20. Am I Just Dreaming?

"Lalu apa yang terjadi setelah itu?" tanya Dimas sembari menatap wajah Nala lekat-lekat.

"Mereka menyeret Eja menuju toilet. Aku ...," Nala menghela napas sebentar. Berulang kali tangannya yang gemetar bergerak mengusap wajah. Ekspresinya yang semula tenang kini lenyap diganti luka. "... tidak bisa menyelamatkannya."

Dimas mungkin tidak tahu betapa menyesalnya Nala saat itu. Kalau saja memang bisa, apapun dan bagaimanapun caranya, dia rela menukar hari itu dengan hari berikutnya ... atau hari-hari lainnya. Berharap agar hari itu tidak pernah ada dan tidak perlu terjadi. Fakta kenapa dia harus bertemu Eja dengan cara seperti itu, rasanya lebih menyakitkan dari apapun. Dia bahkan rela menukar dunia ini jika Tuhan mengizinkan.

Baron, si anak walikota itu, juga teman-temannya memang benar-benar sangat mengerikan. Hal yang dia dengar soal Baron ternyata bukan sekadar omongan belaka. Mereka memang sekumpulan bajingan gila berotak kosong.

Saat itu Nala hendak menyusul mereka ke dalam toilet, tetapi dia dihadang oleh beberapa orang teman Baron yang masih tinggal. Dia terpaksa meladeni. Bersama Arjuna dan Ragil, dia sempat terlibat adu jotos dengan mereka. Nala yang berhasil lolos lebih dulu segera berlari ke dalam toilet. Bagai mimpi buruk, begitu dia tiba di sana, dia mendapati Baron dan teman-temannya mengerumuni tubuh Eja yang sedang mengejang.

"Bangsat!" Nala berteriak keras, kemudian segera menghambur untuk menghajar Baron. Dia mendendang tangan anak walikota itu sekuat mungkin hingga jarum suntik yang Baron pegang terpental jatuh ke lantai. "Kau menyuntikkan sesuatu padanya?!"

Baron membalas dengan tatapan sinis. "Siapa lagi ini? Sepertinya memang banyak orang yang ingin mai—"

Sayangnya, Nala sudah keburu menghadiahi tinju ke perutnya sebelum anak walikota itu selesai bicara. Baron mengerang kesakitan. "Lumayan juga," kekehnya masam. Tangannya langsung menyambar alat pel lantai untuk membalas pukulan Nala barusan. Namun sayang, gagang pel itu sudah patah menjadi dua sebelum sempat dia ayunkan.

Nala mengamuk sejadi-jadinya. Memukul juga menendang apa saja yang terlihat di depannya. Beberapa pintu bilik toilet bahkan rusak akibat emosinya yang tidak terkontrol. Sementara di tempatnya berdiri Baron masih bisa tertawa meski sudah mendapat banyak pukulan. Saat itu Nala menyadari satu hal, bahwa pada akhirnya, emosinya itulah yang justru akan menghancurkan dirinya sendiri. Sebab, sedetik kemudian, dua orang teman Baron berhasil melumpuhkan dan menahan tubuhnya di atas lantai yang dingin.

"Sudah kubilang anak SMP dilarang main terlalu malam, tapi dia tidak mau dengar." Baron mendengus geli lalu mengedik ke arah tiga orang temannya yang lain. Baron mulai merekam dengan ponselnya saat ketiga orang itu berjalan mendekati Eja. Mereka menarik tubuh Eja setengah berdiri, kemudian ....

Nala merasa sangat tidak berdaya. Matanya membulat menatap ngeri, nyaris tidak berkedip hingga dia merasa kedua matanya akan meledak akibat menahan panas. Nala sempat berpikir saat itu, kenapa dia harus begitu peduli pada Eja? Padahal, mereka baru bertemu sekali ini. Dengan segenap sisa kewarasannya, Nala berusaha meronta keras, dengan suara yang lambat laun melirih menahan tangis. Demi apapun, dia memohon, meminta, menyumpah, juga menurunkan harga dirinya di hadapan anak walikota itu.

