43. Pesan yang Tak Sampai

Pekerjaan meneliti peti mati itu sepenuhnya diambil alih oleh Agam dan anggota Tim Inafis lain yang masih setia berjaga di laboratorium. Sementara Fred yang mengaku tidak enak badan, sibuk mengurung diri di ruang jaga malam sepanjang pagi itu.

Kendati peti mati berada dalam keadaan basah di luar dan terisi banyak batu-bata sewaktu ditemukan, usaha yang mereka lakukan selama berjam-jam tidak berakhir sia-sia. Mereka berhasil mendapatkan bukti berupa sehelai rambut di sela-sela kain dalam peti mati. Sehelai rambut itu kemudian diperiksa dari akar hingga bagian ujungnya menggunakan mikroskop. Ukurannya tidak begitu panjang, berwarna putih, lurus, sedikit berminyak dengan bagian ujung agak tumpul--pertanda rambut si pemilik baru dipangkas dalam rentang waktu seminggu yang lalu.

Sampel rambut yang diduga milik Haszni Yusuf itu kemudian diproses untuk diekstrak DNA-nya. Baru kemudian, akan dibandingkan dengan sampel DNA milik Disza Anszani, selaku anak kandung dari Haszni Yusuf.

Kasus penyerangan terhadap Disza Aszani yang terjadi baru-baru ini sedikit banyak memudahkan pekerjaan mereka. Pengambilan sampel DNA pembanding tidak perlu lagi dilakukan, sebab tabung berisi sampel DNA milik gadis itu masih tersimpan dengan baik dalam lemari pendingin raksasa.

Akan tetapi, sampel DNA yang dihasilkan dari sehelai rambut jumlahnya kemungkinan akan sangat sedikit, sehingga mereka perlu melakukan penggandaan DNA dengan menggunakan teknik PCR, sebelum sampai ke tahap pengujian sidik jari DNA terhadap kedua sampel. Dan seluruh proses tersebut tentu akan memakan banyak waktu.

Di sela-sela waktu sanggah, Agam berinisiatif menjenguk Fred. Dia tampak tidak baik saat berjalan keluar dari laboratorium tadi. Terlebih, sewaktu mereka berada di rumah Budhe. Membuat rasa khawatir itu singgah dalam diri Agam.

Agam membawa dua cangkir kopi bersamanya. Begitu sampai di ruang jaga malam, dia menemukan Fred sedang duduk di tepi jendela.

Agam datang menghampiri. Ikut mendudukkan diri di tepi jendela hingga mereka saling berhadap-hadapan. Cangkir berisi kopi di tangannya kemudian dia serahkan pada Fred. Fred menerimanya dengan senyum.

"Aku akan pulang untuk mengambil pakaian bersih."

"Kau akan singgah ke laundry?" tanya Fred. Agam tidak langsung menjawab. "Pakaian kotorku sudah menumpuk. Sepertinya aku tidak akan sempat pulang untuk mencucinya."

Agam mengangguk. "Oke. Siapkan pakaian kotormu. Biar kuantar nanti."

"Bagaimana peti mati itu?"

"Belum pasti apakah DNA-nya cocok dengan Haszni Yusuf. Pergilah ke lab kalau kau sudah baikan. Mereka sedang memeriksa sampel rambut yang kita temukan."

"Soal uji-menguji itu urusan dokter forensik. Tidak ada gunanya aku di sana."

Agam meniup kopinya yang masih panas. Fred diam, membiarkan pikirannya melayang.

"Apa kau mau berbagi cerita padaku--tentang apa yang terjadi?" tawar Agam sebelum keheningan benar-benar merayapi dinding di sekitar mereka.

Fred menghidu kopi dalam cangkir. Aroma pahitnya mampu membangkitkan ketenangan di alam pikiran. Dia menyandarkan punggung ke kusen agar merasa lebih rileks. Sebelah kakinya tertekuk, sementara sebelah lagi menjuntai ke lantai. Berayun-ayun mengganggu kaki Agam yang bebas, sampai-sampai Agam kesal dan membalasnya dengan satu tendangan keras. Untungnya kaca jendela dalam keadaan menutup sempurna. Kalau tidak, barangkali Fred akan terjungkal dan tewas seketika.

