41. Transmisi Terakhir II
"Inspektur ...." Samsuri tertawa renyah di dalam mobilnya. "Bagaimana kabar Anda? Saya ... ck ... empat tahun tidak mendapat kabar dari Anda ... em ... kemana saja Anda selama ini?"
"Empat tahun?" Hati Dimas kontan mencelus mendengarnya. Basa-basi soal bertukar kabar tidak lagi penting sekarang. "Letnan, apa mungkin, sebentar lagi akan diadakan acara peresmian gedung baru Mapolda Kepri?" tanyanya cepat dan sedikit menggebu-gebu
"Benar sekali, Inspektur! Anda tahu ...." Samsuri menjelaskan dengan penuh antusias, berbanding terbalik dengan reaksi Dimas yang justru gelisah dan cemas. Hatinya bukan lagi mencelus, tetapi seperti dipaksa turun ke telapak kaki.
Saking kebingungannya, Dimas sampai tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Samsuri masih menguasai line dengan cerita-cerita konyolnya tentang acara peresmian Mapolda Kepri yang katanya akan diadakan empat hari lagi.
Empat hari lagi, batin Dimas. 18 Agustus. Dimas akan diculik. Lalu Lydia akan tewas di hari yang sama.
Namun, alih-alih membicarakan soal hal tersebut, Dimas justru menanyakan hal lain pada Samsuri. Dimas merasa dia tidak bisa egois, apalagi mementingkan diri sendiri. Samsuri pun—dia memiliki Eja dan Bunda Elizar di sana—orang-orang yang pasti sangat berati dan sangat dia kasihi.
Durasi waktu tidak bisa diprediksi. Dimas tidak ingin hubungan transmisi ini berakhir tanpa sempat dia menyuarakan isi pikiran.
"Letnan, apa Anda punya kenalan atau teman yang tinggal di sekitar Waduk ATB?"
"Waduk ATB?" Samsuri mengulangi dengan kening berkerut. Sejenak pandangannya menerawang kaca depan mobil, berpikir. "Tidak ada, Inspektur," jawabnya yakin sekali.
Dimas langsung membatin, lalu untuk apa Letnan Samsuri pergi ke Waduk ATB? Siapa yang dia temui?
"Memangnya kenapa dengan Waduk ATB, Inspektur? Apa ada kasus pembunuhan di sana?" Samsuri menegakkan punggungnya. Mendadak dia merasa tertarik lantaran tiba-tiba Dimas menyebut nama Waduk ATB.
Dimas kontan tercekat dibuatnya. Tidak menyangka reaksi Samsuri akan sampai sedemikian rupa. "Bukan. Jangan dipikirkan. Bukan apa-apa." Dimas menjeda cukup lama. Suara statis dan gumaman Samsuri pun mengambil alih transmisi. Ada banyak hal yang ingin Dimas utarakan sebenarnya. Terutama, soal menghilangnya Samsuri dan tentang kematiannya. Tetapi Dimas tidak tahu harus bagaimana memulai.
Kalau saja Letnan Samsuri tidak pergi ke waduk itu, mungkin Letnan Samsuri masih hidup sampai saat ini, pikirnya.
Bagaimanapun Dimas mesti mencegah peristiwa nahas itu. Samsuri tidak boleh sampai pergi ke Waduk ATB.
"Letnan, berjanjilah, apapun yang terjadi, jangan pernah pergi ke waduk itu! Anda tidak boleh pergi ke sana!"
"Ada apa, Inspektur?" Kening Samsuri makin berkerut dalam dibuatnya. Semakin Dimas berkata untuk tidak pergi ke tempat itu, dia justru semakin dipantik rasa penasaran.
"Pokoknya Anda tidak boleh pergi ke tempat itu! Hm?" Dimas kembali menekankan. Namun, di seberang sana Samsuri seolah tidak memedulikan semua ucapannya.
Dia menanyakan, "Katakan, apa ada masalah, Inspektur?"
Dimas menggeleng kuat, meski tahu Samsuri tidak akan bisa melihatnya. "Saya hanya ...," lirihnya dengan suara tersendat-sendat. "Ingin Anda hidup bahagia, Letnan. Bersama Eja dan Bunda Elizar ...."
Samsuri langsung disergap rasa cemas ketika mendengar dua nama itu disebut oleh Dimas. Meski suara kusut dari HT sesekali menginterupsi, dia tidak mungkin salah dengar. Barusan Dimas memanggil Elizar dengan sebutan 'Bunda'. Juga, Eja .... Mustahil. Dimas tidak mengenal Eja di sini. Mereka belum pernah bertemu, bagaimana mungkin ....
Samsuri tertawa pahit pada akhirnya. Saking pahit kenyataan yang mungkin akan didapatinya nanti, dia tidak berniat menebak apa-apa lagi dalam kepala.
"Kapan itu ..., Inspektur?"
Pertanyaan Samsuri sulit dicerna di awal. Namun, Dimas kemudian mengerti—Samsuri sedang mempertanyakan hari kematiannya sendiri.
