15. Sign
"Eja, apa Papa boleh masuk?"
Agus Sinar mengetuk pintu kamar Eja tiga kali. Begitu mendengar sahutan dari dalam, pria paruh baya itu pun segera membuka pintu.
Eja yang semula berbaring langsung bangkit menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, sementara Agus Sinar mengambil tempat persis di sebelahnya, menjatuhkan bokongnya dengan sangat hati-hati di bibir ranjang.
Agus Sinar memainkan kaca matanya, kemudian mengedar pandangan ke penjuru kamar Eja yang dipenuhi gradasi warna abu-abu. Buku pelajaran, novel, sampai komik berseri tampak berjajar rapih pada rak di sudut ruangan. Sejenak, pikirannya teralihkan oleh puluhan bintang-bintang yang dipasang di langit-langit kamar, juga pada sebuah figura foto berisikan potret keluarga Chan di atas meja belajar Eja.
Bermenit-menit setelahnya, keduanya masih terdiam.
Agus Sinar masih menimbang bahasa.
Soal hubungan Eja dengan Nala, bagaimana seharusnya Agus Sinar menegurnya? Yang pria paruh baya itu khawatirkan adalah bagaimana kalau kata-katanya justru akan menyakiti perasaan anak itu lebih dalam lagi?
Eja mungkin akan semakin merasa sendirian dan dikucilkan di rumah ini. Agus Sinar tidak menginginkan kejadian waktu itu sampai terulang kembali. Sebegitu frustasinya Eja hingga nekat mengakhiri hidupnya dengan mengiris pergelangan tangannya sendiri. Akan tetapi, kalau masalah ini dibiarkan berlarut-larut justru akan semakin salah.
"Kamu suka banget kayaknya dimarahin abang kamu." Agus Sinar memberanikan dirinya. Bagaimana pun juga dia adalah seorang ayah yang wajib menegur anak-anaknya jika mereka memang melakukan kesalahan. Terlepas Eja menerimanya atau tidak, itu urusan belakangan.
Sadar akan kesalahannya, Eja tidak membalas perkataan Agus Sinar barusan. Bukankah apa yang terjadi belakangan memang begitu adanya? Meski sudah hampir setengah mati dipukuli oleh Dimas, tetap saja dia tidak jera. Bahkan, seolah-olah semua masalah yang timbul dalam keluarga ini, benar bersumber darinya.
"Apa kamu memang nggak suka tinggal di sini?"
Meski sedikit terkesiap, Eja masih kukuh mempertahankan diamnya. Sebenarnya anak itu tidak tahu harus bagaimana menjawab. Kalau bukan di sini, ke mana lagi dia bisa pergi? Satu-satunya tempat untuk pulang adalah rumah ini, bersama mereka di dalamnya; Agus Sinar, Bunda Elizar, Dimas, dan juga Mika.
"Jangan terlalu dimasukkan ke hati ucapan abang kamu. Kamu tahu sendiri, kan, dari dulu abang kamu itu orangnya seperti apa. Dia terlalu keras. Papa jadi ingat dulu waktu pertama kali ngajak dia ke pasar malam. Ributnya minta ampun kalau nggak kasih naik mobil odong-odong yang berputar itu. Padahal dia udah pernah jatuh dua kali, tapi masih naik juga."
Sekilas Agus Sinar dapat menangkap senyuman kecil di wajah anak tirinya. Rupanya menceritakan aib Dimas mampu membangkitkan selera anak itu.
"Sejauh apa hubungan kamu sama Nala?" tanya Agus Sinar kemudian.
Rasanya Eja tidak perlu terkejut lagi dengan serangan mendadak yang diberikan oleh Agus Sinar. Jari-jari kurusnya sempat bergerak gelisah di ujung kaus yang dikenakannya, walau dia sudah menduga, maksud kedatangan Agus Sinar ke kamarnya pastilah untuk menanyakan hal tersebut.
"Nala sama Eja cuma temen, kok, Pa."
