34. A Thing To Remember

Agus Sinar sedang mengemudikan mobilnya malam itu. Jam saku tak berpenutup yang dia gantung di kaca tengah telah menunjukkan pukul delapan kurang. Dua jam beranjak begitu cepat rupanya. Namun, sedari tadi dia masih berputar-putar tidak menentu, membawa mobilnya melaju ke desa-desa yang tidak dikenalnya.

Sesekali matanya melirik kanan kiri. Gang masuk menuju TKP yang dimaksud oleh rekannya ternyata sulit sekali ditemukan. Sepi. Tidak ada satu orang pun yang lewat. Rumah-rumah papan tertutup rapat. Agus Sinar tidak tahu harus pada siapa menanyakan arah.

Agus Sinar hanya mengemudi lurus.

Ketika dia hampir mencapai sebuah belokan, tiba-tiba saja seseorang melompat ke depan mobilnya. Agus Sinar terkejut bukan main. Buru-buru diinjaknya pedal rem kemudian. Namun, dia tidak bisa mengelakkan posisi mobilnya. Agus Sinar rasa orang itu terjengkang ke tanah akibat membentur moncong mobilnya.

Apakah dia mati, terkanya gusar.

Agus Sinar menimbang-nimbang situasi di sekitarnya. Terbentang lahan kosong tanpa lampu penerangan sejauh mata memandang. Hanya sorot lampu mobilnya yang tampak menerangi jalanan di depan. Keringat meluncur deras dari dahinya. Sedetik kemudian ekspresinya berubah panik, ketika dilihatnya orang itu bangkit berdiri lalu mengentak-entak kap depan mobilnya dengan sangat kuat.

Pria itu berbadan tegap tanpa rambut di kepala. Kedua tangannya merayap sampai ke jendela pengemudi. Lewat gerakan tangan, pria itu memberi perintah pada Agus Sinar agar segera menurunkan kaca jendela mobil.

Agus Sinar mencoba bersikap tenang di kursinya. Dia meraba-raba kompartemen, kemudian mengambil sebuah pisau yang selalu dia simpan di sana. Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi. Profesinya sebagai seorang jurnalis sewaktu-waktu bisa membuatnya berada dalam bahaya. Karena itulah Agus Sinar harus selalu bersikap waspada.

Gedoran pada jendela semakin menguat. Agus Sinar menelan ludah gugup. Samar-samar dia mendengar pria itu meneriakkan sesuatu--entah apa.

Begitu kaca mobil bergerak turun, serentetan kalimat dari mulut pria itu pun langsung menyerbu Agus Sinar detik itu juga.

“To-tolong! Ada—seseorang yang butuh bantuan!” Pria itu tersengal hebat hanya untuk menyelesaikan kalimatnya.

Masih sambil menggenggam pisau kuat-kuat, Agus Sinar menatap pria itu dengan pandangan memicing.

“Becak saya mogok di jalan sana, Pak.” Pria itu berkata lagi sembari menunjuk sesuatu di kejauhan. Raut wajahnya tampak kesal, sebab Agus Sinar masih bergeming di tempatnya.

“Saya membawa seorang penumpang. Di-dia sedang hamil—besar. Harus segera dibawa ke rumah sakit, ta-tapi becak saya mogok.”

“Apa?” Agus Sinar ikut panik mendengar penjelasan pria itu. Dia meletakkan kembali pisaunya di kompartemen. “Di mana?” Agus Sinar hendak keluar, tetapi pria itu menyarankan agar Agus Sinar tetap mengendarai mobilnya. Jaraknya cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Lagipula tidak mungkin mereka menggotong-gotong wanita hamil dalam keadaan genting seperti ini.

Agus Sinar melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, bersama pria itu di sebelahnya yang sibuk berkomat-kamit. Sepertinya pria itu memang tidak berbohong. Sekitar lima meter di depan, Agus Sinar melihat sebuah becak terparkir sembarang, menepi di dekat parit lebar yang ditutupi semak belukar.