Dimas sendiri tidak yakin kapan tepatnya. Namun, dia menyebutkan sebuah tanggal. 19 Agustus. Mobil Samsuri terlihat berkeliaran di daerah Waduk ATB sekitar tanggal 19-21. Apapun yang sedang dikejar Samsuri di waduk itu, akan lebih baik kalau dia tidak pergi ke sana.
Samsuri terenyak seketika. 19 Agustus hanya tinggal menghitung hari. Mendadak tenggorokannya terasa berat dan dia kesulitan berbicara. Dimas memberitahukan hal ini, tentunya dengan harapan Samsuri bisa melaluinya—seperti saat mereka menolong Rianda Bumi dari kematian.
"Anda tidak perlu khawatir, Inspektur," katanya kemudian, mencoba meyakinkan Dimas. "Saya merasa cukup di sini." Samsuri mengakhiri dengan senyum tipis. Dia memilih merespons ucapan Dimas sebelumnya. Memiliki Elizar dan Eja adalah segalanya bagi Samsuri. Rasanya tidak ada hal lain lagi yang Samsuri inginkan di dunia ini. "Bagaimana dengan Anda, Inspektur?" Ragu-ragu, Samsuri balik bertanya. "Apa ... Anda bahagia?"
Namun, Dimas tidak menjawab di seberang.
"Saya melihat Anda hari ini, Inspektur." Samsuri menambahkan dengan tidak sabaran. Dia hendak bercerita tentang pertemuannya dengan Dimas. Penasaran dengan apa yang Dimas rasakan saat Lydia mendorongnya ke jalan raya. Dimas tampak baik-baik saja di luar. Tetapi bagaimana dengan hati kecilnya?
Sayang, belum sempat Samsuri menyuarakan itu, HT tua yang menghubungkannya dengan Dimas mati secara tiba-tiba. Samsuri tidak lagi mendengar suara statis memenuhi mobilnya. Transmisi itu telah benar-benar terputus.
"Saya juga ingin Anda bahagia, Inspektur," ucap Samsuri dengan tulus sembari memandangi HT tua itu dalam-dalam. Samsuri kembali meletakkannya di dalam kompartemen. Tangan kanannya kini terjulur ke laci dashbor, guna mengambil jurnal penyelidikan yang dia simpan di dalam sana.
Ketika Samsuri membuka lembar demi lembarnya, banyak sekali coretan pulpen yang didapatinya di sana. Dia tahu, ini pasti ulah Eja. Akhir-akhir ini Eja suka sekali mencoreti dinding rumah dan buku-buku milik Samsuri. Tawa getir lolos dari bibirnya. Samsuri mendapati kedua tangannya tiba-tiba gemetar entah sebab apa.
"Letnan, berjanjilah, apapun yang terjadi, jangan pernah pergi ke waduk itu!" Samsuri kembali terngiang-ngiang ucapan Dimas.
Bolpen yang tadinya tersemat di kantung kemeja kini terselip di antara ibu jari dan telunjuknya. Tepat di bagian lembar pertengahan jurnal, Samsuri menuliskan sesuatu sebagai pengingat.
"19 Agustus 2006. Waduk ATB"
Sebuah tanda tanya besar lalu dia bubuhkan di bagian ujung.
Samsuri tercenung. Bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada dirinya di hari itu. Sejauh ini semua baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti dan dia menjalani hidupnya seperti biasa.
Seseorang tiba-tiba mengetuk jendela mobil. Samsuri pun lantas tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan menurunkan setengah kaca jendela. Seorang pria berseragam oranye menadahkan tangan padanya, meminta jasa parkir.
Samsuri tersenyum canggung, lalu mengambil dompetnya di saku celana.
Begitu dompet itu dia buka, matanya langsung bertemu dengan foto Eja yang terselip di bagian tempat foto. Senyum Eja begitu cerah, secerah air laut yang berkilauan jauh di belakang tubuhnya. Tangannya memegang banyak kerang. Seingat Samsuri, foto tersebut diambil saat mereka sedang berlibur di Pantai Marina. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan bermain bersama, yang belakangan jarang sekali mereka nikmati sejak Samsuri diangkat menjadi ketua tim di Divisi Kriminal Umum.
Pria di balik kaca jendela mobil berdeham dan mengetuk-ngetuk jendela lagi. Samsuri lekas memberikan sejumlah uang pada si tukang parkir, yang kemudian langsung melongos pergi tanpa berniat membantu Samsuri memundurkan mobil.
Samsuri mengeluarkan foto Eja dari dalam dompet lalu membalik sisi belakangnya. Dia bersiap menulis sesuatu di sana. Tetapi kemudian, bolpen di tangannya segera dia lemparkan ke jok dengan kesal.
Samsuri merutuki diri sendiri.
Astaga, apa yang kulakukan.
Lalu meraup wajahnya dengan kasar.
19 Agustus 2006. Apakah dia memang akan meninggalkan Elizar dan Eja?
Secepat itukah?