"Hah! Kumohon .... Tolong hentikan ...! Jangan sentuh dia ...!"

Dengan napas tertahan, Eja berteriak kesakitan. Akibat pengaruh obat, Eja mungkin tidak sadar dan hanya menikmatinya setelahnya. Entahlah. Tiba-tiba Nala merasa seisi toilet seolah berdengung menyayat telinganya. Dia menangis. Sesuatu seakan memenuhi dadanya dan dia sangat ingin membunuh semua orang saat itu. Eja telah direnggut darinya, saat Nala bahkan belum sempat mengenalnya.

________________

"Aku sangat ingin membunuhnya (Baron). Berkali-kali. Kalau dia mati, aku kubuat dia hidup lagi, lalu aku akan membunuhnya lagi, menghidupkannya lagi, dan membunuhnya lagi, sampai dia benar-benar mati di tanganku." Suara Nala terdengar bergetar menahan amarah. Tiba-tiba dia menutup wajahnya. Meletakkan tangannya di dahi, dan mulai menangis sunyi. Serta merta Dimas juga ikut terdiam dan membiarkan Nala tenggelam seorang diri.

"Aku melihat Eja dian*l beramai-ramai. Dengan mata kepalaku sendiri. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa."

"Sejak saat itu aku selalu menunggunya pulang di depan gerbang SMA Dharmawangsa, tapi dia selalu menghindariku."

"Eja tidak pernah cerita apapun pada kami." Dimas lalu menengok ke belakang dan menyadari kalau Eja memang jarang masuk sekolah sejak dia naik kelas tiga.

"Sepertinya Eja diancam oleh Baron dengan video itu," tutur Nala kemudian. "Sebenarnya ada bukti yang bisa membuat anak walikota itu membusuk di penjara."

Dimas tampak mengernyit bingung. "Bukti?"

"Ya," angguk Nala. "Jarum suntik itu. Pasti ada sidik jari bajingan itu di sana. Sayang, aku tidak bisa menyerahkannya karena jejak darah Eja kemungkinan juga tertinggal dalam jarum suntik itu. Jadi, aku terpaksa membuangnya ke dalam WC sebelum Ragil dan Juna menyadarinya."

Dimas memijat pelipisnya yang mulai berkedut. "Dasar ceroboh. Lalu untuk apa kau bilang kalau ternyata buktinya sudah lenyap?"

"Abang Ipar—"

"Jangan mulai lagi, Nala!"

Seakan tak peduli dengan peringatan remeh dari Dimas barusan, Nala tetap kembali melanjutkan ucapannya, "Apa benar Eja akan direhab?"

Dimas terdiam sebentar, kemudian balas mengangguk singkat. "Hanya itu yang terbaik untuknya saat ini."

Nala menghela napas lega. "Syukurlah. Aku pasti akan menunggunya pulang."

Dimas mendesis jijik, lalu bangkit berdiri. Dia keluar lebih dulu dari dalam ruang interogasi. Meski terdengar samar, Nala bisa menangkap gerutuan Dimas yang menyumpahinya berulang kali. "Benar-benar tidak tahu malu."

Begitu mereka kembali, ruangan ternyata sudah penuh dengan ratapan para orang tua, yang meributkan bahwa anak-anak mereka tidak bersalah, tidak melukai siapa pun, apalagi sampai mengakibatkan seseorang terbunuh di jalanan. Dimas berpikir apakah ini merupakan sebuah ironi? Bagaimanapun tingkah seorang anak di luar sana, tidak ada satu orang tua pun yang sanggup melepas tangan anak-anak mereka begitu saja. Sebab, Dimas pun melihat sendiri bagaimana papanya membela Eja mati-matian meski dia jelas bersalah.

Bram nyaris gila menanggapi mereka. Pelaku tawuran antarpelajar memang sulit ditindak dengan pasal-pasal pidana. Selama ini pelaku tawuran yang tertangkap hanya diberi peringatan dan nasihat saja, lalu kemudian diserahkan ke orang tuanya. Namun, Kepolisian Barelang menerapkan sebuah peraturan lain. Anak-anak yang jelas terlibat tawuran itu harus menandatangani surat perjanjian dan wajib mengikuti kegiatan sosial yang akan diadakan selama seminggu penuh untuk menebus perilaku mereka.

