40. Transmisi Terakhir
Pada deretan bangunan ruko yang terletak di tengah keramaian Jalan Lubuk Baja, berdiri sebuah studio foto dengan plang bertuliskan MN' Foto Studio di atas pintu masuknya. Studio foto itu menempati dua unit ruko sekaligus, diapit oleh toko roti di sebelah kanan, sementara di sebelah kirinya terdapat kantor hukum kecil-kecilan yang baru beroperasi sekitar dua tahun belakangan.
Studio foto yang telah berdiri sejak tahun 1999 itu cukup terkenal dengan hasil cetakannya yang sangat bagus dan jernih. Selain menyediakan jasa cuci foto, pembuatan poster, undangan, brosur, serta ukir grafir kayu, mereka juga menjual kaset pita lagu-lagu lama, rol film, serta berbagai koleksi piringan hitam—baik dari luar negeri maupun dalam negeri.
Dinding luarnya dicat putih bersih, sementara aksen pintunya berwarna cokelat gelap. Jendelanya sendiri berkesan lebar dan transparan, sehingga siapa pun yang berlalu-lalang di depan studio foto itu, akan disuguhi pemandangan hasil cetakan potret terbaik dalam sebuah pigura besar dan hasil ukir grafir kayu yang dipanjang berderet di dalamnya.
Pria tua di balik meja kasir melambaikan tangan pada salah seorang pejalan kaki. Dari luar, si pejalan kaki—Samsuri—balas tersenyum. Dia hendak menerobos masuk pintu studio, tetapi langkahnya mesti tercegat di trotoar ketika tanpa sengaja dia melihat seseorang—tepatnya anak laki-laki—tengah berdiri di pinggir jalan raya.
Anak laki-laki itu mengenakan seragam pramuka dengan tas besar yang memeluk punggungnya. Kedua tangannya menggenggam erat tali tas di kedua sisi, sementara salah satu kakinya ditekuk, menggilas-gilas batu trotoar. Melihat wajahnya sekilas dari samping, Samsuri merasa seperti mengenalnya atau barangkali pernah bertemu di suatu tempat. Tebakan Samsuri rupanya tidak meleset. Anak laki-laki itu menoleh, menampakkan seraut wajah cemberutnya lebih jelas. "Ma" begitu dia berucap—pada seorang wanita yang berdiri tiga langkah di belakangnya.
"Inspektur ...." Suara Samsuri berakhir dalam bisikan.
Dimas tidak mungkin mendengarnya. Buktinya Dimas kembali sibuk menatapi jalan raya setelah wanita yang dia panggil "Ma" berpindah tempat ke sisinya.
Penasaran, Samsuri mencoba mengintip. Sayang, wajah wanita itu tersembunyi di balik helaian rambut panjangnya yang jatuh di pipi.
Samsuri menebak-nebak siapa wanita itu. Ma? Mama?
Selama ini Samsuri tidak pernah tahu seperti apa wajah istri Agus Sinar. Seingat Samsuri, Agus Sinar juga tidak pernah membahas soal istrinya. Beberapa kali Agus Sinar memang pernah mengajak Samsuri mampir ke rumahnya. Tetapi Samsuri selalu berasalan dan menolak semua ajakan Agus Sinar. Dia malu, malu sekali. Tidak tahu harus bagaimana. Samsuri telah gagal. Lebih parah lagi, dialah yang menjadi penyebab Wahyam tewas. Tangannya telah berlumuran darah. Samsuri tidak punya muka untuk bertemu Dimas.
Samsuri menghela napas. Mengingat semua kejadian itu, dia merasa dirinya tidak pantas lagi mengenakan seragam kebanggaan polisi. Samsuri berniat berhenti dari ini semua. Berkali-kali dia mengajukan surat pengunduran diri, tetapi surat-surat sialan itu tidak pernah diproses.
Dalam jarak yang cukup aman, diperhatikannya interaksi antar kedua ibu-anak itu. Mobil-mobil lewat silih berganti di hadapan mereka. Kepala Dimas otomatis bergerak mengikuti mobil-mobil yang berkelebat di depan matanya. Dimas dan ibunya tampak ragu-ragu menyebrang. Seketika itu timbul niatan di hati Samsuri. Dia sangat ingin membantu. Namun, kedua kakinya justru bergeming, enggan menuruti kata hati sendiri.