"Benar begitu?" tanya Agus Sinar lagi, dengan nada suara yang terdengar sedikit menggoda.
Eja lantas menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresinya.
"Kamu ketahuan bohong, kan." Pria paruh baya itu terpaksa menelan harapannya. Ternyata benar, Eja memang menjalin hubungan dengan putra koleganya sendiri.
"Apa aja yang udah kamu sembunyikan dari Papa dan Bunda? Coba kamu jujur sekarang." Agus Sinar memberinya tatapan intens, berusaha mencari riak kejujuran dalam mata anak itu sembari menanti jawaban keluar dari mulutnya.
"Laptop yang kemaren itu," katanya tersendat-sendat. "Eja gadein buat beli ... beli ...."
Narkoba, terka Agus Sinar dalam hati.
"Terus? Apa lagi?"
"Eja pernah nyuri uang di dompet Bunda."
"Terus?"
"Pa ...," Suara Eja kali ini terdengar sangat parau. "Maafin Eja karena udah banyak nyusahin Papa selama ini. Eja ... Eja kepengen sembuh, Pa ...."
Agus Sinar terhenyak mendengarnya. Seketika dia pun didera rasa bersalah. Padahal, dulunya Eja adalah anak yang ceria, penurut, dan sangat manis. Apa saja yang sudah dilewatkannya selama ini? Eja sampai harus mengalami hal-hal semacam ini—pecandu narkoba dan penyimpangan seksual, semua adalah kesalahan Agus Sinar sendiri.
"Papa juga minta maaf karena tidak bisa menjagamu dengan baik," senyumnya lembut sembari menepuk-nepuk puncak kepala anak itu. Eja sungguh tidak beruntung, karena harus memiliki seseorang papa yang tidak becus sebagai pengganti ayah kandungnya, lirihnya pahit.
Eja menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Menegaskan bahwa semua yang terjadi bukanlah kesalahan pria paruh baya itu. Sebab, selama ini Agus Sinar begitu baik padanya. Tidak pernah sekali pun dia membedakan Eja, meski Eja bukan anak kandungnya.
"Eja mau direhab, Pa. Eja juga janji nggak akan ketemu sama Nala lagi ...."
__________________
"Jadi, pemilik tanah ini sudah lama meninggal?"
"Benar, Pak," sahut sang Supervisor. "Untuk urusan jual beli kami hubungi ahli warisnya. Yah, awalnya dia memang sangat keberatan menjual tanah ini, tapi karena money yang ditawarkan lumayan, ya ... akhirnya dia mau-mau saja."
Supervisor itu menyebutkan angka yang cukup fantastis. Bukan main, Dimas sendiri sampai tidak percaya. Bagaimana mungkin lahan yang tidak terlalu luas ini bisa dihargai semahal itu? Dugaannya, ahli waris itu pastilah menolak berkali-kali negosiasi yang dilakukan, hingga nilai jual yang ditawarkan pihak pengembang terpaksa dinaikkan berkali-kali lipat.
Usai mendapatkan keterangan dari sang Supervisor, Dimas segera menyusul Aryan, yang mendapat bagian memeriksa rumah kecil di ujung sana. Sepanjang jalan Dimas terus memikirkan banyak kemungkinan. Ahli waris itu awalnya tidak mau menjual tanah ini. Tentu saja, dia pasti merasa khawatir kalau-kalau kerangka yang bertahun-tahun dikubur di halaman rumahnya ikut tergali. Otomatis perbuatan kejinya bisa saja ketahuan. Lalu, kenapa dia menerima tawaran uang milyaran itu akhirnya? Padahal, seharusnya dia tahu risiko terbesarnya. Sudah pasti dialah orang pertama yang akan dicari-cari pihak kepolisisan.
"Yan, saya ingin kamu segera selidiki ahli waris lahan ini," kata Dimas begitu dia masuk ke dalam rumah reyot berukuran sedang itu. Tidak banyak yang tersisa. Semua perabotan telah dimakan debu dan sawang. Banyak bekas botol minuman keras berlogo bintang yang menyampah di lantai rumah. Bekas puntung rokok, juga benda-benda lainnya seperti kartu dam dan remi, menandakan rumah ini pernah dijadikan base camp anak-anak nakal bermain judi.
