39. Kenangan Dalam Sebuah Foto
[[ P E R H A T I A N ]]
.
Kejadian dalam bab ini
tidak relevan dengan peristiwa
yang terjadi di dunia nyata
Secara resmi
Mapolda Kepri berdiri
dan diresmikan penggunaannya
pada tanggal
22 Agustus 2008
.
Maaf gess, banner tanggalnya nyusul. Picsart saya ke uninstall.
____________________________
18 Agustus 2006
Raihana mondar-mandir, cemas sekali. Tanpa sadar kuku-kuku jari tangannya sudah cobel akibat terus digigitinya. Dari jendela depan, perhatiannya kembali teralihkan ke ruang tamu. Televisi di atas meja jati menyala—masih menayangkan siaran berita yang sama: seputar kasus penculikan seorang anak SD yang terjadi di daerah Nongsa.
Air mata Raihana perlahan turun lalu membanjir di pipi.
Meski wajah korban dalam layar telah di-blur hingga sedemikian rupa, Raihana tetap bisa mengenalinya. Korban kasus penculikan itu adalah Dimas. Kasus tersebut langsung menjadi sorotan media, lantaran lokasi kejadiannya berada di wilayah kepolisian yang seharusnya dijaga dengan ketat.
Kabar terakhir yang Raihana dengar: Dimas diculik tepat di dekat gerbang masuk. Pelaku benar-benar bertindak nekat. Bukan lagi menusuk dari belakang, melainkan tepat di depan wajah. Di hadapan banyak orang, secara terang-terangan pelaku menodai wajah seluruh anggota Kepolisian Daerah Kepulauan Riau. Acara peresmian gedung baru yang tadinya berlangsung meriah pun seketika menjadi kacau balau. Seluruh tamu undangan, terutama anak-anak, dipulangkan ke rumah masing-masing, setelah sebelumnya dilakukan pemeriksaan besar-besaran.
Berita-berita yang tengah disiarkan itu hanya akan membuat keadaan semakin memburuk saja. Bibi meraih remot TV di atas meja, kemudian segera mematikannya.
Keheningan merayap dengan cepat, kembali diisi oleh isak tangis Raihana yang belum reda. Berulang kali dia menanyakan pada Bibi "apakah Dimas akan baik-baik saja". Sembari mengelus puncak kepala Raihana, Bibi menatapnya prihatin. Raut wajah wanita itu pun sama khawatirnya dengan Raihana. Bibirnya mengatup rapat, tidak mampu berkata-kata, bahkan untuk sekadar mengucapkan satu kalimat penghibur pun dia tidak kuasa.
Telepon rumah berdering tak lama kemudian.
Secepat kilat Raihana beranjak, menyambar gagang telepon rumah sebelum Bibi sempat meraihnya.
"Om?" sapanya sesaat mendengar suara Agus Sinar di seberang. Matanya berbinar cerah, menunggu kepastian. Raihana menyimak seluruh ucapan Agus Sinar dengan saksama, mengangguk, lalu menutup sambungan telepon usai Agus Sinar mengucapkan banyak terima kasih.
"Gimana, Na? Apa kata Pak Agus?" tanya Bibi penasaran.
Raihana menunduk lesu, hendak terisak lagi. Bukan kabar mengenai Dimas yang dia dapatkan. "Om Agus minta Bibi liat keadaan Tante Lydia. Katanya, Tante Lydia nggak bisa dihubungi."
Bibi menghela napas gusar. Padahal, dia sempat berharap tadi—akan ada kabar baik dari Agus Sinar. Namun, tampaknya belum ada perkembangan berarti sejauh ini. Polisi mungkin belum berhasil menemukan Dimas, pikirnya.
"Bersabarlah, Na. Kita harus banyak berdoa," nasihat Bibi, yang sama sekali tidak digubris oleh Raihana.
Bibi lantas berjalan keluar rumah, diikuti Raihana yang mengekorinya di belakang. Rumah bata merah di seberang jalan tampak gelap sebagian. Lampu balkon serta kamar di lantai dua tidak dinyalakan, membuat wajah rumah itu berkesan semakin suram. Ketika Bibi dan Raihana hampir sampai di depan rumah itu, listrik tiba-tiba saja padam, memaksa langkah kaki keduanya sontak terhenti bersamaan.
Gelap.
Langit mendung di atas kepala—sesuka hati—menyembunyikan sang rembulan dari semua orang.
Raihana mengetatkan genggaman tangannya pada daster yang Bibi kenakan. Sementara Bibi menelan ludah gugup.
"Na, tunggu di sini. Bibi mau ambil senter dulu."
