21. Treasure

Bunyi keriut pintu susah payah Dimas redam saat dia mengendap masuk ke dalam kamar Eja. Masih pukul delapan malam tapi kamar Eja sudah gelap gulita. Dimas sedikit berdecih sewaktu matanya menangkap banyak bintang berkilauan di atas langit-langit. Kamar ini tidak mirip kamar laki-laki, pikirnya.

Saat hendak melangkah ke sudut ruangan, samar-samar dia mendengar suara rintihan keluar dari mulut Eja.

"Sakit ... emmh ... Sakit ...."

Hatinya mendadak tidak tenang dan Dimas pun langsung menghambur ke sisi Eja di bibir ranjang, tidak jadi memeriksa lemari baca.

Dimas sedikit mengguncang tubuh Eja agar segera menghadapnya. "Eja, liat Abang. Apa yang sakit?" tanyanya cemas. Dimas lantas menghela napas kesal. "Bodoh ...." Ternyata Eja hanya sedang mengigau saja.

Beberapa menit kemudian tampaknya Eja sudah jatuh tertidur dalam damai. Suara dengkuran halus terdengar. Sejenak Dimas memandanginya dalam diam. Diusapnya pelan bekas luka di pergelangan tangan anak itu yang tampak kehitaman. Luka melintang akibat sayatan dan luka gigit masih membekas. Dimas menghela napas. Mendadak dia menyesali perbuatanya. Luka yang paling membekas pasti ada di hati anak itu dan Dimas merasa bodoh karena dia tidak tahu apa-apa. Nala memberitahunya bahwa Eja dian*l beramai-ramai saat sedang dalam pengaruh narkoba. Sial! Dimas harus melakukan sesuatu pada Baron. Anak walikota itu harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya pada Eja. Sayangnya, Dimas sendiri pun tidak begitu yakin, sebab kasus narkoba tidak termasuk daerah kekuasaannya.

Usai meletakkan hadiah pemberian Nala di meja lampu hias, Dimas pun buru-buru pergi dari sana. Dia tidak ingin Eja terbangun dan memergokinya. Dimas beranjak ke kamarnya untuk mengambil tas ransel besarnya, lalu turun ke bawah. Di undak tangga ke tiga, tiba-tiba ponselnya bergetar di dalam saku. Dimas sempat melirik nama Aryan pada layar sebelum mengangkat panggilan tersebut.

"Inspektur, apa Anda sudah membaca e-mail masuk barusan?"

"Sudah. Saya sedang dalam perjalanan ke kantor. Perempatan macet," bual Dimas asal. Jelas-jelas dia masih ada di rumah.

"Jadi, identitas kerangka itu semuanya perempuan?"

Dimas langsung memutuskan panggilan itu sepihak saat tanpa sengaja telinganya menangkap pembicaraan Agus Sinar di bawah tangga. Papanya sedang menelpon seseorang di sana. Dimas mengernyit heran. Secepat itu Papa mendapatkan beritanya. Padahal konferensi persnya saja belum dilakukan. Seketika timbul benih kecurigaan dalam benak Dimas. Orang yang sedang berbicara dengan Papa bisa jadi seorang informan atau justru seorang polisi. Tapi untuk apa Papa mengetahui informasi ini? Jelas-jelas Papa kan sudah banting setir dari profesi lamanya.

"Kabari secepatnya kalau kalian menemukan kerangka lain. Ini penting. Saya sedang mencari seseorang .... Baiklah. Selamat bertugas—"

"Pa!"

Agus Sinar membeku di tempat, begitu dia berbalik tahu-tahu Dimas sudah berdiri di depannya.

"Oh, Papa kira kamu sudah pergi dari tadi. Shift malam biasanya jam tujuh, kan?"

Dimas memicing penuh curiga, mendapati Agus Sinar buru-buru menyimpan ponselnya.

"Siapa yang Papa hubungi tadi?" tanyanya penasaran.