Aryan tidak menggubrisnya sama sekali. Dia tampak sibuk dengan urusannya sendiri di sudut ruangan.
Dimas lantas bertanya, "Apa yang kamu temukan, Yan?"
"Bukankah ini terlihat mencurigakan, Inspektur?"
Secara tidak langsung Aryan meminta Dimas untuk mendekat. Dimas ikut berjongkok di sebelahnya. Matanya turut menelisik barang-barang yang berserakan di lantai ruang tamu itu. Debu yang menyelimuti beberapa barang kalau diukur mungkin tebalnya sudah lebih dari satu senti.
"Barang-barang yang ini," kata Aryan menunjuk sebuah jepit rambut dan peralatan make up. "Kalau dilihat tampak lebih baru ketimbang barang lainnya yang sudah tertutup debu."
Dimas langsung paham maksud perkataan Aryan barusan. "Itu berarti baru-baru ini ada orang yang datang ke mari, bukan?"
Aryan mengangguk cepat pada Inspekturnya. Dia segera memakai sarung tangan karet dan menyusun barang-barang itu. Jepit rambut, lipstick, bedak, sapu tangan, dan juga sebuah buku yang tampak sudah usang—tetapi minus debu, berhasil dikumpulkannya.
Aryan kemudian masuk ke dapur untuk memeriksa barang-barang lainnya.
"Inspektur, saya menemukan tanda pengenal ini!"
"Apa? Mana?"
"Ini," ucap Briptu itu menyerahkan benda yang dimaksud pada Dimas.
Kening Dimas tampak berkerut dalam saat menerimanya.
'Disza Anszani'
Nama itu tercetak dengan huruf kapital pada tanda pengenal tersebut. Wajah Disza pun seketika langsung membayanginya.
Tiba-tiba perasaan Dimas menjadi tidak enak. Mungkinkah barang-barang ini milik gadis itu? Hatinya serasa diremas kuat saat ikut menduga-duga.
Tapi untuk apa Disza datang ke tempat kumuh dan dipenuhi sampah begini? Rasanya mustahil, terkanya lagi.
Barang-barang lainnya juga tak luput dari perhatian Dimas. Matanya langsung tertarik pada sebuah buku usang yang juga berhasil Aryan sisihkan dari benda tak berguna lainnya. Hal yang makin membuat Dimas tidak percaya adalah tulisan yang tertera pada sampul buku usang tersebut.
Lettu Syahbana Syamsuri. Bola mata Dimas serta-merta membulat.
"Buku ini ...," katanya tidak percaya. "... milik Letnan itu?"
___________
"Jika diketahui Ana lahir pada tanggal 14 desember 1984, dan Ari lahir 14 Desember 1998. Pada tahun berapakah usia Ana tiga kali usia Ari?"
Pak Rudi, guru matematika berkepala pelontos yang tingginya nyaris sepintu kelas, melirik satu per satu anak didiknya dengan cermat. Mereka semua tampak sibuk menyalin soal yang baru saja di-diktekannya. Semua murid menunduk, menekuri buku latihan soal mereka masing-masing, kecuali seorang anak lelaki bergaya mirip preman dengan tatanan rambut serupa sarang burung yang duduk di pojokan ruang kelas.
Bukan hanya sekali-dua kali, anak lelaki itu sudah sangat sering bertingkah di kelasnya. Kesabaran Pak Rudi benar-benar habis diuji olehnya. Namun, selama ini dia hanya bisa diam, sebab dari gosip yang beredar di kalangan staff pengajar, anak lelaki itu merupakan putra pemilik yayasan Shandi Putra II—tempatnya mengajar saat ini.
"A. 2003, b. 2004, c. 2005, d. 2006."