"Bi, tunggu!"
Dalam sekejap mata, Raihana kehilangan pegangan. Dia hendak menyusul wanita itu, tetapi kedua kakinya urung melangkah. Sayup terdengar bunyi kelontangan dari dalam rumah Dimas. Raihana menoleh dengan cepat. Lagi, dia mendengar suara yang sama: seperti suara benda-benda berjatuhan ke lantai.
Rasa penasaran telanjur membawa Raihana kembali menyusuri jalanan gelap meski tanpa lampu penerangan. Tangan kanannya terjulur meraih kenop pintu. Berulang kali diputar, tetapi daun pintu di hadapannya tidak kunjung membuka.
Rumah itu dikunci dari dalam.
Raihana ingat pesan Agus Sinar saat di telepon. Kalau tidak bisa dibuka, ada kunci cadangan di celah dinding. Om minta tolong, ya, Na.
Dengan segenap perasaan was-was, Raihana lantas meraba-raba dinding rumah. Tidak jauh dari pintu masuk, di dekat pot bunga kamboja, dia menemukan celah batu-bata yang bisa ditarik keluar. Terdapat sebuah kunci di dalamnya. Raihana memandang sekilas ke arah jalanan. Bibi belum juga kembali, pikirnya. Nekat, Raihana membuka pintu dan masuk seorang diri. Beruntung, lampu kembali menyala setelahnya, tepat saat Raihana menginjakkan kaki di ambang pintu.
"Tante ...," panggil Raihana ragu-ragu sembari mengedar pandangan. Ruang tamu terlihat sangat berantakan dengan barang-barang yang berserakan di mana-mana. Letak perabot dan kursi serong tidak keruan. Bantal-bantal empuk yang seharusnya tersusun rapi di atas sofa tergeletak di lantai. Sarungnya koyak; isinya berhamburan—nyaris menutupi lantai semen di ruangan itu.
Raihana berseru lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban dari Tante Lydia.
Saat melangkahi barang-barang pecah belah di atas lantai, tanpa sengaja Raihana menginjak pigura foto yang kacanya telah retak sebagian. Dipungutnya benda itu, kemudian disimpannya baik-baik di atas meja kecil. Raihana mendapati wajah Dimas tersenyum semringah di dalamnya, dipeluk oleh kedua orang tuanya—yang juga sedang menampilkan senyum lebar. Ekspresi Raihana berubah kecut sesaat menatap wajah Tante Lydia dalam foto tersebut. Wanita gila itu ... Raihana tidak pernah suka padanya. Tante Lydia adalah sosok ibu yang jahat di mata Raihana. Raihana benci bagaimana wanita gila itu memperlakukan Dimas dengan semena-mena. Begitupun, Raihana tidak mengerti, mengapa Dimas bisa begitu menyayanginya.
Lagi-lagi Raihana mendengar bunyi benda-benda berjatuhan, disusul suara keran air yang mengalir deras.
"Na!" Bibi berteriak dari pintu masuk, mencari-cari keberadaannya. Tetapi tidak dia cuhkan.
Raihana bergegas menyusuri lorong rumah, menuju sumber suara yang semakin jelas seiring dengan langkah kakinya yang semakin dekat pula. Suara itu berasal dari dalam kamar mandi yang letaknya persis di belakang bak cuci piring. Pintunya terbuka sebagian, menampakkan pemandangan genangan air yang mengalir keluar dari dalam bak mandi. Raihana sempat mengernyit heran lantaran tidak mengerti; mengapa bisa ada bangku plastik di dalam sana.
Bilah pintunya Raihana dorong lamat-lamat kemudian. Saking terkejutnya dengan apa yang dia lihat di depan mata, Raihan spontan termundur ke belakang.
"Ya, Tuhan!"
Bibi adalah orang pertama yang menjeritkan ketakutannya. Sementara Raihana hanya bergeming, sewaktu menyaksikan sepasang kaki Tante Lydia menganyun kursi plastik hingga rebah ke lantai.
Bibi yang tidak sempat mencegah kejadian itu pun jatuh terduduk. Kakinya kehilangan keseimbangan. Namun, secepatnya dia bangkit berdiri, menarik Raihana ke tepi dinding, dan menerobos masuk untuk menyongsong tubuh Tante Lydia yang masih bergerak-gerak.
"Na, cepatlah keluar! Panggil seseorang! Minta bantuan siapa saja!" Bibi kewalahan di tengah kepanikannya. Tubuh Tante Lydia terus menggeliat meraup udara, bagai seekor ikan yang sedang sekarat. Kakinya terus menendang-nendang—sulit dikendalikan, seakan Tante Lydia, secara sadar menolak pertolongan dari Bibi. Beberapa kali Bibi dibuat limbung, tubuhnya bahkan sampai menghantam dinding kamar mandi akibat tindakan Tante Lydia.