Eja bahkan belum genap berusia empat tahun.
Samsuri menghela napas gusar.
Tidak bisakah dia hidup lebih lama lagi?
Dia ingin terus melihat Eja tumbuh. Empat tahun. Lima tahun. Enam tahun. Bahkan sampai Eja menjadi seorang pria dewasa dan siap dia lepaskan. Tetapi, bagaimana jika Tuhan tidak menghendakinya?
__________________
Waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat ketika Samsuri melirik jam tangannya. Malam itu, begitu selesai dengan urusannya di kantor polisi, Samsuri bergegas memacu mobilnya pulang ke rumah. Elizar dan Eja rupanya sudah menunggu di depan pintu saat dia tiba. Samsuri memang telah mengabari Elizar sebelumnya lewat telepon, kalau dia ingin mengajak mereka pergi ke suatu tempat. Dan Elizar mengiyakan ajakannya.
Perjalanan yang mereka tempuh cukup jauh. Melewati sudut-sudut perkotaan di wilayah Nongsa. Sepanjang perjalanan Eja tertidur dalam dekapan Elizar seperi anak koala. Elizar menepuk-nepuk pelan punggung Eja. Matanya ikut terpejam selama beberapa saat. Lalu kembali terjaga saat menyadari Eja menggeliat-geliat dalam tidurnya.
“Kita hampir sampai,” beritahu Samsuri. Dia melirik cepat ke arah Elizar lalu kembali fokus mengemudi. Mobil kemudian berbelok memasuki area lahan parkir terbuka yang telah penuh oleh berbagai jenis kendaraan. Beberapa kali punggung Elizar sampai harus terentak ke jok saat mobil Samsuri nyaris bersinggungan dengan mobil lain demi memperebutkan satu tempat kosong. Eja bahkan sampai terbangun karenanya.
“Pasar malam?” Elizar sedikit tidak percaya saat melihat gemerlap pemandangan di balik kaca jendela mobil. “Kalau hanya ke pasar malam, kenapa mesti sejauh ini, sih?” protesnya tidak mengerti, yang sama sekali tidak didengar oleh Samsuri lantaran dia telah lebih dulu keluar untuk membukakan pintu.
Begitu mereka turun, Eja langsung gelisah dalam gendongan Elizar. Dia agak rewel. Untungnya tidak sampai menangis keras. Hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu-lalang agaknya membuat Eja merasa tidak nyaman. Apalagi sewaktu mereka sampai di depan gerbang masuk. Mendengar suara motor menggerung-gerung keras dari dalam permainan tong setan, Eja langsung bersembunyi lebih jauh ke dalam pelukan Elizar.
Samsuri menarik tangan Elizar, lalu menuntunnya berjalan ke arah kiri. Lama-kelamaan suara motor itu pun tertinggal jauh di belakang, segera digantikan oleh teriakan para penjaga stand permainan lempar gelang dari dalam pengeras suara. Mereka berlomba-lomba mempromosikan stand masing-masing agar para pengunjung merasa tertarik untuk datang. Hadiahnya kebanyakan sabun cuci dan jam dinding. Elizar terlihat tidak antusias. Jadi, Samsuri membawanya pindah ke tempat lain
Mereka melewati jejeran stand makanan yang memanjang di kanan kiri. Banyak aneka panganan yang dijual dengan harga murah. Mulai dari macam-macam gorengan, telur gulung, jagung dan kacang rebus, popcorn warna-warni, bilis molen, serta—satu, yang tidak pernah luput dari acara seramai ini—apa lagi kalau bukan si arum manis.
Samsuri menawari Elizar—barangkali dia mau membeli sesuatu. Tetapi Elizar menolak sebab Eja tampaknya mulai tertarik saat melihat anak-anak lain berebut naik ke kereta mini. Elizar mengantri untuk membeli karcis. Kesempatan itu pun Samsuri gunakan untuk membeli seplastik bilis molen. Makanan khas dari Batam yang bentuknya mirip pisang molen, tetapi lebih kecil dengan isian ikan teri di dalamnya. Dia sangat kelaparan. Sejak tadi perutnya terus berbunyi minta diprioritaskan.
Kereta mini masih setia berdiam diri menunggu para penumpangnya naik saat Samsuri kembali. Samsuri melihat Elizar dan Eja telah siap sedia di dalam gerbong mereka. Ukuran gerbongnya sendiri tidak begitu besar, hanya muat untuk dua orang. Jadi, Samsuri tidak ikut naik bersama mereka. Samsuri menunggu di balik pagar pembatas rendah, bersama para orang tua lain yang turut merasa senang saat mendapati anak-anak mereka kegirangan di dalam gerbong. Mesin dibunyikan oleh si petugas penanggung jawab tak lama kemudian. Kereta mini pun mulai bergerak di atas rel dengan perlahan.
Relnya memanjang seperti kapsul, sehingga laju kereta mini hanya mengitari area permainan di dalam pagar pembatas.
