45. Sebuah Firasat
Jalan raya terlihat cukup normal pagi itu. Menjelang pukul sembilan pagi, aktivitas kendaraan mulai menyusut. Sudah tidak seramai tadi, ketika mobil-mobil pribadi, para pengendara motor, dan trayek angkutan umum berlomba-lomba mengejar ketertinggalan waktu.
Agam meninggalkan binatu usai menaruh pakaian kotor Fred di sana. Sebelum kembali ke mobil, dia menyempatkan diri mampir ke swalayan untuk membeli beberapa keperluan. Kulkas di rumahnya sudah pasti kosong. Kalau bukan dia, siapa lagi yang akan mengisinya. Nala, adiknya itu, tidak bisa diharapkan. Dia bukan tipe orang yang akan peduli dengan hal-hal semacam ini. Terkadang Agam kesal dibuatnya. Nala itu susah sekali diatur. Agam tidak tahu apa maunya. Dia bilang, dia sedang dalam masa memberontak. Enggan pergi ke sekolah, apalagi mengurus diri. Akhir-akhir ini kerjanya hanya duduk di depan komputer, entah melakukan apa.
Letak swalayan tersebut tidak terlalu jauh. Hanya berjarak lima ruko sehingga Agam memilih berjalan kaki. Di pinggir trotoar, dia sempat mendengar seseorang mengatakan sesuatu. Sesuatu tentang PR matematika yang belum selesai dan seseorang lain meledek dengan tawa yang dibuat-buat.
Agam segera menoleh dan dia mendapati dua anak lelaki tengah berdiri di sana. Seragam sekolah yang mereka kenakan tidak rapi. Lidah kemejanya dibiarkan keluar dan berkibar-kibar tertiup angin. Tas selempang yang mereka bawa tersampir di masing-masing bahu kiri. Kedua anak itu tertawa lebar, terlihat sangat akrab. Saling menjaga satu sama lain saat melewati jalur penyeberangan di pertigaan jalan.
Tingkah kedua anak itu sukses membuat Agam mengulum senyum. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Dulu, di masa kanak-kanaknya, saat dia masih duduk di bangku sekolah dasar, dia juga pernah sedekat itu dengan seseorang. Dimas. Siapa lagi, pikirnya.
Agam tidak mungkin melupakan kenangan itu begitu saja. Dulu, mereka berteman akrab. Akan tetapi, semenjak peristiwa penculikan itu, Agam memilih menjaga jarak dari Dimas.
"Semua orang punya bekas luka dan penyesalan sendiri-sendiri, Gam."
Ucapan Fred tiba-tiba terngiang dalam benaknya. Agam terpekur, memandangi pantulan dirinya di pintu swalayan. Dia mungkin tidak punya bekas luka. Akan tetapi, penyesalan itu ada, dia menyimpannya. Dan sampai detik ini masih dipikulnya di kedua pundak.
Agam tidak bisa memungkiri bahwa dirinya merasa sangat ... sangat bersalah. Andai dia bisa menahan Dimas waktu itu. Andai dia bisa mencegah Dimas masuk ke dalam mobil penculik itu, maka Dimas mungkin tidak akan pernah mengalami kejadian buruk itu.
Kenangan pahit itu masih bertahan hingga sekarang. Agam masih ingat, betapa syoknya dia saat melihat Adam berjalan menghampirinya. Sementara di dalam mobil, Dimas semakin menjauh, dibawa oleh seseorang yang sangat mirip dengan Adam. Agam seolah kehilangan kemampuan berbicara. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya ketika Agus Sinar menanyainya di mana Dimas.
Agam menggeleng, berusaha mengusir bayang-bayang itu dari dalam kepalanya. Dia menjejakkan kaki ke dalam swalayan, lalu bergegas menuju rak buah. Saat sedang memilih buah-buahan mana yang menjadi kesukaan Nala, mendadak Agam terbebani suatu pemikiran. Seperti apa kira-kira hidup yang Dimas jalani selama dia berada di Semarang? Apa dia punya banyak teman dan lebih suka di sana? Entahlah. Agam tidak punya jawaban atas rasa penasarannya.
Semenjak Dimas pindah ke semarang, Agam tidak pernah berkomunikasi dengannya lagi. Segalanya seperti terputus begitu saja. Agam tahu dia punya banyak kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Selagi sempat, seharusnya dia berlari mengejar. Akan tetapi, perasaan bersalah itu membuat dia bergeming dan tidak sempat mengucapkan selamat jalan pada Dimas.