Samsuri menggeleng. Pada akhirnya niatan itu pun dia urungkan begitu saja. Kedua kakinya memilih melangkah masuk ke studio foto. Pria tua di balik meja kasir—yang tadi melambaikan tangan padanya—menyambutnya dengan senyum ramah. Tanpa perlu berbicara lagi, dengan sigap pria tua itu langsung menyerahkan sebuah amplop cokelat pada Samsuri. MN' Foto Studio memang selalu jadi tempat terbaik bagi Samsuri untuk menitipkan sebagian "kenangan"-nya—sebelum dia ambil kembali dalam wujud cetak di atas kertas mengkilap.
Samsuri memeriksa ke dalam amplop sekilas. Foto-foto dirinya, Elizar, dan juga Eja pun segera didapatinya di sana. Senyumnya lantas terbit. Dia berencana mengabadikan foto-foto tersebut ke dalam sebuah album. Album yang nantinya akan dia isi dengan banyak cinta dan kenangan bersama keluarga kecilnya, yang bisa dia lihat kapan saja. Atau barangkali Eja bisa menyimpannya saat dia sudah dewasa.
"Terima kasih banyak, Komandan," ucap pria tua itu saat Samsuri melunasi tagihan bon yang separuhnya telah dia bayar di muka.
Samsuri mengangguk. Hari ini dia terpaksa menghindari berbasa-basi dengan pria tua itu. Samsuri harus segera kembali ke kantor setelah ini, masih banyak tugas yang menantinya di atas meja kerja.
Namun, begitu Samsuri menginjakkan kaki keluar dari studio foto, dia mendapati Dimas dan ibunya belum juga beranjak dari sisi jalan raya. Masih berdiri di tempat yang sama, dengan posisi yang sama pula. Seolah keduanya memang tidak bergerak barang sesenti pun. Padahal Samsuri perhatikan arus kendaraan di depan mulai berjeda, tidak seramai tadi.
Samsuri mengernyit. Pikirnya, barangkali istri Agus Sinar sedang menunggu saat yang tepat. Saat yang tepat untuk ....
Samsuri terperanjat. "Hei!" Dia berlari secepat kilat dan berhasil menangkap tangan istri Agus Sinar di saat yang tepat. "Apa yang Ibu lakukan?!" Dia berteriak dengan kencang.
Lydia tidak kalah terkejutnya. Wanita itu melebarkan kedua mata saat menyadari lengannya dicengkram secara tiba-tiba.
"Lepas!" bentak Lydia garang. Sewaktu wanita itu mendongak, Samsuri dapat menemukan wajah sembab lawan bicaranya yang terpapar sinar matahari pagi. Warna matànya yang cokelat benderang bersinar marah. Sebagian rambut depannya menjuntai tidak beraturan, sementara sebagian lagi lepek akibat keringat di dahi.
Samsuri tidak mengira Lydia akan menginjak kakinya. Seketika atensi Samsuri terbagi rasa sakit, Lydia pun lolos dengan mudahnya. Lydia menggigit kuat lengan Samsuri yang hanya terbalut kain kemeja tipis.
Dalam kepanikannya, Lydia masih sempat mendorong Dimas ke jalan raya sebelum kabur secepat yang dia bisa. Dimas memekik. Untung saja tidak ada kendaraan yang melintas saat itu sehingga dia hanya menderita luka di lutut. Beberapa orang pejalan kaki yang menyaksikan kejadian itu langsung berhamburan, membantunya berdiri. Sementara Samsuri berlari menjauh, mengejar Lydia sampai ke sela-sela bangunan kios yang saling hadap-membelakangi.
