi di halaman samping, bergerak seirama mengikuti semilir angin yang membawanya bergoyang seperti ombak. Di tempat inilah, jurnal milik polisi bernama Syahbana Samsuri ditemukan, sesuai dengan apa yang Disza katakan saat diinterogasi. Persisnya di sebuah ruangan, yang terletak tepat di bawah tangga.
Berdasarkan temuan tersebut, Komisaris sempat mengira jasad Samsuri-yang sampai saat ini belum ditemukan-juga disembunyikan di dalam vila ini. Mereka telah melakukan penggeledahan hingga ke seluruh penjuru vila, namun sejauh ini belum ada petunjuk yang membuktikan bahwa jasad Samsuri disimpan di tempat ini. Akan tetapi, jurnal tersebut, adalah satu-satunya petunjuk nyata yang membuktikan bahwa Samsuri pernah berada di tempat ini. Kapan tepatnya, mereka masih harus mencari tahu.
Aryan agak cemas dengan situasi yang sedang terjadi. Dimas belum juga menghubunginya. Padahal dia telah mengirimkan sejumlah berkas terkait kasus Samsuri dan Haszni Yusuf lewat surel.
Sungguh Aryan sangat menyayangkan tindakan yang Dimas lakukan, berikut kecelakaan yang menimpanya. Jika itu semua tidak terjadi, Dimas mungkin akan diikutsertakan dalam operasi kali ini. Pihak kepolisian telah berupaya menekan Dahlan agar bersedia buka mulut. Dan bary beberapa waktu yang lalu, pria itu menyerah untuk bungkam. Apa yang sedang mereka hadapi bukanlah masalah yang sepele, tetapi sangat genting dan bisa jadi berbahaya. Berdasarkan hasil perkembangan penyelidikan yang dilakukan, kepolisian menduga, selain Pusat Rehabilitasi Bersama, ada kemungkinan Haszni Yusuf akan muncul di vila ini. Beberapa anggota polisi pun telah disiagakan di tempat-tempat tersembunyi untuk memantau tempat ini.
Selain itu, berkat upaya paksa yang mereka lakukan selama menginterogasi Dahlan, kini mereka telah mengetahui di mana lokasi jasad Samsuri dikubur.
________________________
Mobil yang Dimas kendarai melaju meninggalkan kota, melintas di atas serangkaian Jembatan Barelang yang menjadi akses penghubung antar pulau yang terpisah dari Pulau Batam. Pemandangan luasnya perairan Barelang nyaris tak terlihat melalui sudut pandangnya, lantaran tertutupi oleh sisi batas jembatan. Kabel yang menjadi penyokong bangunan jembatan, seperti bergerak mengikutinya di balik jendela mobil. Melihat itu semua hati Dimas mendadak terasa begitu jeri. Tempat ini membawa ingatannya berlari pada bayang wajah Letnan Samsuri. Dimas telah membaca sejumlah berkas berkaitan dengan kasusnya. Dan di jembatan inilah dia mengetahui bahwa mobil Samsuri ditemukan terparkir di sisi jembatan tanpa pemiliknya. Membuat orang-orang kemudian beramsusi, Samsuri tewas bunuh diri dengan cara menerjunkan diri ke perairan.
Jalur Trans Barelang yang luar biasa mulus membawa Dimas berkendara lebih cepat dari biasanya. Pemandangan yang semula berupa susuran batas jembatan tak lama berganti. Barisan pohon-pohon di kanan kiri berkelebat menemani sisa perjalanannya. Sekali lagi Dimas memeriksa lokasi Eja yang Nala kirimkan di ponsel Raihana, menelan air liur, merasa gugup seiring mobil yang dikemudikannya bergerak semakin dekat dengan tempat tujuan.
Di suatu persimpangan Dimas berbelok memasuki kawasan tak beraspal. Sunyi menyambutnya di sepanjang jalan berkelok yang dia lalui. Sedari tadi tak ada satu pun kendaraan yang melintas di jalan itu selain dirinya. Membuat dia merasa sedikit waswas. Selagi matanya bergulir memantau situasi di sekitar, Dimas menambah kecepatan hinggs lambat laun, dari kejauhan dia melihat sebuah bangunan tampak mengintip di balik pucuk pepohonan. Wujud bangunan itu semakin menjelas di depan mata ketika Dimas akhirnya tiba di pelataran parkir yang tersusun dari batu terakota. Barang sesaat diawasinya bangunan bertingkat empat itu. Wajahnya tampak masih sangat baru. Dipulas menggunakan cat berwarna putih pucat. Usai memarkir mobil, Dimas bergegas memasuki lobi. Dia tidak menemukan siapa pun di meja penerima tamu. Mencoba memanggil seseorang, tetapi hanya sunyi yang menjawabnya.