Agam tidak pernah berani menelpon atau berkirim surat padanya. Tiap kali dia ingin tahu bagaimana kabar Dimas, dia akan pergi mengunjungi Raihana dan menyuruhnya menghubungi Dimas. Selalu begitu sampai-sampai Raihana bosan melihatnya. Agam menunggu saat yang tepat untuk berbicara dan meminta maaf. Bukan hanya dua tiga tahun, rasanya seperti seumur hidup. Belakangan Agam baru menyadari, saat yang tepat itu tenyata tidak pernah ada. Tidak akan pernah ada jika dia tidak berani memulai. Sekarang mereka memang bertemu kembali. Hanya saja, hubungan itu sudah terlalu jauh untuk diperbaiki.
Suara dering ponsel menggugah Agam dari lamunannya. Segera ditariknya benda itu dari saku celana. Melihat nama Fred muncul di layar, kemudian dia mengangkat panggilan itu.
"Ada apa, Fred?"
Agam mendengarkan segala informasi yang Fred sampaikan padanya. Katanya, DNA rambut dalam peti mati dikonfirmasi cocok dengan DNA pembanding. "Dua jam dari sekarang, Komisaris ingin kita semua berkumpul. Kita akan bersiap melakukan operasi ke Pusat Rehabilitasi Bersama," beritahu Fred setelahnya.
Agam mengernyit dahi. "Tim Inafis juga?"
"Iya," sahut Fred di seberang.
"Oke,"
Agam memutuskan panggilan telepon. Dia tercenung. Kalau Tim Inafis juga ikut dikerahkan, apakah ... ada penemuan mayat di sana?
___________________
Tak ada seorang pun yang datang menyambut saat dia tiba di kediamannya. Agam mendapati rumah yang ditinggalinya terasa begitu lengang, sama seperti hari-hari biasa.
Dari ruang tamu, dia berjalan menyusuri lorong, lalu berbelok ke dapur untuk menata barang bawaannya ke dalam kulkas. Dia menyempatkan diri berganti pakaian, kemudian kembali ke dapur, menyiapkan bahan makanan untuk dimasak pagi itu. Agam berpikir dia ingin memasak sesuatu untuk Nala. Nasi goreng seafood adalah menu kesukaan adiknya. Agam lekas menghidupkan keran untuk mencuci bahan-bahan yang diperlukan.
Mendengar airnya mengalir dengan tenang, pikiran Agam ikut terbawa hanyut dan dia tercenung memikirkan betapa dia tidak pernah menyisihkan sebagian waktunya untuk melakukan hal semacam ini. Agam berpikir selama ini Nala mungkin merasa sangat kesepian. Kedua orang tua mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, bahkan profesi Agam menuntutnya untuk menjadi seperti itu sehingga dia sendiri jarang memperhatikan Nala.
Semua orang di rumah ini seperti hidup untuk diri sendiri. Barangkali hal itulah yang membuat lingkar pergaulan Nala luput dari pengawasan mereka. Saat mengetahui kabar mengenai hubungan Eja dan Nala dari mulut Dimas, Agam langsung menanyakannya kepada Nala. Dia butuh konfirmasi dan Nala mengakuinya tanpa ragu. Agam dibuatnya sampai kehilangan kata-kata, tidak tahu harus berbuat apa. Dia sangat paham bagaimana tabiat Nala. Semakin dilarang, maka adiknya itu akan semakin berani melanggarnya.
Usai meracik bumbu yang diperlukan, Agam mulai menumisnya di atas penggorengan, kemudian lanjut membakar nasi, mencampurkannya dengan kecap hingga aromanya memenuhi ruang dapur. Agam tahu, ini adalah masakan yang terlihat biasa saja. Tetapi dia cukup puas dengan hasil jerih payahnya sendiri. Dia menata masakannya di atas piring bersama daun selada dan taburan bawang goreng, kemudian menaruhnya di atas meja makan. Agam memanggil Nala untuk turun, tetapi adiknya itu tidak kunjung datang.
Agam naik ke lantai dua. Membuka pintu kamar Nala dan mendapati adik laki-lakinya itu tengah duduk memunggunginya di depan komputer. Suara musik yang diputar begitu keras dari dalam pengeras suara, membuat Nala tak menyadari kehadiran Agam. Agam berdiri tepat di belakangnya, mengintip ke dalam layar komputer Nala yang tengah menampilan gambaran peta Pulau Galang.
"Nala ...."
