31. Tragic
Tepat pada waktu sepertiga malam, Wahyam terlonjak bangun dari tidurnya.
Dia bermimpi.
Mimpi buruk.
Desahan napasnya tertahan di kerongkongan akibat upanyanya berkali-kali menelan ludah gugup. Meski kedua matanya telah terjaga, suara-sura ganjil yang dia dengar dalam mimpinya tadi seakan masih menghantuinya dan memanggil-manggil namanya. Suara-suara mengerikan itu menuntutnya, menggema hingga ke segala penjuru ruangan.
Apa kau tidak ingin mendapatkan ilmu kebal?
Bagaimana caranya?
Darah 41 gadis perawan yang tumpah di atas tanganmu adalah syarat untuk mendapatkannya ....
Dialog tak masuk akal itu terus berputar-putar dalam kepala Wahyam.
Nyaris gila rasanya.
Sejauh ini baru satu wanita yang berhasil dia tumbalkan. Pekerjaannya rupanya tidaklah mulus lantaran banjir memutus akses jalan menuju desa tempatnya tinggal. Belakangan, wanita-wanita yang kerap datang dari daerah nun jauh di sana pun berkurang jumlahnya, bahkan nyaris tidak ada. Hanya satu atau dua orang, itu pun Wahyam tidak bisa langsung mengambil nyawa mereka begitu saja. Dia mesti bermain cantik. Jika tidak, tukang becak atau ojek yang membawa mereka datang ke kediamannya bisa-bisa curiga terhadap dirinya.
Merasa gelisah tidak keruan, Wahyam pun memutuskan untuk keluar sekadar mencari angin segar, meninggalkan istri dan anaknya yang sedang terlelap di atas kasur, kemudian mengunci pintu kamar rapat-rapat.
Begitu tiba di teras rumah, Wahyam mengedar pandangan ke arah halaman. Sunyi, memang. Namun, dia dapat mendengar suara binatang ternak sesekali meribut dari belakang rumah.
Mendadak Wahyam didera rasa khawatir. Mengingat beberapa jam yang lalu Rudi sempat menggedor pintu kamarnya dan berteriak-teriak kalau dia melihat ada tangan manusia yang menyembul dari dalam tanah di halaman rumah. Wahyam bertanya-tanya, mungkinkah putranya melihat mayat waria yang dikuburnya di sana? Sial! Bagaimana bisa anak itu mengendap keluar dari dalam kamarnya? Padahal, Wahyam sudah memperingatkan untuk tidak mendekati anjing sialan itu.
Dengan bertelanjang kaki, Wahyam pun melangkah dengan penuh waspada. Tindak-tanduknya kini bukan lagi sekadar mencari angin segar. Wahyam rasa dia harus segera memeriksa gundukan tanah, yang dia buat untuk makam waria itu, tidak sampai terbongkar akibat ulah anjing sialan tersebut.
Sejak awal Wahyam sudah menduga, membunuh waria itu hanya akan membawa masalah dalam hidupnya. Seharusnya Wahyam tidak perlu menghabisinya, tetapi dia tidak punya pilihan lain sebab waria itu telah memergokinya sewaktu dia membuang jasad Siti Sundari di padang ilalang. Masalah pun kian menjadi rumit akibat kehadiran seekor anjing yang terus-menerus menggonggong di halaman rumahnya selama beberapa hari ini. Namun, ajaibnya, ketika Wahyam tiba di sana, sosok anjing yang selama ini mendekap makam waria itu tidak lagi dia temukan di mana pun. Kemana perginya? Mungkin anjing itu mati di suatu tempat, pikirnya.
Wahyam kemudian memicing, mendapati wujud sebuah jari mencuat di atas gundukan tanah. Dengan tangan kosong, lantas digalinya lebih dalam gundukan tanah tersebut. Bau busuk mulai menguar dari dalamnya ketika galiannya sampai menampakkan bagian pergelangan tangan. Daging pada kelima jari serta punggung tangan tersebut masih utuh dengan warnanya yang memucat.