Di ambang pintu, Raihana masih berdiri kaku. Kedua matanya terpentang lebar; adegan demi adegan terekam nyaris tanpa suara dalam binar matanya. Jeritan keras yang menggema, suara leher yang tercekik, serta bunyi papan yang bergoyang akibat menahan bobot tubuh Tante Lydia—semua terlalu mengerikan untuk dicerna seorang gadis kecil berusia dua belas tahun. Berkali-kali Bibi berteriak menyadarkannya. Namun, Raihana tidak bisa mendengar apa-apa.
Raihana merasakan sesak di dadanya, terlebih ketika melihat wajah Tante Lydia terlipat-lipat menahan sakit. Bola mata Tante Lydia berputar ke atas akibat kesulitan bernapas. Kedua tangannya dengan beringas mengapai-gapai tali yang melilit leher, berusaha lepas dari jerat kematian yang dengan suka rela dia jemput sendiri.
"Bi, Tante Lydia ... apa dia ... akan mati?"
Raihana baru berani bersuara setelah berhasil menelan segenap ketakutannya. Satu memori kemudian melintas dalam kepalanya. Raihana pernah melihat, tepatnya di tempat penyembelihan hewan, seekor kambing digantung dengan cara seperti itu. Tante Lydia persis seperti kambing itu. Memori lain lalu ikut menyelinap. Dalam sebuah buku yang pernah dibacanya, Raihana diberitahu bahwa kelak, orang yang jahat akan mendapat balasan setimpal.
"Tante Lydia adalah orang yang jahat. Bukankah ... bagus, Bi? Dimas ... jadi nggak perlu sakit lagi karena Tante Lydia ...."
Raihana mulai meracaukan hal-hal yang tidak-tidak, Bibi sampai terbelalak tidak percaya dibuatnya.
"Bicara apa kamu, Na?!" Bibi menukas dengan sangat kuat. Raihana tertunduk menekuri lantai. Tanpa sadar, air seni rupanya sudah merembes membanjiri keset kamar mandi yang dipijaknya.
Bibi yang tidak awas kembali dihempas oleh Tante Lydia. Raihana terentak kaget; Bibi jatuh terpeleset, dengan kondisi kepala kiri terkena pinggiran bak mandi.
Bibi merintih kesakitan. Merasa lemas dan tidak sanggup lagi berdiri di atas kedua kakinya. Susah payah kedua tangannya teracung, berusaha mendapatkan kembali Tante Lydia. Tetapi hanya udara kosong yang dapat diraihnya.
Setetes demi setetes, air jatuh dari sela-sela kaki jenjang Tante Lydia. Raihana meremas ujung roknya kuat-kuat, memberanikan diri untuk mendongakkan kepala lagi. Wajah Tante Lydia terlihat dua kali lebih seram, lidahnya terjulur mengeluarkan air liur. Segenap ketakutan yang sejak tadi Raihana telan pun keluar tak tertahankan. Dinding kamar mandi ikut bersuara, memantul-mantulkan jeritan pilunya ke mana-mana. Raihana tidak tahu berapa lama dia menjerit. Tenggorokannya sakit. Matanya terpejam rapat-rapat. Ketika Raihana kembali membuka mata, tahu-tahu dia sudah berada dalam gendongan seorang pria berseragam polisi.
__________________
Raihana meraup wajahnya dengan kedua tangan. Mencoba mendapatkan kembali kewarasannya yang sempat dikuasai histeria. Ingatan mengerikan itu akhirnya singgah lagi, setelah sekian lama berusaha Raihana kubur. Dia masih mengingat dengan jelas, bagaimana ekspresi wajah Tante Lydia tercekik akibat jeratan tali. Kejadian itu seolah baru saja terjadi kemarin sore. Raihana sampai gemetaran dibuatnya.
Dimas yang sejak tadi berada di dapur kembali masuk ke kamar. Langkahnya tenang dan tidak tergesa. Dia membawa dua mug kopi bersamanya, yang salah satunya kemudian segera dia sodorkan pada Raihana.
Rasa hangat seketika menjalar saat Raihana menerimanya dalam genggaman tangan. Raihana menarik napas dalam-dalam. Wangi kopi yang menguar membuatnya merasa lebih baik sekarang.