"Sebenarnya aku tidak pernah ingin jadi polisi." Fred menjawab setelah banyak waktu terjeda. Dia menatap sesuatu di kejauhan, entah apa, yang jelas dia tidak sedang menikmati semburat matahari yang perlahan menguasai cakrawala.

"Jadi, kenapa kau ada di sini?" Agam melirik sekilas hanya untuk mendapati Fred tengah melamun.

"Aku cuma ingin tahu, orang seperti apa dia; pekerjaan apa yang dia lakukan; dan bagaimana cara dia menjalani hidup. Agar aku ...," Fred menghela napas sebentar. "bisa memaafkannya."

"Memangnya siapa dia ... orang yang kaumaksud itu?" tanya Agam penasaran, yang kemudian dijawab Fred dengan gumaman tidak jelas.

Dia tersenyum.

"Semua orang punya bekas luka dan penyesalan sendiri-sendiri, Gam."

Agam terperenyak mendengarnya. Jawaban itu ... berada di luar perkiraannya.

Pandangan Fred mengawang jauh dari jangkauan Agam. Jelas sekali senyumnya itu tidak dia tujukan pada Agam, melainkan pada bayangan seorang pria yang mendadak hadir dalam benaknya.

Dia adalah orang baik, kata Agus Sinar.

Dia adalah orang yang tulus mencintai ibunya, kata Agus Sinar.

Dia akan jadi sosok ayah yang hebat andai Tuhan bersedia memberinya kesempatan, kata Agus Sinar.

Sayang, pikiran kanak-kanak Fred saat itu lebih memilih membencinya.

Kenangan tentang pria itu bukanlah sesuatu yang bagus untuk dia ingat. Sebab, Fred hanya akan melihat gambaran kematian, serta isak tangis ketidakberdayaannya.

Dia hanya akan dihadapkan pada kenyataan yang amat memedihkan hatinya. Kenyataan bahwa, selain perceraian, kematian ternyata dapat dengan mudah memisahkannya dari orang-orang yang dia sayang. Kematian tidak pernah mempertimbangkan siapa yang akan dijemputnya. Orang baik yang belum sempat dikenalnya itu pergi membawa serta ibu dan adiknya. Sengaja meninggalkan Fred seorang diri, untuk menangisi kepergian mereka yang tidak akan mungkin kembali.

________________________

Dia tidak ingat awal mulanya. Ada begitu banyak kenangan acak yang hidup dalam kepala sejak ia menyaksikan kejadian itu. Dia terus terngiang-ngiang. Warung Pertigaan itu seperti ditimpa truk raksasa dari atas langit. Api melalar dengan cepat, mengganas, membakar senyum ibu dan adiknya, serta Ayis--pria yang tak pernah dikenalnya.

Dia takut, takut sekali. Selalu dan selalu. Gambaran mengerikan itu muncul dalam mimpinya. Dulu, dia kerap terbangun dan meracau, "Ibuk .... Freddy kangen Ibuk dan Meddina."

Pernah satu kali dia terbangun dan mendapati tangan Agus Sinar mengelus keningnya.

Fred memanggil-manggil ibunya. Namun, suara Agus Sinarlah yang justru menyahutinya.

"Sepertinya dia demam."

Kelopak mata Fred bergerak gelisah. Dia mengintip dan hal pertama yang dilihatnya adalah besi pembatas tempat tidur. Ranjang rumah sakit.

Blur.

Dia ingin sekali membuka mata lebar-lebar. Akan tetapi, rasa kantuk dan lelah membuatnya merasa begitu berat.

Sesekali dia menyipit. Samar-samar dia melihat Budhe duduk di tepi ranjang, sedang mengurut punggung tangannya yang tertusuk jarum infus.

Agus Sinar bertanya, "Apa mungkin Freddy ... em ... pernah mengatakan sesuatu tentang ...?" Dia meragu sebab Budhe terlihat tidak senang.