Nala menjadi orang terakhir yang meninggalkan kantor polisi saat itu. Tidak ada satupun orang yang menjemputnya. Saat Bram bertanya di mana keluarganya berada, Nala hanya diam membisu di tempatnya. Merasa kasihan melihatnya, akhirnya Dimas sendiri yang menjaminnya. Usai membuat homo sialan itu menandatangi surat perjanjian tertulis di atas materai, dia lalu mengantarnya sampai ke depan gerbang.

Tiba-tiba Nala tersentak seakan teringat sesuatu. "Kenapa aku tidak pernah tau kalau Eja adalah adikmu?"

Dimas tersenyum miring mendengarnya. "Apa Eja tidak pernah cerita? Dia itu adik tiriku." Dia lalu mendengus tepat di depan wajah Nala.

"Aku ingin menitipkan sesuatu untuk Eja."

"Ha?" kaget Dimas, setengah emosi, setengah takjub. Anak ini benar-benar tidak tahu diri rupanya. Rasanya Dimas ingin sekali menghajarnya.

Dimas melotot garang sembari menunjuk jalanan, kemudian menyetop sebuah taksi untuk Nala. Setelah puas menyumpah-nyumpah, Dimas lalu buru-buru menyuruh homo sialan itu menghilang dari hadapannya.

Nala terkekeh masam mendapati reaksi Dimas yang terlalu over protektif pada Eja. "Sayang sekali. Padahal kalau kau setuju, kita bisa bertukar informasi soal Rudi."

Seketika raut wajah Dimas berubah serius. "Rudi?" Nala mengangguk mantab. Dimas terlihat mulai menimbang-nimbang. Sepertinya Nala sempat melihat foto Rudi di papan penyelidikan. Bagaimanapun Rudi adalah seorang pengajar di Yayasan Shandi Putra II, Nala pasti mengenalnya. Dimas menghela napas kesal. Sial! Akhirnya dia terpaksa mengalah juga. "Baiklah. Informasi apa memangnya?"

"Kalau kuberi tau apa kau akan menyejutui hubunganku dengan Eja?"

"Hei, homo gila!" Lama-kelamaan Dimas semakin jengkel dibuatnya. Besar juga nyali anak ini, petiknya dalam hati. "Kalau kau memang sudah bosah hidup, pergi saja sendiri ke neraka! Jangan bawa-bawa Eja!"

Seketika Nala tergelak. Urat malunya mungkin memang sudah putus, atau sedari awal dia memang tidak punya otak sama sekali. Memangnya siapa yang akan menyetujui hubungan semacam itu? Namun, detik berikutnya wajah Nala langsung berubah serius. Dia mendekat kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Dimas.

____________

Terdegar suara air mengalir dari kejauhan, juga deting lonceng yang menandakan bahwa seseorang baru saja masuk. Tak lama gemuruh hujan ikut terdengar, yang kemudian mendadak hilang begitu suara pintu kembali menutup. Kasak- kasak, suara tawa, serta bisik-bisik segera memenuhi ruangan setelahnya. Orang-orang mulai mengeluhkan banyak hal, tentang hujan, becek, dan jalanan berlumpur akibat belum diaspal. Belakangan ini Batam memang selalu diguyur hujan lebat.

"Selamat datang! Ada yang bisa dibantu?"

Dimas langsung membuka mata saat mendengar seseorang berteriak dari pintu depan. Dia lantas memperhatikan sekeliling dengan wajah bingung. Bertanya-tanya dalam hati, ada di mana dia saat ini? Tempat ini terasa asing, tetapi juga terasa familiar baginya. Lewat kaca panjang yang tergantung persis di depannya, Dimas bisa melihat wajahnya sendiri yang sedang mengernyit bingung. Lalu, dia tersentak kaget saat telinganya tiba-tiba dipegang oleh seseorang.