Samsuri nyaris kehilangan jejak wanita itu. Dia menemukan Lydia sudah setengah jalan menyebrangi arus lalu lintas yang cukup ramai di persimpangan. Wanita itu cukup nekat, pikirnya. Samsuri menilik situasi. Tampak dua orang anggota polantas sedang melakukan razia kendaraan di depan persimpangan lampu merah. Spontan Samsuri berseru dari tempatnya memantau, "Wanita itu—cepat tangkap dia!" tunjuknya ke arah Lydia yang kebingungan mencari jalan keluar.
Salah seorang petugas polantas yang tanggap menerima kode dari Samsuri lantas bergerak mengejar Lydia. Lydia tidak bisa ke mana-mana, padatnya arus kendaraan seperti mengepungnya dari segala arah. Hari itu Lydia berhasil diringkus. Dengan kedua tangan terborgol, dia dipaksa masuk ke dalam mobil patroli kendati terus meraung-raungkan dirinya tidak bersalah. Oleh para petugas polantas, wanita itu kemudian segera diamankan ke Poltabes Barelang, bersama Dimas yang ditempatkan di mobil patroli terpisah. Kedua mobil patroli itu pun perlahan meluncur menuju kawasan Sudirman, diikuti mobil Samsuri yang mengekor pelan-pelan di belakang.
_____________________
"Yang benar saja istrimu itu, Gus!" teriak Samsuri untuk kesekian kalinya.
Di bawah tudingan Samsuri, Agus Sinar hanya bisa menunduk dalam. Dia tidak menyela sedikitpun sewaktu Samsuri mengungkapkan sejumlah pasal yang bisa saja menjerat Lydia ke hadapan hukum.
"Aku akan segera ajukan visum. Kalau sampai—" Samsuri berhenti berbicara. Sadar dirinya sudah keterlauan lantaran sejak tadi dia terus mencecar Agus Sinar. Namun, Samsuri tidak membiarkan jeda berlama-lama mengisi kekosongan di antara mereka. Dia kembali meneruskan, "Istrimu pasti akan—" Tetapi rupanya Agus Sinar menukasnya tidak kalah cepat.
"Kumohon, Samsuri. Kau tidak bisa melakukan ini!".
Wajahnya gelisah. Jelas sekali ada sesuatu yang berusaha dia tutup-tutupi, pikir Samsuri.
"Apa dia selalu seperti ini?" Samsuri memberi penekanan saat melontarkan kata "dia" yang merujuk pada istri Agus Sinar. Samsuri mendengkus. Dia tidak perlu lagi merasa heran saat Agus Sinar memilih bungkam di kursinya. "Kau lalai, Gus. Kalau kau tau akan begini jadinya, seharusnya kaupisahkan anakmu dari wanita gila itu."
Samsuri tidak peduli jika ucapannya akan menyakiti hati Agus Sinar. Dia hanya mengatakan hal yang sebenarnya, sesuai dengan kejadian yang mata dan kepalanya saksikan pagi tadi.
Samsuri segera menghindar. Dia berjalan cepat menuju jendela di ruangannya. Kemudian meratapi pemandangan di baliknya dengan perasan luar biasa kecewa. Dadanya sesak—entah sebab apa dia sendiri pun tidak tahu alasannya.
Sayup dia mendengar langkah kaki Agus Sinar perlahan menapak di atas lantai. Sebelah tangan Agus Sinar masih berada di atas tuas pintu saat Samsuri menoleh padanya. "Aku tidak akan menolerir jika hal seperti ini terulang di kemudian hari." Samsuri memperingatkan. "Kau seharusnya paham apa maksudku."
Pintu membuka, lalu ditutup kemudian.
_________________
Sesuai permintaan Agus Sinar, kecelakaan yang menimpa Dimas tempo hari berakhir menjadi sebuah ketidaksengajaan. Lydia dilepaskan dan langsung dibawa pulang oleh Agus Sinar hari itu juga. Samsuri masih tidak habis pikir sebenarnya, tetapi dia bisa mengerti alasan Agus Sinar. Agus Sinar tidak mungkin tega menjebloskan istrinya sendiri ke dalam penjara.
"Dia sakit," aku Agus Sinar padanya saat itu.