Dengan tergesa-gesa, Wahyam berusaha mematahkannya. Jantungnya serasa berpacu seratus kali lipat, mewanti-wanti keadaan sekitar.
"Sial! Sial!" desinya tajam.
Kekakuan yang terjadi pada mayat membuat Wahyam agak kesulitan melakukannya. Susah payah Wahyam mengeksekusinya, hingga tak lama terdengar bunyi kretak nyaring dari tulang yang patah, tetapi tidak sampai memutus pergelangan tangan tersebut. Kemudian, kembali diurukinya pergelangan tangan tersebut dengan tanah galian sampai terbenam seluruhnya. Wahyam juga berupaya menyamarkan bau busuk dengan mencampur lima genggam pupuk kandang yang dia dapati mengelilingi tumbuhan serai di sekitarnya.
Bulir-bulir keringat sebesar jagung tampak jatuh di dahinya—persis seperti waktu itu—darah pun serasa mengalir deras sampai ke bawah kaki Wahyam. Membunuh waria itu bukanlah perkara mudah, karena Wahyam mesti mengangkut tubuhnya ke atas mobil bak terbuka untuk segera membawanya pulang, sebelum dia tertangkap mata orang lain. Beruntung, saat itu hujan turun dengan lebatnya, seakan ikut menghendakinya agar tidak perlu repot membersihkan pecahan kaca, juga jejak darah yang tertinggal di aspal berlubang. Wahyam menempatkan tubuh waria itu di antara karung-karung pupuk kandang dalam bak, yang dirasanya mampu meredam amis darah yang terus merembes dari belakang kepala waria itu. Usai menutupi bagian kepala waria itu dengan kresek hitam dan beberapa terpal, Wahyam kemudian buru-buru pergi dan menancap gas sedalam-dalamnya, meninggalkan seekor anjing berupa mirip serigala yang tergeletak tak sadarkan diri di atas aspal.
Wahyam sempat dibuat ketar-ketir sewaktu melihat beberapa mobil patroli polisi terparkir dekat pertigaan menuju jalur protokol III. Ada razia di depan sana rupanya. Tidak mungkin lagi Wahyam berbalik karena posisinya sudah kepalang dekat. Dia hanya akan menimbulkan kecurigaan, dan berakhir dicegat para polisi itu, jika nekat. Wahyam pun tidak punya opsi lain selain memasuki barisan para pengendara yang berjajar di depan matanya. Gas dan rem ditekan satu-satu, secara bergantian, agar mobil bututnya tidak sampai menyodok bodi belakang sebuah truk besar sekian meter di depan.
Beberapa mobil yang kedapatan membawa barang mencurigakan atau tidak memiliki surat-surat kendaraan lengkap digiring menepi pada bibir jalan. Wahyam pun kian dekat. Gila, rasanya jantungnya seakan pindah ke depan muka saat tiba-tiba seorang polisi datang menyorot wajahnya dengan senter. Wahyam menelan ludah kering. Tenggorokannya mendadak tercekat. Dilihatnya polisi berperut buncit dengan kumis yang hampir menutupi bibir hitamnya itu mengendus-endus udara di sekitar Wahyam.
“Apa yang kau bawa?”
“Pupuk kandang, Pak,” jawab Wahyam singkat, dengan wajah sekeras baja.
Polisi itu mengangguk, kemudian bergerak menyatroni sisi depan mobilnya. Wahyam pun refleks memegang kemudi erat-erat. Dia lupa perihal lampu sein kiri depan yang pecah akibat menabrak waria itu tadi.
Wahyam menahan napas meresapi kegugupannya detik demi detik. Namun, tidak sampai berlangsung lama, sebab sesaat kemudian terdengar teriakan nyalang yang otomatis mengalihkan perhatian polisi itu dari mobilnya.