Keduanya lalu turun untuk memeriksa.

Agus Sinar melongo ke dalam bak penumpang. Kakinya tersaruk mundur lantaran terkesiap. Dilihatnya Elizar—Agus Sinar menatap wajah wanita itu baik-baik—tampak melamun dengan pandangan kosong di dalam becak tersebut.

“Elizar!” pekiknya keras. Dia memerhatikan sekitar. Elizar tidak sedang bersama Samsuri. “Saya kenal dia!” seru Agus Sinar lagi.

Agus Sinar sempat bingung harus berbuat apa. Namun, pria berkepala pelontos itu mendesaknya untuk segera membawa Elizar ke rumah sakit. Agus Sinar mengiyakan. Dia sempat mengumamkan kata maaf, sebelum kemudian diangkatnya tubuh Elizar ke dalam mobil, sementara pria itu membantunya memasukkan tas Elizar ke bagasi.

Mereka berpisah di sana. Pria itu berkata, tidak mungkin dia meninggalkan becaknya di lokasi sunyi seperti ini. Agus Sinar mengangguk, kemudian buru-buru pergi dari tempat itu.

_____________________

Kali terakhir mereka bertemu, mungkin sekitar dua tahun lalu. Sejak saat itu Agus Sinar tidak pernah bertatap muka lagi dengan Samsuri dan Elizar. Meski begitu, dia masih kerap berkirim surat untuk sekadar menanyakan kabar. Akan tetapi, sekitar setahun belakangan, surat-surat Agus Sinar tidak pernah sampai kepada Samsuri. Mereka kehilangan kontak. Agus Sinar sama sekali tidak tahu kalau kini Samsuri sudah menetap di Batam. Samsuri tidak pernah memberinya kabar.

Situasi ini cukup canggung sebenarnya untuk Agus Sinar. Dia tidak begitu akrab dengan Elizar. Mereka pernah bertemu sekali, saat Agus Sinar berkunjung ke rumah Samsuri untuk keperluan sesi pemotretan surat kabar. Elizar tidak banyak bicara padanya saat itu. Jadi, pertemuan yang terkesan begitu mendadak ini tentu saja membuatnya kalang-kabut, terlebih Elizar sedang dalam kondisi tidak baik. Dia sendirian.

Dokter Vivi, dokter yang menangani Elizar, mengajaknya mendiskusikan beberapa hal di ruangan pribadinya. Sebelumnya, pemeriksaan dasar terhadap kondisi Elizar dan bayinya sudah dilakukan. Dokter Vivi juga sudah mendengarkan detak jantung bayi melalui stetoskop untuk memastikannya baik-baik saja.

“Masa kehamilan Ibu Elizar sudah memasuki usia 37 minggu. Ketubannya sudah pecah tapi kontraksi belum juga dimulai.”

Agus Sinar menyimak baik-baik. Mendadak dia gugup. Tangannya refleks ikut memainkan kacamata saat dilihatnya dokter itu sibuk membenarkan gagang kacamata yang dia kenakan. Dokter Vivi kelihatannya tidak begitu nyaman memakai kacamata karena pangkal hidungnya yang rendah.

“Kita bisa menunggu, setidaknya selama 24 jam dan memastikan apakah Ibu Elizar bisa menjalani persalinan normal. Untuk merangsang kontraksi Ibu Elizar akan diinduksi. Tetapi, kalau sudah lebih dari itu, dan Ibu Elizar belum juga mengalami kontraksi, Anda perlu berpikir serius. Resiko bagi Ibu Elizar dan bayinya mengalami infeksi semakin meningkat, jika rentang waktu antara ketuban pecah dan kelahiran bayi semakin lama ....”

Penjelasan Dokter Vivi serasa mengambang di telinganya. Agus Sinar mengusap wajah gusar. Bagaimana mungkin dia berani mengambil keputusan, Samsurilah yang seharusnya melakukan itu.

