4. Cerita Masa Lalu
Mobil oranye milik Tim Inafis baru saja meninggalkan kediaman Haris pada pagi harinya. Membawa serta kantong mayat berisikan tulang-belulang yang ditemukan ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kepulauan Riau untuk dilakukan autopsi.
Haris mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak tidur semalaman. Para polisi itu terus memberondongnya dengan banyak sekali pertanyaan yang sangat sulit dia jawab. Haris merasa tidak tenang. Benaknya berkecamuk memikirkan banyak hal. Dituangnya air putih dalam teko yang tersedia di atas meja makan ke dalam gelasnya hingga terisi penuh. Dia meminumnya dengan rakus. Titik-titik air yang jatuh di dagunya, dia seka dengan kasar.
"Bang," Tiba-tiba istrinya, Aida, yang sedang sibuk dengan cucian gelas kotor di bak cuci piring memanggil. "Mau kubuatkan teh?" tanyanya lembut.
Wajah Aida terlihat tak kalah kacau dari Haris. Malam tadi adalah malam terburuk sepanjang sejarah hidupnya. Dia masih syok. Isi kepalanya dipenuhi beragam pertanyaan yang tak bisa dia utarakan pada suaminya. Dia tidak ingin memulai pertengkaran pagi-pagi begini. Zian baru saja terlelap, selain itu masih ada beberapa polisi yang berjaga di depan rumah mereka.
"Tidak usah!" jawab Haris ketus sembari membuang muka.
Aida yang merasa tersinggung, lantas mendekati suaminya. Mereka duduk berhadapan di meja makan. Aida menyentuh punggung tangan suaminya yang sesaat kemudian langsung ditepis oleh Haris dengan kejamnya. Aida merasa kecut. Dia tidak mengerti kenapa Haris marah padanya. Aida bukannya tidak sadar bahwa sejak tadi Haris mendiamkannya tanpa alasan yang jelas. Rasanya sangat tidak adil. Seharusnya Aidalah yang menagih penjelasan dari sang suami. Hidupnya tiba-tiba saja dikelilingi oleh para polisi berseragam yang berlalu lalang dan menginjak-injak karpet beludru kesayangannya—yang dia beli di Singapura. Bahkan hal yang nyaris tidak pernah dia bayangkan seumur hidup, fakta bahwa kerangka manusia itu tersimpan di rumahnya tak bisa diterima akal.
"Abang kenapa sih?"
"Kenapa katamu?" desis Haris jengkel sembari menunjuk wajah istrinya.
Aida mengerjap ketakutan. Belum pernah dia perlakukan seperti itu, tidak oleh suaminya atau kedua orang tuanya sendiri. "Apa salahku, Bang?" tagihnya tidak mengerti.
"Banyak!" sambar Haris keras. Dia langsung mengecilkan suaranya, tak ingin menarik perhatian para polisi sialan itu.
"Seharusnya kau tidak perlu menelpon polisi. Lihat, apa yang terjadi sekarang."
Mereka jadi tontonan para warga yang penasaran, sebab selama ini belum pernah ada mobil patroli polisi sebanyak itu yang datang ke Karang Sari. Bahkan, mobil-mobil milik wartawan dari stasiun TV maupun koran lokal terlihat mulai berkerumun di jalan depan.
"Kenapa Abang malah nyalahin aku? Memangnya ini salahku, ada kerangka manusia di rumah kita? Abang, kan, yang beli rumah ini!"
"Diamlah, Aida!"
Haris hendak menampar wajah istrinya, namun gerakan tangannya hanya bisa tertahan di udara saat tangis Zian tiba-tiba pecah. Bocah lelaki berusia lima tahun itu menonton pertengkaran kedua orang tuanya di ambang pintu dapur. Aida langsung menghampiri dan memeluk putranya erat-erat. Segala bentuk kalimat sayang yang menenangkan dia ucapkan sembari menciumi pipi putranya. Tubuh Aida bergetar ketakutan ketika matanya bersitatap dengan manik hitam suaminya. Haris seperti orang asing. Haris seperti orang lain. Aida merasa pria yang ada di hadapannya itu bukanlah Haris yang selama ini dia kenal.
______________
"Dulu memang pernah terjadi tragedi mengerikan di daerah itu," cerita Agus Sinar Chan pada istrinya, Elizar, yang tengah sibuk menata bunga aneka macam di meja kecil.
"Oh, ya? Tragedi apa memangnya, Da*?" sahut Elizar sembari memotong unjung tangkai bunga lili, kemudian memasukkannya ke dalam vas beling berisi air, dan merangkainya hingga menjadi sedemikian indah.
Agus Sinar merasa kagum dengan wanita yang masih terasa asing baginya itu. Memanggilnya dengan sebutan sayang atau istri, baginya masih terlalu berat—sampai saat ini.