"Bagaimana perasaanmu?" ucap bayangan seorang wanita di dalam kaca.

Wanita itu tersenyum lembut pada Dimas. Dia terlihat sangat cantik dengan riasan sederhana. Rambut hitam panjangnya tergerai indah melewati bahu. Dimas masih bergeming memandanginya sembari berusaha mengingat-ingat. Ingatannya pun tergali. Wanita itu ... dia pernah melihatnya di suatu tempat. Dia adalah—

"Santini?" tebak Dimas tidak percaya. Dia buru-buru menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa pun di balik punggungnya. Hanya ada lima orang di sana yang tampak sedang menunggu di kursi tunggu. Suasana di ruangan itu pun mendadak ramai oleh beberapa anak kecil yang rewel memilih gaya rambut macam apa yang bagus untuk mereka.

"Ssssttt .... Kau sedang bermimpi saat ini. Tidak akan ada yang bisa melihat kita sekarang." Wanita itu memegang kepala Dimas, memaksanya kembali menatap cermin, kemudian membetulkan posisi Dimas duduk agar dia merasa lebih nyaman.

"Kau sudah mati," ucap Dimas dingin. Wanita yang dilihatnya itu benar-benar sempurna. Sampai-sampai Dimas sendiri tidak yakin kalau dia sedang berbicara pada seorang waria. Ukuran tubuh dan juga wajahnya yang kecil sanggup menipu mata, hingga tidak ada satu orang pun yang menyadari bahwa Joseph Judith lah yang sedang tersenyum di balik wajah Santini.

"Kau benar." Santini membalasnya dengan senyum getir sebelum berkata lagi, "Apa kau benar-benar tidak ingin memberiku kesempatan?"

"Apa maksudmu?" tanya Dimas tidak mengerti.

"Kau bisa mencegah kematianku dengan HT itu, seperti Rianda Bumi. Tapi, kau .... Jauh dalam lubuk hatimu, kau tidak mau melakukannya."

Dimas sempat tersentak kaget saat Santini tiba-tiba menyinggung soal HT tua itu. Dia ingin bertanya, dari mana Santini tahu tentang benda itu. Namun, Santini sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk berbicara.

"Apa karena gadis itu? Siapa namanya? Ah, Disza Anszani, ya? Kau tidak ingin dia melupakanmu, kan?"

Dimas tidak sempat menjawab, karena lagi-lagi Santini kembali memotongnya.

"Apa kau yakin kalau dia adalah anak dari Letnan itu?" Tangan Santini bergerak turun menyentuh dada Dimas lamat-lamat, kemudian kembali melanjutkan, "Coba tanya hatimu sesekali. Dia (anak Letnan itu) sangat dekat, tapi tidak sedekat urat nadimu."

"Aku tidak mengerti ocehanmu."

Alih-alih menjawab, Santini justru semakin mengoceh tidak keruan, membuat Dimas merasa sangat risih, apalagi saat mendapati perlakuan wanita itu berkesan terlalu vulgar padanya.

"Sebenarnya aku pun sudah kehilangan harapan untuk hidup. Aku tahu Bachtiar akan meninggalkanku kalau dia tahu siapa aku sebenarnya."

"Itu semua karena kau adalah penipu."

Santini tampak terkesiap, tetapi dia tidak berniat menyangkal ucapan Dimas. "Ya, aku memang penipu. Jadi, apa menurutmu seorang penipu pantas dibunuh?" Mendadak Santini memekik keras mengagetkan Dimas yang nyaris terlonjak di kursinya. "Hati-hati! Kau menginjak ekor anjingku!"

"Anjing?" Dimas segera melirik ke bawah dan dia mendapati seekor anjing jenis hushky tengah terduduk di dekat kakinya.

"Dia sangat gagah, bukan? Dia adalah satu-satunya teman yang mengerti diriku. Namanya adalah Hachiko."

_______________

"Hachiko?" tanya Mika penasaran sembari bergelayut manja di dekat Eja. Eja yang merasa risih langsung melepas lengannya dari Mika, kemudian menunjuk gambar seekor anjing yang masih perlu dia warnai.

