3. Informasi Sang Letnan

"Pembunuhan satu keluarga?" decih Kapten Mahler pada Letnan Samsuri. "Bagaimana bisa kau menyimpulkannya semudah itu, Samsuri? Mulutmu itu terkadang harus dijaga."

Kapten itu melongos pergi sembari bersungut-sungut, meninggalkan Letnan Samsuri yang masih terpaku pada HT tua di tangannya. Diam-diam Letnan Samsuri balas berdecih, meski tidak kentara.

Memang benar, jika melihat situasi TKP, kasus kematian yang menimpa satu keluarga ini bisa dikategorikan murni bunuh diri. Namun, ini hanya dugaan sementara; tiga korban yang tergeletak di lantai itu tewas akibat memakan sop yang mengandung racun. Melihat sisa sop bersih dari kerubungan kecoak dan binatang lainnya, pastilah ada yang tidak beres dengan makanan yang disajikan di atas meja tersebut. Mahler meyakini demikian. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, atau luka serius pada tubuh korban, selain seluruh peralatan makan yang bersepah di atas meja hingga ke lantai.

Mahler membayangkan bagaimana salah satu dari korban itu meregang nyawa. Ada kemungkinan si wanita atau si pria sempat menarik taplak meja sebelum tubuhnya roboh ke lantai, yang mengakibatkan piring dan mangkuk tumpah-ruah hingga tak beraturan. Mereka kemudian berusaha mencapai atau mencakar meja saat leher mereka terbakar racun mematikan. Detik-detik berikutnya mereka tewas, bersamaan dengan darah yang keluar dari mulut mereka. Namun, Mahler belum bisa merilis berita apapun untuk para wartawan yang telah bersiaga di halaman depan sebelum tim medis datang dan mengonfirmasi dugaannya.

Mahler menyibak kain gorden kemudian. Dilihatnya para wartawan mulai mengerubungi anggotanya yang berjaga di depan, bahkan beberapa dari mereka tampak memaksa masuk. Padahal daerah Karang Sari cukup terisolasi dari perkotaan, entah dari mana informasi soal kasus ini bisa bocor ke telinga mereka. Para wartawan itu selalu tahu di mana bangkai disembunyikan.

"Sebentar lagi aku akan pensiun. Aku harap tidak ada kejadian macam-macam yang akan membuatku dipecat sebelum waktuku tiba," risau Kapten Mahler.

Sembari menunggu tim medis datang, Lentan Samsuri memutuskan untuk kembali memeriksa sekitar. Kali ini dia menyongsong anak tangga. Dia memeriksa setiap kamar di lantai dua. Membuka laci satu persatu. Mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan petunjuk.

Kapten Mahler menganggap kasus ini bunuh diri, namun Letnan Samsuri punya pendapat berbeda. Dia merasa ada yang janggal. Sejak tadi tak ditemuinya satu pigura foto pun, baik di lantai satu maupun di dalam kamar-kamar yang sedang diperiksanya.

Merasa tidak mendapatkan apapun, Lentan Samsuri kembali ke bawah.

Mengapa tidak ada satu pun foto? batinnya kecut.

Semua seakan sengaja dilenyapkan. Bukankah begitu? Rumah sebesar ini, pemiliknya pastilah orang berada. Mustahil jika mereka tidak mengabadikan satu jepret foto meski dalam bentuk hitam putih.

Lentan Samsuri menapakkan kakinya menuju ruang tamu, menyusul Kapten Mahler yang sedang berputar-putar tak menentu di sana.

"Kapten, rasanya ada yang aneh. Tidak ada satu pun foto keluarga di rumah ini."

"Memangnya apa yang akan kau lakukan kalau menemukan foto keluarga itu? Toh, mereka sudah mati."

"Setidaknya kita harus mengonfirmasi berapa jumlah anggota keluarga di rumah ini, Kapten."

Mahler menimbang kata-kata Letnannya. Benar juga. Mengapa tidak terpikirkan olehnya? Mahler harus mengakui, Samsuri memang punya intuisi yang tajam dan terlahir menjadi orang yang sangat teliti. Kapten itu meraih HT-nya di saku celana, kemudian menghubungi salah satu anak buahnya yang sedang bertugas di luar rumah tersebut.

"Ayis, pergilah temui kepala desa. Cari tau soal keluarga ini."

Sementara Mahler berkomunikasi lewat HT, Samsuri kembali melihat-lihat. Salah satu lukisan abstrak yang terpajang di dinding ruang tamu menarik perhatiannya. Lukisan itu didominasi oleh cat berwarna biru, seolah menggambarkan samudera yang amat luas dengan satu titik hitam di tengah-tengah. Matanya seketika memicing. Mendapati sebuah kejanggalan pada dinding yang kosong tanpa hiasan di sebelah lukisan tersebut. Dia mendekat untuk memastikan. Meraba permukaan dinding tersebut. Catnya tampak lebih baru ketimbang area di sekitarnya yang lebih pudar, membentuk sebuah kotak yang nyaris menyerupai persegi panjang. Samsuri yakin, ada pigura lain yang pernah dipajang di dinding itu. Bekas pakunya bahkan masih terlihat di sana. Tapi apa yang dipajang di sini sebelumnya? Mungkinkah foto keluarga yang sejak tadi dicarinya? Jika benar demikian, artinya memang ada seseorang yang sengaja memindahkan foto tersebut untuk melenyapkan bukti.