Mendengar suara Agam di balik punggungnya, Nala segera menoleh, wajahnya tampak sangat terkejut. Dia hendak menutup jendela tab, tetapi bunyi yang cukup aneh-kedengarannya seperti suara peringatan-membuat jemarinya urung menekan tetikus.
Agam mematikan musik. Dan bunyi peringatan itu terus bersuara, seiring gambar pada peta menampilkan titik lokasi yang kian menjelas. Tak lama ia menampilkan wujud sebuah bangunan bertingkat yang bergerak ibarat pertunjukan rancang bangun 3D.
Agam mengernyit. "Nala, apa itu?" Dia meminta penjelasan. Namun, Nala buru-buru mengalihkan pandangan, tampak ragu-ragu berbicara.
Sebuah alamat kemudian muncul di layar komputer. Agam tercenung membacanya. Pusat Rehabilitasi Bersama. Nama tempat itu tertulis sedemikian jelas di sana, membuatnya tiba-tiba teringat akan informasi yang dia terima dari Fred.
"Nala, siapa yang sedang kamu lacak?" Agam membawa Nala berdiri. Ketika mereka bertatap muka, Agam baru menyadari betapa letih menutupi raut wajah Nala yang biasanya tampak angkuh dan tak bersahabat. Dia terlihat seperti seseorang yang telah menghabiskan malam-malamnya dengan terjaga, tanpa memperhatikan jam tidurnya. Rambutnya berantakan. Dia terlihat sangat kacau.
"Itu ... lokasi Eja, Bang." Nala menjawabnya dalam bisikan, tetapi Agam masih bisa mendengarnya.
"Eja?" Agam tercengang. Dia tahu minat dan bakat Nala di bidang teknologi informasi dan sejenisnya sangat tinggi. Tetapi dia tidak menyangka kemampuannya itu akan dipakai untuk melakukan hal semacam ini. Dicengkeramnya kedua pundak Nala erat-erat. Dia bertaya, "Nala, jadi selama ini kamu masih ...?" Namun, pada detik itu Agam merasa begitu takut menyelesaikan kata-katanya. Dia tahu ke mana pembicaraan ini akan bermuara. Jawaban yang akan dia terima dari Nala mungkin takkan sanggup dihadapinya. Sehingga dia melepas cengkeramannya begitu saja.
Selama beberapa detik yang cukup menyiksa, Agam membiarkan Nala berjalan mondar-mandir di depannya. Dia tampak begitu frustrasi, sedih, dan putus asa. Mulutnya terus saja bergumam, sampai dia benar-benar yakin akan keputusannya, dia baru berhenti melangkah dan meneriakkannya tepat di muka Agam. "Pokoknya Nala harus susul dia ke sana, Bang!"
Agam menghadapi Nala dengan wajah yang sama letihnya. "Pulau Galang itu jauh Nala! Jangan aneh-aneh. Kalau kamu terus kayak gini, bisa-bisa kamu beneran dikirim ke amerika sama papa. Kamu mau, hm?!"
Nala mendesah. Rasanya dia sudah terlalu muak mendengar ancaman itu, baik dari mulut Agam maupun kedua orang tua mereka. Dalam situasi seperti ini, di saat dia belum mampu menghidupi dirinya sendiri, Nala sadar dia tidak diberi banyak pilihan oleh mereka. Dia pernah berpikir untuk menyerah pada perasaannya, berkali-kali. Tetapi hatinya menolak melakukan itu. Agam tidak sepenuhnya mengerti pada apa yang sedang Nala hadapi saat ini. Namun hari itu, ketika Nala mengangkat wajah, untuk pertama kalinya Agam mendapati Nala menangis untuk seseorang. Sesuatu yang takkan dia lakukan, bahkan untuk dirinya sendiri.
"Gimana kalau Eja kenapa-kenapa, Bang?" Nala bertanya dalam suara parau. Rasa bersalah itu mendadak muncul dalam hati Agam. Dia membawa dirinya melangkah lebih dekat pada Nala. Dan Nala tidak menolaknya ketika Agam datang untuk memberinya sebuah pelukan.
Agam menepuk-nepuk punggung adiknya yang meleleh dalam isak tangis, memberinya sedikit waktu sampai Nala merasa jauh lebih tenang. Dalam bisikan, Agam berkata bahwa Nala bisa bercerita apa saja padanya. Tentang apa yang tengah dia rasakan. Tentang apa yang sedang dialaminya. Dan tentang Eja--apa yang sedang terjadi padanya sampai-sampai Nala bersikap secemas ini.