Pada putaran pertama, dengan riangnya anak-anak beramai-ramai menirukan suara kereta: “jes-gejes-gejes”. Samsuri tertawa. Di sana—di gerbong kelima, dia menemukan Eja juga sedang melakukan hal yang sama.
Pada putaran kedua, Elizar dan Eja berdadah-dadah padanya sembari tertawa-tawa. Samsuri membalas lambaian tangan mereka sementara mulutnya penuh dengan bilis molen.
Pada putaran ketiga, sosok Elizar dan Eja luput dari pantauanya. Tawa mereka terdengar jauh, seolah Samsuri berada di batas terlarang untuk menyaksikan wajah bahagia mereka. Punggung Elizar dan Eja semakin mengecil. Samsuri tertinggal sendiri. Dia melamun. Dan apa yang tampak selanjutnya hanya gemerlap cahaya lampu yang berpendar di pelupuk matanya, sampai-sampai dia tidak menyadari Elizar sudah berdiri di sampingnya.
Elizar menyadarkannya dengan usapan di punggung. “Kamu kelihatan lelah sekali. Apa sebaiknya kita pulang saja?”
Samsuri tersenyum kikuk. Pertanyaan Elizar tidak sempat dijawabnya lantaran segera diinterupsi oleh Eja. Dengan penuh antusias, Eja menunjuk-nunjuk angkasa sambil berteriak-teriak.
“Kincil-kincil!”
“Itu namanya bianglala,” sahut Elizar mengoreksi. Samsuri tertawa geli. Di mata Eja, bianglala itu barangkali terlihat seperti kincir raksasa. Bedanya kincir yang ini dihias dengan lampu 3-D, yang pola dan warnanya bisa berubah-ubah tiap dua detik sekali.
“Eja, kamu mau naik itu?” ajak Samsuri yang kemudian langsung disanggah dengan ganasnya oleh Elizar.
“Hah? Ngapain naik bianglala. Eja kan masih kecil ....” Elizar mengomel panjang lebar. Sementara Samsuri hanya tertawa-tawa meladeni Eja yang kini mulai bersemangat berpetualang di pasar malam.
Mereka melanjutkan perjalanan. Semakin malam, suasana di pasar malam pun terlihat semakin ramai. Mereka sempat mencoba permainan tangkap ikan. Tetapi hanya sebentar saja sebab permainan itu terasa sangat membosankan.
Elizar mengajak Eja membeli arum manis kemudian. Sementara Samsuri memilih duduk menunggu di bangku taman yang kosong, mengawasi gerak-gerik keduanya dari jarak sekian meter. Mereka berdiri di depan gerobak penjaja arum manis. Eja terlihat sangat penasaran. Gumpalan kapas merah muda yang tadinya hanya berupa serbuk, semakin lama semakin membesar saat roda kepala tungku berputar dan mengeluarkan serat-serat halus dari dalamnya.
Perhatian Samsuri kemudian teralihkan kepada seorang pria muda yang tiba-tiba datang menghampirinya. Pria muda itu menawarkan jasa foto dengan kamera polaroidnya. Samsuri berkerut kening. Tidak yakin apakah hasilnya akan bagus jika diambil di malam hari. Selain itu, pria muda itu juga mematok harga yang lumayan tinggi. Agaknya Samsuri bisa mengerti, harga kertas foto polaroid memang cukup mahal di pasaran.
“Bagaimana, Pak?” Pria muda itu kembali menawarinya.
Pandangan Samsuri kembali pada Elizar dan Eja. Mereka sempat bertukar senyum sebentar.
Dengan kukuh Samsuri menolak, "Maaf, tidak usah." Yang satu ini, biar dia simpan sendiri dalam hati.
_________________
“Pak, saya ... ada sesuatu yang ingin saya beritahukan,” ujar Ayis dengan napas satu-satu. Suara di belakangnya penuh dengan sahutan klakson keandaraan. Agus Sinar menyimak baik-baik tanpa berniat menyela. Namun, Ayis justru menggantung ucapannya dengan mengatakan, “Tidak bisa ... lewat telepon. Bisakah kita bertemu di tempat biasa? Kalau seandainya kita tidak sempat ketemu, saya akan titip pesan pada Eddy. Tolong, Pak, ini ... penting sekali ....”
Sambungan telepon diputuskan.
Ayis benar-benar keterlaluan. Sedetikpun dia tidak memberi kesempatan pada Agus Sinar untuk berbicara. Agus Sinar mencoba mengontak balik, tetapi nomor Ayis tidak bisa dihubungi.
Malam itu, Agus Sinar tidak bisa pergi menemui Ayis. Mana mungkin dia meninggalkan Dimas seorang diri.
Agus Sinar tidak pernah menyangka, keputusan yang diambilnya itu akan membuatnya menyesal seumur hidup. Beberapa jam setelah Ayis menelpon, Agus Sinar mendapat kabar buruk dari Komisaris.