Agus Sinar tampak kikuk. "Itu ... Papa ...,"

"Dimas dengar," potongnya kemudian. "Kalau Papa sedang mencari seseorang. Kenapa tidak minta tolong Dimas saja, Pa? Siapa orang yang sedang Papa cari memangnya?"

Agus Sinar makin terbata-bata dibuatnya. Dia tidak tahu harus bagaimana. "Cuman ... temen lama. Dia menghilang saat sedang bertugas."

"Seorang jurnalis?"

Dimas menyipit. Meski Agus Sinar sudah mengangguki pertanyaannya, tetap saja dia merasa curiga.

"Bagaimana soal Eja? Apa kamu sudah memikirkan tempat yang bagus untuknya?" Agus Sinar bersiasat memilih topik lain untuk dibicarakan daripada dia terus-menerus dicecar pertanyaan oleh putranya.

"Dimas akan mengatur jadwal konseling untuk Eja dengan seorang psikolog di Pusat Rehabilitasi Mental."

"Apa? Rehabilitasi Mental?" seru Agus Sinar tidak percaya. Wajahnya langsung berubah masam. "Kamu pikir adikmu sudah tidak waras, Dimas? Dia itu kecanduan ...!" Dia bahkan sampai harus mendesis tajam agar suaranya tidak terdengar sampai ke lantai dua.

"Dimas tau, Pa, tapi—"

"Tapi apa?"

"Menurut Dimas, ini yang terbaik untuk Eja."

"Apa Papa tidak salah dengar, Dimas?"

Dimas memijat batang hidungnya kuat-kuat. Akh, kenapa rasanya sungguh sial. Menurut Dimas sendiri, kejiwaan Eja yang tidak stabil patut diperhatikan lebih dulu. Eja adalah korban pelecehan seksual sekelompok homo gila di sini. Namun, Dimas tidak mungkin memberitahu Agus Sinar soal kebenaran itu. Sudah pasti Agus Sinar akan langsung bertanya siapa yang tega melakukan itu dan mendesak Dimas untuk memberitahu. Gawatnya lagi, Agus Sinar mungkin tidak akan segan melakukan tindakan nekat di luar nalar, seperti menyuruh orang suruhannya membakar gedung walikota atau bahkan rumah walikota itu sendiri demi Eja. Yang benar saja.

"Kamu itu memang tidak pernah peduli, kan, sama Eja. Dia juga keluarga kita, Dimas," desah Agus Sinar lelah. Dia sudah sangat sering mengatakan ini pada Dimas. "Sudahlah, cepat kamu berangkat sana. Biar Papa sendiri yang mengurus soal Eja."

Dimas hanya bisa menghela napas keras. Agus Sinar segera berbalik, kembali meraih ponselnya, kemudian mulai menghubungi kenalannya yang Dimas tidak tahu siapa.

"Pa, Mama ...,"

Mendadak Dimas mengingat mimpinya tadi sore. Keraguan mendadak menyelimuti hatinya. Selama ini Dimas tidak pernah tahu kronologi sebenarnya soal kematian Mama, sebab sewaktu Mama meninggal Dimas sedang dirawat di rumah sakit saat itu. Kejadiannya pun sudah lama sekali, lima belas tahun yang lalu. Selain itu, Dimas juga tidak tahu apa-apa. Dia hanya mendengar cerita dari Papa bahwa Mama sakit keras. Begitu Dimas terbangun, Papa memberitahunya bahwa Mama sudah tidak ada dan dikuburkan. Kepergian Mama benar-benar sangat memukul Dimas kala itu. Dimas merasa sangat-sangat menyesal. Dia tidak sempat melihat Mama di saat-saat terakhirnya karena harus terbaring di rumah sakit selama berhari-hari.

"... Mama benar meninggal karena sakit, kan?"

Sayang, Dimas tidak mendapat jawaban apapun dari papanya, sebab Agus Sinar sudah keburu menghilang di balik sisi dinding ruang keluarga.