Meskipun demikian Samsuri tidak mungkin melepaskan tangannya begitu saja. Masalah ini bisa jadi sangat fatal jika dibiarkan. Setidaknya Samsuri harus memastikan sendiri keadaan Dimas. Apakah Dimas baik-baik saja atau ... atau—Dimas mungkin saja terguncang akibat kejadian itu. Lamban laun hati dan pikiran Samsuri dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Bagaimana mungkin seorang ibu tega melakukan hal segila itu? Saat Agus Sinar absen menjaga Dimas, apa yang akan terjadi padanya? Bagaimana cara Dimas menghadapi ini semua?
Maka, tanpa perlu berpikir dua kali, Samsuri berinisiatif kembali ke tempat itu—MN' Foto Studio. Dia berbelok. Mobilnya lalu menepi tidak jauh dari lokasi ruko. Terparkir bersama mobil-mobil lain yang berbaris serong di lahan parkir pinggir jalan.
Dari kejauhan Samsuri dapat menemukan sosok Dimas—dia berdiri di tempat yang sama seperti saat Samsuri melihatnya dua hari lalu. Bedanya, kali ini dia mengenakan seragam merah-putihnya. Samsuri mengembuskan napas lega. Lydia tidak ada bersamanya hari ini. Syukurlah.
Ketika Samsuri mendekat, Dimas menjauh darinya. Dimas menyebrang jalan dibantu oleh seorang ibu-ibu dengan keranjang belanjaan di tangan.
Samsuri mengikuti dalam diam. Sekolah Dimas ternyata tidak begitu jauh dari sana. Sekitar lima belas langkah setelah memasuki jalan lokal, papan nama SDN002 yang agak berkarat langsung terlihat. Banyak anak-anak berseragam merah-putih yang berkerumun di depan. Salah satunya terlihat sedang melambaikan tangan ke arah Dimas lalu berlari menyongsongnya.
"Dimas!"
Agam Wirang. Samsuri sempat membaca tulisan yang terjahit di dada anak itu. Tingginya hampir sama dengan Dimas. Agam terlihat sangat ceria dan aktif. Dia manis sekali saat menyengir.
"Siapa itu yang nganterin kamu?" tanya Agam penasaran. Dia sempat bertukar pandang sebentar dengan Samsuri. Menyadari jarak dirinya terlalu dekat, Samsuri pun mundur teratur dengan salah tingkah.
"Nggak ada. Papaku sibuk, harus kerja." Dimas menjawab sekenanya.
"Kakimu kenapa?" tanya Agam lagi begitu menyadari ada perban besar di lutut Dimas.
"Jatuh," jawabnya acuh tak acuh.
Agam menggandeng lengan Dimas. Lalu mereka berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Di sana, Samsuri perhatikan, ada seorang pria yang juga baru tiba dengan berjalan kaki. Kehadiran pria itu langsung disambut salam dan sapa oleh anak-anak di sekelilingnya, tak terkecuali Dimas dan Agam.
Samsuri sempat mencuri dengar obrolan mereka.
"Ayo, ayo, masuk. Bentar lagi lonceng."
"Pak Adam!" Pria itu otomatis menoleh saat Dimas memanggilnya. "Anak kucing yang kemarin, udah Dimas kasih nama. Namanya Miu!" Dimas bercerita dengan penuh semangat.
"Anak kucing?" Adam mengerutkan kening. Dimas balas mengangguk dengan senyum lebar. Sementara Agam hanya menyimak.
"Iya. Anak kucing belang hitam, yang kita ambil di semak-semak warung."
Lipatan di dahi Adam semakin dalam. Dia tidak mengerti maksud ucapan Dimas. Tetapi terpaksa mengiyakan ketika mendengar bunyi lonceng dari dalam sekolah. Upacara hari senin akan segera di mulai.
___________________
Di sebuah kedai, yang letaknya berseberangan dengan sekolah Dimas, Samsuri duduk di salah satu kursi, sembari mendengarkan cerita dari para ibu-ibu yang bergerombol di dekatnya. Mereka merupakan orang tua dari siswa-siswi kelas satu SDN002. Seorang ibu dengan sanggul besar di kepalanya berkata bahwa anaknya belum mau ditinggal sendiri. Dia bilang, anaknya pasti akan menangis meraung-raung di kelas jika tahu si Ibu tidak ada di sekitarnya. Jadi, dia terpaksa menunggui anak semata wayangnya sampai lonceng pulang berbunyi.