Tanpa ragu Dimas melangkah masuk lebih jauh. Merasakan hawa mencekam yang begitu kental dan tak terjelaskan dari mana datangnya mengelilingi tiap sudut tempat itu. Satu per satu anak tangga disusurinya, ruangan demi ruangan diperiksanya, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan seseorang pun di sana. Membuat rasa cemas dan gelisah itu semakin kuat meliliti dirinya. Mencekik lehernya sampai-sampai Dimas harus berkali-kali menelan ludah.
Dimas memicingkan mata. Satu pemandangan ganjil di balik kelokan selasar tak sengaja ditemuinya saat dia memandang berkeliling. Di sana, dia mendapati sebentuk tangan manusia tampak terkulai di atas lantai. Telapaknya berwarna putih pucat seperti mayat. Dimas berlari cepat untuk memeriksanya, menghampiri seorang pria yang tengah terbaring kaku dengan wajah menghadap dinding selasar. Lekas dibaliknya tubuh pria itu. Di bagian dadanya tersemat papan nama dengan tulisan G. Lazuardi. Pria itu tampaknya belum lama tewas. Suhu tubuhnya masih hangat saat Dimas menyentuh bagian kulitnya yang telanjang. Darah mengalir turun dari leher pria itu menuju pakaian khas seorang dokter yang dikenakannya. Dan Dimas tercengang, hatinya ikut mencelus ketika menemukan bolpen berukir nama Nala berdiri tegak menembus leher pria itu.
"Apa mungkin ... Eja yang membunuhnya?" Pikiran keji itu mendadak muncul, lalu Dimas menggeleng, tidak sanggup membayangkan Eja melakukan itu. Dia masih berjongkok di dekat mayat Lazuardi, mencari-cari sesuatu, hingga tak lama dia menemukan bekas alat suntik tersembunyi di antara celah kaki pria itu.
Dimas membatin, bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan? Kalau Eja sampai membunuh seseorang .... Tidak! Dimas buru-buru menyangkal praduga itu dari dalam pikirannya. Namun, nalurinya sebagai seorang penyidik tak kuasa menghindari segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Dalam keadaan terjepit, Eja bisa saja terpaksa menghabisi nyawa Lazuardi sebagai upaya untuk membela dirinya. Maka, dengan penuh pertimbangan dan ketakukan akan masa depan Eja yang semakin terpuruk, Dimas mencabut bolpen itu dari leher Lazuardi, lalu menyembunyikannya di saku celana. Sementara bekas alat suntik itu, dibawanya berlari menyusuri selasar. Dimas memanggil-manggil nama Eja, tak terhitung lagi sudah berapa banyak jumlahnya. Harapannya menciut ketika Eja tidak kunjung menyahut.
Ucapan Agam kini bagai teror yang membuat jantungnya berdetak seakan hendak mendobrak dada. Dimas baru saja melihat mayat. Eja bukan lagi mungkin dalam bahaya, tetapi dia benar-benar sedang dalam bahaya.
"Eja!" suara Dimas terdengar sedikit bergetar, membayangkan kengerian macam apa yang harus Eja lalui di tempat terkutuk ini. Dimas bertanya-tanya: mengapa sejak tadi tak ada seorang pun yang dapat dijumpainya di tempat ini? Dan ke mana perginya para petugas serta penghuni tempat rehabilitasi ini?
Dimas berhenti berlari. Ketika napasnya sudah tidak seberat tadi, sunyi kembali mengisi lorong di selasar itu. Kemudian, lambat laun dia mendengarnya. Suara gedoran yang mengguncang pintu dari suatu tempat. Disusul oleh jerit putus asa dan teriakan minta tolong dari banyak orang. Dimas berupaya mencari di mana asal suara itu. Di depan pintu bermaterial besi padat kini Dimas berdiri, dan dia yakin suara itu datangnya dari dalam sana.
Dimas merasakan gedoran di pintu semakin mengganas. Dia mencoba menggerakkan tuasnya, tetapi pintu itu terkunci. Berkali-kali dicobanya pun tetap saja tidak bisa dibuka.
"Tolong!"
"Cepat buka pintunya!"
"Keluarkan kami dari dalam sini! Tolong!"
Teriakan di balik pintu semakin pecah. Dimas mencoba untuk tidak panik. Dia mencari-cari sesuatu yang dapat digunakannya untuk membuka pintu itu. Beruntung, sekian meter dari tempatnya berdiri, Dimas menemukan tabung pemadam api. Benda itu kemudian segera dikeluarkannya dari dalam kotak penyimpanan.
Berkali-kali Dimas menghantamkannya ke tuas pintu. Dia hampir berhasil menghancurkannya. Namun, pada pukulan keempat gerakan tangannya mendadak terhenti begitu saja.
Dimas merasakan sekelebat bayangan melintas di belakangnya, bukan hanya berupa sebuah firasat. Sebab, ketika dia berbalik, tiba-tiba teranyun balok kayu yang begitu tebal di depan matanya.