________________

"Seperti yang Anda bilang, Inspektur. Mereka saat ini sedang mengintai di sekitar area LZ Apartement. Sayangnya nama Rudi tidak ada dalam daftar kepemilikan salah satu apartemen tersebut," jelas Aryan melaporkan perkembangan.

Dimas hanya bergumam menanggapi Aryan. Apa Nala menipuku? Batinnya agak kesal. Sesegera mungkin diraihnya gagang telepon kantor di atas meja untuk menghubungi tim Evan yang sedang berada di lokasi LZ Apartement. Sembari menunggu sambungan terhubung, Dimas berpikir. Nala tidak salah. Sepertinya Rudi memang tidak mungkin membeli apartemen itu atas namanya. Jejaknya sudah pasti akan langsung terendus kalau begitu. Rudi orang yang sangat memperhitungkan risiko, namun di sisi lain dia cenderung teledor. Dengan bodohnya dia mengikat seluruh kunci dalam satu gulungan dan entah bagaimana Nala bisa mengetahui ini; LZ Apartement. Kalau tidak salah Rudi punya sebuah kunci dengan gantungan bertuliskan LZ Apartement.

Nala juga bilang padanya kalau Rudi sedang menjalin hubungan dengan seorang janda beranak satu yang juga berprofesi sebagai guru. Ada kemungkinan apartemen tersebut dibeli atas nama kekasihnya tersebut. Ternyata memang ada gunanya juga bertukar informasi dengan homo sialan itu.

"Rania Farah. Coba selidiki apartemen atas nama Rania Farah," beritahu Dimas begitu Evan mengangkatnya. Mereka berbincang sebentar, tak berapa lama kemudian Dimas kembali meletakkan gagang telepon itu di tempat semula.

Dimas mengembalikan fokus pada berkas-berkas di atas meja. Dari total sebelas kerangka manusia yang ditemukan, baru tujuh yang bisa diidentifikasi setelah mencocokkannya dengan sampel DNA dan data dari Pusat Orang Hilang. Semuanya adalah wanita, kecuali kerangka milik Santini tentunya. Berdasarkan data dan laporan milik Pusat Orang Hilang, wanita-wanita itu diketahui menghilang sejak tahun 2002 sampai awal tahun 2003. Rentang waktunya cukup singkat. Sepertinya pelaku sangat gencar membunuh wanita-wanita itu. Berdasarkan hasil otopsi, untuk sementara Dokter Zein menyimpulkan bahwa wanita-wanita itu tewas akibat mendapat tekanan kuat pada leher yang mengakibat posisi tulang leher mengalami fraktur dan patah. Seperti dicekik, persisnya. Selebihnya, dokter itu masih harus melakukan banyak penelitian.

Dimas tidak tahu motif apa yang mendasari pelaku membunuh wanita-wanita malang ini. Usia mereka rata-rata berkisar 20-30 tahun saat dilaporkan menghilang oleh keluarga mereka. Sembilan belas tahun lamanya menghilang, saat ditemukan sudah tinggal tulang belulang saja. Tidak banyak petunjuk, selain kenyataan bahwa wanita-wanita ini dibunuh, lalu dikuburkan di ladang yang sama, dengan cara yang sama pula—kecuali Santini.

"Kalau dilihat sekilas, wanita-wanita ini tampaknya dikuburkan dengan cara yang lebih layak. Menggunakan kain kafan hitam juga tali pocong yang diikat rapih. Bagaimana menurutmu, Yan?"

Aryan yang tengah sibuk membandingkan tumpukan foto satu korban dengan korban yang lain lantas menyahut, "Hanya Santini saja yang diperlakukan berbeda. Apa karena dia seorang kristiani, Inspektur?"

"Itu tidak mungkin," jawab Dimas cepat. "Biasanya para pembunuh berantai punya modus operandi sendiri, yang menjadi ciri khas mereka dalam memperlakukan korbannya. Seperti Jack The Ripper misalnya. Dia membunuh para korbannya dengan cara menyayat leher dan merobek perut. Kamu tau, Yan, mereka itu paling benci ditiru."