Soal telah selesai dibacakan dan tidak akan ada pengulangan. Begitulah prinsip guru matematika berkepala pelontos tersebut.
"Sebastian Nala!" teriaknya keras dari depan kelas. Sementara orang yang dipanggilnya tampak acuh tak acuh, membuatnya makin emosi saja. "Coba kamu jawab soal yang tadi."
Kelas hening untuk beberapa saat. Semua mata memandang ke arah yang sama; Nala. Namun, anak lelaki itu justru sibuk mengotak-atik ponselnya.
"C. Tahun dua ribu lima." Dengan wajah santai, Nala menjawab pertanyaan dari guru matematika itu.
Pak Rudi dibuat ternganga seketika olehnya. Jeda yang terjadi bahkan kurang dari satu menit. Bagaimana bisa Nala menjawab secepat itu?
"Kenapa kamu bisa menjawab c?" tanya Pak Rudi yang merasa tidak terima diabaikan.
Nala mengangkat bahunya, seakan mengatakan bahwa jawaban yang keluar dari mulutnya spontan saja tanpa perlu repot-repot memikirkan langkah penyelesaian soal tersebut.
"Tidak bisa begitu, Nala. Kamu harus membuat persamaannya terlebih dahulu. Kita misalkan X sama dengan beberapa tahun ke depan di mana usia Ana sama dengan tiga kali usia Ari ...."
Penjelasan yang terlalu berputar-putar membuat Nala bosan mendengarnya. Kenapa matematika harus selalu dikaitkan dengan persamaan? Bukankah yang terpenting adalah jalan tercepat dan jawaban yang benar?
"Kalau tahun 2005, dihitung saja usia Ana pasti 21 tahun pada saat itu, dan Ari akan berusia 7 tahun. Jadi, usia Ana sama dengan tiga kali usia Ari, yaitu, tujuh dikali tiga sama dengan dua puluh satu," jawab Nala dengan susunan kata yang nyaris tak beraturan.
"Kalau ini ujian masuk universitas, bisa-bisa waktunya keburu habis, Pak," sambungnya lagi, yang langsung mengundang gelak tawa seisi kelas.
"Kalau begitu caranya, kamu terpaksa harus menjajal semua tahun untuk mencari mana yang benar, kan? Malah bisa lebih lama lagi!"
Perdebatan terhenti tepat saat bel pulang berbunyi. Pak Rudi yang telanjur malu meminta pada anak muridnya untuk segera menyelesaikan soal tersebut.
"Besok pagi harus sudah ada di meja, Bapak. Jangan lupa gunakan variabelnya." Usai membereskan buku-bukunya, Pak Rudi pun segera meninggalkan ruangan.
Nala langsung bangkit berdiri dan menyambar tas ranselnya. Dia kembali memeriksa ponselnya untuk kesekian kali. Eja, lirihnya dalam hati. Masih belum ada balasan darinya. Nala sangat khawatir padanya. Bagaimana kalau Eja sampai medapat masalah karena ulahnya tempo hari? Nala merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia harus mencium Eja segala saat di rumah sakit waktu itu? Selama ini Eja sudah terlalu banyak melewati hal buruk. Biarlah dia saja yang dihukum, asal bukan Eja.
"Bos, gimana rencana pembalasan dendam kita?"
Seringai tipis di wajah anak lelaki itu pun langsung terbit begitu mendengar pertanyaan dari Arjuna barusan.
"Eksekusi besok," jawab anak lelaki itu singkat, yang langsung disambut sorak sorai oleh teman-temannya.
_______________
Disza Anszani menghilang secara tiba-tiba. Tidak diketahui pasti kapan gadis itu menghilang. Selama ini Disza Anszani hidup sebatang kara. Selain itu, dia juga tidak punya banyak teman di Batam, sehingga tidak ada satu orang pun yang menyadari dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian.
Perasaan Dimas sangat tidak menentu saat ini. Dia telah mendatangi Pusat Arsip Nasional sebelumnya. Namun, staff kepengurusan SDM memberitahukan bahwa Disza telah selesai melakukan program magangnya sejak minggu kemarin. Mereka tidak tahu lagi bagaimana kabar Disza Anszani sejak saat itu.