“Hei, apa yang kaulakukan? Bau tahi! Cepat suruh orang itu pergi!”
Wahyam lantas mendengus keras. Sudah bukan hal baru lagi sebenarnya, bahwa para polisi pun sering melakukan aksi tebang pilih dalam menentukan mangsa. Mereka paling anti merazia para sopir mobil bak terbuka yang berkendara sembari membawa pupuk kandang di jalanan. Baunya akan cukup menyengat kalau dibiarkan berlama-lama ngetem. Bahkan, tak jarang pula para sopir pengangkut pupuk kandang yang melalui jalur pegunungan—tidak memiliki SIM—bisa lolos dari pemeriksaan polisi.
Wahyam terkekeh seorang diri, tersadar dari lamunannya. Dia pikir, Tuhan begitu menyayanginya sampai sanggup melancarkan segala urusannya. Akan tetapi, masalah justru datang setelahnya.
Waria itu ternyata masih bernapas ketika Wahyam melempar tubuhnya di dalam garasi. Wahyam sempat berpikir untuk menjadikan waria itu tumbal berikutnya. Dalam satu hari, dua ekor lalat berhasil dia tepuk. Dicuiminya rambut waria itu dengan penuh nafsu, kemudian dicabutnya barang selehai. Namun, siapa sangka, sosok yang penampilan luarnya bak wanita tulen itu rupanya adalah seorang laki-laki. Rambut boleh panjang tergerai, kulit bersih, dengan ukuran wajah dan rahang yang kecil, bulu mata lentik seperti seekor kuda, serta bibir tipis membiru, tetapi nyatanya semua itu hanyalah tipuan semata. Kenyataan ternyata berkata lain. Apa yang tampak di luar tidak seperti apa yang dia lihat di dalam. Wahyam sampai dibuat menganga tidak percaya, sewaktu dibukanya paksa celana wanita itu. Ritual pembungkusan mayat pun gagal dilakukan. Merasa ditipu, Wahyam yang telanjur kesal pun langsung mencekik waria itu tanpa ampun dengan seutas tali tambang, sampai akhirnya waria itu pun tewas megap-megap di tangannya.
Diinjak-injaknya gundukan makam waria itu bagai sesuatu yang tak berarti, bersama sumpah serapah yang terus dia lontarkan dari mulut. Matanya berkilat penuh amarah. Lihatlah, bagaimana seorang manusia merusak takdir yang telah Tuhan gariskan untuk masing-masing umat. Tidak tahu diri! Pada akhirnya Wahyam memutuskan untuk mengubur jasad waria itu di halaman rumahnya sendiri. Sebab, dia yakin, tidak akan ada seorang pun yang sudi datang mencari keberadaan waria itu, sekalipun dia mati di suatu tempat. Orang-orang sepertinya pastilah menggunakan identitas palsu untuk bisa diterima di tengah-tengah masyarakat.
“Dasar hina!” maki Wahyam untuk terakhir kali, sebelum dia benar-benar beranjak dari sana.
_________________
Samsuri memacu mobilnya dengan kecepatan konstan.
Benaknya benar-benar terasa penuh saat ini. Selama lima bulan belakangan, Samsuri jarang mengunjugi Desa Batu Bedimbar lantaran tugasnya di kantor cukup menyita waktu. Hal ini sebenarnya pun dikarenakan jarak yang menjadi kendala baginya. Bertugas sebagai seorang penyidik Pidum di Kepolisian Batam Timur, membuat dirinya tidak bisa leluasa bergerak. Desa Batu Bedimbar masuk ke dalam wilayah hukum Kepolisian Batam Barat. Jadi, tentu saja, berpatroli di sekitar daerah tempat tinggal Wahyam sudah berada di luar wewenangnya. Selain itu, kesulitan membagi waktu juga tak jarang mengakibatkan Samsuri lalai dalam menjalankan tugas, baik saat di markas maupun selama pengintaian.