Dimas menjeda ucapannya. Dia sendiri tidak begitu yakin kalau sudah berbicara soal Jack The Ripper. Pembunuh berantai legendaris asal Inggris itu sampai sekarang masih menjadi misteri. Tidak ada satu orang pun yang tahu identitas aslinya. Berapa banyak korban yang sudah dia bunuh pun tidak ada yang tahu.

"MO pembunuh berantai ini," lanjut Dimas sembari menunjuk foto yang dipegang Aryan. "Setelah mencekik korbannya sampai tewas, dia membungkusnya dengan kain hitam, lalu menguburnya."

"Kalau begitu, kenapa Santini tidak dibungkus kain hitam?" gumam Aryan yang masih belum paham.

"Itu sudah jelas, karena Santini adalah seorang waria. Pelaku hanya menargetkan wanita saja untuk dibunuh," jelas Dimas kemudian. Meski masih berupa spekulasi, penjelasannya itu cukup meyakinkan.

"Sepertinya pelaku baru menyadarinya setelah selesai membunuh Santini. Santini itu ... dia orang yang sangat cantik, atau mungkin, bisa jadi ada alasan lain kenapa Santini diperlakukan dengan cara berbeda."

Aryan menatapnya dengan raut keheranan. Dimas sepertinya tidak sadar kalau dia baru saja memuji kecantikan Santini.

Sekarang masalahnya, kenapa tulang-belulang itu bisa ada di halaman rumah lama milik Rudi?

Apa mungkin Rudi yang membunuh mereka?

Tidak mungkin. Rudi lahir tahun '96. Saat itu usianya baru enam tahun. Bagaimana mungkin anak sekecil itu bisa membunuh puluhan orang dewasa. Tiba-tiba Dimas digelayuti firasat buruk. Bagaimana kalau ternyata pelakunya adalah Ayah Rudi yang sudah lama tewas?

Maka sudah jelas, pelakunya tidak akan lagi bisa diadili.

"Oh, ngomong-ngomong, Inspektur, almarhum Ayah Rudi dulunya adalah orang pintar yang cukup terkenal di desa itu," beritahu Aryan. Dia mendengarnya dari gosip warga sekitar.

Kedua mata Dimas langsung membeliak lebar. Penggalan dongeng yang diceritakan Santini dalam mimpinya tiba-tiba terngiang begitu saja.

... Hachiko mengendus bau tuannya yang sudah seperti bagian dari jiwanya sendiri di tanah sang tabib ....

Perasaan Dimas makin tidak enak. Dongeng itu mungkin bukan sembarang dongeng. Dimas membatin, apa penyelidikan ini hanya akan berakhir sia-sia?

Mencoba optimis, Dimas kembali berkutat pada berkas-berkas tersebut. Dia memandang Aryan sejenak sebelum kembali berbicara. "Dalam kasus pembunuhan berantai, sangat penting bagi para penyidik untuk menyelidiki pembunuhan pertama yang dilakukan pelaku. Dari situ kita bisa melihat apakah saat melakukan pembunuhan pertamanya, pelaku masih dalam tahap coba-coba atau tidak. Kalau iya, maka bisa saja pelaku melakukan banyak miss. Jadi, kita bisa mulai menelusurinya dari sana."

Aryan menyesap kopi dalam mug yang tinggal setengah. Kata-kata Dimas barusan langsung merekat erat dalam kepalanya. Pembunuhan pertama. "Tapi bagaimana cara kita menyelidikinya, Inspektur?" Raut wajahnya terlihat berkerut tidak yakin. Di antara semua kerangka ini mana yang merupakan pembunuhan pertama pelaku kira-kira?

"Ayo," ajak Dimas kemudian. Dia merogoh sesuatu dalam laci mejanya, kemudian menyambar sebuah senter dan HT miliknya di atas meja. "Kita berburu harta karun."