"Sama. Anak saya juga gitu, Bu," jawab seorang ibu lainnya.
"Rata-rata anak kelas satu memang belum mandiri, masih takut, jadi mesti ditunggui."
"Padahal saya nih ya, Mbak, banyak kerjaan di rumah. Tapi ... ya mau kayak mana lagi, Mbak ...."
Satu per satu dari mereka terus menyahut. Percakapan yang tadinya berkesan ringan pun berakhir menjadi gosip berantai.
Samsuri menyesap kopinya sedikit demi sedikit. Pembicaraan para ibu-ibu selanjutnya hanya samar-samar dia cerna dalam telinga. Tidak begitu dia pedulikan, kendati salah satu di antara mereka bertanya siapa yang sedang Samsuri tunggu, atau siapa nama anaknya, kelas berapa, dan lain sebagainya.
Untuk kesekian kali Samsuri kembali mengintai ke dalam area sekolah. Koridornya tampak lengang lantaran saat ini kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. SD negeri itu memiliki lapangan yang cukup luas dengan tiang bendera yang menjulang tinggi di depan bangunan kelas yang memanjang. Sekitar satu atau dua meter dari sana, berdiri sebuah mimbar yang biasa dipakai pembina upacara apabila upacara dilaksanakan.
Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi saat Samsuri memeriksa penunjuk jam analog pada layar ponselnya. Tepat saat dia hendak menyakukan kembali ponsel itu, dia mendapat telepon dari si Bocah Teropong, salah satu anak buahnya di Divisi Kriminal Umum. Begitu diangkat, Samsuri langsung diberondong dengan berbagai pertanyaan, seperti; di mana Anda saat ini, Letnan—maksud saya Komandan. Kenapa Anda belum tiba di kantor, Let—Komandan. Apa ban mobil Anda bocor, perlu saya susul. Komisaris Besar sedari tadi mencari Anda, Let—Komandan. Anda tidak lupa kan soal persiapan acara peresmian Mapolda Kepri.
Samsuri memutar bola mata. "Kenapa tidak sekalian saja kaupanggil aku Letnan-Komandan?"
Si Bocah Teropong tertawa di seberang. Samsuri memutar bola mata lagi.
Si Bocah Teropong—Samsuri pertama kali mengenalnya saat mereka bersama-sama menangani kasus Rianda Bumi. Kemana pun dia pergi dia pasti selalu membawa teropong bersamanya. Dan dari sanalah asal muasal julukan 'si Bocah Teropong' dicetuskan.
Anak buah Samsuri yang satu itu tampaknya masih betah jalan di tempat, belum terbiasa meninggalkan kebiasaan lama. Samsuri sering memberikan wejangan dengan harapan si Bocah Teropong bisa segera naik jabatan seperti Ayis—yang sekarang menjadi kepala di Unit PPA. Tetapi si Bocah Teropong tampaknya tidak begitu menggubris semua nasihat Samsuri.
"Melepaskan panggilan Letnan saat sedang berbicara dengan Anda rasanya tidak pas." Begitu katanya setiap kali berdalih.
Dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan oleh si Bocah Teropong, Samsuri hanya berminat menjawab bagian terakhir saja. "Tentu, aku ingat. Tapi ... aku masih ada urusan sekarang. Mungkin sebentar lagi aku kembali ke pos."
Mendadak sambungan telepon terputus. Samsuri memeriksa bar sinyal yang tertera. Tersisa dua. Sinyal sedang tidak bagus, batinnya.
Perhatiannya lalu segera berpindah. Dari dalam sekolah, sayup Samsuri mendengar suara lonceng yang dibunyikan. Siswa-siswi kelas satu pulang lebih cepat dibandingkan siswa-siwi yang berada di kelas lebih tinggi. Gerombolan ibu-ibu pun lantas keluar dari dalam kedai. Berebut menjemput anak-anak mereka langsung di depan pintu kelas. Sementara Samsuri tetap tinggal di tempat.