Sejak tadi Dimas hanya mondar-mandir sembari menunggu Tim Inafis selesai melakukan olah TKP menyeluruh di dalam rumah reyot tersebut. Sebelumnya Dimas telah menerima laporan dari mereka tentang adanya jejak darah di sekitar ruang tamu. Namun, mereka belum tahu apakah jejak darah itu benar milik Disza Anszani atau bukan. Masalahnya, mereka memang tidak punya DNA yang harus dibandingkan.
Beberapa menit diserang kegundahan, Aryan datang padanya untuk melapor. Briptu itu menggeleng. "Masih belum ada kabar soal gadis itu, Inspektur," katanya kemudian. Rumah indekos tempat di mana gadis itu tinggal telah dia sambangi, tetapi hasilnya nihil. Gadis itu tidak ada di mana pun. Orang-orang yang tinggal bersamanya di rumah indekos tersebut juga tidak tahu ke mana Disza Anszani pergi, apalagi belakangan Disza Ansza jarang terlihat. "Anaknya memang tertutup dan jarang bergaul."
Akan tetapi setidaknya Aryan juga membawa kabar baik. Dia berhasil mengamankan beberapa sampel helai rambut milik Disza yang dia dapat dari kamar gadis itu.
"Kita tidak tahu kapan pastinya dia menghilang. Bagaimana kalau dia sampai kenapa-napa, Yan?"
Aryan menggaruk kepalanya. Kenapa kasus kerangka ini malah berkembang jadi kasus penculikan?
"Apa benar gadis itu memang diculik, Inspektur? Bagaimana kalau ternyata dia sudah kembali ke Medan?"
"Kalau begitu cari tahu segera apakah nama gadis itu terdaftar dalam manifest penumpang, baik itu pesawat maupun kapal penyeberangan menuju ke Medan."
Aryan merasa Inspekturnya terlalu berlebihan kali ini. Siapa gadis itu sebenarnya?
"Sepertinya gadis itu sangat penting untuk Anda, Inspektur."
Dimas langsung menyambarnya dengan tatapan tidak suka.
"Tidak ada laporan masuk, Inspektur. Apa tidak masalah kalau kita menyelidikinya? Kalau Kapten tahu—"
"Jadi, maksudmu, tunggu dia jadi mayat baru bisa kita selidiki?" potong Dimas emosi. Dia menuding wajah Aryan tepat di hidungnya. "Dia hidup sebatang kara. Menurutmu siapa yang akan melaporkannya ke polisi? Tidak ada, Yan!"
Aryan buru-buru meminta maaf sebelum kena tinju maut dari atasannya itu. "Baiklah. Akan saya periksa segera," katanya, kemudian berlalu dari hadapan Dimas.
Tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari depan sana. Dimas berdecak jengkel. Kekalutan yang dia rasakan telah membuat mood-nya menjadi sangat buruk. Dia menyumpah-nyumpah; mengapa harus ada gundukan sampah di mana-mana?
"Ribut-ribut apa ini?!" Dimas terpaksa turun tangan juga. "Apa kalian tidak bisa menjaga TKP dengan benar?"
Seorang Tamtama mendekat ke arahnya, kemudian membisikkan sesuatu.
"Inspektur, kakek tua itu datang untuk memprotes. Dia bilang ...,"
_______________
Hello Gaes. Wkwk sorry telat update. Maafkan saya kalau watak Dimas terkesan sangat menyebalkan dan sok bossy. Saya hanya ingin menguatkan karakternya. Dalam benak saya Dimas itu sangat pemarah, keras, dan tipe orang yang wajib menang kalau sudah beradu mulut.
Ucapkan selamat datang pada Sebastian Nala! Kemungkinan besar dia akan banyak berperan membantu Dimas menyelesaikan Case 2 ini...
Trims. Selamat membaca. ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top