Kopi di dalam mug masih mengepulkan asap. Perlahan Raihana meniupnya sembari memerhatikan penampilan Dimas yang kini sedikit berubah. Dimas mengenakan selimut untuk menutupi bagian punggungnya. Dua ujungnya terikat pada leher. Dia berjalan dengan selimut beribar-kibar di punggung—layaknya super hero berjubah yang pernah Raihana tonton di suatu acara televisi.
"Kau terlihat bodoh," ujar Raihana mengomentari. Isakannya tersembur keluar tak tertahankan, bercampur dengan tawa geli yang tidak bisa dia tutup-tutupi.
Dimas tidak menggubrisnya. Dia memilih menjaga jarak. Berdiri menghadap ke luar jendela sembari memandangi kertas-kerta print out yang telah mereka gantung pada seutas tali. Tali tersebut terikat pada paku di masing-masing sisi jendela. Diperhatikannya satu per satu kertas yang tergantung itu. Raihana benar, pikir Dimas. Salinan berkas kasus Letnan Samsuri tidak mungkin bisa kembali seperti semula.
Dimas tidak dapat berbuat banyak untuk itu. Login melalui e-mail dari laptop Raihana, kemudian mencetak ulang salinan berkas kasus itu, adalah pilihan terakhir yang terpaksa Dimas kesampingkan. Keberadaannya akan sangat mudah dilacak melalui jejak digital.
Dimas menoleh sekilas pada Raihana. Usai meneguk kopi, dilihatnya Raihana buru-buru menunduk, kembali menyibukkan diri dengan memilah-milah salinan berkas kasus Letnan Samsuri yang sebagian masih tersisa di atas meja kaca.
Raihana sengaja menghindar dari tatapan Dimas. Dia malu sekali—tidak seharusnya Raihana berbicara buruk tentang Tante Lydia di hadapannya tadi. Raihana tidak bisa lagi menghitung—berapa banyak penyesalan yang harus dia tanggung. Raihana tahu semuanya, tetapi dia merahasiakannya dari Dimas selama ini. Dimas sendiri hanya bungkam saat Raihana menceritakannya; Tante Lydia meregang nyawa di atas seutas tali. Meski Raihana tidak bisa menebak apa yang Dimas pikirkan, Raihana bisa melihat matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Na," Dimas mengajaknya bicara. Berdiam-diaman terlalu lama membuat suasana di antara mereka menjadi sangat tidak nyaman. "aku masih tidak habis pikir—kenapa—"
"Dimas!"
Belum juga selesai dengan ucapannya, Dimas keburu disela oleh Raihana. Raihana memintanya mendekat dengan gerakan tangan. Tanpa banyak bicara, Dimas pun menuruti instruksinya.
Kening Raihana berkerut dalam. Di antara tumpukan kertas-kertas lembab yang tengah diperiksanya itu, dia menemukan sesuatu yang cukup menarik perhatiannya. "Pria ini ... sepertinya aku pernah melihatnya." Raihana menggaruk-garuk dahinya, berusaha mengingat.
Dimas ikut memerhatikan. Pada secarik kertas yang Raihana tunjuk rupanya terdapat foto profil Letnan Samsuri di atasnya. Wajahnya masih dapat Dimas kenali lantaran tidak sampai terkena rembesan air. Dimas mengernyit bingung. "Melihatnya—apa maksudmu, Na?"
"Beberapa hari yang lalu, Anna datang mengunjungiku bersama ayahnya. Dia merengek, ingin melihat seperti apa wajahku saat masih kanak-kanak. Jadi, aku membongkar banyak album lama bersamanya." Raihana mengangguk ke arah Dimas, dia yakin sekali. "Aku sempat melihat foto pria ini di dalam salah satu album itu."
Hati Dimas kontan mencelus mendengarnya. Apa lagi ini, pikirnya. "Kau ... menyimpan fotonya? Bagaimana bisa, Na? Apa kau mengenalnya?"
Raihana menggeleng sebagai jawaban. Dengan cepat dia berpindah posisi ke depan lemari kayu di sudut ruangan. Ketika lemari itu dibuka, ada banyak sekali deretan album lama tersimpan di dalamnya—yang telah Raihana susun rapi bersama Anna, putrinya, sewaktu Anna datang tempo hari.
"Sepertinya di album yang ini. Oh—bukan, bukan." Raihana menggumam, sementara tangannya sibuk membuka; album-album yang dia rasa tidak sesuai dengan apa yang dicarinya, lalu dilemparkannya begitu saja ke lantai.