“Ayis meninggal, Gus. Dia ... mengalami kecelakaan. Diduga, truk kontainer yang dikemudian oleh sopir mengalami rem blong, lalu menabrak Warung Pertigaan sampai ... sampai ... hancur.”
"Ha?" Agus Sinar terkesiap mendengarnya. Dia tidak percaya Ayis akan pergi secepat itu. Seminggu yang lalu Samsuri menghilang, lalu Ayis menyusul tiba-tiba.
“Lalu bagaimana dengan Bu kus dan anaknya?”
"Mereka ...."
Agus Sinar terbangun dari mimpinya.
Sekujur tubuhnya bercucuran keringat. Dan dia menemukan dirinya duduk tak berdaya di ruang tunggu rumah sakit.
Agus Sinar merenung. Kematian datang silih berganti di tahun itu. Rasa-rasanya, kehilangan Lydia tidaklah seberapa dibandingkan saat dia harus ditinggalkan oleh Samsuri dan Ayis sekaligus. Dia pikir, setelah kepergian Ayis yang begitu mendadak, berikutnya mungkin saja gilirannya. Tetapi nyatanya sampai sekarang dia masih hidup. Hidup dalam kubangan pertanyaan yang tidak kunjung terjawab.
Agus Sinar bangkit berdiri kemudian berjalan menuju ruang ICU. Dia mendorong pintunya sedikit, sekadar ingin mengintip Elizar dari ambang pintu. Suster jaga yang tengah berada di dalam menatapnya tidak suka. Dilihatnya Agus Sinar tidak mengenakan pakaian steril. Dia diusir kemudian. Agus Sinar pun keluar dan menutup pintu.
Sekarang, tidak ada lagi Mika yang menyambutnya. Biasanya Mika selalu menunggu tidak jauh dari ruang ICU, lalu dia akan berlarian di lorong rumah sakit saat mendapati Agus Sinar keluar dari dalam ruang ICU.
Sekitar pukul sepuluh malam tadi, dua orang Bintara yang dikirim oleh Komisaris datang ke hadapan Agus Sinar untuk menjemput Mika. Untuk beberapa waktu ke depan, sampai keadaan lebih membaik, Mika akan tinggal bersama istri dari Komisaris. Agus Sinar rasa, ini adalah keputusan yang sangat tepat. Anak-anak, di bawah umur 12 tahun, sangat rentan tertular berbagai macam penyakit. Rumah sakit adalah sarang bagi berbagai jenis organisme penyebab penyakit seperti bakteri, virus, kuman, hingga toksin, dan sangat mudah menular pada anak-anak. Lagi pun, Agus Sinar tidak mungkin mengurus Mika dengan benar di saat seperti ini, sehingga mau tidak mau dia menyetujui usul Komisaris saat ditelepon sore tadi.
Pikiran Agus Sinar benar-benar terbagi antara Elizar dan Eja. Hatinya sungguh tidak tenang memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa saja menimpa Eja sewaktu-waktu. Entah memang Fred yang terlalu menakut-nakutinya atau barangkali informasi yang Agus Sinar terima memang benar adanya. Saat di telepon, Komisaris memintanya untuk menunggu dengan sabar. Kepolisian tidak mungkin melakukan penggeledahan tiba-tiba pada Dahlan dan Pusat Rehabilitasi Bersama tanpa adanya bukti yang lebih valid. Selain itu pun masih belum pasti—seluruh laporan mencurigakan yang dikirim ke e-mail Dahlan belum tentu dikirim dari pusat rehabilitasi itu.
Agus Sinar sempat menanyai dua orang Bintara suruhan Komisaris. Salah satu dari Bintara itu kemudian meneruskan pesan dari Komisaris. Katanya, Polresta Barelang telah berkoordinasi dengan anggota patroli Kepolisian Sektor Galang. Mereka sedang memeriksa pusat rehabilitasi itu. Sisanya tinggal menunggu kabar dari mereka.
Menunggu.
Agus Sinar menghela napas gusar sembari memegangi lehernya yang bagai tercekik. Dia bukan jenis orang yang bisa duduk tenang kalau sudah menyangkut nyawa anak-anaknya. Dia mondar-mandir tidak menentu. Berikutnya, tahu-tahu dia sudah menyeret langkah menuju pelataran parkir.
Agus Sinar merogoh saku celana untuk mengambil kunci mobilnya. Ibu jarinya kemudian menekan sebuah tombol pada badan kunci. Terdengar bunyi ‘tin’ lalu dia menemukan mobilnya berkedip-kedip di dekat Nissan putih.
Membuka pintu mobil, Agus Sinar mencoba berpikir rasional. Jarak menuju Pulau Galang sangat jauh. Butuh waktu berjam-jam untuk bisa sampai ke sana. Jalur Trans Barelang menuju pulau tersebut pun sangat sunyi, apalagi pada jam malam seperti sekarang ini. Agus Sinar tidak mungkin berkendara terlalu jauh, mengingat Elizar masih dirawat di ruang ICU. Sewaktu-waktu pihak rumah sakit bisa saja membutuhkannya.