Agus Sinar tersenyum kecil ketika mendapati Elizar memandangnya dengan tatapan yang tidak pernah berubah sejak mereka menikah. Pria paruh baya itu tahu Elizar tidak akan pernah bisa mencintainya, sebagaimana dia tahu bahwa dia juga tidak bisa memenangkan hati wanita itu. Lalu, mengapa mereka memutuskan untuk menikah? Bukankah cinta adalah salah satu alasan mengapa pasangan kekasih di luar sana memutuskan untuk menjalin tali pernikahan? Mungkin bedanya, mereka bukanlah sepasang kekasih sejak awal. Mereka hanya dua orang asing yang digariskan takdir untuk bersinggungan di persimpangan. Agus Sinar tidak pernah tahu seperti apa isi hati Elizar. Terlebih, dia tidak berani menanyakannya.
"Dua tragedi tepatnya," jawab Agus Sinar. Dia memalingkan wajahnya. Meratapi bulir-bulir hujan yang merembes pada jendela ruang rawat inap. Agus Sinar menghitungnya satu-satu sebelum kembali berkata, "Tragedi bunuh diri satu keluarga dan pembunuhan satu keluarga yang terjadi di awal tahun dua ribu."
Kedua kelopak mata Dimas bergerak-gerak. Samar-samar dia bisa menangkap pembicaraan antara papanya dengan Bunda. Perlahan dia pun tersadar. Elizar yang mendengar erangan Dimas lantas segera menghambur ke brankar tempatnya terbaring. Tanpa sadar senyum wanita itu mengembang. Diperhatikannya wajah Dimas dengan penuh kasih sayang.
"Dimas, kamu sudah sadar?" tanyanya cemas.
Dimas merintih memegangi kepalanya. Elizar membantunya duduk. "Apa kata Papa tadi?"
"Apanya?"
Bangun-bangun putranya itu sudah menanyak hal yang aneh. Agus sinar yang semula berdiri menghadap jendela pun memutar tubuhnya, menatap Dimas yang tampak kacau dengan kening berkerut. Sebuah koran lokal dengan headline 'penemuan kerangka manusia di sebuah rumah tua' yang ada di tangannya, tampaknya menarik perhatian Dimas. Agus Sinar tahu ke mana arah pembicaraan ini berlangsung.
Dimas mendesah panjang. Jelas sekali, tidak ada jaminan penemuan kerangka manusia itu tak terendus oleh publik. Meskipun Karang Sari merupakan daerah terpencil, telinga para wartawan pasti ada di mana-mana. Dimas seketika sadar bahwa semua ini benar nyata adanya. Apa yang dihadapinya saat ini adalah tulang-belulang manusia, bukan sebuah jasad dari tubuh yang utuh. Lalu, apa sebenarnya maksud dari HT sialan itu? Mengapa informasi yang dia dapat dari benda itu justru tidak sesuai kebenarannya? Dimas harus memberi pelajaran pada seseorang yang telah memberinya informasi palsu lewat HT tersebut. Brengsek, memang.
"Apa maksud Papa dengan dua tragedi yang terjadi di awal tahun dua ribu?" tanya Dimas sekali lagi.
"Apa kamu ikut menangani kasus ini?" Agus Sinar balas bertanya.
Dimas memangguk sebagai jawaban.
Agus Sinar membetulkan letak kaca matanya, kemudian kembali membaca berita di halaman pertama koran terbitan Analisa itu. Potret rumah tua yang menghiasi halaman depan koran tersebut terasa sangat familiar baginya. Hanya saja Agus Sinar lupa di mana dia pernah melihatnya.
Dulu, Agus Sinar adalah seorang jurnalis yang bekerja untuk Graha Pena, sebelum akhirnya banting setir dan memilih menjadi seorang pebisnis. Banyak hal yang telah dia lalui. Dia harus berpisah dari istri dan anaknya saat tragedi menggemparkan itu terjadi. Agus Sinar terpaksa pindah ke Pulau Batam dengan surat tugas khusus untuk meliput kasus bunuh diri satu keluarga tersebut, bersama rekannya yang seorang juru potret. Kejadian itu sudah lama berlalu—sekitar dua puluh tahun yang lalu. Agus Sinar tak banyak mengingat saat-saat dia masih menjadi seorang jurnalis, tetapi dia mencoba mengulik kembali ingatannya.
"Kalau tidak salah ... penyidik yang bertugas saat itu datang dari Kepolisian Wilayah Riau. Tiga orang ditemukan sudah membusuk di bawah meja makan. Mereka tewas karena racun pestisida yang terdapat dalam panci sop. Tidak banyak petunjuk yang ditemukan penyidik, bukti-bukti yang didapat juga tidak mengindikasikan adanya perlawanan yang mengakibatkan pembunuhan. Pada akhirnya para penyidik terpaksa menutup kasus itu sebagai kasus bunuh diri."
"Lalu selanjutnya, kasus pembunuhan satu keluarga di akhir bulan Januari ...."
______________
Dimas kembali ke kantor esoknya. Dia baru tahu Eja juga dirawat di rumah sakit itu. Pantas saja Papa dan wanita itu ada di kamarnya begitu Dimas tersadar. Papa meminta Dimas menjengguk Eja di kamar Melati, tetapi Dimas harus menolak. Penyelidikan kerangka manusia itu sudah menanti untuk diselesaikan.