Dimas berkelit cepat, mengakibatkan balok kayu itu berakhir menumbuk pintu besi. Si penyerang hendak memukulkan balok kayunya lagi, tetapi Dimas menahannya menggunakan tabung pemadam api. Kemudian, dengan sebelah kakinya yang bebas, Dimas menendang si penyerang hingga tubuh besarnya terdorong menjauh dan limbung. Dimas memanfaatkan ketidaksiapan pria itu untuk menarik pin pengunci tabung, lalu dia menekan tuas, menyemprotkan isi cairan di dalamnya ke arah wajah pria besar itu. Pria itu berteriak kesakitan ketika serangan berikutnya datang. Sekuat tenaga Dimas menghantam kepala pria itu. Tubuhnya sampai sempoyongan, lalu ambruk ke dekat dinding.
Dimas tersengal hebat, rasa kesal seperti akan meledak dalam dadanya. Melihat bagaimana pria itu tiba-tiba datang menyerangnya, Dimas sangat ingin menginterogasinya; menanyakan maksud dan tujuannya, tetapi ada hal yang jauh lebih penting dari pada itu sekarang. Dimas segera berlari ke depan pintu, melanjutkan upayanya menghancurkan tuas hingga benar-benar terlepas dari posisinya.
Pintu besi itu pada akhirnya membuka lebar dan orang-orang yang terjebak di dalamnya bergegas keluar menyelamatkan diri. Wajah-wajah mereka berkelebat melintasinya, sementara Dimas berdiri gelisah di ambang pintu. Bola matanya bergerak liar demi mencari wajah seseorang yang sangat dikenalnya.
"Eja ...." Dimas menunggu, tetapi Eja tidak ada. Dia tidak menemukannya.
Seorang anak lelaki, satu-satunya yang tersisa di ruangan itu memandangi Dimas dengan tatapan sendu. Dimas mencoba mendekatinya, tetapi anak lelaki itu bergerak mundur, selangkah demi selangkah.
Dimas kemudian bertanya kepadanya, "Eja-oh nama aslinya Raiza Arieh. Dia adikku. Mungkin kau kenal. Apa kau tau di mana dia?"
Anak lelaki itu menggeleng. "Sejak kemarin malam, aku belum melihatnya."
Dimas mendesah lelah. Tersenyum pahit, mencoba menghibur hatinya yang mulai kehilangan harapan. Melihat anak lelaki itu cuma bergeming, Dimas kembali bersuara, "Kenapa kau tidak ikut keluar bersama mereka?"
"Aku ... enggak bisa."
Dimas mengernyit mendengar jawaban itu. "Kenapa?" dia bertanya penasaran. Dan jawaban yang dia dapatkan dari anak lelaki itu membawa satu kengerian lain, hingga berubah jeri ekspresi wajahnya--lantaran dia tahu dirinya takkan sangup mengatasi ini semua.
Di tubuh anak lelaki itu terpasang serangkaian bom dengan kabel-kabel yang begitu rumit. Dimas melihatnya ketika anak lelaki itu menyingkap jaket yang dipakainya. Penunjuk waktu di layar semakin menyempit. Naluri Dimas sebagai manusia berteriak ingin menolong anak itu, tetapi apa yang bisa dia lakukan sekarang? Dimas kebingungan. Dia bukan seorang ahli penjinak bom.
Dimas lekas menarik keluar ponsel dari dalam saku celana. Berpikir, mungkin dia masih punya banyak waktu. Mungkin akan ada harapan jika dia segera menghubungi nomor darurat kepolisian.
"Halo, Polresta-"
"Ada bom yang akan meledak di sini. Apa yang harus kulakukan?!"
Anak lelaki itu menatap Dimas dengan wajah luar biasa getir. Pijar di kedua matanya semakin menyendu. Dia pikir, barangkali beginilah akhir jalan hidup yang harus ditempuhnya. Begitu singkat dan menyedihkan. Pada detik itu dia menyerah. Dengan berbesar hati, anak lelaki itu menutup pintu besi yang telah penyok di segala sisi, membawa dirinya menjauh dari Dimas, menyudut di ruangan itu.
"Cepat! Pergilah! Selamatkan diri Abang sendiri sebelum terlambat!"
Dimas menggigit bibir, ragu. Dia sangat ingin mengusahakan sesuatu demi menyelamatkan anak lelaki itu. Namun, dalam situasi ini, dia tidak diberi pilihan lain selain berlari menjauh seperti pengecut. Air matanya tanpa sadar meleleh di kedua pipi, menyuarakan penyesalan yang tidak sanggup dia teriakkan dengan kalimat apa pun. Ledakan keras tak lama menyuara di belakang punggungnya. Mengguncang seluruh lantai itu. Tubuh Dimas terlempar. Jendela di sepanjang selasar berderak. Pecah. Menghujaninya dengan serpihan kaca.
Telinganya berdenging secara mengerikan. Ketika Dimas mencoba bangkit berdiri dan menengadah, dari salah satu sisa retakan kaca jendela, dia melihat Eja berlari tergesa-gesa memasuki hutan. Sementara seseorang di belakangnya, entah siapa, berderap mengikutinya. Mencoba menangkapnya.
"Eja!"
____________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top