"Namanya aneh," seru Mika sembari menyambar krayon berwarna cokelat muda.

"Tapi Hachiko adalah seekor anjing yang sangat setia pada tuannya. Setiap hari dia selalu mengantar tuannya pergi bekerja hingga ke stasiun dan menjemputnya pulang di sore hari. Tapi suatu hari sang tuan mendadak meninggal dunia, Hachiko yang tidak pernah tahu tetap menunggunya dengan setia di stasiun, berharap sang tuan akan kembali padanya."

Eja bercerita dengan mata berkaca-kaca. Dia hendak melanjutkan cerita tentang Hachiko yang belum kelar, tetapi Mika malah semakin ribut di sampingnya. "Aduh, kebelet pipis! Ja, kok Emash lama ya mandinya?"

Eja langsung menatap jam dinding di kamarnya. Benar juga. Sudah hampir dua jam Dimas berada di kamar mandi, tapi belum juga keluar. "Pipis di luar aja sana!"

"Tapi kata Bunda gak boleh pipis sembarangan, lo, ishh!"

"Ya, udah kalo gitu pipis di celana aja sekalian!" ucap Eja tidak peduli.

Mika memberengut kesal, tanpa pikir panjang dia langsung berlari keluar dan mengedor-gedor pintu kamar mandi. Eja kelabakan sendiri. Dia lantas menghambur untuk menyusul adiknya.

"Mika! Nanti dimarahin Abang kalo kamu kayak gitu!"

"Emash!" raung Mika lebih keras, sampai-sampai Eja ingin memukul kepalanya kuat-kuat. "Mau pipis!"

Tanpa diduga bilah pintu kamar mandi malah membuka dengan sendirinya. Mika mendorongnya semakin lebar. Membuat Eja harus menyiapkan mental. Dimas pasti akan mengamuk lagi hari ini.

_______________

"Apa kau pernah mendengar cerita tentang Hachiko?" tanya Santini kemudian. Tangannya kembali bergerilya di sekitar leher Dimas. Membuat Dimas terang-terangan menelan ludah gugup.

"Tentu saja, kisah anjing dari jepang itu, kan?"

Santini menggeleng sekilas. "Tapi yang ini versinya sedikit berbeda, mungkin kau akan tertarik."

Wanita jadi-jadian itu pun menarik napas dalam-dalam dan pada detik berikutnya dia mulai bercerita ....

Suatu hari di sebuah desa yang asri hiduplah seekor anjing bernama Hachiko. Dia sangat setia pada tuannya. Setiap hari Hachiko mengantar tuannya pergi bekerja sampai ke ladang gandum, lalu menjemputnya lagi saat malam hari. Konon katanya, ladang gandum yang selalu dilewati oleh sang tuan adalah tempat yang sangat berbahaya. Banyak perampok yang bersembunyi di sana. Karena itulah Hachiko selalu menunggu tuannya dengan setia. Setiap hari. Dia selalu menunggu, menunggu, dan menunggu. Hingga pada suatu malam yang hampir larut, Hachiko tidak juga mendapati sosok sang tuan muncul di ujung jalan.

Hachiko yang merasa khawatir pun segera berlari menyusuri ladang gandum. Sendirian. Lalu, menggonggong keras, merasa sangat kegirangan, melihat sang tuan sedang duduk meringkuk di antara rimbunnya ladang gandum. Saat itu Hachiko tidak menyadari bahwa sang tuang tengah bersembunyi dari kawanan perampok.

"Siapa di sana!" teriak salah seorang perampok dengan bengis.

Sang tuan lantas berlari ketakukan menuruni jalan setapak, bersama Hachiko yang masih menggonggong di belakangnya. Mereka sempat berhenti di sebuah tempat untuk meminta tolong. Namun, tiba-tiba ... boom ...! Hachiko menyaksikan tubuh tuannya terpental jauh. Tertabrak oleh sebuah delman yang kendarai seorang Pak Kusir. Hachiko lantas melolong pedih menghambur pada tuannya yang telah bersimbah darah. Hachiko sempat menggigit tangan Pak Kusir saat tubuh tuannya diseret paksa masuk ke dalam delman. Pak Kusir yang merasa nyawanya terancam pun memukul Hachiko sekuat tenaga hingga Hachiko tidak sadarkan diri dalam genangan darah sang tuan.