“Lakukan ... apapun yang terbaik untuknya, Dokter,” putus Agus Sinar setelah lama menimbang-nimbang. Dokter Vivian mengangguk paham, lalu dia mulai berbicara lagi.

Setiap dua jam sekali Agus Sinar keluar-masuk ruangan Elizar. Elizar lebih banyak diam dan menangis di ranjangnya. Ketika Dokter Vivi menjelaskan seperti apa kondisinya, Elizar hanya melirik dengan pandangan lingung. Agus Sinar memintanya untuk bersabar dan tidak usah memikirkan hal-hal yang membuatnya stres. Karena ini adalah persalinan pertamanya, Elizar mungkin saja gugup. Jadi, sedapat mungkin Agus Sinar berusaha menenangkannya. Dia berjanji akan menghubungi Samsuri di posnya agar segera datang dan menemaninya.

Sayangnya, percuma. Berkali-kali pun Agus Sinar menghubungi kantor Kepolisian Batam Timur, jawaban yang dia terima tetap saja sama.

Samsuri tidak ada di tempat.

Sudah sejak kemarin-kemarin Samsuri mengajukan cuti.

Keningnya berkerut dalam sambil mendengarkan. Agus Sinar jadi kesal dibuatnya. Dibantingnya gagang telepon umum dengan keras. Jika Samsuri memang mengajukan cuti, mengapa dia tidak menemani istrinya di saat-saat seperti ini.

Dua belas jam pun terlewati begitu saja dan Elizar masih tampak begitu tenang dalam tidurnya. Sesekali dia terbangun saat Dokter Vivi lagi-lagi memeriksanya. Melihatnya seperti itu, Agus Sinar jadi tidak tenang. Perasaan semacam ini, dia juga pernah mengalaminya. Dulu, saat dia menunggui Lydia selama persalinannya.

Semua berjalan lancar pada saat itu. Namun, entahlah—Agus Sinar tidak paham mengapa Lydia menjerit keras setelahnya, bahkan tangisan Dimas mampu dikalahkan olehnya. Alih-alih merasa lega, Lydia justru tampak terpukul. Lydia tidak bahagia, seolah dia memang tidak pernah menginginkan Dimas lahir ke dunia. Berbulan-bulan Lydia tidak mau berbicara, bahkan melihat Dimas pun dia enggan. Agus Sinar lebih banyak mengurus Dimas pada waktu itu sampai pekerjaannya di lapangan terbengkalai dan dia hampir dipecat. Sekarang, Lydia telah berubah—sedikit. Namun, dia masih dalam perawatan dokter. Agus Sinar tidak bisa tinggal diam sebab Lydia pernah beberapa kali berusaha mencelakai Dimas.

Agus Sinar melihat terlalu jauh. Sesegera mungkin dia mengusir bayang-bayang kenangan itu dari dalam kepalanya. Dia tidak ingin mengingatnya lagi.

Agus Sinar lantas keluar dari dalam ruangan Elizar. Pikirannya bertumpuk-tumpuk sampai-sampai dia lupa menghubungi kantor tempatnya bekerja.

Agus Sinar segera berderap menuju halaman depan rumah sakit. Merogoh koin dalam saku, kemudian memasukkannya ke lubang koin. Jari-jarinya menekan sejumlah tombol angka. Sambungan telepon terhubung tak lama kemudian. Seorang rekan kerjanya yang bernama Andik yang menerima panggilan tersebut.

“Ada sedikit masalah. Aku tidak bisa datang ke TKP. Ya. Begitulah. Urusan di lapangan, tolong, minta yang lain menggantikanku.” Di ujung sana Andix menyebut-nyebut nama seseorang. “Ya. Kuserahkan padamu. Kasus penculikan anak yang berujung pada pembunuhan di Desa Belongan.”