_____________

Malam ternyata sudah cukup larut untuk bisa membuat semua orang terlelap dalam tidur. Lubang-lubang galian yang dibiarkan menganga di tempat itu terlihat jelas saat Dimas menyorot senternya ke depan. Dia melompati garis polisi, bersama Aryan yang mengikuti di belakang dalam diam sembari memeluk erat dirinya sendiri. Matanya bergerak liar. Meski TKP tampak begitu gelap dan suram, masih saja ada bintang yang bersedia mengedip di langit. Bulan pun tampaknya tak berniat menutup mata malam ini.

Suara-suara aneh yang dibawa terbang semilir angin bergaung di sekitar lokasi. Bola mata Aryan lantas bergulir memeriksa keadaan. Namun sial, dia justru terperosok masuk ke dalam sebuah lubang galian.

"Uwah!" Aryan memekik ngeri. Membayangkan pasir perlahan bergerak turun dan mengubur dirinya dalam liang lahat itu. Dimas sendiri seolah tak peduli padanya. Dia terus berjalan lurus di atas ladang kematian tersebut. Entah bagaimana inspekturnya itu bisa menghindari banyak lubang menganga dengan sangat cekatan.

Langkah Dimas akhirnya terhenti di depan sebuah rumah reyot berukuran sederhana. Rumah ini dulunya dihuni oleh Rudi dan keluarganya. Misteri kematian wanita-wanita malang itu kemungkinan banyak tersimpan di rumah ini. Dimas menyorot senternya. Rumah itu gelap gulita tanpa penerangan. Karena sudah lama terbengkalai, aliran listrik sudah pasti diputus oleh pihak PLN.

Dengan napas memburu hebat, akhirnya Aryan berhasil menyusul Dimas yang tahu-tahu sudah membuka pintu rumah. Mereka masuk bergilir dengan perasaan was-was. Rasanya seperti sedang melakukan uji nyali. Mencari harta karun di tempat angker seperti ini, membayangkannya saja Aryan dibuat merinding.

Kondisi ruang tamu terlihat masih sama seperti terakhir kali mereka memeriksa bagian dalam rumah tersebut. Banyak sampah yang berserak di mana-mana, kursi kayu yang sudah lapuk, juga sebuah almari yang tampaknya kini jadi sarang tikus berkembang biak.

"Apa sebenarnya yang kita cari, Inspektur?" Aryan akhirnya menyerah. Dia tidak bisa membiarkan rasa penasarannya terlalu lama terbiar.

Dimas sontak menoleh ke arahnya, sembari melangkah lebih jauh ke dalam rumah. "Tentu saja sebuah trofi."

Aryan yang makin tidak mengerti dengan jalan pikiran Dimas hanya bisa mengernyit bingung.

"Tim Inafis tampaknya terlalu berfokus menggali kubur, sampai-sampai mengabaikan rumah ini. Kamu tahu, Yan, pembunuh berantai biasanya gemar menyimpan trofi mereka di tempat-tempat tersembunyi." Mengingat Tim Inafis masih belum menemukan apa-apa, akhirnya Dimas pun memutuskan datang kemari.

Sebenarnya Dimas merasa jengkel dengan pola pikir Aryan yang agak lambat dalam merespon. "Apa kamu tidak pernah mempelajarinya di Pusdik Reskrim?"

Dimas tidak menjelaskannya secara gamblang, tetapi tampaknya Aryan mulai bisa menangkap maksud ucapan Dimas. Psikopat sinting biasanya memang sangat suka menyimpan trofi mereka di suatu tempat. Hal tersebut bertujuan agar mereka bisa selalu mengingat setiap momentum pembunuhan yang sudah mereka lakukan. Dan, lebih gilanya lagi, mereka mengumpulkan trofi tersebut untuk menghitung berapa jumlah orang yang berhasil mereka bunuh—meski ada beberapa yang lebih memilih membuangnya sebagai bentuk pertahanan diri dalam melenyapkan bukti.