Tuk ... tik ... tak ... tik ... tuk ... tik ... tak ... tik ... tuk ... suara sepatu kuda. Delman yang dikendalikan Pak Kusir perlahan menghilang dalam kegelapan.

Tak berapa lama Hachiko pun terbangun tanpa tuan di sampingnya. Dia menciumi sisa-sisa darah dan bau tuannya, kemudian berkelana seorang diri dan bertekad untuk menemukan tuannya. Dengan bertelanjang kaki, dia menelusuri jalan-jalan terjal dan berlari ke sana kemari. Meski kelaparan, Hachiko tidak pernah menyerah. Hingga kemudian sampailah dia di rumah seorang tabib terkenal. Hachiko mengendus bau tuannya yang sudah seperti bagian dari jiwanya sendiri di tanah sang tabib. Hachiko menggonggong kuat-kuat, menangis, memohon, berharap ada seseorang yang mau mengulurkan tangan untuknya. Dia yakin tuannya dikubur di tanah itu. Namun, tidak ada satu orang pun yang mendengar rintihannya.

Rakyat yang merasa sangat terganggu dengan lolongannya justru melemparinya dengan batu dan memukulinya dengan balok kayu, hingga Hachiko tidak lagi memiliki tenaga untuk membongkar makam sang tuan. Kakinya lumpuh. Apa yang harus dia lakukan? Hachiko merasa tidak berdaya. Apakah dia harus menyerah?

"Ayah!" teriak Rudi kecil dari dalam rumah sembari menatap nanar keluar jendela. Hujan saat itu turun deras sekali. Mengguyur lebat, hingga tanah di halaman rumah mereka mulai tergenang air. Hatinya tiba-tiba merasa terenyuh melihat pemandangan di balik jendela rumahnya. "Kasihan gunggung itu, Yah. Pasti dia kedinginan di luar. Apa nggak boleh dibawa masuk?" pinta Rudi sedih. Seingatnya Anjing itu sudah berhari-hari berada di halaman rumah mereka. Entah kenapa anjing itu tidak pernah berhenti menggonggong. Orang-orang mulai tidak suka karena anjing itu sangat berisik, dan memukulinya, namun anjing itu tetap tidak mau pergi.

Ayah langsung membentak Rudi kuat, membuat nyali anak itu ciut seketika. Ayah bilang anjing itu sangat berbahaya dan suka menggigit orang. "Kamu nggak boleh deket-deket sama anjing itu, mengerti!"

Saat itu Rudi langsung menangis dan berlari ke pelukan ibunya yang sedang berada di dapur. Dia merengek manja. "Bu, kenapa kita tidak boleh piara gunggung?"

Ibu pun mengelus puncak kepala Rudi dan segera menjawab, "Kamu boleh piara kucing, tapi gunggung tidak boleh, ya?"

Malam harinya Rudi mengendap keluar dari dalam kamar. Dia mengambil sepotong paha ayam yang masih tersisa dalam tudung saji, lalu membawanya keluar rumah. Hujan tinggal rintik-rintiknya saja saat itu. Hawa dingin menusuk kulit, membuat Rudi kecil refleks memeluk dirinya sendiri. Dia tersentak kaget saat menyadari anjing besar itu sedang menatap ke arahnya. Mata anjing itu tampak berkaca-kaca. Lidahnya yang panjang menjulur menyambut Rudi. Meski sedikit takut, Rudi tetap mendekatinya sembari mengacungkan sepotong paha ayam yang ada di tangannya.

Anjing itu hendak berdiri, namun kaki-kakinya tidak kuasa menapak. Rudi lantas berjongkok di dekatnya dan tersenyum ceria. "Ini untukmu. Ssst .... Jangan bilang-bilang Ayah, ya?"

Ajing itu pun makan dengan lahapnya.