Agus Sinar masuk, kemudian lekas mengenakan sabuk pengaman.
Dia mengemudi—masih sambil berpikir keras.
Pilihan terbaik yang disodorkan otaknya saat ini adalah dengan mendatangi Dahlan. Kepolisian akan mengurus Pusat Rehabilitasi Bersama jika memang tempat itu dicurigai berbahaya. Agus Sinar menyusun rencana dalam kepalanya. Dia dan Dahlan tidak begitu dekat. Apakah Agus Sinar mesti langsung menuding Dahlan untuk mengonfrontasinya?
Tiba di kediaman Dahlan, Agus Sinar justru mengurungkan niatnya untuk berbelok. Didapatinya rumah mewah itu gelap gulita. Sepuluh menit lebih dia menunggu. Firasatnya mengatakan tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah itu. Mendadak Agus Sinar pun merasa resah memikirkan di mana keberadaan Dahlan dan keluarganya. Kepada siapa dia harus bertanya? Komplek perumahan tempat Dahlan tinggal sangat sepi. Tidak ada orang sama sekali.
Agus Sinar menginjak pedal gas, kemudian segera bertolak ke Lembaga Penelitian Pusat Orang Hilang. Satu-satunya tempat yang menjadi destinasi Agus Sinar selanjutnya. Jarak yang mesti ditempuhnya untuk bisa sampai ke tempat itu kurang lebih sepuluh kilometer dari rumah Dahlan. Jalanan terbentang lurus sampai ke Tikungan Tajam. Papan penunjuk lokasi mulai terlihat dari sana, menandakan Agus Sinar hampir sampai ke tempat tujuan.
Dari kejauhan, plang besar bertuliskan nama Lembaga Penelitian Pusat Orang Hilang terlihat bersinar di atas gedung utamanya. Lembaga penelitian tersebut menempati area hijau dan rindang seluas 12,5 ha dengan banyak fasilitas laboratorium terpisah di dalamnya. Agus Sinar dengar, laboratorium penelitian tulang merupakan salah satu yang terbaik yang dimiliki lembaga itu. Beberapa tahun terakhir, kabarnya orang-orang yang bekerja untuk lembaga penelitian tersebut lebih banyak meneliti kematian yang berhubungan dengan tulang-belulang manusia, seperti kasus-kasus mutilasi, misalnya. Atau kasus-kasus pembunuhan dengan kondisi korban yang telah terkubur selama bertahun-tahun dan hanya menyisakan kerangkanya saja.
Selain menjadi lembaga pendukung institusi kepolisian, mereka juga kerap bekerjasama dengan para arkeolog dalam meneliti temuan fosil kerangka korban pembunuhan massal di masa lampau. Mereka banyak mengirimkan para pakar mereka yang ahli di bidangnya, untuk ikut mengkaji seluk beluk korban; bagaimana kondisi tulang dan gigi korban saat ditemukan; asal-muasal pakaian serta jenis bahan yang dikenakan korban saat dikuburkan; serta tes uji karbon 14 (c-14) untuk menentukan usia galian (umur fosil)—untuk kemudian diterapkan dalam proses penyelidikan.
Seiring berjalannya waktu, Lembaga Penelitian Pusat Orang Hilang pun semakin membesarkan namanya. Tidak sia-sia perjuangan para pendiri sebelumnya. Desas-desus yang dulu sekali pernah Agus Sinar dengar soal fasilitas ilegal yang didirikan oleh Haszni Yusuf tidak pernah terbukti. Pada akhirnya Agus Sinar pun menyerah mencaritahu.
Agus Sinar melirik gedung itu lagi. Tingginya tidak bisa diperkirakan. Tetapi langit malam seolah tampak begitu dekat dengan kilat dan guntur yang berkedip-kedip di atasnya. Semakin dekat Agus Sinar mengemudi, gedung utama lembaga penelitian itu, terlihat semakin mengerikan. Di matanya, gedung itu seperti menguarkan bau amis—aroma mencurigakan—dari segala sisi, membuat Agus merinding dan terus saja berprasangka buruk. Soal Subjek S00086 dalam laporan uji DNA itu, bagaimana mungkin Dahlan bisa memilikinya? Jika memang secara tidak sengaja mereka berhasil menemukan kerangka tubuh Samsuri, seharusnya temuan kerangka lebih dulu dilaporkan ke pihak kepolisian.
Agus Sinar mengerang.
Kerangka tubuh Samsuri ... mungkinkah Dahlan yang menyembunyikannya?
Tapi di mana?
Dan bagaimana bisa?
Seberapa jauh hubungan Samsuri dan Dahlan dulunya terjalin, Agus Sinar tidak pernah memerhatikan.
Tetapi, dengan ditemukannya kerangka tubuh Samsuri—kendati belum jelas di mana keberadaannya, Agus Sinar yakin, kesempatan untuk mengetahui siapa dalang di balik ini semua akan semakin terbuka lebar.