"Malam itu Ayis sempat menelpon dan berkata, kalau dia akan menitipkan sebuah pesan pada Eddy. Tapi, Eddy sudah--jadi kupikir bisa saja Ayis--"

"Tidak ada," Budhe segera menyergah. "Sudah saya bilang berkali-kali. Tidak ada pesan apapun. Kenapa Bapak ini terus saja mengungkitnya, ha?"

Budhe bangkit berdiri. Menarik Agus Sinar keluar dengan terburu-buru dan membanting pintu. Mereka berseteru di luar. Suara Budhe lebih mendominasi. Dia merasa tidak terima keponakannya terus dirong-rong oleh pertanyaan.

"Lihat sekarang! kalian membuatnya jatuh sakit!"

Seingat Fred, bukan kali ini saja Agus Sinar membicarakan soal sebuah pesan. Pria itu pernah menanyakan hal serupa di pemakaman. Di sanalah, Fred bertemu dengan Agus Sinar untuk pertama kali.

Agus Sinar datang di penghujung prosesi pemakaman. Fred menoleh ketika mendengar suara mobil menepi. Dari arah gerbang, dia melihat Agus Sinar turun dan berjalan tergesa-gesa.

Begitu tiba di hadapannya, pria berkaca mata itu langsung jatuh berlutut, lalu lekas menariknya ke dalam pelukan. Biarpun Fred tidak mengerti, kebingungan, dan bertanya-tanya siapa pria itu, dia berujung membalas pelukan Agus Sinar erat-erat. Kehadiran Agus Sinar turut membawa rintik hujan turun mengguyur area pemakaman. Fred tergugu. Seseorang lalu datang memayungi mereka, dan mengusapi puncak kepalanya dengan sayang.

"Jadi, kebetulan, anak tertua Kusuma datang ke Warung Pertigaan hari itu?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Agus Sinar.

"Iya. Tapi dia tidak menyaksikan kecelakaan itu secara langsung," jawab Komisaris yang saat itu masih berstatus seorang Bintara. Sejak pagi ia telah berjaga di area pemakaman. Bersama beberapa anggota polisi lain, dia diserahi tugas mengawal prosesi pemakaman hingga selesai.

Semua akan baik-baik saja. Kata-kata Agus Sinar terngiang dalam benaknya.

Dia menatap Agus Sinar dalam-dalam.

Salah.

Salah. Dia ingin sekali menimpali, selagi pria itu menangkup wajahnya. Namun, tidak sepatah katapun sanggup ia suarakan.

Dia hendak percaya pada awalnya, tetapi kemudian, dia mendapati segalanya terasa salah.

Tepat di depan mata dia menyaksikan dua gundukan tanah makam yang terlihat masih begitu segar, bagaimana mungin semua akan baik-baik saja? Nisan yang ditancapkan di sana seakan turut menghunjam dadanya. Fred telah kehilangan. Dia tidak akan lagi punya tempat pelarian bila ayahnya tidak sedang menginginkannya.

Ucapan Agus Sinar tidak membantu sama sekali. Tangisnya pecah. Dia baru saja mengantar keluarga terkasihnya ke peristirahatan terakhir, dia tidak harus merasa baik-baik saja.

"Apa Ayis menitipkan sebuah pesan padamu?" Agus Sinar membisikkan pertanyaan itu. Namun, Fred tidak menggubrisnya.

____________________________

Agustus 2006

Fred menyusuri jalanan berkerikil seorang diri. Langkahnya kadang cepat, kadang tersendat-sendat lantaran matanya sibuk mengamati sekitar. Jauh di depannya terbentang jalanan kering kerontang. Beberapa rumah warga sudah banyak dilewatinya di belakang. Sekarang, di kanan kirinya, tersisa rumput gersang setinggi pinggang. Langit senja di atas kepala mulai menyingkirkan diri, tetapi langkah Fred tidak gentar sama sekali. Walau kerongkongannya haus minta diisi air, keinginan Fred untuk bertemu Ibuk dan Eddy membuat semangatnya tetap membara.

Betapa Fred sangat merindukan mereka. Tiga tahun belakangan Ibuk tidak pernah datang mengunjunginya, pun Bapak juga tidak pernah mau mengantarnya menemui mereka. Jadi, dengan inisiatif sendiri, Fred pergi untuk menjumpai ibu dan adiknya. Sebelum sampai di batas kota tadi, dia nekat menumpang sebuah mobil pick up untuk bisa sampai ke tempat ini. Fred yakin, jalan yang ditempuhnya benar. Harusnya sebentar lagi dia akan tiba di pertigaan.