Andik mengatakan sesuatu, tetapi Agus Sinar tidak mendengarkan dengan saksama. Seorang pria dengan rambut semrawut baru saja lewat di depan matanya. Pria itu membantu petugas ambulans mendorong rajang sampai ke dalam UGD. Sambungan telepon Agus Sinar putus begitu saja ketika dilihatnya pria itu menoleh ke belakang sebelum sosoknya benar-benar lenyap di balik pintu masuk.

Samsuri!

Agus Sinar buru-buru mengejarnya. UGD sangat ramai hari itu. Agus Sinar mencari-cari, tetapi Samsuri tidak ada di sana. Agus Sinar berjalan menuju pintu keluar yang kemudian membawanya menuju koridor bercabang. Dia celingukan sebentar, lalu mengambil langkah menuju koridor kiri. Beberapa perawat tampak mondar-mandir sembari menuntun pasien lansia. Setelah cukup lama berputar-putar mengelilingi rumah sakit, Agus Sinar akhirnya menemukan Samsuri yang tengah berjalan menuju warung pojok. Agus Sinar berhasil menarik jaket lusuh yang Samsuri pakai sebelum kakinya sempat mencapai ambang pintu.

“Dari mana saja kau!” Tanpa sadar Agus Sinar meninggikan suaranya. “Apa kau masih bisa makan di saat seperti ini?!”

Orang-orang sontak menolehkan kepala, memandang mereka dengan tatapan ingin tahu.

Samsuri tidak membalas teriakan Agus Sinar. Namun, tubuhnya menggeliat minta dilepas. Raut wajahnya tampak sangat mengerikan. Penampilannya pun lebih mirip seperti pria brengsek yang menghabiskan malamnya dengan meminum minuman keras. Bau. Agus Sinar rasa Samsuri tidak mandi selama berhari-hari.

Agus Sinar hendak meneriakinya lagi, tetapi tidak jadi dia lakukan. Aneka lauk pauk yang dilihatnya dalam steling kaca warung membuat perutnya tiba-tiba berkeriuk kelaparan. Wangi kuah bakso memaksanya menelan ludah dalam-dalam. Agus Sinar baru ingat, sejak kemarin dia memang belum makan apa-apa.

_____________________

Seporsi mangkuk bakso pesanan Agus Sinar akhirnya datang sekitar lima menit kemudian.

Di teras depan ruang rawat Elizar, dia dan Samsuri duduk sembari menekuk kaki di lantai. Mereka dihadapkan pada parit kecil yang mengarah ke halaman rumah sakit. Beberapa sampah membuat aliran air tersumbat, tetapi tampaknya hal itu sama sekali tidak memengaruhi selera makan Agus Sinar. Dia makan dengan sangat rakus. Perpaduan rempah-rempah dan penyedap bumbu membuat cita rasa bakso terasa begitu lezat sewaktu dicecapnya di lidah. Daging bakso dia lumat dengan cepat dalam mulutnya. Kuah yang dia seruput dengan tergesa-gesa dari sendok sampai memercik ke lantai.

Samsuri memandanginya dengan tatapan aneh. Agus Sinar terlalu terburu-buru, seolah-olah dia akan ketinggalan kereta jika tidak cepat-cepat menghabiskan makanannya.

“Kau bisa tersedak bakso kalau begitu,” tegur Samsuri. Dia hanya memakan sedikit porsi nasi bungkus yang dibelinya tadi. Ayam gorengnya masih utuh tetapi dia membuangnya begitu saja ke tong sampah.

Agus Sinar meletakkan mangkuk bekas makannya di rerumputan, kemudian meraih botol minuman yang Samsuri sodorkan padanya. Mulut Agus Sinar rasanya tetap saja terbakar sekalipun isi botol minuman tersebut ditenggaknya sampai habis.