Ruangan Divisi Pembunuhan tampak sepi saat ini. Tidak ada satu pun rekan Dimas yang tampak kecuali petugas kebersihan yang sedang sibuk menyapu lantai. Dimas menyalakan komputernya. Proses booting memakan waktu cukup lama. Membuat Dimas menggerutu dalam hati. Komputer model jadul begini memang sudah waktunya untuk digudangkan.
Dimas segera berselancar begitu komputernya telah siap. Mencari beberapa informasi melalui internet mengenai dua tragedi yang dikatakan papanya saat di rumah sakit. Sayang, dia tidak menemukan apapun kecuali artikel soal Gus Dur yang terpaksa meletakkan jabatannya akibat pergolakan politik yang terjadi selama tahun 2000 hingga 2001. Artikel itu pun ditulis pada tahun 2009. Media informasi melalui internet saat itu memang belum maju seperti sekarang. Dimas juga tidak menemukan apapun dalam arsip website Polda Kepulauan Riau, sebab saat itu kasusnya ditanggungjawabi Kepolisian Wilayah Riau.
Suara ketukan pintu terdengar kemudian. Kepala Dimas otomatis menyembul di balik komputernya. Dilihatnya Briptu Aryan berderap ke arahnya sembari menenteng sebuah map.
Briptu itu memajang senyumnya lebar-lebar, hingga matanya yang sipit hanya menyisakan segaris hitam tipis dari bulu mata pendeknya.
"Inspektur, saya kira Anda tidak akan datang hari ini," sapanya.
Aryan merupakan seorang penyidik pembantu yang bekerja di bawah Dimas. Berbeda dengan Dimas yang kerap memasang raut wajah tak bersahabat, Aryan justru selalu terlihat sangat ceria dan hangat dalam setiap kesempatan. Lihat saja, baru sedetik lalu memasang wajah datar, lagi-lagi bibir tipisnya tertarik ke atas, seolah memang sudah menjadi jadwal rutin selama dua puluh empat jam penuh untuknya melakukan hal tersebut. Bagi Dimas, tingkah Briptu itu justru membuat dirinya terlihat seperti seorang penjilat yang ingin naik jabatan tanpa perlu bekerja keras.
Meski cukup pintar dan berpengalaman, pola pikir Aryan yang terbilang lamban seakan tidak pernah hilang dari dalam dirinya, sampai-sampai tak jarang Dimas bisa sangat kesal dibuatnya.
"Kapten bilang Anda sedang sakit dan dia mengizikan Anda mengambil cuti istirahat beberapa hari. Anda sudah baikan?"
Cuti? Dimas mendengus. Bagaimana bisa dia cuti di saat begini? "Cukup basa-basinya, Yan. Bagaimana perkembangan kasusnya?"
Briptu Aryan menggeleng. "Tidak banyak yang bisa kita dapatkan," jawabnya, kemudian menyerahkan map berisi laporan daftar barang bukti pada Dimas.
Dimas memeriksanya satu per satu. Tidak banyak barang bukti yang dapat dikumpulkan oleh Tim Inafis selama olah TKP. Ruang bawah tanah itu adalah tempat tertutup, seharusnya mereka bisa menemukan sesuatu. Secuil jejak seperti bekas darah yang telah mengering selama bertahun-tahun pun masih bisa diteliti seandainya ada. Namun, nyatanya nihil. TKP itu sangat bersih.
"Kerangka itu sudah dibawa ke laboratorium dan sedang diteliti. Kita masih harus menunggu."
"Indentitasnya belum diketahui?"
"Belum, Inspektur."
Dimas mendesah lelah. "Kalau begitu, pergilah ke Dinas Pencatatan Sipil, cari tahu soal penghuni lama rumah tua itu."
Dimas melotot garang saat Aryan tak kunjung pergi dari hadapannya. "Kenapa kamu masih di sini? Saya suruh sekarang bukan besok."
"Begini Inspektur, sebenarnya saya sudah ke sana kemarin. Berkas lama dari tahun sembilan puluhan sampai tahun dua ribu sudah tumpang tindih dan beberapa ada yang hilang. Mereka kesulitan untuk memeriksa datanya sebab keluarga itu belum terdaftar secara online*."
"Astaga, sebenarnya mereka itu hidup di zaman apa, sih?" gerutu Dimas kesal.
"Satu lagi, Inspektur. Saat mewawancarai beberapa warga kemarin, saya mendapatkan informasi penting, katanya, dulu pernah terjadi tragedi bunuh diri satu keluarga di rumah itu."
"Apa?"
____________
Catatan:
*Da/Uda.
Kalau tidak salah Chan itu marga orang Padang. Makanya Elizar manggil suaminya dengan sebutan Uda yang artinya abang, Mas, Aa, dan sejenisnya.
*Belum terdaftar secara online
Ini maksudnya belum pake E-KTP ya. Jadi datanya tidak bisa dilihat melalui data kependudukan secara digital.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top