Samsuri tercenung sepanjang sisa waktunya menunggui Dimas keluar. Dia bertanya-tanya apakah dengan melakukan ini, dia bisa membuat keadaan menjadi lebih baik. Bagaimana ketika Dimas di rumah? Apa yang akan Dimas hadapi nanti? Rasanya mustahil sekali. Samsuri tidak mungkin membuntuti Dimas sampai ke rumah. Bisa-bisa Agus Sinar curiga terhadapnya.
Samsuri tidak sempat mengok jam ketika suara lonceng terdengar lagi dari dalam sekolah. Dia refleks berdiri, kemudian melangkah ke depan kedai. Di seberang sana, dilihatnya siswa-siswi berhamburan seperti kawanan semut yang keluar dari dalam sarang. Tidak jauh dari lokasi SD negeri itu berdiri, Samsuri melihat mobil Agus Sinar menepi di bibir jalan. Tidak ingin dirinya ketahuan, Samsuri buru-buru berpaling kemudian. Sesekali dia menoleh pada objek intaiannya. Kekhawatiran Samsuri pun setidaknya kini bisa sedikit terangkat. Hari itu Dimas dijemput sendiri oleh Agus Sinar. Tidak ada Lydia.
Setelah memastikan mobil yang membawa Agus Sinar dan Dimas menghilang di bekolan jalan arteri, Samsuri pun berlalu dengan perasaan serta langkah yang luar biasa ringan.
Samsuri kembali ke tempat di mana mobilnya terparkir semula. Begitu masuk dan menutup pintu, dia langsung disambut oleh suara HT tua yang berbunyi di dalam kompartemen. Spontan, Samsuri melirik ke bawah dengan tatapan tidak percaya. Layar pada HT tua dillihatnya bercahaya kekuningan, tanda seseorang masuk menghubunginya. Samsuri masih tidak percaya ini. HT tua itu ... setelah sekian tahun lamanya mati, kini mendadak hidup kembali.
____________________
Raihana bergelung di dalam selimutnya. Dia telah jatuh tertidur dalam damai setelah direpotkan dengan urusan berkas Letnan Samsuri dan album-albumnya. Sementara Dimas, barang sedetikpun dia tidak bisa memejamkan kedua mata.
Dimas meraih HT tua beserta jurnal Letnan Samsuri di atas nakas. Diperhatikannya sebentar kedua benda itu. Kemudian dia berpindah ke balkon kecil yang terhubung melalui jendela geser di kamar Raihana. Di luar terlihat sepi. Bulan menutup diri. Langit terlihat begitu angkuh, enggan memberinya kesempatan menikmati satu pun pijaran bintang di atas kepala.
HT tua itu diletakkannya di atas besi pembatas guna menemaninya menikmati hujan yang kini tinggal rintik-rintiknya saja. Meski tahu Dimas tidak akan mendapatkan informasi apapun dalam jurnal Letnan Samsuri, benda itu tetap dibukanya dengan sangat hati-hati. Dia membalik lembar demi lembar halamannya yang keriting dan masih setengah kering. Aneh, batin Dimas. Tiba-tiba dia ingin tahu mengapa jurnal ini bisa ada pada Disza. Disza tidak mengenal Letnan Samsuri saat ditanyai. Apa mungkin Haszni Yusuf—ayah Disza—mengenal Letnan Samsuri?
Di sela-sela pikirannya yang berkecamuk, mendadak Dimas dikejutkan oleh bunyi berisik dari HT tua di sebelahnya. Kedua matanya spontan membeliak. HT tua itu hidup, pekiknya dalam hati. Letnan Samsuri masih hidup. Dimas merasakan harapan semakin memenuhi dadanya, apalagi sewaktu mendapati suara Letnan Samsuri keluar dari dalamnya.
"Inspektur ...."
__________________
Note:
Btw si Bocah Teropong itu Komisaris, ya. No name. No visualisasi. Sengaja. Tapi dia baik kok.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top