Agus Sinar mengajak Samsuri bercakap-cakap kemudian. Sudah lama dia tidak mendengar kabar dari Samsuri. Dia sangat penasaran, tetapi Samsuri hanya menjawabnya dengan kalimat seadanya. Sama seperti halnya Elizar, Samsuri lebih banyak diam dan melamun. Sepertinya ada begitu banyak hal yang memenuhi benak Samsuri saat ini, sampai-sampai dia tidak lagi menyahuti pertanyaan Agus Sinar.

Agus Sinar dan Samsuri sontak bangkit berdiri ketika melihat Dokter Vivi muncul di tikungan koridor. Dokter Vivi berjalan cepat menuju kamar Elizar, memasuki ruangan, lalu keluar lagi selang beberapa menit setelahnya.

Seluruh tubuh Agus Sinar menegang saat dokter itu berkata Elizar sudah siap untuk memulai persalinannya. Dokter Vivi menatap Agus Sinar dan Samsuri bergantian, tampak kebingungan. Raut wajahnya seolah menanyakan siapa-di-antara-mereka-yang-akan-menemaninya.

Samsuri sempat bergeming, entah apa yang dia pikirkan. Dia tampak ragu dan wajahnya kelihatan sangat khawatir. Agus Sinar sampai harus menyenggol lengannya beberapa kali sebelum Samsuri akhirnya bersedia mengajukan diri.

“Saya akan menemaninya.”

________________

Pukul 13.15, Elizar dibawa ke ruang bersalin oleh para perawat. Samsuri menyusulnya usai berbincang dengan Dokter Vivi di pintu masuk.

Agus Sinar duduk di kursi tunggu. Jantungnya berdebar-bedar, sampai-sampai dia merasa akan pingsan sebentar lagi. Perutnya mulas tiba-tiba. Mungkin akibat terlalu banyak cabai di kuah baksonya. Dia bangkit, duduk lagi, lalu mondar-mandir tak menentu. Sayup-sayup dia mendengar instruksi dari Dokter Vivi di dalam ruangan—menyuruh Elizar agar tidak berteriak saat mengejan. Agus Sinar menggaruk pelipisnya lamat-lamat, merasa bodoh dengan tingkahnya sendiri. Samsuri mungkin lebih panik darinya sekarang.

Agus Sinar kembali duduk di kursi sembari menyandarkan punggung pada dinding. Suasana koridor begitu lengang tiba-tiba, lalu Agus Sinar seperti mendengar suara langkah kaki seseorang di balik pintu ruang bersalin. Wajah Samsuri tak lama muncul. Dia sempat melirik sekilas pada Agus Sinar, kemudian berlalu dari hadapannya tanpa berkata apa-apa. Dia menangis. Agus Sinar sangat ingin mengejarnya. Namun, kakinya serasa bagai tertanam di lantai saat dia mendengar tangisan bayi dari dalam ruangan.

__________________

“Dia terlihat ....” Agus Sinar menimbang bahasa, bingung mendeskripsikan seperti apa ekspresi Samsuri pada saat itu. Dia menangis. “Bisa jadi dia tidak antusias, atau mungkin ada hal lain yang dia khawatirkan.” Begitulah kira-kira.

Komisaris menyimak cerita Agus Sinar dengan baik sembari menepuk-nepuk punggung Mika. Mika tertidur di pangkuannya dengan mata tak tertutup sempurna.

Agus Sinar kembali mengenang. Kejadian itu seolah baru terjadi kemarin siang, masih segar dalam ingatannya. Seorang perawat yang membantu proses persalinan Elizar memberitahunya, Dokter Vivi terpaksa mengusir Samsuri dari dalam ruangan karena kehadirannya mempengaruhi kondisi emosional Elizar. Eja lahir setelahnya. Agus Sinar mendengar tangisannya yang begitu keras memenuhi koridor.

“Kukira mereka sedang bertengkar, tapi Samsuri bilang tidak. Bayinya masih berada di ruang bersalin bersama Elizar saat itu, tetapi Samsuri malah menungguinya di depan ruang bayi.”