Sayang sekali, Samsuri tidak punya cukup bukti untuk dapat mengajukan bantuan kepada satgas khusus Kepolisian Batam Barat. Dia tidak bisa berbuat banyak tanpa surat perintah resmi. Datang tanpa alasan yang jelas ke hadapan mereka, hanya akan membuatnya berakhir dicemooh sebagai orang yang bermulut besar.
Dalam kunjungannya terakhir kali ke desa ini pun, Samsuri belum juga mendapat petunjuk terkait alasan keberadaan Hachiko yang sekarat di halaman rumah Wahyam. Tampaknya Wahyam memang sangat pintar bermain peran. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda pergerakan yang mencurigakan dari dukun itu. Samsuri menduga, Wahyam mungkin sadar jika dirinya sedang diintai. Oleh sebab itulah, Wahyam menjadi semakin waspada terhadap pergerakannya.
Setelah cukup lama berkendara, wujud rumah Wahyam akhirnya kian menjelas dalam jarak pandang Samsuri. Dia pun segera mematikan lampu sorot, kemudian memarkirkan mobil cukup jauh dari rumah tersebut. Beruntung, kali ini Samsuri tidak membawa mobil patroli, melainkan mobilnya sendiri: sebuah Kijang LGX keluaran tahun 1999. Mobil seken itu dibelinya dengan harga murah di tempat bongkar-pasang kerangka mobil dari hasil tabungannya sendiri, untuk berjaga-jaga kalau istrinya melahirkan nanti mereka tidak perlu kesulitan menggunakan transportasi umum.
Ayis juga tidak ikut bersamanya, lantaran Brigadir itu kerap mendapat tugas jaga malam akhir-akhir ini.
Samsuri menyipitkan mata ketika dilihatnya siluet seorang perempuan berkuncir rendah baru saja keluar dari dalam rumah Wahyam. Perempuan itu melenggang pergi dengan gaun biru selututnya yang berayun, kemudian menaiki sebuah becak dayung yang telah menunggu di halaman depan.
Samsuri tak begitu memerhatikan kepergian mereka. Matanya masih memenjarakan rumah Wahyam penuh atensi. Sekitar lima belas menit kemudian, sosok Wahyam pun tertangkap olehnya. Dukun itu terbungkuk-bungkuk kepayahan, tengah mengangkuti beberapa karung pupuk kandang ke atas bak mobilnya. Ketika kemudian pekerjaannya selesai, Wahyam tampak bersiap membawa mobil butut berkaratnya meluncur keluar. Sontak saja, rasa penasaran Samsuri pun turut bangkit. Beberapa menit setelah mobil Wahyam melewatinya, Samsuri buru-buru memutar arah. Segera diinjaknya pedal gas, tak kuasa menahan rasa keingintahuannya, Samsuri pun membuntuti dukun itu.
__________________
Samsuri tidak mengerti sama sekali.
Beberapa kali mobil Wahyam terlihat menepi di sisi jalan yang sunyi dan gelap, tetapi dukun itu tidak tampak sedang melakukan apapun. Bahkan, untuk sekadar mengecek kondisi mobilnya yang kemungkinan mogok pun tidak. Dia hanya mendekam saja, seperti sedang menunggu sesuatu.
Setidaknya tiga kali Wahyam melakukan itu. Setelah dua menit berselang, dilihatnya Wahyam kembali bergerak. Samsuri lantas mengikuti di belakang sembari tetap berusaha menjaga jarak aman beberapa meter darinya. Lalu, ketika mereka tiba di dekat halte, Wahyam pun lagi-lagi ngerem mendadak.
Kali ini lebih lama dari sebelumnya.