Jadi, harta karun (trofi) yang dimaksud Dimas sebenarnya adalah barang-barang milik korban.

"Kerangka wanita-wanita itu hanya dibungkus kain hitam saat dikubur. Jelas sekali, pelaku pasti melucuti barang serta baju yang dipakai korban setelah berhasil membunuh mereka. Kita harus menggeledah tempat ini, Yan."

Aryan mengangguk. Dia memantabkan hatinya. Apapun yang Dimas katakan akan dia rekam dalam ingatan. Aryan merasa sangat beruntung memiliki Dimas sebagai atasannya. Meski kadang emosinya memang tidak bisa dikontrol, Dimas telah mengajarinya banyak hal tentang penyelidikan.

"Kita berpencar. Kamu periksa area dapur dan sekitarnya."

"Siap, Inspektur!"

Dimas bergerak menuju sebuah ruangan di sisi kiri, yang jika diperhatikan mirip dengan kamar tidur. Sinar lampu sekonyong-konyong bergerak ke sana kemari saat dia memeriksa bagian kolong ranjang besi. Debu yang teronggok bukan main tebalnya. Merasa tidak mendapat apapun di sana, Dimas akhirnya bangkit berdiri, kemudian berjalan keluar kamar.

Aryan datang beberapa saat kemudian, melaporkan bahwa dia pun belum menemukan hal-hal yang berarti sejak tadi. Mereka kemudian beranjak ke ruangan lain, yang juga mirip sebuah kamar, hanya saja ruangan tersebut jauh lebih luas dari kamar yang Dimas periksa sebelumnya.

Sedikit terlonjak kaget, Aryan sampai termundur ke belakang, sementara Dimas hanya bergeming di ambang pintu sembari menatap sebuah cermin buram, masih sambil menyorot senternya ke depan. Cahaya lampu yang terpantul dari dalam cermin itu rupanya cukup membuat sakit mata.

"Cermin?" gumam Dimas sembari menghela napas gusar.

Rasa takut yang sempat menyergap Aryan pun mendadak sirna. Tadinya dia pikir ada orang lain di sana selain mereka, tetapi ternyata dugaannya salah. Bayangan dirinya pun perlahan bergerak meninggalkan cermin. Aryan berinisiatif menggeledah lemari besar di sudut ruangan. Dan, dia menemukan sebuah kotak dus besar berisi banyak pigura foto, juga album kenangan yang sudah berdebu. Foto-foto Rudi semasa kecil yang sedang memeluk ayah dan ibunya tersimpan rapi di setiap halaman. Rudi meninggalkan semua kenangannya di rumah ini. Hubungan mereka mungkin tidak berjalan baik. Rudi bahkan membiarkan rumah peninggalan kedua orang tuanya terbengkalai, tidak terurus, seolah-olah semua hal yang penah dia lewati bersama kedua orang tuanya, juga masa kecilnya di sini, tidak berarti apa-apa.

"Inspektur," panggil Aryan tiba-tiba, yang langsung dibalas Dimas dengan gerakan singkat dan alis terangkat sebelah. "Menurut Anda, kenapa tiba-tiba pelakunya berhenti membunuh? Bagaimana kalau ...," Merasa ragu, Aryan menjeda kata-katanya cukup lama. "Seandainya ... pelakunya ternyata ... sudah lama tewas? Karena itu tidak ada lagi korban yang ...."

"Jadi?" sergah Dimas cepat sebelum Aryan sempat menyelesaikan kata-katanya. "Apa kamu ingin berhenti menyelidiki kasus kerangka ini?"

Aryan terdiam. Dipandanginya foto keluarga kecil itu lamat-lamat. Senyum lebar yang tercetak di wajah mereka, seolah menunjukkan bahwa kebahagian selalu menyertai mereka. Tiba-tiba Aryan merasa tidak yakin dengan dirinya sendirinya. Kalau bukan Rudi pelakunya, dia punya firasat kalau kedua orang tua Rudi-lah yang harusnya bertanggung jawab atas kematian wanita-wanita malang itu.