Ayis Muis datang beberapa menit kemudian. Membawa kabar yang sebenarnya tidak terlalu baik bagi para penyidik.

"Mereka baru saja pindah ke desa ini, Kapten," lapor Ayis. "Orang-orang di Karang Sari tidak begitu saling mengenal satu sama lain. Jarak antara satu rumah ke rumah lainnya terlalu jauh, selain itu posisi rumah ini berada di ujung perbatasan desa dengan hutan. Mereka jarang keluar rumah ataupun berbaur."

Letnan Samsuri mendesah. Ini bisa jadi kendala dalam penyelidikan.

Agam Wirang baru saja keluar dari ruang bawah tanah bersama kamera digitalnya yang masih menggantung di leher. Rekannya dari sesama Tim Inafis masih berada di bawah sana. Olah TKP masih berlangsung. Tetapi Agam memutuskan untuk keluar sebentar, sekadar mencari udara segar. Ruang bawah tanah itu terlalu pengap dan berbau apak. Membuatnya sedikit kesulitan bernapas meski sudah mengenakan masker.

Saat tiba di ruang tamu, dilihatnya sepasang suami-istri, penghuni rumah ini, tampak tertunduk lesu sembari memeluk erat putra semata wayang mereka. Mereka sedang diinterogasi oleh beberapa polisi dari Polsek Sei Beduk. Agam sempat mencuri dengar. Kata sang suami, mereka baru saja pindah ke rumah ini beberapa hari yang lalu. Awalnya semua tampak biasa saja. Di mata pria yang berperawakan tinggi itu, rumah ini memiliki desain interior yang bagus. Harga jualnya lumayan malah. Dia langsung membeli tanpa perlu berpikir dua kali, sebab sang istri langsung jatuh cinta saat pertama kali melihat-lihat rumah ini.

Istrinya itu pasti adalah orang yang sangat suka dengan benda-benda klasik. Jika diperhatikan, perabot di setiap ruangan hampir seluruhnya terbuat dari kayu jati asli yang kokoh, dengan ukiran-ukiran rumit serta bentuk yang unik. Membuat kesan klasik itu melekat kuat dan mendominasi rumah ini. Bahian lantainya juga terbuat dari papan yang tidak mudah termakan waktu. Tidak ada yang mengira, putra mereka yang masih berusia lima tahun itu, akan menemukan kerangka manusia di sebuah ruangan tersembunyi di bawah lantai kayu rumah baru mereka. Mereka bahkan tidak pernah tahu ada ruang bawah tanah di rumah mereka, tepatnya di tengah ruang keluarga. Sang istri yang syok dengan penemuan kerangka itu pun lantas menghubungi polisi.

"Ruang bawah tanah?"

"Benar, Komandan. Seseorang tewas di dalam sana."

Agam tersentak. Bola matanya bergulir ke pintu masuk. Dia langsung memberi hormat. Depari dan Kapolsek Sei Beduk yang baru saja masuk ke dalam tampak sedang bercakap-cakap. Depari tersenyum padanya. Pria yang saat ini menjabat sebagai Kanit II di Divisi Pembunuhan Polresta Barelang itu datang sendirian. Agam tidak melihat anak buahnya, Dimas, di sekitar pria itu. Ke mana dia?

"Kau mencari Dimas?"

Agam terpaksa melepaskan tawa, yang lebih terdengar seperti dengusan halus. Depari selalu bisa menebak jalan pikirannya.

"Dimas membuat kekacauan. Dia mengamuk seperti orang gila tadi. Jadi, kukirim dia ke rumah sakit jiwa."

Agam tahu Depari tidak benar-benar mengatakan itu.

"Bagaimana olah TKP-nya?" tanya Depari kemudian.

"Masih berlangsung, Pak. Kami sedang mencari bukti yang mungkin saja masih tertinggal."

"Apa itu mungkin?" gumam Depari tidak yakin. Mengingat apa yang mereka temukan bukanlah jasad yang masih segar, melainkan kerangka yang sudah lama terkurung dalam ruang bawah tanah.

"Karena TKP-nya di tempat tertutup, ada kemungkinan bukti yang kita temukan nanti belum terkontaminasi, Pak."

Agam mempersilakan Depari mengintip kameranya. Depari melihat foto-foto kerangka manusia yang diambil dari berbagai sudut. Dia mengernyit penuh arti, kemudian berkata lagi, "Korbannya adalah seorang anak kecil?"

Agam mengangguk membenarkan. "Dilihat dari ukurannya, kerangka tersebut sepertinya memang milik seorang anak kecil. Kita belum dapat memastikan jenis kelaminnya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top