_______________________
Pagi menjelang siang, mobil milik Raihana yang Dimas kendarai melayap di atas jalan raya. Arus lalu lintas terbilang cukup tenang hari itu. Namun, cuaca tidak begitu mendukung. Gelap. Arak-arakan awan hitam tampak bergerak menutup laju sinar matahari.
Perjalanan yang Dimas tempuh masih jauh. Dan selama itu, dia terus memikirkan, akan seperti apa pertemuannya dengan pria itu, penjahat yang dulu pernah menculiknya. Dia merasa gelisah akan sesuatu. Perasaan itu entah bagaimana datang mencekiknya dengan begitu kuat. Membuatnya risau, seolah ada sesuatu yang sedang menunggunya. Sesuatu yang jauh lebih besar--entah apa--yang membuatnya tiba-tiba tidak yakin dengan keputusannya ini.
Dimas merasakan ponsel di saku celananya bergetar menerima panggilan. Nama Agam tampak dalam layar pemanggil. Begitu Dimas mengangkat panggilan itu, suara Agam dapat didengarnya dengan jelas. Menyapa, “Halo, Raihana?” Tetapi Dimas enggan bersuara.
Dimas hanya mendengarkan. Agam berkata, “Nomor Dimas tidak bisa dihubungi. Aku baru ingat ponselnya rusak akibat kecelakaan tempo hari. Apa dia ... ada di tempatmu? Ada hal penting yang harus kusampaikan padanya.”
Mendengar itu, Dimas tak bisa menahan diri lebih lama. Dia lekas bertanya, “Penting? Tentang apa?”
Agaknya Agam terkejut ketika mendapati suara Dimas keluar dari dalam ponselnya. Dia mencoba memastikan. “Dimas?”
"Iya ini aku. Ada apa?"
“Ini soal Eja," jawab Agam kemudian. "Kurasa, sesuatu ... mungkin sedang terjadi padanya. Eja ... saat ini mungkin sedang dalam bahaya.”
“Apa?” Dimas yakin dia tidak salah dengar. Agam menyebut-nyebut nama Eja ke dalam topik pembicaraan mereka. "Bahaya apa maksudmu?" tanyanya tidak sabaran.
Agam terdengar ragu di seberang sana. Dia bilang, dia belum tahu pasti apa yang terjadi, tetapi dia memberitahu Dimas bahwa kepolisian memerintahkan Tim Inafis untuk bergerak ke Pulau Galang. Pekerjaan mereka selalu berhubungan dengan TKP. Dan Agam merasa ini semua berkaitan, sebab lokasi tujuan mereka berada di Pusat Rehabilitasi Bersama.
“Kau tahu, kan, kalau Eja ada di sana?”
Dimas membenarkan ucapan Agam. Wajahnya berubah pias ketika Agam menjelaskan kekhawatirannya lebih lanjut. Bolpen yang beberapa waktu Nala titipkan pada Dimas—untuk diberikan kepada Eja—di dalamnya terdapat pemancar yang dapat menunjukkan di mana lokasi Eja. Nala menambahkan beberapa perangkat di dalamnya. Tombol darurat, yang akan mengirim sinyal ke komputernya jika diaktifkan. Nala mendapati komputernya telah berbunyi sebanyak tiga kali. Bisa saja Eja tidak sengaja menekannya, tetapi rasanya tidak mungkin kalau sampai sebanyak itu.
Dimas mendadak gelisah. Wajah Eja terus berkejaran dalam benaknya selagi mendengar Agam berbicara. Dia tidak punya waktu untuk mengomentari tindakan Nala, saking cemasnya dia sekarang. Dimas tidak membuang waktu lebih lama. Dia bersiap memutar arah, sembari berkata pada Agam yang masih terhubung dalam panggilan, “Tolong, minta Nala segera kirimkan lokasinya.”
_________________________
Seorang perawat yang ditugasi untuk memantau keadaan Agus Sinar akhirnya keluar dari dalam ruang rawat inap. Agus Sinar kira dia bisa beristirahat dengan tenang. Namun, pagi itu Komisaris datang menjenguknya. Dia terlihat berdiri di ambang pintu. Tanpa perlu dipersilakan, pria itu masuk dan menempati kursi di sebelah brankar.
Komisaris memandangi Agus Sinar dengan tatapan nanar, lalu berkata kepadanya, “Aku tidak tahu kalau kau akan bertindak senekat ini. Untunglah anak buahku datang tepat waku. Aku sengaja menyiagakan mereka di dekat rumah sakit, untuk berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.”