Mobil Agus Sinar baru akan mencapai gerbang pemeriksaan ketika tanpa sengaja dia melihat mobil Dahlan melaju di sisi ruas jalan kiri. Kaca film mobilnya hitam dan tidak bisa ditembus oleh mata. Tetapi Agus Sinar tahu benar seperti apa bentuk mobil Dahlan—Corolla Altis Hibrida warna abu metalik—informasi dari Fred tentunya.
Agus Sinar buru-buru menginjak pedal rem sampai decitannya terdengar menggigit aspal jalanan. Dia memutar kemudi. Dan dengan lihai membuntuti mobil Dahlan hingga masuk ke jalan besar.
Agus Sinar berusaha menjaga jarak aman. Corolla Dahlan merajai jalanan dengan manuver-manuver yang tidak begitu mencurigakan sejauh ini. Agus Sinar bertanya-tanya ke mana Dahlan akan pergi. Sejak tadi Dahlan hanya mengemudi lurus dengan kecepatan konstan. Sesekali dia akan memperlambat laju mobil apabila menjumpai kendaraan lain mendekat.
Namun, detik-detik menegangkan dimulai sewaktu Dahlan hendak mencapai perempatan—batas akhir Diponegoro. Dahlan menaikkan kecepatan mobilnya di atas rata-rata, melesat pada detik-detik terakhir pergantian lampu rambu-rambu lintas menuju kawasan Brigjen Katamso.
2
1
Agus Sinar panik dibuatnya.
Dia tidak bisa kehilangan Dahlan begitu saja.
Nekat, dia membawa mobilnya melintasi perempatan saat lampu rambu-rambu telah menyala merah. Lalu lintas berubah kacau. Mobil-mobil saling hindar dan injak rem. Sepertinya Agus Sinar akan terkena diagnosa jantung setelah ini, mengingat dirinya tidak lagi muda. Rentetan klakson dan sumpah serapah diterimanya dengan lapang dada. Lalu lenyap seiring ban mobilnya berputar menjauhi perempatan.
Mereka melewati bangunan SMP Negeri 9 di kiri. Melaju lurus, sampai kemudian berbelok masuk tepat di tikungan depan Madrasah Aliyah Negeri Batam. Lampu depan mobil Agus Sinar menyorot penuh bemper belakang mobil Dahlan. Tidak disia-siakannya jarak, tidak dipedulikannya rasa was-was—sekalipun nantinya dia akan ketahuan.
Jalanan mulai berkelok-kelok dari sana.
Dahlan berbelok, Agus Sinar mengikuti.
Mereka memasuki jalan pintas yang cukup panjang dan terarah. Agaknya Agus Sinar mulai bisa menebak ke mana arah tujuan Dahlan. Sesuai dugaannya, begitu mobil yang mereka kendarai keluar dari jalan pintas tersebut, mereka telah tiba di daerah Dapur 12. Dihadapkan oleh dua persimpangan di depan. Dan sesuai dugaannnya lagi, Dahlan memilih memutar kendali mobil ke arah kanan—menuju ke Perkampungan Tua Dapur 12.
Batam memiliki banyak sekali pelabuhan tikus. Dan salah satunya tersebar di daerah Dapur 12. Dapur 12 dikenal sebagai jalur strategis penyelundupan kayu bakau ke negara tetangga. Kapal penyelundup biasanya lepas tali pada malam hari. Agus Sinar tahu, sebab dulu dia pernah meliput daerah ini dan mewawancari salah seorang warga Dapur 12. Bahkan, sampai sekarang pun praktik ilegal tersebut masih terus berjalan lantaran minimnya pengawasan.
“Jadi, Dahlan mau kabur rupanya.” Agus Sinar membenarkan letak kacamatanya yang sedikit miring. Dugaannya, barangkali Dahlan berencana naik kapal ilegal dari Dapur 12 untuk keluar dari batam.
Agus Sinar tentu tidak bisa membiarkannya lolos. Diinjaknya pedal gas semakin dalam. Sadar dirinya tidak akan punya kesempatan lagi untuk mendahului—lantaran jalanan yang mereka lalui akan semakin menyempit di depan. Dia sempat melirik sekilas ke arah mobil Dahlan saat berpapasan. Agus sinar terus mengemudi sampai jarak yang membentang di antara mereka lumayan jauh terulur. Lalu dia melakukan manuver dengan memutar balik laju mobilnya, hingga dia berada pada satu jalur dengan moncong mobil Dahlan dan saling berhadap-hadapan.
Roda setir dia cengkram erat-erat. Agus Sinar menanamkan sugesti dalam kepala; bahwa, apapun yang terjadi dia tidak akan mengelakkan mobilnya. Semua ini dia lakukan demi Samsuri, Ayis, Elizar, Eja, serta mereka—yang ikut menjadi korban—dalam permainan hidup dan mati yang tak kunjung terselesaikan ini.