Sebuah mobil melintas pelan di sisi kiri Fred. Klakson yang mendadak ditekan oleh si pengemudi membuat Fred meloncat kaget dan langsung menarik diri ke pinggir. Kedua mata Fred awas mengikuti gerakan mobil itu. Si pengemudi membawanya melaju lurus, hingga tak lama kemudian, lampu sorot mobil melesap ketika berbelok arah di pertigaan.

Fred spontan berlari dengan penuh semangat. Pertigaan itu menjadi penanda kalau warung ibunya tinggal beberapa meter di depan mata. Kakinya mendadak terasa ringan dan tahu-tahu dia sudah sampai di sebuah bangunan berangka papan. Fred ingin cepat-cepat menerobos masuk, tetapi di depan pintu seorang pria berbadan besar menghalanginya dan mereka nyaris bertubrukan.

Pria itu tampak tidak peduli dengan kehadiran Fred. Buktinya, dia langsung melongos pergi begitu saja. Membelokkan langkah ke arah kanan, hingga punggung tegapnya menghilang di kejauhan.

Selang kepergian pria itu, Fred berlari masuk ke dalam warung yang saat itu dalam keadaan sepi. Meja-meja dilihatnya tidak berpenghuni, televisi juga tidak dinyalakan.

"Ibuk!" Fred menyeru saat mendapati Bu Kus berdiri di balik meja kasir. Bu Kus yang tengah sibuk menghitung jumlah pesanan di atas meja pun menoleh padanya.

"Abang?!" Meddina, adik perempuan Fred, adalah orang pertama yang menyambut kedatangan Fred dengan penuh antusias. Sementara Bu Kus, di tengah keterkejutannya, dia sempat memasang wajah bingung. Entah bagaimana anak laki-lakinya itu tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan menyandang tas besar di punggung.

"Freddy, kenapa kamu bisa sampai ke sini? Sama siapa, hm?"

Bu Kus tampak cemas. Tetapi Fred tidak memedulikan serentetan pertanyaan yang dia lontarkan. Mata Fred telanjur berkaca-kaca dan dia menangis senggugukan sewaktu tiba di hadapan wanita itu. Bagi Fred, yang terpenting dia bisa bertemu dengan Ibuk dan juga Eddy. Dan yang terpenting lagi, rasa rindunya kini bisa tersampaikan lewat sebuah pelukan. Hangatnya pelukan ibu tidak akan bisa dia dapatkan dari seorang ayah. Fred tidak menyia-yiakan kesempatan. Dia mendekap Bu Kus erat-erat.

"Freddy, kamu udah minta ijin sama bapak, kan?

Fred mendongak hanya untuk menggelengkan kepala. Wajah anak itu ternyata sudah banjir air mata, Bu Kus sampai terenyuh melihatnya.

Jejak air mata di pipi anak itu kemudian segera diusapnya. "Ibuk masakin nasi goreng, mau, ya?" tawar Bu Kus.

Fred tentu dengan segera menganggukinya, mengingat perutnya pun sudah berkeriuk kelaparan sejak tadi.

Wanita itu lekas beranjak ke belakang, meninggalkan Fred dan Eddy yang kini duduk menunggu di meja kasir. Percakapan kedua anak itu sayup sampai ke telinga Bu Kus, sesekali diselingi canda dan tawa yang terdengar riang gembira. Hati Bu Kus mendadak terasa lengkap sekaligus pilu karenanya. Bu Kus turut senang. Tetapi anak-anaknya pasti akan dipisahkan lagi setelah ini. Fred mungkin akan dijemput paksa oleh ayahnya seperti tahun-tahun lalu. Bu Kus tidak bisa berbuat apa-apa.

Bu Kus mendesah, lalu mulai menggoreng nasi dalam katel. Kedatangan Fred sore itu membuatnya mesti mengesampingkan pesanan pelanggan yang harus segera dia selesaikan.

_____________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top