"Kamu nggak bisa jalan, ya?" tanya Rudi sembari membelai kepala anjing itu.

Seketika Rudi membelalakkan matanya lebar-lebar dan berteriak ketakukan. "Aaa!" Dia terjengkang ke belakang dengan napas terengah. Dia kembali masuk ke rumah dengan tergopoh-gopoh bahkan hampir tersungkur. Anak kecil itu menangis keras sembari terus menggedor pintu kamar ayah dan ibunya.

"Ayah, ada tangan manusia di halaman rumah kita!" teriaknya penuh ketakukan.

Rudi mengadu pada Ayah tentang apa yang dia lihat barusan. "Rudi tidak bohong, Yah!" Dia benar-benar melihat ada tangan manusia yang menyembul dari dalam tanah. Letaknya persisi di dekat tempat anjing itu terduduk. Malam itu dia sangat ketakukan dalam pelukan Ibu, namun Ayah bilang saat itu Rudi mungkin hanya sedang bermimpi buruk. Lalu, keesokan harinya saat Rudi hendak berangkat ke sekolah, anjing itu ternyata sudah tidak ada lagi di halaman rumah mereka. Ibu bilang, anjing itu mungkin sudah dijemput oleh tuannya.

"Apa kau penasaran dengan kisah akhir perjuangan Hachiko mencari tuannya?" Santini berbisik tepat di telinga Dimas. "Kalau kau memang penasaran datanglah ke tempat ini," lirihnya lagi dengan suara sepelan angin. "Maka kau akan menemukan jawabannya."

Dimas hanya bisa bergeming di tempat sepanjang Santini mendongeng. Jari-jari kurus wanita itu merayap di balik rambut Dimas, seolah sengaja melakukannya agar Dimas tetap berada pada posisinya mendengar. Santini sepertinya memang tipe orang yang sangat suka bercerita. Dimas menatap wajahnya lamat-lamat dalam cermin. Wanita itu sedang tersenyum getir ke arahnya. Entah mengapa Dimas merasa Santini sangat ingin memberitahunya sesuatu, namun wanita itu berusaha keras menyimpannya seorang diri.

"Sepertinya sudah tiba saatnya kau untuk pulang." Santini menatap sebuah jam di dinding. Serta merta Dimas ikut memperhatikan. Tepat pukul sepuluh. Namun seketika Dimas langsung menyadari kalau waktu di tempat ini menipu. Jarum menit dan detik sama sekali tidak bergerak sejak tadi. Matanya kemudian beralih ke sebuah kalender yang dipaku dekat jam dinding. Angka 2002 tercetak tebal di sana.

"Dimas ...."

Santini mengangguk sekilas dari dalam cermin, sembari menunjukkan senyum terakhirnya. "Pulanglah ...," lirihnya lembut hampir bersamaan dengan bayangannya yang lenyap dari dalam cermin.

Dimas mengernyit bingung, merasa tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Santini. Pulang ke mana maksudnya? Lalu tiba-tiba saja ...

"Dimas ...."

... Dimas mendengar suara seseorang memanggil namanya.

Dia pun segera menoleh ke belakang seketika itu juga, dan dia mendapati dirinya sendiri terkesiap, melihat seorang wanita yang paling dia rindukan selama ini berdiri di depan pintu masuk.

"Mama ...?" seru Dimas tidak percaya.

"Apa kamu suka rambut barumu?" Mama merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, seperti sedang menagih sebuah pelukan. Dan, entah bagaimana Dimas merasa seperti ada sebuah kekuatan yang memaksanya untuk berdiri dan menghambur ke dalam pelukan wanita itu, namun yang terjadi tubuh Dimas justru limbung, sesaat ditembus oleh seorang anak lelaki yang berlari kecil ke arah Mama.

"Enggak tuh! Dimas mau yang ada paritnya di sebelah sini, bentuknya silang biar kayak bajak laut," teriak anak itu seraya menunjuk bagian sisi kiri kepalanya. Mama hanya menanggapi dengan senyuman. Tangan hangatnya refleks bergerak mengelus puncak kepala anak itu yang hampir tidak berambut. Tanpa banyak bicara, sosok mereka kemudian menghilang di balik pintu keluar.