Setelah diperhatikan lamat-lamat, rupanya Wahyam tengah berbincang dengan seseorang dari dalam mobilnya. Samsuri tidak bisa melihat wajah lawan bicara Wahyam, lantaran orang itu tengah duduk di halte tersebut. Posisi badannya berada persis di balik dua tiang penyangga samping yang menghalangi Samsuri untuk menelisik lebih jauh. Hanya kaki jenjangnya yang terlihat berulang kali diayunkan ke depan dan ke belakang. Barulah ketika orang tersebut berdiri, Samsuri dapat mengenali gaun biru selutut yang dikenakan lawan bicara Wahyam tersebut, yang Samsuri yakini sebagai sosok perempuan yang sama—yang keluar dari dalam rumah Wahyam beberapa saat lalu.
Samsuri lantas terlonjak, seakan kesadarannya baru saja dihantam palu godam. Menerka-nerka, mungkinkah Wahyam juga menggunakan cara licik seperti ini untuk mendekati Siti Sundari?
Wahyam mengantisipasi dirinya agar tidak dicurigai dengan menjemput korban di halte tersebut, kemudian berpura-pura memberikan tumpangan pada korban sampai ke persimpangan berikutnya. Itu sebabnya, sewaktu Samsuri mengorek informasi tentang Siti Sundari, tukang ojek yang kebetulan Samsuri tanyai, sangat meyakini bahwa dia sudah mengantar Siti Sundari sampai ke halte ini.
“Lokasi penculikannya ada halte itu,”
Samsuri meraih jurnal penyelidikannya dalam saku jaket, kemudian segera menuliskan dugaannya. Dia memberi tanda lingkaran pada bagian terpenting: halte.
Hanya pada bagian baris ‘motif’ yang belum bisa dia isi. Untuk apa kira-kira Wahyam ....
“Aaa!”
Mendadak jeritan keras terdengar. Disusul racauan "lepas" berulang-ulang.
Mata Samsuri kembali terpancang pada objek intaiannya di depan. Entah bagaimana tahu-tahu Wahyam sudah keluar dari dalam mobilnya. Menarik-narik tubuh perempuan itu dengan paksa, kemudian memepetnya pada bodi samping mobil. Situasi semakin tidak terkendali ketika perempuan itu terus meronta-ronta dalam kungkungan Wahyam.
Wahyam, dengan sekuat tenaga yang dimilikinya, menjambak rambut perempuan itu yang hendak kabur darinya.
Samsuri tentu tidak bisa membiarkan adegan perkelahian tersebut berlangsung lebih lama lagi.
Ditekannya klakson berkali-kali, berharap mampu melerai upaya Wahyam menguasi kesadaran perempuan itu, tetapi dukun itu malah bersikap acuh tak acuh pada peringatannya dan semakin menjadi-jadi. Kemudian, ketika Wahyam menyadari sorot lampu mobil Samsuri terarah kepadanya, dia sontak menghentikan aksinya. Seakan tak peduli lagi terhadap mangsanya, Wahyam menghempas tubuh perempuan malang itu ke tanah, lantas bergerak memutar memasuki jok pengemudi, bersiap melarikan diri.
Samsuri menarik napas dalam-dalam, bersiap menghitung mundur dalam hati. Tidak tahu apa yang mendorong dirinya, pedal gas dia injak kemudian. Dalam sepersekian detik yang terasa menegangkan, tabrakan keras pun terjadi, menghentak hebat kedua pengemudi yang ada di balik roda kendali masing-masing. Poisisi mobil Wahyam bahkan sampai tersodok beberapa meter. Pembatas baknya ikut penyok hingga terbuka, menampakkan berkarung-karung pupuk kandang yang beberapa di antaranya tergeletak menyamping.
Samsuri buru-buru keluar, menghambur ke arah perempuan malang itu berada, lalu dengan sigap membantunya berdiri. Tubuh perempuan itu gemetar hebat. Raut wajahnya pucat pasi. Ikatan pada rambutnya terburai, mengakibatkan wajah perempuan itu tertutupi sebagian. Samsuri berusaha menenangkannya sebisa mungkin. Sementara Wahyam, dukun itu setia mendekam di balik kemudi, tak berniat turun. Suara mesin mobil yang di-starter berulang-ulang masih terdengar, pertanda Wahyam belum mau menyerah pada usahanya untuk kabur.