Agus Sinar merasa tidak siap untuk berbicara. Lehernya yang tersayat masih menyisakan denyut nyeri. Dia hanya bergeming ketika Komisaris kembali bersuara, “Kecurigaanku terbukti sekarang. Haszni Yusuf memang masih masih hidup.”
Agus Sinar mengernyit, sekaligus tercengang. “Bagaimana bisa?” dia bertanya dengan suara terbata-bata.
“Apa kau ingat kasus pembunuhan berantai di Batu Bedimbar yang viral beberapa waktu lalu?”
Agus Sinar mengangguk. Komisaris kembali melanjutkan, “Di antara barang bukti yang berhasil dikumpulkan dari lokasi kejadian, aku menemukan jurnal milik Samsuri. Aryan, petugas polisi yang menangani kasus itu bersama Dimas, mengatakan bahwa jurnal itu ditemukan di TKP tempat Disza Anszani diserang.
“Saat itu, aku masih belum yakin. Tetapi kau tahu, Disza Anszani rupanya putri kandung Haszni Yusuf. Saat diinterogasi oleh Aryan, dia bilang dia menemukan jurnal itu di antara barang-barang peninggalan milik ayahnya. Aku berpikir, rasanya jurnal itu tidak mungkin ada pada Haszni Yusuf. Dia diberitakan meninggal dunia pada Februari 2006. Seingatku, ketika kami menangani kasus penculikan Dimas pada Agustus 2006, Samsuri masih membawanya ke mana-mana. Jadi, aku meminta anak buahku untuk menyelidikinya lebih lanjut.”
Komisaris menjeda ucapannya. Mendesah, lalu berkata, “Jurnal itu sekarang menghilang dari ruang penyimpanan barang bukti. Dimas yang mencurinya.”
Agus Sinar benar-benar terkejut mendengarnya. “Tunggu—untuk apa Dimas mencurinya?”
Tatapan Komisaris tiba-tiba menyipit. “Bukan kau yang menyuruhnya?”
“Apa? Mana mungkin aku meminta Dimas melakukan perbuatan seperti itu.” Agus Sinar terbatuk di akhir kalimat. Menahan sakit yang menjangkiti lehernya.
“Penyidik yang menanggungjawabi kasus itu, meminta Aryan bekerja sama selama proses penyelidikan. Dia berkata bahwa selama ini diam-diam Dimas ternyata menyelidiki kasus Samsuri. Barangkali, karena itulah dia nekat mencuri jurnal tersebut.”
Agus Sinar tidak yakin dengan ucapan Komisaris. Dia bertanya-tanya: bagaimana mungkin itu terjadi? Namun, dia tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Dulu sekali, Dimas dan Samsuri memang pernah bertemu. Hanya pertemuan biasa, berlangsung singkat, dan tidak sampai mendekatkan Dimas secara emosional dengan Samsuri sampai-sampai dia harus bertanggung jawab menyelidiki kasusnya. Agus Sinar membatin, ini benar-benar aneh.
Pikiran Agus Sinar terpecah ketika Komisaris bangkit berdiri. “Aku harus pergi,” pamitnya. “Sebentar lagi kami akan bergerak ke Pulau Galang.”
Agus Sinar menangkap tangan Komisaris, menggenggamnya begitu erat. “Kumohon, bawa Eja pulang dengan selamat.”
Komisaris tersenyum. “Aku akan mengusahakannya.”
Agus Sinar termenung di atas brankar, menatap langit-langit dengan pandangan menerawang. Mengetahui jurnal itu bisa ada di tangan Haszni Yusuf, dia bertanya-tanya apakah Samsuri pernah bertemu dengan Haszni Yusuf sebelumnya. Sepanjang ingatan yang Agus Sinar miliki, dialah yang pertama kali membawa kasus penggelapan dana Haszni Yusuf ke hadapan Samsuri, dengan harapan Samsuri bersedia membantunya mencari Firas. Namun, semenjak kasus penculikan Dimas dan kematian istrinya terjadi, Agus Sinar tidak pernah lagi memikirkan kasus tersebut. Akan tetapi Samsuri, apakah dia terus menyelidikinya?
Agus Sinar takut membayangkan jawaban atas pertanyaan itu. Karena jika benar demikian, itu berarti dialah yang telah mendorong Samsuri ke dalam jurang kematian.
_______________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top