Dimas lantas mengikuti mereka dari belakang. Setengah berlari, buru-buru menyusul keluar sebelum pintu salon kembali ke posisi semula. Namun Dimas justru dibuat syok, sebab pintu yang dia masuki tadi malah membawanya ke sebuah ruangan yang sempit.

Dimas nyaris dibuat gila, hingga tanpa sadar dia berteriak sekerasnya. "Haaaah!!"

Kedua matanya disuguhi pemandangan mengerikan yang dia sendiri pun tidak pernah berharap melihatnya. Tubuh wanita yang amat sangat dia cintai melebihi apapun di dunia ini tergantung tepat di hadapannya dengan lidah terjulur. Dengan seutas tali tambang yang melingkari leher dan siap mematahkannya detik demi detik.

"Bertahanlah, Ma, Dimas akan menolong Mama!"

Dimas kembali berteriak. Tidak! Tidak! Jangan seperti ini! Kumohon! Ratapnya pilu. Dimas seperti kehilangan harapannya. Menyadari kedua tangannya sama sekali tidak bisa menyangkat tubuh wanita itu ke atas untuk bisa membuatnya kembali bernapas. Tubuh Mama yang tadinya masih bisa berayun ke sana kemari pun tiba-tiba membisu dan tidak lagi bergerak. Membuat Dimas terduduk lesu sembari menatap lantai yang dingin.

Ribut-ribut suara tangisan lantas memenuhi gendang telinga Dimas. Dengungan hebat mendadak mengisi ruangan, dan lagi-lagi Dimas merasa namanya seperti sedang dipanggil berkali-kali oleh seseorang.

Air seperti memenuhi dadanya dan Dimas sempat tersedak beberapa kali. Begitu dia terbagun, wajah Mika yang menangis keras juga Eja yang sudah berurai air mata muncul tepat di depannya. Dimas sempat merasa kaget dan bingung. Gendang telinganya sudah seperti genderang mau perang.

"Astaga, ada apa dengan kalian?! Mika, kamu ribut sekali!" teriak Dimas kesal bukan main.

Mika yang memang hobi menjawab kata-kata Dimas balas berteriak keras, "Mika nangis kan karena Eja juga nangis! Padahal kalo Emas mati gadak lagi yang akan marahin Eja!" Air mata buayanya pun langsung lenyap entah ke mana.

"Oh ..., jadi begitu?!"

Memang kurang ajar ini bocah sial, rutuk Dimas dalam hatinya.

Eja lalu menjelaskan kalau mereka tadi sangat ketakutan melihat seluruh tubuh Dimas tenggelam dalam bak mandi begitu pintu membuka lebar. Tanpa pikir panjang mereka langsung berlari masuk dan menarik kepala Dimas keluar dari dalam air.

"Papa sama Bunda nggak ada. Kami kebingungan tadi." Wajah Eja yang tadinya pucat seketika tersenyum lega melihat Dimas baik-baik saja.

Dimas menaikkan sebelah alisnya. "Lihat apa kamu? Jangan mikir yang enggak-enggak!" sentak Dimas menyadari Eja sedari tadi terus melihat ke 'bawah'.

"Eh-h?"

Dimas menyiprat wajah Eja dengan air agar dia segera memalingkan wajah. Mika yang tidak terima pun langsung membalaskan dendam Eja. Mereka bertiga lalu bermain air seperti anak kecil sembari tertawa-tawa. Untuk pertama kalinya, saat itu Dimas merasa dia mulai bisa menerima Eja. Bagaimanapun Eja sudah banyak menderita. Tidak ada salahnya untuk memberi Eja kesempatan. Meski Eja sering kali membuat Dimas emosi, kesal sampai ingin menghajarnya, Dimas berpikir sebenarnya dia tidak bisa benar-benar membenci Eja. Sebab apapun yang terjadi, mereka tetap akan terikat pada sebuah kenyataan, yang mungkin memang sudah digariskan, bahwa mereka adalah keluarga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top