"Walaupun kenyataannya memang seperti itu, kita tetap tidak boleh menyerah."

"Tapi, Inspektur, kalau begini tidak akan ada yang bisa diadili nanti."

"Kamu salah kalau berpikir seperti itu, Yan. Tujuan kita melakukan semua ini bukan hanya untuk menangkap para penjahat saja. Kita juga punya kewajiban yang harus kita selesaikan untuk para korban dan juga keluarga korban. Bayangkan perasaan mereka yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka kasihi. Kalau kita berhenti sampai di sini, maka kasus ini selamanya hanya akan menjadi kasus dingin yang tak terpecahkan."

Membiarkan semuanya berakhir seperti itu, rasanya pasti sungguh tidak adil. Bagaimanapun, kehilangan seseorang yang sangat dikasihi, Dimas juga pernah merasakannya dan dia tidak mungkin bisa melupakannya begitu saja. Pun sama seperti mereka. Keluarga korban, sampai detik ini, atau sampai kapan pun, mereka pasti akan tetap mengingatnya.

"Yan, saat kita kehilangan orang yang kita sayangi, kita tidak hanya menguburnya di dalam tanah, tetapi juga di dalam hati kita."

Sial. Dimas nyaris menitikkan air mata akibat kata-kata sok bijaknya itu. Sebelum Aryan memergokinya, Dimas sudah buru-buru berbalik, kembali dihadapkan pada cermin buram tua yang kini menampakkan bayangan dirinya. Entah bagaimana tiba-tiba wajah Santini ikut muncul di dalam sana. Tersenyum lembut padanya, meraba-raba lehernya, bahkan mendekapnya erat dari belakang. Rasanya Dimas sangat ingin meninju wajahnya, tetapi dia justru mengurungkan niatannya itu. Dalam mimpinya Santini pun muncul dalam bentuk bayangan dalam cermin. Dimas merasa hal itu bukanlah suatu kebetulan.

Perlahan punggung tangannya mengetuk permukaan kaca. "Tempat ini kelihatannya sangat cocok untuk menyembunyikan sebuah kebenaran," katanya tiba-tiba.

Serta-merta Aryan mendekati cermin itu dan ikut memerhatikan.

"Yan, apa kamu sedang memikirkan hal yang sama dengan saya?"

"Iya, Inspektur." Briptu itu mengangguk samar ke arah Dimas. "Kita terlihat sangat keren dalam cermin."

"Oi, ini bukan waktunya ngaca!" kesal Dimas, merasa sangat jengkel dibuatnya. "Bantu saya pindahkan kaca ini!" Dimas memutar bola mata jengah.

Dengan sigap, Aryan langsung bergerak membantu Dimas memindahkan cermin berbingkai kayu itu dengan sangat hati-hati. Begitu cermin tersebut berhasil diangkat dari paku gantungan, tampak sebuah lemari kecil—yang ukurannya tidak terlalu besar—tertanam dalam dinding tersebut. Tidak ada pegangan khusus yang biasa digunakan untuk membuka bilahnya. Namun, pola yang cenderung membentuk persegi panjang pada dinding, membuat Dimas yakin ada sesuatu yang tersembunyi di dalam sana.

Dimas dan Aryan saling pandang. Keduanya sama-sama menelan ludah gugup.

"Yan,  apa kamu memikirkan hal yang sama dengan saya?"

Aryan menarik napas dalam-dalam. "Iya, Inspektur," jawabnya kemudian. "Harta karun yang kita cari, sepertinya ada di dalam sana."

___________________

Notes:

Briptu - Brigadir Polisi Satu

Pusdik Reskrim - Pusat Pendidikan Reserse Kriminal

MO - Modus Operandi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top