Samsuri mengitari mobil berkarat milik Wahyam dengan pandangan memicing. Tepat pada saat dia melongokan kepala melalui jendela yang tidak berpenutup, Wahyam berhasil menghidupkan mesin. Betapa paniknya Samsuri. Tanpa ampun, Wahyam memacu mobilnya dengan kencang, membawa serta Samsuri yang terpaksa berpegangan kuat pada pintu mobil. Kakinya menyeret tanah jalanan sampai debu yang dibawanya begulung-gulung seperti kabut.
“Dukun gila! Hentikan mobil ini sekarang juga!” Teriakan Samsuri tertelan suara angin yang menderu-deru. Merasa tidak berguna, Samsuri menghadiahi dukun itu dengan sumpah serapah kejam yang detik itu melintas dalam kepalanya.
Namun, di kursinya, Wahyam justru terkekeh tajam.
Malam gelap tanpa lampu penerangan, membuat Samsuri tidak dapat memperkirakan wujud sebuah pohon besar yang menunggunya di sisi kiri. Dengan sengaja, Wahyam rupanya bergerak zig-zag mendekati pohon tersebut. Ketimbang menderita kepala bocor, Samsuri tentu lebih memilih melepaskan cengkramannya. Sayangnya, dia terlambat. Samsuri keburu merasakan kerasnya benturan pada batang pohon tersebut. Tubuhnya pun jatuh berguling-guling seperti gelundungan roda kontainer besar sebelum berakhir terlentang di atas rerumputan. Punggungnya bagai remuk redam. Terbatu-batuk, Samsuri tak kuasa menahan ringisan kesakitan. Bau pupuk kandang yang ikut tertinggal bersamanya tercium melalui reseptor di hidung. Samsuri bahkan dapat merasai sisa tanahnya yang tak sengaja masuk ke dalam mulut dengan perasaan jijik.
Perkara usia dan bobot tubuh yang sedikit berisi membuatnya serba kewalahan saat ini. Butuh waktu beberapa saat sampai Samsuri siap bangkit berdiri. Agak terpincang-pincang, Samsuri kemudian berjalan menuju arah di mana dia datang untuk menjemput mobilnya yang tertinggal di halte.
Dia buru-buru menyingkir ketika sebuah bus berukuran sedang melaju ke arahnya. Lambaian tangan seseorang yang berasal dari dalam bus menarik perhatian Samsuri untuk menengadahkan kepala. Dia lantas memicing, tanpa sengaja matanya beradu pandang dengan sosok perempuan bergaun biru selutut yang ditemuinya tadi. Dengan wajah ketakutan, perempuan itu menyandarkan kepalanya pada kaca bus transparan. Samsuri tidak bisa menebak dengan pasti, tetapi sepertinya perempuan itu hendak mengucapkan kata ‘terima kasih’ padanya lewat gerakan bibir. Sekilas yang terasa bagai semenit, bus itu pun lalu lenyap ditelan rimbunnya pepohonan menjulang.
______________
Jejak Wahyam telah sepenuhnya menghilang dari jangkauan Samsuri.
Sekalipun dia menambah kecepatan sampai delapan puluh km per jam di atas jalanan sepi, tetap saja dia tidak akan bisa mengejar Wahyam.
Sewaktu tiba di persimpangan jalan, Samsuri justru dibuat bingung menentukan arah mana yang semestinya dia ambil. Tidak ada palang penunjuk jalan di kanan-kirinya. Samsuri merasa unfamiliar dengan daerah di sekitarnya, lantaran memang baru kali pertama ini dia menelusuri kedalaman wilayah Kecamatan Sekupang. Jika Wahyam memang memutar balik, sudah pasti Samsuri akan memergokinya, sebab jalan yang tadi dia lewati adalah satu-satunya akses terdekat menuju Desa Batu Bedimbar.