Dimas turut membantu Raihana memeriksa album-album itu. Ada banyak kenangan yang terabadikan di dalamnya: foto-foto Raihana semasa kecil bersama ayah, ibu, Bibi terekat dengan rapi pada setiap lembarnya. Meski warnanya tidak lagi secerah dulu—pudar, semua kenangan itu Raihana jaga dengan baik.
Raihana bergeming ketika menemukan album yang dia maksud. Enggan menyerahkan saat Dimas memintanya mengangsurkan album itu. Merasa tidak sabaran, Dimas pun lekas merebutnya dari tangan Raihana. Bola matanya bergerak gelisah, meneliti detail foto dalam album itu. Dimas terdiam cukup lama, dengan rahang terkatup rapat. Kedua tangannya mendadak mati rasa. Album itu pun terhempas begitu saja. Jatuh berdebum—menutup dengan sendirinya di atas lantai.
_______________
Kenangan yang terabadikan dalam foto itu adalah kenangan saat Raihana masih duduk di bangku sekolah dasar. Raihana, berserta teman-teman sekelasnya, berpose bersama beberapa orang pria dewasa dengan gedung bertingkat serta lapangan luas yang melatarbelakanginya. Letnan Samsuri berdiri persis di belakang Raihana. Dia mengenakan pakaian batik lengkap dengan blankon di kepala. Di sebelahnya, berdiri Dahlan dan Kamal yang saling merangkul pundak, sementara tiga pria lainnya, Dimas tidak tahu siapa mereka.
Raihana menunjuk wajah Letnan Samsuri dalam foto itu. "Pria yang berdiri di belakangku ... wajahnya sama kan dengan pria di profil itu? Foto ini diambil saat acara peresmian gedung baru Polda Kepri. Apa kau ingat?"
Dimas mengangguki pertanyaan Raihana. Tentu, dia ingat. Beberapa sekolah di Batam memang diundang dalam acara peresmian gedung baru itu. Sekolah Dimas dan Raihana termasuk salah satunya.
Dimas pun ikut serta menghadiri acara tersebut, bersama Agam dan lima belas murid lain yang mewakili setiap kelas dari sekolahnya. Dimas tidak bisa menutupi ekspresi ngeri di wajahnya. Dia sempat terguncang tadi—sewaktu melihat foto itu. Sebab, tepat pada hari itulah Dimas diculik.
Penculikan itu terjadi pada tanggal 18 Agustus 2006, sama seperti tanggal yang tertera di sudut kanan bawah foto tersebut.
"Siapa pria ini sebenarnya. Kenapa profilnya tercantum dalam berkas kasus yang kau bawa itu, Dimas?"
Dimas menelan ludah susah payah. Raihana menatapnya intens, terlihat sangat serius. Dari ekspresinya, Dimas rasa Raihana memang tidak mengada-ada. Dia tidak tahu-menahu tentang Letnan Samsuri, termasuk hubungannya dengan Bunda Elizar. "Pria ini adalah polisi, Na. Dia yang menyelamatkan aku saat aku diculik. Dia ... menghilang setelahnya. Tidak ada yang tahu keberadaannya."
"Menghilang?" Raihana tampak tidak percaya. Air mukanya berpikir keras, kemudian dia mulai berspekulasi bahwa mungkin, dalang di balik kasus menghilangnya Letnan Samsuri, adalah kaki tangan pelaku penculikan Dimas sendiri. Dimas tidak mendebat. Dia memang sempat berpikir demikian. Namun, Dimas merasa tidak memiliki keberanian untuk mengulik lebih jauh perihal itu.
Dengan mencari tahu—berarti Dimas harus berhadapan dengan narapidana itu. Artinya, Dimas diharuskan bertatap muka secara langsung dengan pelaku yang telah menculik dirinya—dulu. Hanya dengan membayangkan saja kedua tangannya sudah gemetaran.
Raihana yang menyadari perubahan sikap Dimas buru-buru menggenggam erat tangannya. Bagaimanapun situasinya, seseorang butuh waktu untuk membiasakan diri dengan trauma yang pernah mereka alami. Raihana mengerti hal itu.
"Tidak apa-apa, Dimas. Kau pulang dengan selamat dan baik-baik saja sekarang."
Kata-kata penghibur dari Raihana menyuntikkan banyak semangat untuk Dimas. Lima belas tahun telah berlalu dan Dimas bukan lagi seorang anak kecil yang tidak berdaya seperti waktu itu. Dimas menguatkan hatinya. Dia akan mencoba. "Na, pinjamkan aku mobilmu. Aku akan menemuinya."
Raihana tersenyum tipis. Digenggamnya tangan Dimas semakin erat. "Tentu, Dimas. Dengan senang hati."
_________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top