“Lalu apa yang terjadi?”

Sewaktu mendapati Samsuri termenung seorang diri di depan ruangan tersebut, Agus Sinar segera datang dan menegurnya—dengan suara berbisik, tentu saja. Kain jendela yang terpasang di dalam ruang bayi dibiarkan tersingkap pada jam besuk. Agus Sinar dapat melihat bayi-bayi mungil tengah tertidur dengan damai di dalam boks masing-masing. Dia tidak mungkin berteriak-teriak.

“Mengapa kau bersikap seolah-olah sedang menelantarkan Elizar?”

Samsuri tidak segera menjawab. Kepalanya tertunduk dalam, seakan menyesali perbuatannya. Jawaban yang kemudian terlontar dari mulut Samsuri membuat Agus Sinar nyaris terkena serangan jantung.

“Samsuri tidak sanggup melihat wajah Elizar. Dia bilang, dia telah membunuh seseorang.”

“Apa maksudmu?” Komisaris terlihat syok, sama seperti Agus Sinar, dia pun tidak percaya dengan perkataan Samsuri pada saat itu.

____________________

“Membunuh? Bicara apa kau ini?” Agus Sinar membenarkan letak kacamatanya dengan gugup. Di saat seperti ini Samsuri .... Sungguh, tidak lucu, batinnya.

Samsuri ragu. Dia akan berbagi rahasia dengan Agus Sinar, tetapi tidak soal HT itu dan Dimas yang terhubung dengannya di masa depan. Samsuri tidak sepenuhnya menceritakan apa yang telah terjadi padanya. Hanya tentang alasan kepindahannya ke Batam, kematian Siti Sundari, serta anjing bernama Hachiko dan pemiliknya yang kemungkinan dibunuh oleh Wahyam.

“Aku yang telah membunuh Wahyam. Akulah yang telah menyebabkannya jatuh ke jurang.”

Agus Sinar menunggu sampai Samsuri kembali tenang, tetapi Samsuri justru terus mengulang kalimat yang sama.

“Aku ingin kau menulis beritanya untukku.” Samsuri mencengkram erat pundak Agus Sinar. Tatapannya memohon. Dia terlihat sangat risau.

“Tidak—maksudku, tanpa bukti valid, aku tidak mungkin menulisnya. Sudah pasti akan ditolak terbit oleh Kepala Redaksi kami.”

“Hanya ini satu-satunya cara.” Samsuri bersikeras sampai-sampai Agus Sinar tergeragap dibuatnya. “Istri Wahyam berbohong pada petugas polisi. Dia sengaja menutup-nutupi. Jika kau menulis berita kecelakaan itu dengan fakta-fakta bahwa polisi ikut terlibat di dalamnya, kasusnya pasti akan diselidiki ulang.”

“Dan kau akan dihukum?” sambung Agus Sinar tidak percaya. “Sebegitu inginnya kau mendekam di penjara, hm? Bagaimana dengan Elizar? Anak kalian baru saja lahir.”

“Kau akan menjaga mereka jika aku tidak ada.”

Agus Sinar mendenguskan tawa. Samsuri bicara seenak jidat seakan-akan dia tidak memikirkan bagaimana perasaan Elizar.

“Orang itu meninggal saat dirawat di rumah sakit, bukan di tempat kejadian. Kau tidak membunuhnya—”

“Tidak ada bedanya, Gus. Tetap saja akulah penyebabnya. Aku! Aku!”

Agus Sinar sudah tidak ingin mendengar apa-apa lagi, tetapi Samsuri terus saja memancingnya.

“Kau tidak mengerti, Gus.”

“Ya, memang!” sergah Agus Sinar cepat. “Lihatlah, apa yang ada di depanmu!”

“Aku tidak bisa melihat apa-apa. Dosa-dosa itu sudah membutakanku.”