Kedua pengemudi berlomba-lomba menggilas aspal sama gilanya. Agus Sinar menghitung mundur, sampai di titik mana kira-kira mereka akan berbenturan. Semakin dekat, detak jantungnya semakin terpacu. Lampu sorot mobil Dahlan menerjang lurus sehingga hanya silau yang mampu diterjemahkan oleh retina matanya. Agus Sinar tidak bisa melihat apa-apa, tetapi dia bisa mendengar suara benturan keras tertinggal di belakangnya.
Dahlan-lah yang lebih dulu banting setir ke kiri hingga mobilnya terperosok ke semak-semak berlubang yang tidak begitu dalam.
“Sial kau, Dahlan!” Agus Sinar kontan berteriak. Diinjaknya rem dengan pakem hingga tubuhnya terbanting ke jok.
Debu sisa manuver mobil Dahlan mengebul naik. Menyambut Agus Sinar yang baru saja keluar dari dalam mobil. Agus Sinar mengukur jejak slip dari ban mobilnya melalui sudut mata, kemudian mengambil langkah lebar menuju lokasi mobil Dahlan teronggok.
Sembari mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil Dahlan, Agus Sinar meneriakkan kalimat “Dahlan, keluar kau!” berulang kali.
Pintu pengemudi bergerak perlahan, membuat kedua kaki Agus Sinar refleks tersaruk mundur. Tak lama Dahlan keluar dari dalamnya dengan tubuh terbungkuk-bungkuk seolah menderita patah pinggang. Tangan kirinya menyembunyikan sesuatu di balik punggung. Agus Sinar hendak menerjang, tetapi rupanya Dahlan bergerak lebih cepat. Dahlan menghunus sebilah pisau lalu mengayunkannya dengan cepat ke leher Agus Sinar hingga darah segar memuncrat mengenai wajahnya sendiri.
Agus Sinar tidak sempat memekik saking terkejutnya. Serangan Dahan yang begitu tiba-tiba berhasil membuatnya jatuh berlutut.
“Kau ...,” ujar Dahlan dalam perjalanannya mendekati Agus Sinar. “dulu atau sekarang, sama saja. Suka sekali bikin keributan.” Dengan santainya dia menepak pisau di udara hingga jejak darah memercik di atas aspal.
Agus sinar terkekeh sembari memegangi lehernya. Ini sama sekali tidak bagus. Luka sayatan di lehernya memang tidak seberapa dalam. Tetapi dia butuh waktu untuk memulihkan diri dari keterkejutannya. Dia tidak memperkirakan Dahlan akan membawa senjata tajam.
“Kau membuka wajah aslimu sekarang. Haha.”
Dahlan berdecak.
Sementara Agus Sinar menunggu—
Dahlan kembali berkata, “Kau terlalu ikut campur urusan orang lain, Gus. Kebiasaan lamamu—”
—dia menunggu waktu yang tepat untuk bangkit berdiri dan menghantamkan kepalanya ke dagu Dahlan dengan telak. Dahlan meringis pedih. Lidahnya ikut tergigit akibat ulah Agus Sinar.
“Katakan, apa maksud dari laporan-laporan itu? Diam-diam kau melakukan tes DNA pada Eja. Apa kau yang menyembunyikan kerangka tubuh Samsuri, brengsek?!” cecar Agus Sinar dengan nada tinggi.
Sejenak, hening. Semak belukar di kanan kiri ikut bergeming menyaksikan kedua pria paruh baya itu saling beradu tatap.
Sebentar, Dahlan menampilkan ekspresi tercengang di wajah. “Dari mana kau ....” Selepas itu, ekspresinya kembali setenang air. “Ah, Fred ....”
Siapa lagi, pikirnya. Saat Dahlan menerima e-mail tersebut, satu-satunya orang yang masuk ke ruangannya hanya Fred seorang.
“Seharusnya mereka menyiapkan dua liang tambahan untuk kalian waktu itu.” Dahlan tertawa keji. Namun, tiba-tiba tubuhnya menegang ketika raungan sirene mobil polisi terdengar dari kejauhan.
“Kau memanggil bala bantuan?!” Wajah Dahlan berubah pias seketika. Panik, dia bersiap menancapkan pisaunya ke perut sendiri.
“Dahlan!” teriak Agus Sinar berusaha mencegah. “Kau ... sudah gila!”
Dahlan tertawa masam. Tidak jadi melakukannya. Polisi hanya akan semakin mencurigainya kalau dia membuat banyak drama. Lagipula tidak ada jejak sidik jari Agus Sinar di pisaunya. Kepolisian tidak mungkin tertipu dengan trik murahan seperti itu.
Agus Sinar menghela napas. Sementara Dahlan hanya bisa pasrah sewaktu mendapati dua mobil polisi berhenti tidak jauh dari mobil Agus Sinar.
"Hei, letakkan senjatamu!"
Pisau yang semula digenggam Dahlan pun jatuh ke aspal. Salah dua polisi berlarian menyerbunya. Sementara dua lainnya menangani Agus Sinar yang berdarah-darah.
Dahlan tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Dia sudah terpojok.
__________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top