Samsuri menimbang sejenak. Melihat kondisi jalur di kanan yang tampak jauh lebih gelap ketimbang jalur lain di sisi kiri, akhirnya Samsuri pun memutar kemudi ke arah kanan. Entah ini hanya firasatnya saja atau bukan, tetapi sepertinya samsuri menjadi semakin peka terhadap bau pupuk kandang milik Wahyam—yang menurutnya pastilah berasal dari jalur tersebut.
Tidak ada lampu jalan. Satu-satunya cahaya yang menuntun Samsuri hanyalah lampu sorot mobilnya sendiri. Suara binatang malam terasa begitu dekat dengan telinga, membuat jantungnya berdetak kian cepat. Makin ke sini, Samsuri makin disambut perasaan was-was. Tak tampak olehnya satu orang pun yang berlalu-lalang sejak dia mengemudi dari persimpangan tadi.
Beberapa meter di depan, sebuah papan peringatan yang berdiri setengah miring berhasil terbaca oleh matanya sekilas. Mobilnya memasuki area hutan di wilayah Bukit Dangas. Jalur yang dia lalui semakin menyempit, seolah memang hanya diperuntukkan untuk satu ruas jalan saja. Jikalau berpapasan dengan seseorang, Samsuri mesti bersiap-siap menepi. Pohon-pohon tinggi di kanan kiri mengelilinginya seakan-akan mengungkungnya dalam sebuah kanopi tak bercela, sampai-sampai Samsuri tak dapat menemukan segumpal langit malam di atas kepala. Sejak tadi Samsuri juga tidak mendapati adanya jalur bercabang. Jadi, dia hanya mengemudi lurus mengikuti lajur aspal burik yang membentang di depannya.
Sekelebat bayangan tiba-tiba melintas di hadapan Samsuri tanpa diduga-duga. Mobil pun menjadi oleng selama beberapa saat lantaran Samsuri berusaha mengelakkannya tanpa sempat menginjak pedal rem. Kepanikannya tertelan bersama tegukan salivanya di kerongkongan. Meski sia-sia, Samsuri tetap berkeras menoleh ke belakang, sekadar memeriksa makhluk apa kira-kira yang baru saja ditabraknya. Akibatnya, Samsuri pun terlambat menyadari sebuah tikungan tajam tengah menunggunya di depan. Akselerasi yang sedikit berlebihan saat menikung membuat ban mobil mengalami selip. Samsuri sempat kehilangan kontrol, nyaris keluar dari lintasan kalau saja dia nekat asal injak rem kuat-kuat. Pedal kopling langsung diinjaknya kemudian, sehingga roda berada pada posisi bebas berputar tanpa tekanan dan Samsuri dapat melakukan perlambatan secara perlahan sampai kendaraan bisa benar-benar dia kendalikan.
Namun, kesialan rupanya tak berhenti menguji sampai di situ saja. Pada tikungan selanjutnya Samsuri justru dikejutkan oleh penampakkan mobil Wahyam yang telah dalam keadaan miring, hampir terperosok ke dalam jurang. Samsuri berupaya melepas gas, kemudian menginjak rem patah-patah. Napasnya lagi-lagi tertahan, menyadari moncong mobilnya berhenti sekian milimeter dekatnya dari mobil Wahyam. Samsuri kira, semua akan baik-baik saja, tetapi masalahnya, berkarung-karung pupuk kandang dalam bak yang condong ke arah jurang justru menjadi pemberat. Lamat-lamat mobil Wahyam pun bergoyang secara mengerikan. Suara keritan besi berkaratnya bagai lagu kematian yang sontak membuat bulu kudu Samsuri meremang.
Samsuri sontak melebarkan mata. Belum sempat dia keluar dari dalam mobilnya, mobil Wahyam telah lebih dulu terguling ke sisi kiri, kemudian terjun ke dasar jurang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top