“Bayimu sedang menuju kemari, bodoh!”

Agus Sinar berdecak keras sanking kesalnya. Samsuri langsung gelagapan. Matanya mencari-cari sampai ke ujung koridor. Lalu, dia mendapati perawat yang tadi mengurus Elizar berjalan mendekat sambil membawa bayinya.

“Akan kuhajar kau kalau sampai pergi lagi.”

Ancaman Agus Sinar berhasil membuatnya tidak jadi berpaling. Samsuri terdiam kaku. Dia hanya mampu menampakkan punggungnya ketika bayi itu dibawa masuk ke ruangan. Samsuri tidak tahu mesti bagaimana sewaktu Agus Sinar menyuruhnya menengok bayi itu. Dengan penuh antusias, Agus Sinar berkata, “Bayinya laki-laki!”

Samsuri dipaksa masuk oleh Agus Sinar dan dia hanya menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Mereka mengenakan pakaian medis dan mencuci tangan, kemudian melangkah pelan menuju ke tempat bayi itu diletakkan.

Bayi itu sedang tertidur dengan selimut biru yang membungkus tubuhnya. Pada bagian depan tempat tidur tertulis nama Ny. Elizar. Dia sangat kecil dan lucu. Matanya terpejam rapat, masih terlihat seperti membengkak. Kulitnya serupa warna isi jambu biji yang dibelah. Samsuri jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia menahan napas, seolah takut jika dia menghelanya bayi itu akan terbangun dan menangis pijar mencari-cari Elizar.

“Apa Bapak ingin meng-adzan-kannya?” Perawat itu bertanya sambil tersenyum, lalu diangkatnya bayi itu ke hadapan Samsuri.

Samsuri sangat ingin meraihnya, tetapi kedua tangannya terasa seperti lumpuh. Nyawa seseorang pernah lenyap di tangannya. Bayi itu tampak begitu suci. Samsuri hanya akan mengotorinya. Dia seorang pembunuh. Samsuri tidak berdaya karena fakta itu. Dia membuang muka. Agus Sinarlah yang pada akhirnya menyambut bayi itu dalam dekapan.

“Aku ... merasa tidak pantas.”

“Berhentilah mengatakan hal itu. Tuhan telah memberimu kesempatan.”

Agus Sinar mendekat pada Samsuri.

Perawat itu tiba-tiba berucap, “Sepertinya dia punya dua ayah yang sangat menyayanginya.”

Samsuri tersenyum dalam tangisnya. Bayi itu begitu dekat dengannya. Buru-buru dihapusnya air mata, kemudian dia merendahkan wajah ke telinga bayi itu dan mulai melafalkan adzan. Suaranya bergetar, putus-putus. Agus Sinar yang tidak kuasa melihatnya ikut berkaca-kaca.

Mereka tidak diizinkan berlama-lama di dalam ruangan. Bayi itu sempat menggeliat lucu, sebelum kemudian Agus Sinar serahkan pada perawat yang mengurusnya.

Samsuri mengikuti Agus Sinar keluar dengan berat hati. Dia tidak beranjak dari depan ruangan setelahnya. Dari balik jendela yang memisahkan, dia terus memandangi seolah takut bayinya akan tertukar dengan bayi lain.

“Aku tidak sempat memilihkan nama untuknya bersama Elizar,” gumam Samsuri, yang tak ditanggapi oleh Agus Sinar.

Agus Sinar meninggalkannya di sana bersama para ayah yang juga penasaran melihat putra-putri mereka. Samsuri menangis sunyi. Dia sangat menyesali perbuatannya. Sekarang dia sangat ingin memeluk bayinya dan Elizar erat-erat. Samsuri akan bicara. Elizar mungkin akan memaafkannya.

___________________

I do love Agus Sinar so much. He is a good man, a good father, and a lovely husband. Kalo kalian suka siapa?

Please, drop your comment bellow if you find any information errors.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top